“Jadi … Pembunuhnya adalah Paman Sandres?” tanya Adam dengan tatapan kosong.
Sandres adalah pembunuh Ayah dan Ibunya? Tidak mungkin! Itu adalah lelucon paling konyol yang pernah dia dengar. Prajurit memberi tahunya jika pembunuh Kaisar dan Permaisuri telah menyerahkan dirinya. Aura membunuh yang dikeluarkan Adam tiba-tiba lenyap begitu saja saat mengetahui fakta mencengangkan ini.
“Penasihat! Apa kau tidak salah menangkap orang? Dia … Paman Sandres?!” teriak Adam. Dia frustasi, semua orang menatapnya dengan iba.
“Benar, Yang Mulia Putra Mahkota, pembunuhnya adalah Sandres Cesilio,” jelas Penasihat.
Sikap semua orang dapat dimengerti karena Sandres merupakan teman baik dari Kaisar. Sandres adalah salah seorang duke paling berpengaruh di kekaisaran. Kekayaannya yang menyumbang banyak pajak untuk istana berperan penting dalam perekonomian Vanrize.
“Paman! Apa yang kamu lakukan? Pasti mereka hanya salah paham, kan?” tanya Adam berusaha untuk percaya.
Amarahnya kini lenyap digantikan dengan putus asa. Mengapa justru orang yang paling dia percaya yang melakukannya? Ini tidak masuk akal, mengapa Paman Sandres membunuh Ayah dan Ibu? Pikir Adam.
“Tidak, Adam. Akulah pembunuhnya! Sikapmu yang tidak waspada sekalipun pada orang yang kau percaya membuatmu seperti ini. Kau terjebak, Adam!” ungkap Sandres.
“Tidak! Jangan berbohong! Untuk apa kau membunuh Ayah dan Ibu?” isak Adam, entah sudah berapa banyak air mata yang menetes hari ini.
Mengapa dunianya menjadi seperti ini? bukankah hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia untuknya? Mengapa semesta begitu kejamnya?
Sandres diam saja, dia tidak bisa menjawab. Sementara itu Penasihat menengahinya, walaupun memang hal ini tidak bisa dipercaya tetapi Sandres sendiri mengakui perbuatannya dan beberapa pelayan berkata Sandres pelakunya.
“Bawa semua pelayan dan masukkan mereka ke penjara. Untuk Sandres, apa yang harus kita lakukan sebagai hukumannya Yang Mulia Putra Mahkota? Sesuai dengan hukum kekaisaran, hukuman mati adalah-“
“DIAM! APA YANG KAU BICARAKAN PENASIHAT?! PAMAN SANDRES . . . DIA TIDAK MUNGKIN MEMBUNUH AYAH DAN IBU!” teriak Adam memotong perkataan Penasihat.
Penasihat terkejut dengan bentakan Adam, pemuda yang selalu tenang dan ceria kini berubah menjadi pemuda paling rapuh. Kenyataan menampar Adam dengan keras, hatinya terguncang, kepercayaan yang telah dia berikan sepenuhnya justru dikhianati.
“Adam, tidak bisakah kau percaya? Aku yang membunuhnya! Aku adalah pembunuh dari ayah dan ibumu, mengapa kamu justru melindungiku?” Sandres menangis, dia benar-benar harus mati hari ini. Tidak bisakah Adam memilih percaya saja padanya?
Adam terkejut, jauh dari dalam lubuk hatinya Adam tidak mau percaya. Namun, dia juga tidak diperkenankan melindungi pelaku, apalagi ini terkait pembunuhan ayah dan ibunya.
Menyerah karena Sandres bersikukuh jika dia adalah pembunuhnya. Adam pun menyerahkan semua tanggung jawab pada Penasihat. Dia memilih pergi meninggalkan penjara itu dengan langkah yang berat.
“Esok hari adalah eksekusimu, pertontonkan kepada rakyat siapa pembunuh Kaisar dan Permaisuri mereka!” Begitu perintah Penasihat, setelahnya dia pun pergi meninggalkan penjara.
