“Ya Dewa! Darah keluar dari mulut Permaisuri dan Kaisar!” teriak pelayan yang melihat kejadian itu. Seluruh mata orang yang berada di istana tertuju pada apa yang dimaksud pelayan tersebut.
“A-apa yang terjadi?” ucap Adrellina, sang permaisuri.
“Ad-Adrell . . . .” Kaisar jatuh terbaring di lantai setelah mengeluarkan banyak darah.
Dalam sekejap pesta itu senyap sampai suara jatuhnya Kaisar dan Permaisuri memecahkan heningnya. Teriakan saling bersahutan membuat suasana ricuh.
“Tutup semua akses keluar istana! Jangan sampai ada orang yang kabur! Tahan pelayan itu!” titah Panglima perang kekaisaran dengan sigap.
“Ayahanda! Ibunda!” Putra mahkota berlari mendekat ke arah Ibundanya yang sudah pucat.
“S-saya tidak tahu, saya hanya mengantarkan minuman!” kata si pelayan tadi. Pelayan tersebut gemetaran tak karuan, merasa malam ini akan menjadi malam terakhirnya.
Aula istana ricuh karena kejadian itu. Tabib istana segera memeriksa keadaan kaisar dan permaisuri di tempat.
“Mohon maaf, yang mulia putra mahkota. Kaisar dan permaisuri … sudah tidak bernyawa,” lirih tabib yang menggemparkan seluruh aula istana.
“Ti-tidak! Tidak mungkin!” ucap Adam dengan air mata yang berlinang. Adam menggelengkan kepalanya dengan senyuman yang berharap semua ini hanya gurauan.
Semua orang di sana terdiam mendengar berita duka tersebut. Putra Mahkota yang terbujur kaku dengan air mata yang tak henti-hentinya jatuh menjadi pemandangan paling menyedihkan di hari pengangkatannya sebagai Putra Mahkota.
Malam itu kekaisaran Vanrize tengah merayakan pesta untuk pengangkatan Adam menjadi Putra Mahkota. Yurize dan Adrellina selaku Kaisar dan Permaisuri hanya memiliki Adam sebagai putra tunggal mereka dan satu-satunya penerus dari Kekaisaran ini.
“Segera bawa Kaisar dan Permaisuri. Tangkap pelayan itu!” titah Penasihat Kaisar.
Para ksatria kekaisaran mengepung seluruh aula istana, sebagian menahan pelayan yang kini menangis tak berdaya. Putra Mahkota yang pingsan memperkeruh suasana, semua anggota keluarga kekaisaran dan para bangsawan tidak diperkenankan meninggalkan istana sebelum terlepas dari dugaan pembunuhan ini.
“Ke mana perginya Tuan Jean?” tanya Penasihat Kaisar.
“Lapor, Tuan Jean pergi keluar untuk bertemu dengan Brahmana Yang Agung satu jam yang lalu,” jawab prajurit itu.
“Pergi ke Brahmana? Untuk apa?” gumam Penasihat Kaisar.
“Mohon maaf, Penasihat Kaisar, saya tidak mengetahui alasan pastinya,” jawab prajurit itu lagi. Penasihat tersebut menyuruhnya pergi dan dengan segera memerintahkan untuk membawa pelayan itu ke penjara bawah tanah.
Sebelum itu, “Periksa semua barang bawaan para bangsawan yang hadir, lakukan pengecekan rutin saat memulangkan bangsawan, perketat keamanan dan awasi Yang Mulia Putra Mahkota!” titah Penasihat Kaisar.
“Siap!”
-
Di penjara bawah tanah, pelayan itu terduduk dengan lemas, wajahnya yang pucat menandakan dia begitu ketakutan.
“Katakan! Siapa yang menyuruhmu!” ucap Penasihat dengan nada dingin.
Dia tahu pasti, pelayan tidak mungkin mengambil resiko besar dengan membunuh kaisar dan permaisuri. Pasti ada dalang dibalik rencana keji ini.
“S-saya benar-benar tidak tahu, Tuan Penasihat yang agung! Saya hanya disuruh mengantarkan minuman oleh kepala dapur!” katanya dengan menggigil.
“Bawa kepala dapur ke sini!” titah Penasihat dengan tegas.
“Baik!”
Sang panglima perang sekaligus ajudan sang Kaisar merasa gagal dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimana bisa dia membiarkan kaisar dan permaisuri tergeletak berdarah-darah di depannya tanpa bisa melakukan apa-apa?
“Sebenarnya, racun apa yang digunakan si pembunuh? Bagaimana bisa efeknya bisa sesingkat itu?” tanya Panglima pada Penasihat.
“Entahlah, aku yakin dalangnya bukan orang sembarangan.”
