“Bagaimana ini? Siapa yang dapat melanjutkan tahta kekaisaran?” tanya salah seorang Marquess yang menjadi salah satu perdana menteri istana.
“Jika pertanyaannya seperti itu tentu saja jawabannya adalah Yang Mulia Putra Mahkota,” jawab menteri yang lain.
“Pertanyaannya adalah siapa yang akan mengisi kekosongan tahta kaisar sebelum Yang Mulia Putra Mahkota cukup umur dan layak untuk diangkat menjadi kaisar.”.
Sementara itu Adam yang masih berduka karena kematian Ayahanda dan Ibundanya harus terpaksa mengikuti rapat para manusia kapitalis ini. “Yang Mulia Putra Mahkota sudah cukup layak untuk diangkat menjadi kaisar!” jawab salah satu Viscount penjilat.
Mendengar dirinya disebut Adam mendongak dan seketika semua tatapan menuju kepadanya. Di umurnya yang sekarang Adam belum pernah mengikuti rapat secara langsung, dia tidak tahu harus melakukan apa. Hari-harinya dia gunakan untuk belajar pedang dan mempelajari teori untuk menjadi kaisar nantinya.
“I-itu . . . menurut Penasihat Edward bagaimana?” tanya Adam, dia benar-benar belum berpengalaman.
Penasihat Edward angkat suara, dia sudah menduga Adam tidak akan bisa tegas dalam pengangkatan Kaisar ini. “Para Bangsawan sekalian, pengalihan kekuasaan ini tentunya tidak bisa kita perdebatkan karena satu-satunya keturunan dari mendiang Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri hanya Yang Mulia Putra Mahkota. Saya paham kekhawatiran kalian semua, tetapi di sini Yang Mulia Putra Mahkota tidak sendirian, banyak para ahli istana yang akan membimbingnya menjadi Kaisar yang layak,” jelas Edward memberikan keputusannya.
Para bangsawan berdiskusi lagi terkait pendapat dari Penasihat Edward. Memang betul secara garis keturunan yang pantas meneruskan tahta kekaisaran ini adalah Adam. Pertimbangan yang ada membuat salah satu Menteri angkat suara, “Mohon izin Yang Mulia Putra Mahkota dan Penasihat Edward, saya paham betul akan peraturan dari kekaisaran ini terkait penerus kaisar. Saya sama sekali tidak meragukan Yang Mulia Putra Mahkota, hanya saja isu yang bertebaran terkait kematian mendiang Kaisar dan Permaisuri telah tersebar di seluruh penjuru. Hal itu menjadi bom waktu untuk Vanrize jika kita tidak memiliki kekuatan yang mumpuni. Jika Kaisar selanjutnya adalah Yang Mulia Putra Mahkota yang masih belum cukup umur, apakah Yang Mulia sanggup menanggung beban Vanrize yang sedang jatuh ini dan mewujudkan rasa aman pada rakyat yang kini merasa terancam?”
Pendapat yang logis dari Menteri istana membuat Adam merasa semakin tidak pantas. Dia tahu betul kemampuannya tidak ada apa-apanya, sikapnya dalam mengambil keputusan pun masih melibatkan emosi yang mana seorang pemimpin tidak diperbolehkan demikian.
“Apakah Ayahanda akan marah padaku? Apakah beliau akan malu mempunyai anak sepertiku?” seru Adam dalam hati.
“Betul apa yang dikatakan Menteri. Simpati rakyat pada Yang Mulia Putra Mahkota memang menguntungkan untuk saat ini, tetapi kita sebagai orang dewasa tidak berhak menaruh beban yang begitu besar pada Yang Mulia hanya karena dia penerus satu-satunya.”
Pendapat-pendapat yang bertentangan akan pendapat Edward bermunculan menjadi pendapat mayoritas di sana. Seruan persetujuan menggema dengan indah sampai membuat salah seorang tersenyum di sana.
Langkah kakinya kian pasti untuk memasuki ruang rapat setelah menghilang saat kematian Kaisar dan Permaisuri. Mendapat kabar meninggalnya kakaknya selaku Kaisar membuat Jean segera pulang untuk menjemput apa yang seharusnya jadi miliknya.