“Tidak! Tunggu Tuan, kita tidak tahu menau mengenai ini. Mengapa kita dihukum juga?!” teriak pelayan yang akan dibawa ke dalam sel.
“Tuan! Kasihanilah kami!”
Teriakan memilukan dari kasta terendah tidak dipedulikan, Penasihat tidak bisa melakukan apa-apa di hadapan hukum. Malam yang kelam itu berakhir begitu saja. semua bangsawan yang tidak terlibat dalam insiden ini dipulangkan segera.
-
Keesokan harinya.
Semua rakyat berkumpul di ibu kota, berita kematian kaisar tersebar begitu cepat hingga para pengelana berbondong-bondong datang ke kekaisaran Vanrize untuk melihat bagaimana eksekusi si pembunuh Kaisar dan Permaisuri.
“Perhatian! Panglima Kekaisaran, Panglima Luwi dan Penasihat Kaisar, Penasihat Edward memasuki podium,” sambut prajurit mengiringi masuknya Edward dan Luwi sebagai wakil dari Adam selaku Putra Mahkota.
Setelahnya, seorang tersangka pembunuhan Kaisar dan Permaisuri keluar dengan dicekal oleh prajurit kekaisaran. Dengan kalung besi di tangan, leher, dan kakinya, dia melangkah dengan terseok. Ditempatkannya kepala Sandres di tempat eksekusi.
“Perhatian! Telah ditangkap pembunuh dari Kaisar dan Permaisuri kita yang agung. Dia adalah mahluk paling hina di kekaisaran Vanrize, kematiannya hari ini merupakan peringatan bagi siapa saja yang memberontak kekaisaran Vanrize. Dia adalah Sandress Cesilio, Duke Cesilio memiliki dendam tersembunyi pada Kaisar dan Permaisuri, itu adalah motif pembunuhannya. sesuai hukum Vanrize yang berlaku, Sandres akan dihukum mati dengan seluruh keluarganya!” jelas Luwi, panglima kekaisaran.
Para rakyat saling berbisik, ada yang melontarkan makian, mempertanyakan ke mana perginya putra mahkota pada eksekusi penting ini.
“Putra Mahkota pasti sangat terpukul mengetahui jika yang membunuh orang tuanya adalah orang yang dia anggap sebagai Pamannya sendiri. Menghadiri eksekusi pasti menjadi hal yang paling berat untuknya,” ucap salah satu rakyat.
Para prajurit keluar membawa beberapa anggota keluarga Duke Cesilio. Suara ricuh rakyat meramaikan suasana. Tangisan dari istri Duke Cesilio, umpatan-umpatan anak-anak Cesilio membuat amarah rakyat naik.
“Sialan, apakah Duke Cesilio hanya berpura-pura baik selama ini?”
“Aku bersyukur karena melihat keluarganya yang lain dihukum, tetapi Duke Cesilio . . . apa mungkin dia membunuh Kaisar yang merupakan temannya sendiri?”
“Tidak peduli walaupun Kaisar sangat baik padanya, manusia hina seperti mereka tidak pernah merasa cukup dan berakhir menusuk dari belakang!”
“Bunuh mereka cepat! Mendiang Kaisar dan Permaisuri tidak akan tenang selama pembunuh itu masih hidup!”
“Aku merasa jijik dengan para bangsawan!”
“Betapa mirisnya nasib Putra Mahkota.”
“Tunggu, disaat genting begini ke mana perginya Jean dan para keluarganya?”
Teng!
Lonceng pengumuman berbunyi keras memberhentikan para rakyat yang bergunjing sedari tadi. Acara eksekusi pun dimulai.
“Ayah! Dasar Ayah sialan! Bagaimana kau bisa melakukan perbuatan bodoh itu?”
“Mengapa kau melibatkan kami?!”
“Sandres! Apa yang kamu lakukan!”
Makian dari anggota keluarga Sandres tak membuat seorang Duke Cesilio gentar untuk membalasnya. Dia kali ini pasrah akan kematian. Walaupun dalam hati dia sama sekali tidak menginginkan kematian yang seperti sudah direncanakan ini.
