"Kamu siapa? Dan ada perlu, apa?" Setelah menatap sebentar, Raihan menundukkan pandangannya karena tidak ingin menatap lawan jenis yang bukan muhrimnya terlalu lama. "Saya, Nabila, Abang. anaknya–Bu Hajjah Ema–salah satu anggota DPRD di kota ini," ucap wanita yang bernama Nabila tersebut. "Oh, iya, saya Raihan. Maaf, saya sedang sibuk," ucap Raihan dengan sopan, karena memang ia ingin mulai bekerja setelah selama dua bulan ia hanya berdiam diri meratapi kesedihannya setelah kepergian 'Nur'. "Nanti, bolehkah kita makan siang, bareng?" tanya wanita itu sambil berjalan ragu-ragu mendekat ke arah Raihan. "Maaf, saya sedang sibuk," ucap Raihan kalem sambil matanya berusaha fokus pada layar laptopnya, wanita yang bernama Nabila itu memberengut, lalu keluar dari ruangan kerja Raihan. "Mah, lelaki itu dingin sekali, bahkan dia tak menoleh pada Nabila, padahal Nabila sudah berhijab seperti yang Mamah usulkan," ucap Nabila berbicara melalui sambungan telepon pada ibunya. "Sabar Nabila, Ra
"Apa engkau yakin hendak pergi ke desa Asam Rawa?" tanya Umi Maryani sambil menatap iba pada Raihan. "Insya Allah Umi, terlalu sakit jika terus berada di tempat ini, bayang-bayang Nur semakin membuat Raihan semakin tersiksa.""Bagaimana dengan bisnis yang sudah kau rintis?""Kaki tangan Raihan banyak, Mi, lagian sekarang semua serba canggih, memantau pekerjaan bisa dimana saja, lagian Raihan juga capek dengan segala pendekatan anak dari teman-teman Umi, yang terakhir Raihan difitnah melecehkan, dan ada lagi, sms misterius, Raihan akan mengganti nomor biar tidak diganggu lagi.""Maafkan Umi telah merekomendasikan beberapa anak temanya Umi, cuma pengen lihat kamu move on dan tidak terpuruk lagi, Umi cuma takut kejiwaan terganggu," ucap Umi Maryani dengan sangat hati, Raihan hanya mesem. "Insya Allah enggak Umi, Raihan cuma ingin menenangkan hati sementara waktu sambil melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia jika bermanfaat bagi sesama, siapa tau denga
"Tenang-tenang bapak-bapak, ibu-ibu, gadis ini adikku yang baru pulang dari Jakarta, jadi wajar saja aku menjaganya dan mengajaknya pulang, karena aku takut dia berkeliaran di kota medan ini.""Tapi ga perlu pakai memaksa kan Kak? Aku ini sudah 23tahun, bukan boneka yang harus diseret seperti itu!""Kau mau kemana rupanya Dek?" tanya seorang Bapak. "Mau ke desa Asam Rawa, dekat Rantau Bersiul.""Kenapa kau tak mau ikut kakakmu, ini?""Ada sesuatu hal yang tidak bisa saya jelaskan disini Pak, intinya saya tidak mau ikut, apalagi sedari tadi lelaki itu, matanya jelalatan melihat saya," ucap Nirmala sambil menunjuk si Rudi, lelaki itu menundukkan kepalanya semakin dalam karena kini semua mata memandang ke arahnya dengan tatapan geram. "Kalau adek ini tak mau ikut dengan kalian, janganlah kalian paksa, main tarik saja kayak karung beras kalian bikin."Dengan wajah tekuk sembilan Melda dan Rudi pergi meninggalkan bandara karena merasa tidak enak, gerak gerik mereka di pantau banyak mata.