“Aku bersedia menanggung beban berat demi menggantikan Adam menjadi pemimpin Kekaisaran!” Suara Jean yang tiba-tiba muncul membuat ruangan rapat hening seketika.
Semua mata memandangi asal suara yang dengan arogannya datang tanpa diminta. Sepasang mata tajam dari banyaknya faksi Kaisar sebelumnya menyalang dengan ganas, tetapi yang diduga sebagai pelaku dari pembunuhan keji itu tak gentar. Dia tahu, dia akan menjadi yang paling berkuasa di sini.
“Paman ...,” gumam Adam merasa lega melihat Pamannya datang bagai penyelemat.
“Apa maksud Anda Tuan Jean. Anda, ingin menggantikan Yang Mulia Putra Mahkota sebagai pemimpin kekaisaran? Omong kosong macam apa ini?” tukas Duke Ellian dengan lantang.
Semua orang di sana terdiam melihat kekuatan besar saling bertentangan. Duke Ellian, pemilik kekuatan militer terbesar di kekaisaran Vanrize yang mana merupakan sahabat dekat Yurize tentu saja menentang kemunculan Jean untuk menjadi Kaisar.
Sementara itu Jean tersenyum dengan tenang. Dia berjalan menuju tempat duduk kosong yang harusnya diduduki kaisar.
“Kelancangan apa yang Anda lakukan Tuan Jean? Tidak diperkenankan seseorang yang bukan Kaisar menduduki kursi beliau-“ Cerrish yang menyerukan pendapatnya dicegat oleh Adam.
“S-sudahlah Cerrish, lagi pula Paman kan Kakak Ayahanda. Perginya Ayahanda membuat Paman otomatis menggantikannya, bukan?” seru Adam yang membuat banyak mata menatapnya tak percaya.
Jika Adam yang ingin mereka bela justru berada dalam genggaman Jean, mereka bisa apa? Permainan ini sudah dimenangkan oleh Jean sejak awal.
“Keponakanku Adam memang sangat pintar,” kata Jean.
“Semuanya dengarkan aku. Aku ingin menebus kesalahanku karena tidak bisa mencegah pembunuhan Kaisar dan Permaisuri. Aku merasa malu, sebagai kakaknya dan anggota keluarga kekaisaran, aku justru tidak ada di samping kalian semua saat kejadian berlangsung,” kata Jean menjelaskan penyesalannya.
Semua orang di sana tentu tidak percaya pada apa yang Jean katakan, kecuali Adam.
“Namun, kini aku akan menggunakan penyesalan itu untuk membaktikan diriku di kekaisaran ini!”
Adam merasakan hatinya tersentuh pada setiap kata yang Jean ucap. Dia tahu betul bagaimana pamannya itu merutuki dirinya karena tidak bisa melindungi Ayahanda.
“Benarkah begitu, Tuan Jean? Bukankah saat-saat ini yang Anda tunggu sepanjang hidup Anda? Menduduki kursi Kaisar dengan cara paling keji, membunuh adik Anda sendiri,” ujar salah satu menteri dengan emosi yang membara.
“Menteri! Tolong jaga perkataanmu itu, kamu sedang berbicara dengan anggota keluarga kekaisaran. Apa kamu diangkat menjadi menteri dengan perilaku seperti itu?” Adam naik pitam, suara yang sebelumnya dia redam kini meluap.
Para faksi Yurize justru merasa kecewa, mengapa saat berdebat mengenai dirinya Adam justru melimpahkannya pada Penasihat Edward, tapi saat mengenai Jean dia justru menjadi orang garda terdepan.
“Adam, tenanglah,” titah Jean memberikan senyum tenang pada Adam.
“Menteri, atas dasar apa Anda menuduh saya demikian? Apakah Anda memiliki bukti?” tanya Jean dengan nada dingin menusuk tepat pada jantung Menteri.
