Setelah mertua dan kakak iparku pergi meninggalkan aku dan juga mas Danang berdua didalam kamar.Mas Danang masih menantapku dengan tatapan tajam."Kenapa kamu masih menantapku, mas? Kamu masih kurang puas, untuk menamparku? Silahkan, bilah perlu bunuh saja aku, mas.""Bunuh aku sekarang!!" Bentak Hana pada Danang."Kau hanya terpengaruh dalam cerita mereka. Kau tak tahu hal sebenarnya, apa yang terjadi kau tak tahu. Lantas kenapa kau tiba-tiba menamparku!" Sambung Hana."Karena kau tak mau menghargai pemberian, ibu!""Pemberian yang mana yang harus aku hargai! Pemberian mana yang patut aku syukuri, mas! Coba katakan??""Ibumu, memberikanku baju bekas. Itu juga baju bekas almarhum nenekmu!" Tunjukku kepada mas Danang dengan mata berkaca-kaca."Aku memang miskin mas, aku memang tak punya harta seperti kamu!" Aku terus menunjuk-nunjuk mas Danang."Tapi aku juga punya hati. Menantu dirumah ini ada dua. Aku dan mbak Dewi, tapi kenapa mbak Dewi lebih istimewa! Dari pada aku??""Coba kataka
Bu Vina berjalan dengan berfikir panjang. Lalu Dewi menghampirinya. Terlihat mertua yang kebingungan, dewipun bertanya kepada mertuanya."Ada apa, Bu? Kenapa ibu seperti bingung begitu?""Ibu hanya heran saja. Kamu bilang makanan nggak ada didapur. Sementara Hana bilang, Hana sudah masak. Apa kamu nggak cek dapur?"Dewi menggelengkan kepalanya. Lalu Bu Vina menonyor menantunya."Kenapa kamu nggak cek itu dapur. Kamu buat malu ibu saja, sih Dewi????"Dewi tersenyum dengan tak enak."Maaf, Bu. Dewi tadi laper jadi nggak konsen. Dewi fikir Hana nggak masak!""Hana itu beda sama kamu. Dia itu selalu masak pagi-pagi sekali. Jadi mana mungkin Hana tidak masak!""Buat malu saja, kamu!" Imbuhnya."Maaf, Bu. Ya udah kita makan saja ya Bu, lapar banget soalnya." Ucap Dewi dengan menepuk-nepuk perutnya yang keroncongan."Vino kemana? Kok nggak sama kamu?""Vino dibawa mas Riki. Katanya sih diajak jalan-jalan keliling komplek. Ngadem gitu!""Terus ayah kamu!""Iya sama. Ikut mas Riki.""Danang ke
Ting! Suara notifikasi dihandphone-ku yang butut terdengar. Aku langsung mengelap tanganku yang basah akibat mencuci pakaian. Karena aku dirumah ini tak pernah memakai mesin cuci bila mencuci. Kata mertuaku jika aku mencuci menggunakan mesin cuci akan menambah watt listrik yang akan termakan banyak. Itulah sebabnya aku tak pernah memakai mesin cuci karena takut boros. Mbak Dewi diratukan oleh mertuaku. Karena mbak Dewi dari keluarga mampu, sedangkan aku dari keluarga tak mampu. Bahkan baju mbak Dewi sering kali aku yang mencucinya. Dan aku mendapatkan upah sepuluh ribu terkadang lima ribu dari mbak Dewi. Namun aku terpaksa melakukan ini semua karena tak ada pilihan lain untuk menambah uang untuk membeli popok Shifa, sampai uang aku bekerja di online akan cair. Aku selalu meninggalkan Shifa didalam keadaan tidur. Jika Shifa belum tertidur aku tak bisa mencuci pakaian dan juga berkemas-kemas, dan pasti ibu akan memarahiku jika aku bermalas-malasan. Berbeda denga mbak Dewi yang isti