Cukup lama beberapa prajurit pergi untuk menjemput kepala dapur, mereka akhirnya kembali menghadap kedua petinggi itu. Namun, mereka tidak membawa apa pun.
“Mana kepala dapur?” tanya Panglima.
“Mohon maaf, Panglima! Saat kami sampai di dapur, Kepala dapur . . . sudah tewas bunuh diri!” lapor salah satu prajurit.
Semua orang di sana terkejut, situasi ini semakin rumit karena kasus bunuh diri kepala dapur. Sang Penasihat memegangi kepalanya pusing, lantas bagaimana caranya dia menangkap dalang sebenarnya?
“Bereskan mayatnya, bawa semua orang di dapur dan suruh mereka menghadapku!”
“Baik!”
-
Dalam ruangan pemeriksaan tabib, terbaring kaisar dan permaisuri dengan tubuh yang membiru. Adam memaksa tabib untuk mengupas tuntas alasan dibalik meninggalnya kaisar dan permaisuri.
“Mohon ampun Yang Mulia Putra Mahkota, hamba benar-benar belum pernah menemui pasien yang terkena racun dengan efek secepat ini. Kemungkinan membirunya tubuh mendiang kaisar dan permaisuri dikarenakan bunga terlarang yang sudah dilarang tumbuh di wilayah selatan. Namun, setahu saya bunga itu bekerja secara lambat dengan perlahan membusukkan organ dalam si korban. Kemungkinan ada campuran bahan lain yang membuat efek bunga ini berlangsung dengan cepat,” jelas Tabib Istana.
Adam sudah sadar dari pingsannya dan segera untuk menemui lagi jasad Ayahanda dan Ibundanya. Sejujurnya dia masih tidak percaya akan kejadian yang terjadi. Yurize dan Adrellina masih tertawa bersamanya beberapa jam yang lalu, sulit rasanya untuk menerima kenyataan jika kini mereka terbujur kaku tanpa nyawa.
“Bagaimana mungkin . . . mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Bukankah minuman itu minuman yang sama? Lantas mengapa hanya Ayahanda dan Ibunda saja?” racau Adam tak karuan.
“Tabib! Katakan! Apa yang harus kulakukan? Perlukah aku membawa ramuan? Apa masih sempat untukku menyelamatkan mereka?! Katakan tabib! Aku akan melakukan semuanya!” teriak Adam kacau.
Penampilannya urakan, air mata menetes tak henti-henti, jiwanya terguncang. Dia putra tunggal dari Yurize dan Adrellina, ditinggal secara tiba-tiba begini membuat Adam ingin ikut mati. Tidak ada yang bisa menolongnya saat ini. Adam hancur di sini sendirian.
“Mohon maaf Yang Mulia, racunnya sudah menyebar dengan cepat dan menyerang inti saraf dari Kaisar dan Permaisuri. Saya tidak bisa menghidupkan orang yang sudah mati,” jelas Tabib Istana.
“Tidak . . . aku tidak mau seperti ini,” isak Adam.
Sang Tabib turut merasakan rasa sakit yang diderita Adam, kehilangan orang tua adalah hal yang paling menyakitkan. Apalagi mengetahui orang tuanya dibunuh walaupun menyandang gelar Kaisar dan Permaisuri.
“Pembunuh … siapa dia?! Berani-beraninya melakukan hal yang kejam seperti ini!” racau Adam.
Adam bangkit dengan amarah yang menggebu-gebu, “Prajurit! Cepat cari orang yang membunuh orang tuaku! Cari sampai dapat! Akan kubunuh mereka!” titah Adam dengan bengisnya.
Kilatan amarah, benci dan dendam terpancar sangat nyata dalam bola matanya. Aura dari anggota kekaisaran membuat para prajurit bergidik ngeri. “Si-siap, yang mulia putra mahkota!”
Hai! Terima kasih sudah tertarik dengan cerita pertamaku ini. Semoga kalian suka yaa, baca terus dan ikuti petualangan Adam sampai menjadi kaisar.