"Allahuakbar!" seru Nirmala, tidak habis pikir dengan kelakuan iparnya itu. "Bohong kau, Nirmala.""Bu, ayo cepat kita habiskan minumannya, kita kembali ke bus saja." Nirmala dan si ibu yang bernama Nek Halimah cepat menghabiskan teh mereka yang memang sudah hangat dan pas untuk diminum, setelah membayar lalu Nirmala menggandeng tangan Nek Halimah kembali masuk ke dalam bus. Tidak ia hiraukan ucapan-ucapan Melda, sesekali Nirmala hanya menarik nafas, ingin memaki, tapi ingat lagi petuah almarhum ayahnya jika kita melawan orang gila maka kita sama saja gilanya seperti orang tersebut, jika bisa menghindar ya menghindarlah kecuali kalau terdesak atau kelewat batas maka kau harus bersuara untuk membungkam suatu kemungkaran. Tidak berapa lama sang supir dan kenek juga naik ke dalam bus karena memang sudah waktunya jalan, Melda yang awalnya hendak ikut naik mengikuti Nirmala mengurungkan niatnya dan segera turun saat mesin bus dinyalakan dan kernet hendak menutup pintu bus.Bus malam anta
Bu Herlina menggeleng lemah, seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat tapi foto di ponsel Melda seolah menjelaskan semuanya. "Tidak mungkin, Nir–Nirmala putriku." Bu Herlina menggeleng sekali lagi, rasanya sulit untuk percaya. "Sudah jelas-jelas bukti terpampang dengan nyata, malah Ibu abaikan." Melda meyakinkan lagi. Bu Herlina tampak sedih, kedua matanya berembun. "Sudah Bu, jangan dipikirkan, nanti kita tanya saja pada Nirmala, saya juga tidak percaya kalau Nirmala begitu." Yati menenangkan hati Bu Herlina, sedikit banyak Yati sudah paham betul dengan perangai menantu Bu Herlina itu, mulutnya pedas, perangainya kasar kalau melihat orang suka judes dan suka mengarang cerita, karena Yati salah satu orang yang sering Melda fitnah, dituduh mencuri jeruk di kulkas, mencuri lipstik. Kalau tidak mengingat kebaikan kedua orang tua Nirmala, mungkin Yati tidak betah kerja di rumah itu. "Heh! Pembantu, jangan ikut campur, ini urusan keluargaku, mending kau belikan aku lontong sayur d
"Setelah ini Nirmala mau keliling kampung Ya Mak, mau lihat-lihat perkembangan kampung ini, oiya Mak rencana Nirmala mau buka usaha.""Usaha apa Nir?" "Di kampung kita ini kan penghasil sawit dan nanas paling tinggi dari daerah lain, jadi Nur mau buat sapu lidi dari batang sawit, daripada terbuang begitu saja saat di tunas atau dipelepahin jadi lebih baik dimanfaatkan, usaha ini bisa memanfaatkan tenaga wanita saat membersihkan lidi dari daun, Nirmala kepikiran begitu banyak janda muda di kampung kita karena korban nikah muda, mantan suami mereka tidak mau menafkahi, sulitnya mencari pekerjaan banyak yang salah jalan, mereka mencari jalan singkat dengan menjadi PSK atau TKW yang belum tentu jelas agencynya jadi saat di negeri orang banyak yang dijadikan penjaja s*x komersial.""Masya Allah … ide bagus tuh Nirmala, tapi masalahnya kemana mau jual sapu lidi itu, karena kebanyakan warga sini pasti buat sendiri, kau bisa lihat sendiri kan Nirmala, pohon kelapa bertebaran dimana-mana, kal
"Allahu Akbar!" Nirmala menepuk-nepuk bagian dada karena kaget dengan suara bantingan pintu, lalu ia mencoba cuek dan mengeluarkan kunci serep yang memang ia miliki, sebenarnya ia sudah pegang semenjak dirumah tapi ia ingin tau saja sampai mana kelicikan iparnya dan adiknya itu, semenjak Melda melarang untuk balik ke kampung bahkan saat tragedi di Bandara membuat Nirmala ingin menguak tabir kebenaran, apa yang sebenarnya terjadi. "Bawa aja Nirmala motornya, duh gusti, kok ada ya manusia macam begitu," ujar Yati yang merasa geram. Nirmala menyalakan mesin motor dan menjalankannya. "Eh! Maling! Maling!"Mela berteriak dari jendela, terpaksa Nirmala menghentikan motor matic tersebut karena warga ada yang datang. "Mana malingnya Mela?" Seorang bapak yang sedang memakai kaos partai yang sudah lusuh bertanya. "Iya, mana malingnya, siang-siang sudah berani maling," ucap seorang pemuda. "Itulah di depan kalian itu, hajar saja, dia mau mencuri sepeda motorku." Mela menunjuk Nirmala. "As
Rani tampak diam sejenak, masih segar diingatannya saat Melda bermesraan dengan lelaki yang bukan suaminya, Rani menimang-nimang apakah ia memberi tahu Nirmala atau tidak. "Kenapa Ran? Emang kenapa dengan Kak Melda?""Ah–tidak apa-apa Nirmala." Rani belum cukup berani memberitahu Nirmala, takut dibilang Fitnah, lagian masalah hidup Rani sudah cukup banyak, tidak mau dilabrak Melda karena masalah ini, biarlah suaminya atau keluarga Melda tau dengan sendirinya tapi tidak dari mulut Rani. "Ran, kamu tau lelaki yang mengajar di TK Al Masliah, Tk yang sebelum pertigaan yang kondisinya sudah tidak layak itu.""Kenapa Nirmala? Aku tidak tau pasti orangnya yang mana. Tapi setahuku dari si Tatik tetangga samping kiriku ini pernah cerita tentang beliau, katanya banyak gadis kampung sini yang suka dengannya, tapi lelaki itu sosok misterius, datang dari kota dan mengajar di tempat kumuh seperti itu, entah apa maksud dan tujuannya.""Aku ada keinginan memperbaiki sekolah itu, dan membeli beberap