Pagi ini aku bersemangat untuk beres-beres rumah. Bahkan semua pekerjaan yang aku kerjakan dengan senang tanpa ngeluh. Aku sangat menikmati pekerjaanku saat ini. "Setelah semuanya beres. Nanti aku akan kembali bekerja, agar gajiku bisa bertambah dan bisa segera keluar dari rumah ini." Gumamku dalam hati. "Hana....!!!" "Hana....!!" "Astaghfirullah. Nggak bisa banget orang dirumah ini, kalau nggak teriak-teriak seperti udah ciri khasnya gitu. Teriak-teriak mulu udah seperti dihutan saja!" Ocehku namun tetap saja aku tak berani mengeraskan suara. Sebelum uangku terkumpul banyak aku tak ingin mengali lobang untuk mengubur diri sendiri. Maka dari itu aku tetap bertahan walau bagaimanapun keadaannya. "Hana......!" "Iya, Bu. Sebentar. Iya-iya." Ucap Hana yang menuju ruang makan. "Ada apa Bu??" "Kamu ini lama banget!" "Maaf!" "Mana makanannya??" "Udah ada, Bu" "Mana!! Aku nggak lihat ada makanan dimeja makan!" "Masih diatas kompor, Bu. Sebentar!" "Cepet Hana. Ibu sudah terlambat
"Mbak!" "Mbak...." Hana melambaikan tangannya didepan wajah Dewi, seketika lamunan Dewi terbuyar saat Hana memanggilnya. "Haaa!" Ucap Dewi saat lamunannya terbuyar. "Mbak, disuruh ibu untuk menyuapinya!" "Kenapa nggak kamu aja, Hana?" "Tadi udah aku tawarin, tapi ibu maunya sama Mbak!" Ucapku. "Iihh... Bener-bener deh. Ganggu orang lagi santai aja, itu tua bangka!" Gerutuk Dewi dalam hatinya. "Mbak, kenapa ngelamun. Itu ibu sudah menunggu sejak tadi" "Iya, iya. Dimana ibu?" "Ada diruang tamu, mbak!" "Ya udah, kamu keluar aja dulu, nanti mbak nyusul" "Nggak bisa mbak. Itu ibu minta suapin sekarang!" "Hadeh! Iya deh iya." Ucap Dewi dengan wajah lesu. Dewi dan Hana keluar dari dalam kamar Dewi dan menuju keruang tamu. Disana Bu Vina sedang terbaring menunggu menantu kesayangannya untuk menyuapi dirinya saat ini. "Bu, ini mbak Dewi!" Ucap Hana. Lalu Bu Vina menoleh kearah Dewi dengan tersenyum. "Dewi, kamu maukan suapin ibu!" Ucap Bu Vina kemudian memegang tangan menantunya
Pagi yang cerah disambut dengan mentari yang indah dan aku melihat suamiku Mas Danang sudah bersiap-siap untuk pergi mencari lowongan pekerjaan. Aku menyambutnya dengan senyuman yang manis dan juga menghidangkan beberapa camilan dan juga teh hangat untuk diseduh Mas Danang sebelum berangkat mencari pekerjaan. "Ini mas, teh dan camilannya." Ucapku dengan menyuguhkan camilan yang aku buat, hanya goreng pisang yang aku buat untuk Mas Danang sarapan pagi ini. Mas Danang memberikan senyuman sebelum duduk, dan kali ini aku benar-benar melihat senyum suamiku walau kami berdua sekarang mengalami masa-masa sulit untuk menitis karir. "Mas berangkat dulu ya, soalnya udah siang." "Iya mas, hati-hati dijalan!" Ucapku dengan meraih tangan Mas Danang dan mencium punggung tangannya. "Iya, doain mas ya, mudah-mudahan mas bisa mendapatkan pekerjaan, agar kita bisa hidup yang lebih layak dari pada tinggal disini!" Ucap Mas Danang. "Iya mas. Aku selalu mendoakanmu!" "Trimkasih ya, Hana. Kamu mema
Hari ini Danang dan juga Hana resmi membuka resto kecil-kecilan. Namun pembukaan pertama seperti biasanya, masih sepi belum ada pembeli. "Hana. Kenapa belum ada pembeli ya?" Ucap Danang gelisah. Hana hanya terdiam tanpa kata saat ini. "Sabar ya, mas. Ingsya'allah nanti ada pembeli. Sekarang kamu istirahat saja dulu mas. Ini juga baru jam sepuluh. Mungkin orang-orang belum ada yang tahu kalau ruko ini sudah menjadi restoran!" Ucap Hana dengan tersenyum. Tak lama kemudian resto mereka kedatangan pelanggan yang membuat Hana dan Danang tersenyum. "Mas, waktunya kita berkerja!" Ucap Hana dengan tersenyum. Danang yang melihat pelangganpun tersenyum. Pelanggan memesan berbagai makanan yang tersedia diresto Danang dan juga Hana. Danang yang mengantarkan pesanan sementara Hana yang menyiapkan semuanya. Begitu kewalahan mereka mendapatkan banyak sekali pesanan dihari pertama kalinya buka resto. Hingga waktu petang semua makanan yang mereka jual ludes diborong pembeli. Hana yang kelelaha