“Jadi … Pembunuhnya adalah Paman Sandres?” tanya Adam dengan tatapan kosong.Sandres adalah pembunuh Ayah dan Ibunya? Tidak mungkin! Itu adalah lelucon paling konyol yang pernah dia dengar. Prajurit memberi tahunya jika pembunuh Kaisar dan Permaisuri telah menyerahkan dirinya. Aura membunuh yang dikeluarkan Adam tiba-tiba lenyap begitu saja saat mengetahui fakta mencengangkan ini.“Penasihat! Apa kau tidak salah menangkap orang? Dia … Paman Sandres?!” teriak Adam. Dia frustasi, semua orang menatapnya dengan iba.“Benar, Yang Mulia Putra Mahkota, pembunuhnya adalah Sandres Cesilio,” jelas Penasihat.Sikap semua orang dapat dimengerti karena Sandres merupakan teman baik dari Kaisar. Sandres adalah salah seorang duke paling berpengaruh di kekaisaran. Kekayaannya yang menyumbang banyak pajak untuk istana berperan penting dalam perekonomian Vanrize.“Paman! Apa yang kamu lakukan? Pasti mereka hanya salah paham, kan?” tanya Adam berusaha untuk percaya.Amarahnya kini lenyap digantikan denga
“Bagaimana ini? Siapa yang dapat melanjutkan tahta kekaisaran?” tanya salah seorang Marquess yang menjadi salah satu perdana menteri istana. “Jika pertanyaannya seperti itu tentu saja jawabannya adalah Yang Mulia Putra Mahkota,” jawab menteri yang lain. “Pertanyaannya adalah siapa yang akan mengisi kekosongan tahta kaisar sebelum Yang Mulia Putra Mahkota cukup umur dan layak untuk diangkat menjadi kaisar.”. Sementara itu Adam yang masih berduka karena kematian Ayahanda dan Ibundanya harus terpaksa mengikuti rapat para manusia kapitalis ini. “Yang Mulia Putra Mahkota sudah cukup layak untuk diangkat menjadi kaisar!” jawab salah satu Viscount penjilat. Mendengar dirinya disebut Adam mendongak dan seketika semua tatapan menuju kepadanya. Di umurnya yang sekarang Adam belum pernah mengikuti rapat secara langsung, dia tidak tahu harus melakukan apa. Hari-harinya dia gunakan untuk belajar pedang dan mempelajari teori untuk menjadi kaisar nantinya. “I-itu . . . menurut Penasihat Edward
“Bagaimana menurutmu Yang Mulia Putra Mahkota tentang prosesi pengangkatanku sebagai Kaisar?” tanya Jean di sepanjang jalan kembali mengantarkan Adam menuju kamarnya. “Ayolah, Paman, jangan panggil aku dengan sebutan itu jika kita hanya berdua,” tegus Adam. “Hahaha, baiklah. Jadi bagaimana Adam?” “Aku senang acaranya berjalan dengan lancer walaupun sebelumnya gaduh, aku ingin berterima kasih pada Paman karena bersedia untuk menggantikanku menjadi Kaisar. Aku minta maaf karena telah melimpahkan tanggung jawab ini padamu,” jawab Adam. “Diumurmu yang sekarang memang belum waktunya untuk terjun ke dunia politik. Kamu perlu banyak belajar lagi hingga waktunya tepat dan kamu siap menanggung beban kekaisaran di pundakmu, saat itulah kamu pantas disebut sebagai kaisar! Jadi tidak masalah untukku menanggung sementara tanggung jawabmu itu. Lagi pula aku merasa ini adalah cara satu-satunya untukku agar dapat menebus kesalahanku karena pergi di saat yang tidak tepat,” jelas Jean dengan penyesa
Suara derap langkah kaki serempak terdengar mengejar di belakang, membuat pria dengan pakaian kehormatan seorang putra mahkota sesekali menoleh ke belakang. Keberadaan ratusan prajurit yang tidak jauh darinya memompa jantung pria muda tersebut berpacu cepat. “Kenapa … kenapa jadi begini?!” suara pria itu bergetar, menahan sakit akibat luka yang ada di bagian perutnya. Tangan yang dia letakkan untuk menahan luka tersebut telah merah akibat darah yang mengalir deras. ‘Bagaimana mungkin, aku … sang putra mahkota, menjadi buronan kerajaanku sendiri?!’ teriaknya dalam hati dengan bulir-bulir keringat menghiasi dahi. “Berhenti di sana, Adam!” teriak sorang pria bertubuh kekar, sang panglima perang yang dulunya adalah sosok paling setia yang melindungi kerajaan bagi keluarga kerajaan. “Putra Mahkota! Berhenti di tempatmu, sialan!” ‘Apa dia kira aku bodoh?!’ maki Adam dalam hati, napasnya tersenggal. Darah yang terus mengalir keluar dari tubuhnya membuat pandangan Adam mulai membuyar. ‘Ber
