Anwar tidak menyukai latar belakang Vania. Untungnya, Vania punya citra dan reputasi yang baik jika dibandingkan dengan wanita lain yang mengejar Jason. Namun, Vania sangat mengecewakan saat konferensi pers.Ekspresi Jason tetap terlihat datar. Responsnya bahkan terdengar sangat dingin. "Ya."Usai mengobrol, keduanya berpisah.Sesaat kemudian, Vania keluar dari taman belakang. Karena gugup, tangannya meremas gaunnya dengan sekuat tenaga. Dia harus menang!....Ivy ingin Janice menginap semalam, tetapi Janice menolak. Tidak ada kenangan indah di rumah ini. Janice akan teringat pada dirinya yang dicampakkan pada kehidupan lampau dan putrinya yang menyedihkan.Jadi, ketika langit mulai gelap, Janice pergi. Namun, di tengah jalan, angin kencang tiba-tiba bertiup. Janice pun mempercepat langkah kakinya, tetapi hujan deras sudah turun, membuatnya basah kuyup.Tiba-tiba, terdengar suara rem di belakang. Janice pun berbalik, menghalangi hujan dengan tangan supaya dia bisa melihat.Seorang pria
Di tengah perjalanan, Yoshua ditelepon orang rumah. Katanya, reumatik ibunya kambuh. Di hari hujan seperti ini, rasanya sangat sakit kalau reumatik kambuh, sampai tidak bisa tidur.Setelah suami Tracy meninggal, Tracy terus berdoa di kuil. Karena terus berlutut, dia jadi terkena reumatik.Janice menunjuk ke depan dan berkata, "Kak, turunkan aku saja. Aku bisa naik MRT pulang kok. Tapi, aku harus pinjam jaketmu.""Janice ...." Yoshua merasa bersalah."Kak, aku sudah 20-an tahun. Tenang saja. Bu Tracy pasti kesakitan sekarang. Sebaiknya cepat pulang dan temani dia," ucap Janice."Oke." Setelah menghentikan mobil, Yoshua melepas jaketnya untuk Janice dan berpesan padanya untuk hati-hati.Janice mengiakan dan pergi. Setelah mobil Yoshua pergi, Janice langsung naik MRT. Sesampainya di stasiun selanjutnya, dia membuka payung dan berjalan kaki ke kampusnya.Sebelum tiba di kampus, tiba-tiba terlihat lampu yang sangat terang di depan sana. Dia menyipitkan mata untuk melihat, mengira dirinya sa
Janice pun menyentuhnya lagi. Memang basah, bahkan keluar air saat diremas. Dia baru memakai baju ini. Kenapa bisa begitu basah?Janice menoleh menatap Jason. Pakaian di sisi kirinya juga terlihat basah. Sebenarnya apa yang dia lakukan?Di perjalanan, Jason menyuruh sopir menyalakan penghangat. Janice yang kedinginan pun merasa lebih baik. Bokongnya juga terasa hangat sekarang.Janice menunduk dan tidak memahami tujuan Jason melakukan semua ini. Pada akhirnya, Jason membawanya ke apartemen sebelumnya."Mandi sana," ujar Jason sambil mengambilkan sandal wanita untuk Janice. Begitu meliriknya, Janice langsung teringat pada barang-barang Jason di apartemen Vania. Ini mungkin sandal Vania."Aku nggak mau pakai sandal itu." Janice berjalan masuk dengan kaki ayam. Karena lantai dingin, dia berjinjit saat berjalan.Jason hanya mengangkat alis dan tidak mengatakan apa pun lagi. Janice langsung masuk ke kamar mandi. Dia tiba-tiba bersin dua kali.Ketika teringat dirinya harus mengikuti lomba, J
Janice termangu. Wajahnya memerah. Dia tidak tahu bahwa celah pintu yang sempit ini telah memperlihatkan sosoknya yang terpantul di cermin.Rambut panjang tergerai di punggung putihnya, samar-samar menunjukkan lengan dan payudaranya. Seiring gerakan tubuhnya, payudaranya pun seperti kehilangan kendali.Jason mengepalkan tangan untuk menahan gairahnya yang bergolak. Karena tidak bisa menang dari Jason, Janice akhirnya menutup pintu.Jason kembali ke sofa dan minum teh. Aroma teh memenuhi seluruh ruangan, membuat hatinya kembali tenang.Tidak berselang lama, Janice menghampiri. Terlihat Jason tidak sengaja menumpahkan teh sedikit setelah meliriknya sekilas. Apa mungkin karena teh terlalu panas?Namun, Jason segera terlihat tenang kembali. Dia berkata dengan nada datar, "Minum teh."Jason meletakkan cangkir tehnya, lalu pergi mandi tanpa mengatakan apa pun lagi. Sementara itu, Janice mengambil cangkir teh dan menyesap. Saat berikutnya, dia malah menyemburkan tehnya.Janice terbengong mena
Usai berbicara, Janice langsung menuju ke kamar tamu. Sementara itu, Jason lanjut merokok dan menuangkan teh untuk diri sendiri. Setelah meneguknya, alisnya berkerut. Dia mengambil kaleng di samping, tampak merenungkan sesuatu.....Tengah malam, Janice tidak sengaja tersedak dan terbangun. Tenggorokannya terasa gatal. Ketika bangkit, kepalanya terasa pusing. Dia terpaksa memegang dinding sambil keluar untuk mencari air.Janice berjalan dengan sangat pelan. Setelah minum, kepalanya malah terasa makin pusing. Janice mencoba berjalan lagi. Alhasil, kakinya melemas. Untungnya, sebelum terjatuh, seseorang tiba-tiba menggendongnya."Kenapa lemah sekali?" Terdengar suara familier. Janice seketika teringat pada berbagai hal di masa lampau. Tubuhnya mulai bergetar."Jangan sentuh aku. Aku sudah salah, maaf .... Jangan sentuh aku ...," gumam Janice sambil meraih kerah baju Jason.Jason bisa merasakan Janice menggenggam kerah bajunya dengan sangat erat. Ini seperti saat Janice kehilangan kendali