"Mas, aku ingin bicara denganmu?"Hana menantap suaminya yang hendak pergi."Ada apa?" Jawab Danang."Aku menyetujui yang kamu minta. Tapi aku minta kamu menepati janjimu, mas!"Danang langsung berbalik badan dan langsung tersenyum menantap Hana. Danang langsung mendekati Hana dan langsung memegang kedua tangan Hana dengan penuh senyuman."Kamu srius sayang!" Ucap Danang.Hana mengangguk dan mengedipkan matanya."Makasih Hana!" Danang memeluk tubuh Hana untuk yang pertama kalinya. Hana hanya terdiam tanpa kata.Entah kenapa rasa pelukan Danang begitu hambar dirasa Hana. Begitu tak menyentuh hatinya. Bahkan Hana juga tak dapat merasakan rasa cinta danang."Kenapa aku tak merasakan cinta dan kasih sayangmu, mas. Apakah hatiku sesakit ini untuk bisa merasakan rasa cintamu!" Hujan Hana."Ataukah kamu hanya memperalat aku, sehingga aku tak dapat merasakan rasa cinta mu padaku mas! Ini sungguh tak adil bagiku, aku hanya ingin merasakan cinta dan kasih sayang dari suamiku. Tapi kenapa aku ta
Beberapa bulan berlalu, dan kolaborasi dengan Hiroshi Tanaka membuahkan hasil. Bersama timnya, Adrian dan Sari meluncurkan produk terbaru mereka, Elysian, sebuah platform berbasis kecerdasan buatan yang tidak hanya melayani kebutuhan pelanggan tetapi juga mampu memprediksi tren masa depan.Peluncuran Elysian diadakan di Tokyo, Jepang, salah satu pasar terbesar mereka. Adrian dan Sari memilih Tokyo bukan hanya untuk menghormati Hiroshi sebagai mitra, tetapi juga untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka siap bersaing di panggung global.Acara tersebut berlangsung megah, dihadiri oleh para pemimpin industri dari berbagai negara. Ketika demo Elysian dipresentasikan, ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan meriah. Platform ini menawarkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya: teknologi yang dapat mengintegrasikan kebutuhan pelanggan dengan solusi yang benar-benar personal, ramah lingkungan, dan inovatif.Namun, seperti yang telah diperkirakan, Vino kembali mencoba menjegal mereka. Kali
Setelah forum bisnis di Zurich, Adrian dan Sari kembali ke kantor pusat mereka dengan energi baru. Aurora telah menjadi bukti bahwa mereka mampu bertahan di tengah persaingan sengit, tetapi perjalanan mereka masih jauh dari kata selesai. Pasar internasional semakin menuntut inovasi yang lebih cepat dan layanan yang lebih baik.Di pagi yang sibuk, Sari menerima sebuah panggilan telepon dari seorang mitra strategis di Jepang. Mitra itu, Hiroshi Tanaka, adalah pemilik perusahaan teknologi terkemuka yang sudah lama dikenal karena inovasinya dalam bidang kecerdasan buatan.“Sari-san,” suara Hiroshi terdengar penuh semangat. “Saya sangat tertarik dengan konsep Aurora. Saya percaya bahwa dengan kecerdasan buatan, kita bisa mengembangkan produk ini ke level berikutnya. Bagaimana jika kita berdiskusi lebih lanjut tentang kolaborasi?”Mendengar tawaran itu, Sari merasa ini adalah kesempatan emas. Ia segera memberi tahu Adrian, yang langsung setuju untuk mengatur pertemuan virtual dengan tim Hir