“Aku? Dia tanya siapa aku, beri tahu dia!” titah si Iblis itu.Para iblis yang berkumpul itu menunduk dengan hormat pada sosok yang terbang di tengah-tengah mereka. “Siap, Tuan. Pemilik Hutan yang suci, Demon Lord Zenon,” ucap seluruh iblis itu bersamaan.Adam merasa Iblis yang Bernama Zenon ini adalah orang paling narsis yang pernah dia temui. “Kau dengar itu? Panggil aku Tuan Zenon!” katanya dengan angkuh.“B-baiklah, Tuan Zenon,” ucap Adam, dia lebih baik menuruti kemauan iblis narsis ini dari pada terjadi sesuatu buruk padanya.“Jadi, apa yang kau inginkan sampai memasuki hutan yang suci ini?” tanya Zenon setelah menyuruh para iblis untuk pergi dari sana.Dalam sekejap iblis-iblis itu pergi hanya dengan jentikan jari. Adam bertanya-tanya sekuat apa iblis di depannya ini sampai-sampai iblis-iblis yang menyeramkan tunduk padanya. Padahal perawakannya seperti orang lemah.“Hahahah, kau mengataiku lemah?” tanya Zenon mendekat dengan mata yang melotot.Napas Adam tercekat, jantungnya s
“Yang mulia … Yang mulia ….”Panggilan dari seseorang yang memanggil Adam membuatnya terbangun dari mimpi menyeramkannya.“Hah!” Adam terlonjak kaget ketika di depan matanya ada Cerrish, ajudan pribadi Adam.“Ada apa Yang Mulia? Keringatmu banyak sekali, apakah kamu bermimpi buruk?” tanya Cerrish.Adam menghela napasnya dengan teratur dipandu oleh Cerrish, kepalanya berat sekali. Pikiran alam bawah sadarnya masih memproses apakah selama ini dia hanya bermimpi? Atau justru kali ini dia benar-benar mengulang waktu?“Cerrish, hari apa ini?” tanya Adam.Ajudan yang dibuat binggung oleh majikannya itu mau tak mau hanya bisa menjawab, “Sekarang hari Senin, hari di mana Yang Mulia akan diangkat menjadi Putra Mahkota.”Setelahnya napas Adam tercekat. Tidak! Entah yang sebelumnya terjadi adalah mimpi atau kenyataan, Adam tidak akan pernah mau untuk mengulangnya.“Di mana Ayahanda dan Ibunda?” tanya Adam.“Kaisar dan Permaisuri sedang berada di singgasana untuk mengatur pesta yang akan berlangs
“Tidak! Tidak mungkin kejadian mengerikan itu terulang Kembali!” Adam menjerit tak tertahan ketika Ayahanda dan Ibundanya jatuh mengenaskan dengan darah yang keluar dari mulut mereka. Mimpi mengerikan itu ternyata memang benar pernah terjadi dan Adam mengulang waktu untuk membalaskan dendam terkait kematian orang tuanya. Adam Kembali lagi pada waktu sebelum kematian Yurize dan Adrellina, tetapi mengapa tidak ada yang berubah? “AYAHANDA! IBUNDA!” Adam berlari secepat kilat, meninggalkan bunyi barang pecah dari gelas yang dia bawa. “Ini salahku, aku meninggalkan mereka. Aku tidak di sisi mereka,” pikir Adam berkecamuk. Minuman Anggur tersebut ternyata digantikan dengan minuman lain. Menggantikan minuman itu ternyata tidak berdampak apapun pada takdir. Malam kelam itu berlalu dengan mengenaskan, mengulang Kembali tragedi yang Adam anggap dapat dia cegah. Nyatanya pengulangan waktu ini tidak dapat membuatnya mengembalikan nyawa yang memang sudah ditakdirkan tiada. - Di taman kerajaa
“Lagi-lagi … kejadiannya sama persis, tidak ada yang berubah di sini,” desis Adam berjalan dengan tergesa menuju penjara bawah tanah.Dikabarkan 1 hari setelah kematian Ayah dan Ibunya, seorang pembunuh itu menyerahkan dirinya. Semuanya sama persis seperti sebelum Adam memutar waktu, kepala dapur bunuh diri, dan kali ini ….Adam berharap kali ini pembunuh itu bukanlah Sandress.“Hormat kami pada Yang Mulia Putra Mahkota,” sapa para prajurit di sana yang dihiraukan Adam.Bibirnya mengatup, jantungnya berdegup tak karuan saat nampak sosok yang terduduk kaku dengan rantai besi itu ternyata adalah Sandress. Orang yang sama, pembunuh yang sama seperti di kejadian sebelumnya.“Paman Sandress?” tanya Adam, di sana hening, nampak ikut tidak percaya pada apa yang terjadi.Apakah mungkin sosok sahabat dari sang Kaisar tega membunuh jantung kekaisaran? Apakah mungkin semua kebaikan dan kesetiaan yang selama ini Sandress tunjukan hanya tipuan belaka?“Sesuai peraturan kekaisaran Vanrize, Sandress