Janice bercucuran keringat dingin. Tiba-tiba, dia berujar dengan terbata-bata, "Ta ... tanganku ...."Jason sontak berhenti. Napasnya terengah-engah. Dia bangkit dan meraih tangan Janice. Kemudian, Janice langsung berbalik dan membungkus tubuhnya dengan selimut.Ternyata wanita ini mencari celah untuk menghindar. Jason tidak marah. Dia berbaring di samping Janice, lalu memeluknya sekaligus dengan selimut. Jason memegang kepala Janice, lalu berbisik, "Kamu kira bisa terus menghindar?"Janice ingin mendorong Jason, tetapi tubuhnya terlalu lemas. Tenaga terakhirnya sudah habis untuk melawan Jason. Saat ini, dia merasa suara Jason makin jauh, lalu dia jatuh dalam kegelapan.Larut malam, suhu tubuh Janice naik lagi, padahal sempat mereda sesaat. Kepalanya makin pusing. Kesadarannya melemah. Jika Jason melakukan sesuatu padanya, dia tidak akan bisa melawan.Namun, Jason tidak melakukan apa-apa. Sepanjang malam, Jason terus menaruh tangannya di dahi Janice untuk memastikan suhu tubuhnya.Jani
"Jason? Jason?" Di luar sana, suara Vania makin dekat.Sekujur tubuh Janice menegang. Keringat terus bercucuran. Dia sangat panik memikirkan Vania akan memergoki mereka seperti ini.Vania adalah wanita yang sangat licik dan pintar bersandiwara. Janice yakin Vania tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Sementara itu, Jason selalu membela Vania. Dia tidak bisa menang dari mereka!Janice menahan lengan Jason yang menjamah tubuhnya, lalu memohon, "Jangan begini. Yang kamu cintai adalah Vania."Janice sedang memperingatkan Jason, berharap bisa membuat pria ini sadar. Siapa sangka, Jason bukan hanya tidak berhenti, tetapi memasukkan tangannya ke pakaian Janice. Sentuhannya sontak membuat Janice merinding.Jason mendekati wajah Janice, lalu berbisik, "Panggilanmu itu terdengar sangat menggoda."Janice merasa sangat malu. Di situasi terdesak ini, dia akhirnya menendang pintu. Suara benturan bergema di seluruh ruangan.Vania pun berdiri di depan pintu. Dia mengetuk pintu dan bertanya, "Jason,
Janice menggigit bibirnya. Sebelum ciuman Jason mendarat, dia sontak berjinjit dan menggigit bekas gigitan itu.Jason sama sekali tidak merasa sakit. Dia hanya berdecak kesal karena terganggu. Meskipun lukanya berdarah lagi, Jason sama sekali tidak keberatan. Namun, saat berikutnya, Janice tidak menggigit lagi, melainkan mengisap darahnya.Mata Jason sontak terbelalak. Rupanya begitu. Janice melepaskan leher Jason, lalu berucap dengan marah, "Sebaiknya kamu pikirkan cara untuk menjelaskan kepada Vania."Jason menatap dirinya di depan cermin. Ketika melihat bekas gigitan itu, dia mengangkat alis dan bertanya, "Kamu manusia atau anjing?"Janice memalingkan wajahnya. Wajahnya tampak agak basah. Tatapannya dipenuhi tekad. Jason yang melihatnya merasa sangat tergoda. Dia menyeka lehernya, lalu memperingatkan dengan suara rendah, "Jauhi Yoshua."Janice tidak berbicara. Jason mengelus dada Janice dan hampir tidak bisa mengendalikan diri."Ya, aku sudah tahu." Janice memang tidak ingin melibat
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan
Arya menekan dadanya, lalu mencebik. "Aku rasa Elaine punya niat jahat terhadap Janice dan ibunya. Lebih baik tetap berhati-hati."Dia seolah-olah mengatakannya, tetapi juga seolah-olah tidak. Dengan begitu, dia tidak melanggar janjinya kepada Janice."Hm." Jason menunduk, menatap rokok di tangannya, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu tetapi menahan diri.Arya sontak mengerti apa yang ada di pikirannya. Dia mendekat dan tersenyum tipis. "Kamu nggak mau ke rumah sakit melihatnya?""Nggak.""Hah, pantas saja kamu menderita!" Arya mengangkat kotak obatnya dan pergi.Di dalam ruangan, cahaya merah dari rokok perlahan meredup dan Jason pun terdiam.Beberapa saat kemudian, Rachel masuk sambil membawa teh yang baru diseduh. "Dokter Arya sudah pergi?”"Hm." Jason meletakkan rokoknya dan menerima teh dari tangannya.Rachel melirik punggung Jason, hatinya terasa agak sesak. Dia mengepalkan tangannya untuk menenangkan diri. "Jason, kenapa kamu menggantikan Janice menerima sembilan cambukan itu?