Beberapa minggu setelah peluncuran Aurora, hasil penjualan mulai menunjukkan dampak besar. Produk inovatif itu tidak hanya diterima dengan baik, tetapi juga menjadi tren global. Media internasional mulai meliput kisah sukses Adrian dan Sari, menjadikan mereka simbol pengusaha muda yang berani melawan raksasa industri.Namun, seperti yang diduga, Vino tidak tinggal diam. PT. Maxima mulai menggencarkan kampanye untuk mendiskreditkan Aurora. Mereka menyebarkan isu bahwa teknologi yang digunakan oleh Aurora memiliki cacat yang berpotensi berbahaya bagi pelanggan. Isu ini dengan cepat menyebar, dan beberapa pelanggan mulai meragukan kualitas produk Adrian dan Sari.Adrian langsung mengumpulkan timnya untuk menanggapi krisis ini. “Kita harus menyelesaikan ini secepat mungkin. Jika kita membiarkan rumor ini berkembang, reputasi kita akan hancur,” katanya dengan nada serius.Sari, yang selalu tenang dalam situasi genting, menyarankan, “Kita harus transparan. Mari undang para ahli independen u
Kesuksesan ekspansi internasional Adrian dan Sari bukan hanya buah dari kerja keras, tetapi juga bukti ketahanan mereka dalam menghadapi persaingan yang terus meningkat. Namun, mereka menyadari bahwa keberhasilan awal ini hanya permulaan dari perjalanan panjang yang penuh tantangan.Sebuah email masuk ke kotak masuk Adrian pagi itu. Pengirimnya adalah seorang mantan kolega yang kini bekerja sebagai konsultan bisnis di Eropa. Email tersebut menawarkan kolaborasi untuk memperluas produk mereka ke pasar yang lebih luas, terutama di wilayah Eropa Timur, yang dianggap sebagai ladang subur untuk produk inovatif. Adrian menunjukkan email itu kepada Sari, yang langsung melihat potensi besar dari tawaran tersebut.“Kita harus mempersiapkan semuanya dengan matang,” ujar Sari, mempelajari email itu dengan seksama. “Tapi, jika ini berhasil, kita akan punya pijakan kuat di pasar internasional.”Namun, di tengah perencanaan mereka, ancaman baru muncul dari PT. Maxima. Vino, yang dikenal licik dan a
Setelah kesepakatan dengan Ryan tercapai, Adrian dan Sari mulai melihat perubahan besar dalam perusahaan mereka. Penerapan teknologi terbaru yang mereka adopsi berjalan mulus. Tim mereka mulai terbiasa dengan sistem baru, dan hasilnya sangat memuaskan. Proses produksi menjadi lebih efisien, biaya operasional berkurang, dan yang paling penting, mereka bisa memberikan pengalaman pelanggan yang jauh lebih baik. Penjualan terus meningkat, dan reputasi merek mereka semakin dikenal di pasar.Namun, keberhasilan ini juga menarik perhatian para pesaing yang lebih besar, yang mulai merasa terancam dengan inovasi yang dibawa oleh Adrian dan Sari. Seorang pesaing utama, PT. Maxima, yang sudah lama mendominasi pasar, mulai melakukan langkah-langkah agresif untuk meraih pangsa pasar yang lebih besar. PT. Maxima, yang dipimpin oleh seorang eksekutif muda bernama Vino, mengumumkan peluncuran produk baru yang hampir identik dengan produk utama mereka. Mereka menawarkan harga yang lebih murah, yang la
Adrian dan Sari memutuskan untuk menolak tawaran besar dari Daniel Hartono, meskipun tawaran itu menawarkan banyak keuntungan dan peluang. Keputusan itu bukanlah keputusan yang mudah, tapi mereka tahu bahwa kebebasan dan kendali atas bisnis yang mereka bangun adalah hal yang lebih berharga daripada keuntungan jangka pendek yang bisa didapat dengan menyerahkan sebagian besar saham mereka.Setelah pertemuan itu, mereka merasa lega, tetapi juga cemas akan dampak keputusan ini pada masa depan mereka. Sari tahu bahwa mereka harus lebih kreatif dan bekerja lebih keras untuk tetap berkembang tanpa bantuan investor besar. Mereka berdua memutuskan untuk fokus pada pengembangan produk dan mencari peluang baru untuk menjangkau pasar yang lebih luas.Hari-hari berikutnya, mereka memulai perjalanan baru dalam mengelola perusahaan. Mereka berdua menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengembangkan ide-ide baru, memperbaiki sistem operasional, dan mencari cara untuk menarik perhatian pelanggan lebih