Rasanya Menteri itu tahu mengapa banyak orang takut pada sosok Jean, dulu dia jarang membuat tingkah, langkahnya kali ini mengejutkan satu kekaisaran. Siapa sangka Jean akan melakukan pembunuhan pada adiknya sendiri? Walaupun sebenarnya, gosip Jean sebagai dalang adalah sebuah konspirasi. Bagaimana Jean membunuh Kaisar dan Permaisuri tanpa mengotori tangannya masih menjadi sebuah misteri.
Ditanya bukti, menteri itu duduk terdiam. Dia tidak bisa berkata nyalang karena memang bukti tersebut tidak ada.
“Apakah kualitas menteri kita menurun? Bagaimana seorang menteri melayangkan tuduhan hanya berdasarkan pada konspirasi tidak berdasar?” tanya Jean yang sialnya tidak bisa dibantah oleh banyak orang di sana.
Jean menang telak.
“Baiklah, jika sudah seperti ini, kita pakai cara tercepat. Kita adakan pemungutan suara rahasia, dilakukan saat ini juga. Gallan, tolong bagikan kertasnya,” usul Jean.
Gallan, asisten Jean memberikan kertas dan pena pada setiap orang yang hadir di sana.
“Silakan tulis 1 jika kalian setuju pengangkatanku menjadi Kaisar. Tulislah X jika kalian tidak setuju.”
Semua orang di sana segera menuliskan pendapat mereka. Melihat bagaimana rapat berjalan dengan sengit menyuarakan penolakan terhadap Jean, bukankah cara ini justru akan merugikan Jean?
“Pengangkatannya sebagai Kaisar? Itu mustahil.” Setidaknya itu yang terpikirkan oleh Cerrish, Duke Ellian, dan Penasihat Edward.
Namun, siapa sangka yang mereka kira mustahil justru sebaliknya.
“Baik, saya akan menunjukkan hasilnya,” ujar Gallan ketika pemungutan suara tersebut berakhir.
Setiap kertas ditunjukkan pada publik, jadi tidak akan terindikasi adanya kecurangan dari pihak Jean.
“Hasil pemungutan suara, berjumlah 3 menolak pengangkatan Tuan Jean sebagai Kaisar, 7 setuju.”
“TIDAK MUNGKIN!”
“Bagaimana menurutmu Yang Mulia Putra Mahkota tentang prosesi pengangkatanku sebagai Kaisar?” tanya Jean di sepanjang jalan kembali mengantarkan Adam menuju kamarnya. “Ayolah, Paman, jangan panggil aku dengan sebutan itu jika kita hanya berdua,” tegus Adam. “Hahaha, baiklah. Jadi bagaimana Adam?” “Aku senang acaranya berjalan dengan lancer walaupun sebelumnya gaduh, aku ingin berterima kasih pada Paman karena bersedia untuk menggantikanku menjadi Kaisar. Aku minta maaf karena telah melimpahkan tanggung jawab ini padamu,” jawab Adam. “Diumurmu yang sekarang memang belum waktunya untuk terjun ke dunia politik. Kamu perlu banyak belajar lagi hingga waktunya tepat dan kamu siap menanggung beban kekaisaran di pundakmu, saat itulah kamu pantas disebut sebagai kaisar! Jadi tidak masalah untukku menanggung sementara tanggung jawabmu itu. Lagi pula aku merasa ini adalah cara satu-satunya untukku agar dapat menebus kesalahanku karena pergi di saat yang tidak tepat,” jelas Jean dengan penyesa