“Lihatlah semuanya! Ini adalah contoh dari apa yang akan kalian dapatkan jika memberontak kekaisaran!” ucap Luwi, panglima kaisar.
“Aku sudah berjanji pada Matahari Kekaisaran, Yang Mulia Putra Mahkota untuk memenggal langsung pembunuh Kaisar dan Permaisuri. Di sini atas nama Kekaisaran Vanrize, aku akan menanggung beban Yang Mulia Putra Mahkota,” lanjutnya.
Simpati rakyat kian melunjak karena mengetahui fakta jika Duke Cesilio adalah orang yang paling dekat dengan Adam. Dia adalah orang yang mengajari Adam Teknik berpedang secara pribadi. Sulit dipercaya dia juga orang yang menjadikan Adam yatim piatu.
“Luwi … mengapa bukan Adam yang membunuhku?” tanya Sandres.
“Yang Mulia Putra Mahkota tidak pantas mengotori tangannya untuk mahluk hina sepertimu,” jawab Luwi. Panglima itu mencoba untuk netral walau jujur dia pun tidak bisa menerima fakta jika Sandres adalah pembunuhnya. Namun, karena beban Adam terlalu berat untuk anak seusianya, maka dengan senang hati Luwi akan membantu memikulnya.
“Benar … tolong katakan pada Adam, baca surat yang telah aku berikan padanya,” ucap Sandres sebelum bilah pedang tajam menyentuh lehernya tanpa jeda.
Suara kepala yang terjatuh dengan bibir tersenyum menjadi bukti kematian Duke Sandres Cesilio.
Suara berisik dari luar istana membuat Adam gelisah. Dia tidak bisa menghentikan eksekusi tersebut. Adam sangat yakin jika Sandres bukanlah pelakunya dan itu terbukti Ketika Sandres mengirim pelayan untuk memberikan surat padanya.
“Sial! Mengapa aku baru berani membukanya sekarang?!” sesalnya.
Surat tersebut berisi tulisan dengan bercakan darah yang bertuliskan, “Kematianku tidak dapat dihentikan, biarlah aku mati Adam. Namun, satu hal yang perlu kamu tahu. Pembunuh orang tuamu masih berkeliaran di luar sana. Waspadalah pada orang terdekatmu, Adam! Maaf, aku tidak bisa melindungimu.”
“Bagaimana ini? Siapa yang dapat melanjutkan tahta kekaisaran?” tanya salah seorang Marquess yang menjadi salah satu perdana menteri istana. “Jika pertanyaannya seperti itu tentu saja jawabannya adalah Yang Mulia Putra Mahkota,” jawab menteri yang lain. “Pertanyaannya adalah siapa yang akan mengisi kekosongan tahta kaisar sebelum Yang Mulia Putra Mahkota cukup umur dan layak untuk diangkat menjadi kaisar.”. Sementara itu Adam yang masih berduka karena kematian Ayahanda dan Ibundanya harus terpaksa mengikuti rapat para manusia kapitalis ini. “Yang Mulia Putra Mahkota sudah cukup layak untuk diangkat menjadi kaisar!” jawab salah satu Viscount penjilat. Mendengar dirinya disebut Adam mendongak dan seketika semua tatapan menuju kepadanya. Di umurnya yang sekarang Adam belum pernah mengikuti rapat secara langsung, dia tidak tahu harus melakukan apa. Hari-harinya dia gunakan untuk belajar pedang dan mempelajari teori untuk menjadi kaisar nantinya. “I-itu . . . menurut Penasihat Edward