Meskipun kehidupan Adrian dan Sari kembali tenang setelah konfrontasi dengan Rina, ada perasaan yang mengganjal di dalam hati mereka. Keberhasilan mereka tidak serta merta menghapus semua keraguan dan kecemasan yang ada. Mereka berdua tahu bahwa dunia bisnis penuh dengan persaingan yang ketat, dan meskipun mereka telah mengalahkan rintangan satu per satu, ada banyak tantangan baru yang siap menanti.Beberapa bulan kemudian, Adrian menerima tawaran dari seorang investor besar yang ingin bekerja sama dengan usaha mereka. Tawaran itu sangat menggiurkan, dan dalam hati Adrian, ini bisa menjadi langkah besar bagi perusahaan mereka. Namun, tawaran itu datang dengan syarat yang cukup mengkhawatirkan. Investor tersebut meminta sebagian besar saham perusahaan dengan imbalan dana yang cukup besar dan jaringan bisnis yang luas.Adrian merasa bimbang. Ia tahu bahwa tawaran ini bisa membawa mereka ke level yang lebih tinggi, tapi ia juga tidak ingin kehilangan kendali atas perusahaan yang telah me
Beberapa minggu setelah artikel wawancara yang diterbitkan, kehidupan Adrian dan Sari berubah dengan cepat. Usaha mereka semakin berkembang pesat, dan popularitas mereka semakin dikenal. Namun, di balik kesuksesan itu, mereka menyadari bahwa tidak semua orang senang melihat mereka maju, terutama Rina. Meski keluarga Adrian mulai menerima keadaan, Rina tetap berusaha mencari celah untuk merusak kebahagiaan mereka.Suatu sore, ketika Adrian sedang di kantor untuk rapat dengan beberapa calon mitra bisnis, Sari duduk di ruang tamu rumah mereka yang sederhana. Ia tengah mengecek beberapa pesanan yang masuk melalui aplikasi, sambil sesekali tersenyum melihat betapa cepatnya usaha mereka berkembang. Namun, sebuah telepon yang masuk mengalihkan perhatiannya.“Hallo, Bu Sari?” suara di ujung telepon itu terdengar agak cemas.“Ya, ini saya. Ada apa, Pak?” jawab Sari dengan sedikit curiga.“Ini Pak Amran dari media tadi. Saya ingin memberitahukan sesuatu yang mungkin harus Anda ketahui. Beberapa
“Ibu minta maaf, Adrian. Kami terlalu keras padamu. Kami pikir jalan yang kamu pilih adalah kesalahan, tapi ternyata kami yang salah,” ucap sang ibu dengan suara bergetar. Matanya yang basah menatap Adrian penuh penyesalan.Ayahnya mengangguk pelan, menambahkan, “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi kami tidak pernah benar-benar mengerti apa yang membuatmu bahagia. Kami salah menilai, dan kami ingin memperbaikinya.”Adrian menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang berkecamuk di dadanya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan penuh kejujuran. “Aku tidak pernah bermaksud mengecewakan kalian, Ayah, Ibu. Aku hanya ingin hidup sesuai dengan apa yang aku yakini benar. Bersama Sari, aku menemukan kebahagiaan dan tujuan hidupku. Aku hanya berharap kalian bisa menerima kami apa adanya.”Rina, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah canggung, akhirnya angkat bicara. “Adrian, aku juga minta maaf. Aku terlalu sombong dan tidak menghargai perjuanganmu. Aku pikir aku lebih baik dar