Tidak, ini tidak benar.Di kehidupan sebelumnya, Vania dan Elaine bahkan tidak saling mengenal. Janice dan Ivy juga tidak pernah bertemu dengan Elaine. Jadi, bagaimana mungkin kematian mereka berkaitan dengan Elaine?Sekarang, Vania yang wajahnya hancur dan kakinya patah telah kehilangan kewarasannya. Keluarga Tanaka telah mengurungnya di rumah sakit jiwa.Beberapa hari lalu, ada seorang netizen yang menjenguknya dan mengatakan bahwa Vania tersiksa hingga menjadi gila. Mungkin ini adalah hukuman terbaik baginya.Jadi, dengan kepribadian Elaine yang selalu berada di atas, mana mungkin dia mau berurusan dengan seorang pasien gangguan jiwa?Janice mengusap kepalanya yang terasa sakit. Dia masih tidak bisa menghubungkan semua kejadian ini. Tiba-tiba, dia teringat pada sesuatu, kerja sama bernilai puluhan triliun.Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan Elaine adalah Jason. Bagaimana jika penyebab kematian Zachary dan Ivy sebenarnya han
Janice menatap wajah Zachary. Tanpa sadar, pikirannya melayang ke pria misterius yang menikahi Elaine di kehidupan sebelumnya.Terlalu mirip. Namun, saat itu Zachary dan Ivy sudah meninggal. Janice sendiri yang mengurus segala keperluan untuk pemakaman. Karena kematian mereka, dia jatuh sakit selama setengah bulan.Janice tidak bisa tidur dengan punggung bersandar, jadi Zachary khawatir dia kedinginan. Dia lantas meminta asistennya untuk membelikan jaket bulu angsa yang ringan dan hangat."Cepat pakai. Kalau ibumu melihatmu seperti ini, dia pasti akan menangis diam-diam lagi." Setiap kalimat Zachary selalu berujung pada Ivy.Janice merasa terharu sekaligus berat untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya. Dia menggigit bibirnya, lalu bertanya, "Paman, apa yang dikatakan Bu Elaine tadi benar? Kamu rela diabaikan keluarga karena ibuku?"Tangan Zachary yang sedang membantu merapikan lengan bajunya sedikit terhenti. Dia tersenyum santai. "Apa yang kamu pikirkan? Aku memang
Seperti yang dikatakan Arya, Elaine bisa mengalahkan para pria dan naik ke posisi ini bukan tanpa alasan.Jadi, saat Janice membawa bukti untuk menghadapinya, itu sama saja seperti menyerahkan diri ke mulut harimau. Faktanya, dia datang bukan untuk menyerang, tetapi untuk memancing.Semakin buruk keadaannya terlihat, semakin besar kemungkinan Elaine percaya bahwa Janice sudah kehabisan akal.Dari cara Elaine berbicara kepada Zachary, Janice bisa melihat bahwa wanita itu memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak sudi bersaing dengan Ivy, apalagi merendahkan diri untuk berdamai dengan Zachary.Elaine ingin orang lain datang padanya, memohon belas kasihan. Dia menikmati perasaan berdiri di atas, mempermainkan hidup seseorang.Hanya saja, Ivy adalah istri Zachary. Tidak peduli sehebat apa Elaine, memprovokasi Ivy dengan cara seperti ini sama saja dengan menantang seluruh Keluarga Karim.Elaine mungkin tidak berani, kecuali dia memiliki dukungan. Benar saja, jawabannya pun terungkap. Tak d