“Bagaimana menurutmu Yang Mulia Putra Mahkota tentang prosesi pengangkatanku sebagai Kaisar?” tanya Jean di sepanjang jalan kembali mengantarkan Adam menuju kamarnya. “Ayolah, Paman, jangan panggil aku dengan sebutan itu jika kita hanya berdua,” tegus Adam. “Hahaha, baiklah. Jadi bagaimana Adam?” “Aku senang acaranya berjalan dengan lancer walaupun sebelumnya gaduh, aku ingin berterima kasih pada Paman karena bersedia untuk menggantikanku menjadi Kaisar. Aku minta maaf karena telah melimpahkan tanggung jawab ini padamu,” jawab Adam. “Diumurmu yang sekarang memang belum waktunya untuk terjun ke dunia politik. Kamu perlu banyak belajar lagi hingga waktunya tepat dan kamu siap menanggung beban kekaisaran di pundakmu, saat itulah kamu pantas disebut sebagai kaisar! Jadi tidak masalah untukku menanggung sementara tanggung jawabmu itu. Lagi pula aku merasa ini adalah cara satu-satunya untukku agar dapat menebus kesalahanku karena pergi di saat yang tidak tepat,” jelas Jean dengan penyesa
Suara derap langkah kaki serempak terdengar mengejar di belakang, membuat pria dengan pakaian kehormatan seorang putra mahkota sesekali menoleh ke belakang. Keberadaan ratusan prajurit yang tidak jauh darinya memompa jantung pria muda tersebut berpacu cepat. “Kenapa … kenapa jadi begini?!” suara pria itu bergetar, menahan sakit akibat luka yang ada di bagian perutnya. Tangan yang dia letakkan untuk menahan luka tersebut telah merah akibat darah yang mengalir deras. ‘Bagaimana mungkin, aku … sang putra mahkota, menjadi buronan kerajaanku sendiri?!’ teriaknya dalam hati dengan bulir-bulir keringat menghiasi dahi. “Berhenti di sana, Adam!” teriak sorang pria bertubuh kekar, sang panglima perang yang dulunya adalah sosok paling setia yang melindungi kerajaan bagi keluarga kerajaan. “Putra Mahkota! Berhenti di tempatmu, sialan!” ‘Apa dia kira aku bodoh?!’ maki Adam dalam hati, napasnya tersenggal. Darah yang terus mengalir keluar dari tubuhnya membuat pandangan Adam mulai membuyar. ‘Ber
“Aku? Dia tanya siapa aku, beri tahu dia!” titah si Iblis itu.Para iblis yang berkumpul itu menunduk dengan hormat pada sosok yang terbang di tengah-tengah mereka. “Siap, Tuan. Pemilik Hutan yang suci, Demon Lord Zenon,” ucap seluruh iblis itu bersamaan.Adam merasa Iblis yang Bernama Zenon ini adalah orang paling narsis yang pernah dia temui. “Kau dengar itu? Panggil aku Tuan Zenon!” katanya dengan angkuh.“B-baiklah, Tuan Zenon,” ucap Adam, dia lebih baik menuruti kemauan iblis narsis ini dari pada terjadi sesuatu buruk padanya.“Jadi, apa yang kau inginkan sampai memasuki hutan yang suci ini?” tanya Zenon setelah menyuruh para iblis untuk pergi dari sana.Dalam sekejap iblis-iblis itu pergi hanya dengan jentikan jari. Adam bertanya-tanya sekuat apa iblis di depannya ini sampai-sampai iblis-iblis yang menyeramkan tunduk padanya. Padahal perawakannya seperti orang lemah.“Hahahah, kau mengataiku lemah?” tanya Zenon mendekat dengan mata yang melotot.Napas Adam tercekat, jantungnya s
“Yang mulia … Yang mulia ….”Panggilan dari seseorang yang memanggil Adam membuatnya terbangun dari mimpi menyeramkannya.“Hah!” Adam terlonjak kaget ketika di depan matanya ada Cerrish, ajudan pribadi Adam.“Ada apa Yang Mulia? Keringatmu banyak sekali, apakah kamu bermimpi buruk?” tanya Cerrish.Adam menghela napasnya dengan teratur dipandu oleh Cerrish, kepalanya berat sekali. Pikiran alam bawah sadarnya masih memproses apakah selama ini dia hanya bermimpi? Atau justru kali ini dia benar-benar mengulang waktu?“Cerrish, hari apa ini?” tanya Adam.Ajudan yang dibuat binggung oleh majikannya itu mau tak mau hanya bisa menjawab, “Sekarang hari Senin, hari di mana Yang Mulia akan diangkat menjadi Putra Mahkota.”Setelahnya napas Adam tercekat. Tidak! Entah yang sebelumnya terjadi adalah mimpi atau kenyataan, Adam tidak akan pernah mau untuk mengulangnya.“Di mana Ayahanda dan Ibunda?” tanya Adam.“Kaisar dan Permaisuri sedang berada di singgasana untuk mengatur pesta yang akan berlangs