Suara derap langkah kaki serempak terdengar mengejar di belakang, membuat pria dengan pakaian kehormatan seorang putra mahkota sesekali menoleh ke belakang. Keberadaan ratusan prajurit yang tidak jauh darinya memompa jantung pria muda tersebut berpacu cepat. “Kenapa … kenapa jadi begini?!” suara pria itu bergetar, menahan sakit akibat luka yang ada di bagian perutnya. Tangan yang dia letakkan untuk menahan luka tersebut telah merah akibat darah yang mengalir deras. ‘Bagaimana mungkin, aku … sang putra mahkota, menjadi buronan kerajaanku sendiri?!’ teriaknya dalam hati dengan bulir-bulir keringat menghiasi dahi. “Berhenti di sana, Adam!” teriak sorang pria bertubuh kekar, sang panglima perang yang dulunya adalah sosok paling setia yang melindungi kerajaan bagi keluarga kerajaan. “Putra Mahkota! Berhenti di tempatmu, sialan!” ‘Apa dia kira aku bodoh?!’ maki Adam dalam hati, napasnya tersenggal. Darah yang terus mengalir keluar dari tubuhnya membuat pandangan Adam mulai membuyar. ‘Ber
“Aku? Dia tanya siapa aku, beri tahu dia!” titah si Iblis itu.Para iblis yang berkumpul itu menunduk dengan hormat pada sosok yang terbang di tengah-tengah mereka. “Siap, Tuan. Pemilik Hutan yang suci, Demon Lord Zenon,” ucap seluruh iblis itu bersamaan.Adam merasa Iblis yang Bernama Zenon ini adalah orang paling narsis yang pernah dia temui. “Kau dengar itu? Panggil aku Tuan Zenon!” katanya dengan angkuh.“B-baiklah, Tuan Zenon,” ucap Adam, dia lebih baik menuruti kemauan iblis narsis ini dari pada terjadi sesuatu buruk padanya.“Jadi, apa yang kau inginkan sampai memasuki hutan yang suci ini?” tanya Zenon setelah menyuruh para iblis untuk pergi dari sana.Dalam sekejap iblis-iblis itu pergi hanya dengan jentikan jari. Adam bertanya-tanya sekuat apa iblis di depannya ini sampai-sampai iblis-iblis yang menyeramkan tunduk padanya. Padahal perawakannya seperti orang lemah.“Hahahah, kau mengataiku lemah?” tanya Zenon mendekat dengan mata yang melotot.Napas Adam tercekat, jantungnya s
“Yang mulia … Yang mulia ….”Panggilan dari seseorang yang memanggil Adam membuatnya terbangun dari mimpi menyeramkannya.“Hah!” Adam terlonjak kaget ketika di depan matanya ada Cerrish, ajudan pribadi Adam.“Ada apa Yang Mulia? Keringatmu banyak sekali, apakah kamu bermimpi buruk?” tanya Cerrish.Adam menghela napasnya dengan teratur dipandu oleh Cerrish, kepalanya berat sekali. Pikiran alam bawah sadarnya masih memproses apakah selama ini dia hanya bermimpi? Atau justru kali ini dia benar-benar mengulang waktu?“Cerrish, hari apa ini?” tanya Adam.Ajudan yang dibuat binggung oleh majikannya itu mau tak mau hanya bisa menjawab, “Sekarang hari Senin, hari di mana Yang Mulia akan diangkat menjadi Putra Mahkota.”Setelahnya napas Adam tercekat. Tidak! Entah yang sebelumnya terjadi adalah mimpi atau kenyataan, Adam tidak akan pernah mau untuk mengulangnya.“Di mana Ayahanda dan Ibunda?” tanya Adam.“Kaisar dan Permaisuri sedang berada di singgasana untuk mengatur pesta yang akan berlangs
“Tidak! Tidak mungkin kejadian mengerikan itu terulang Kembali!” Adam menjerit tak tertahan ketika Ayahanda dan Ibundanya jatuh mengenaskan dengan darah yang keluar dari mulut mereka. Mimpi mengerikan itu ternyata memang benar pernah terjadi dan Adam mengulang waktu untuk membalaskan dendam terkait kematian orang tuanya. Adam Kembali lagi pada waktu sebelum kematian Yurize dan Adrellina, tetapi mengapa tidak ada yang berubah? “AYAHANDA! IBUNDA!” Adam berlari secepat kilat, meninggalkan bunyi barang pecah dari gelas yang dia bawa. “Ini salahku, aku meninggalkan mereka. Aku tidak di sisi mereka,” pikir Adam berkecamuk. Minuman Anggur tersebut ternyata digantikan dengan minuman lain. Menggantikan minuman itu ternyata tidak berdampak apapun pada takdir. Malam kelam itu berlalu dengan mengenaskan, mengulang Kembali tragedi yang Adam anggap dapat dia cegah. Nyatanya pengulangan waktu ini tidak dapat membuatnya mengembalikan nyawa yang memang sudah ditakdirkan tiada. - Di taman kerajaa