“Tidak! Tidak mungkin kejadian mengerikan itu terulang Kembali!” Adam menjerit tak tertahan ketika Ayahanda dan Ibundanya jatuh mengenaskan dengan darah yang keluar dari mulut mereka. Mimpi mengerikan itu ternyata memang benar pernah terjadi dan Adam mengulang waktu untuk membalaskan dendam terkait kematian orang tuanya. Adam Kembali lagi pada waktu sebelum kematian Yurize dan Adrellina, tetapi mengapa tidak ada yang berubah? “AYAHANDA! IBUNDA!” Adam berlari secepat kilat, meninggalkan bunyi barang pecah dari gelas yang dia bawa. “Ini salahku, aku meninggalkan mereka. Aku tidak di sisi mereka,” pikir Adam berkecamuk. Minuman Anggur tersebut ternyata digantikan dengan minuman lain. Menggantikan minuman itu ternyata tidak berdampak apapun pada takdir. Malam kelam itu berlalu dengan mengenaskan, mengulang Kembali tragedi yang Adam anggap dapat dia cegah. Nyatanya pengulangan waktu ini tidak dapat membuatnya mengembalikan nyawa yang memang sudah ditakdirkan tiada. - Di taman kerajaa
“Lagi-lagi … kejadiannya sama persis, tidak ada yang berubah di sini,” desis Adam berjalan dengan tergesa menuju penjara bawah tanah.Dikabarkan 1 hari setelah kematian Ayah dan Ibunya, seorang pembunuh itu menyerahkan dirinya. Semuanya sama persis seperti sebelum Adam memutar waktu, kepala dapur bunuh diri, dan kali ini ….Adam berharap kali ini pembunuh itu bukanlah Sandress.“Hormat kami pada Yang Mulia Putra Mahkota,” sapa para prajurit di sana yang dihiraukan Adam.Bibirnya mengatup, jantungnya berdegup tak karuan saat nampak sosok yang terduduk kaku dengan rantai besi itu ternyata adalah Sandress. Orang yang sama, pembunuh yang sama seperti di kejadian sebelumnya.“Paman Sandress?” tanya Adam, di sana hening, nampak ikut tidak percaya pada apa yang terjadi.Apakah mungkin sosok sahabat dari sang Kaisar tega membunuh jantung kekaisaran? Apakah mungkin semua kebaikan dan kesetiaan yang selama ini Sandress tunjukan hanya tipuan belaka?“Sesuai peraturan kekaisaran Vanrize, Sandress
“Apa? Sandress tidak dihukum mati?” tanya Jean pada prajurit yang merupakan salah satu informannya.Jean telah pulang dari kepergiaannya mengunjungi brahmana tepat sehari setelah kematian dari Yurize dan Adrellina. Pada jamuan teh bersama dengan Clarence istrinya, Jean tiba-tiba saja mendengar berita yang janggal.“Apa alasannya? Bukankah sesuai peraturan kekaisaran Sandress akan dipenggal hari ini?” tanya Jean lagi.“Yang Mulia Putra Mahkota melarangnya, Tuan. Beliau berkata mati begitu saja terlalu ringan untuk Sandress yang telah membunuh ayah dan ibunya. Dia akan menyiksa Sandress setiap harinya seumur hidup Sandress sebagai pengganti hukuman mati,” jelas Prajurit tersebut.Clarence yang dikabarkan sakit itu kini mengakhiri sandiwaranya. Dia ikut terheran pada keputusan Adam yang tidak biasanya. Seharusnya anak itu akan taat pada perkataan Penasihat Edward dan peraturan kekaisaran.“Hmm … kau boleh pergi,” titah Jean dan prajurit itu pun pergi.Namun, sebelum itu, “Tapi Tuan, saya