“Lagi-lagi … kejadiannya sama persis, tidak ada yang berubah di sini,” desis Adam berjalan dengan tergesa menuju penjara bawah tanah.Dikabarkan 1 hari setelah kematian Ayah dan Ibunya, seorang pembunuh itu menyerahkan dirinya. Semuanya sama persis seperti sebelum Adam memutar waktu, kepala dapur bunuh diri, dan kali ini ….Adam berharap kali ini pembunuh itu bukanlah Sandress.“Hormat kami pada Yang Mulia Putra Mahkota,” sapa para prajurit di sana yang dihiraukan Adam.Bibirnya mengatup, jantungnya berdegup tak karuan saat nampak sosok yang terduduk kaku dengan rantai besi itu ternyata adalah Sandress. Orang yang sama, pembunuh yang sama seperti di kejadian sebelumnya.“Paman Sandress?” tanya Adam, di sana hening, nampak ikut tidak percaya pada apa yang terjadi.Apakah mungkin sosok sahabat dari sang Kaisar tega membunuh jantung kekaisaran? Apakah mungkin semua kebaikan dan kesetiaan yang selama ini Sandress tunjukan hanya tipuan belaka?“Sesuai peraturan kekaisaran Vanrize, Sandress
“Apa? Sandress tidak dihukum mati?” tanya Jean pada prajurit yang merupakan salah satu informannya.Jean telah pulang dari kepergiaannya mengunjungi brahmana tepat sehari setelah kematian dari Yurize dan Adrellina. Pada jamuan teh bersama dengan Clarence istrinya, Jean tiba-tiba saja mendengar berita yang janggal.“Apa alasannya? Bukankah sesuai peraturan kekaisaran Sandress akan dipenggal hari ini?” tanya Jean lagi.“Yang Mulia Putra Mahkota melarangnya, Tuan. Beliau berkata mati begitu saja terlalu ringan untuk Sandress yang telah membunuh ayah dan ibunya. Dia akan menyiksa Sandress setiap harinya seumur hidup Sandress sebagai pengganti hukuman mati,” jelas Prajurit tersebut.Clarence yang dikabarkan sakit itu kini mengakhiri sandiwaranya. Dia ikut terheran pada keputusan Adam yang tidak biasanya. Seharusnya anak itu akan taat pada perkataan Penasihat Edward dan peraturan kekaisaran.“Hmm … kau boleh pergi,” titah Jean dan prajurit itu pun pergi.Namun, sebelum itu, “Tapi Tuan, saya
“Sandres … katakan saja apa yang sudah diketahui oleh Adam. Apa kamu melupakan perjanjian kita hingga berani-beraninya kamu membocorkan rahasia kita?!” pekik suara itu menggema di sel penjara Sandres yang sunyi. Dalam penjara itu para prajurit diperintahkan untuk meninggalkan Jean dengan Sandres. Kuasa Jean tidak dapat diremehkan begitu saja apalagi selepas kepergian dari Yurize. “Tidak Jean! Aku tidak mengatakan apa pun, aku juga tidak mengetahui mengenai alasan Adam. Tolong! Aku sudah memenuhi janjiku, aku sudah ikut andil dalam rencana kejimu ini! Tolong kali ini biarkan aku mati dengan tenang,” isak Sandres memohon sembari bersujud. Sebegitu lemahnya dia dihadapan Jean, entah kelemahan Sandres yang mana yang membuatnya seperti ini. Rendah diri, ketakutan, pasrah, dan tidak dapat melawan sama sekali bukan kepribadian Sandres yang orang lain kenal. “Apa yang bisa membuatku percaya pada ucapanmu?” tanya Jean. Sandress kebingungan, apalagi yang harus dia lakukan agar Jean bisa per