Namaku Fitri Amelia, aku lahir dari pasangan Bapak Sucipto dan Ibu Beti, sedari kecil, kedua orang tuaku begitu menyayangiku. Apapun yang aku inginkan, selalu menuruti walaupun dalam kondisi ekonomi yang tidak berlebihan, bahkan jika aku salah pun, mereka masih tetap membelaku, karena saat hamil dan melahirkan, perjuangan mamak begitu berat karena ia didiagnosa memiliki penyakit kista, seiring pertumbuhan janin, kista di rahim mamak juga ikut membesar sehingga pendarahan sering terjadi, tetapi Allah masih mengizinkan aku untuk hadir kedunia ini walaupun dengan resiko yang besar dan melalui operasi, sehingga setelah kelahiranku, mamak divonis tidak bisa mengandung lagi. Karena di vonis seperti itu, mamak dan bapak sangat mencurahkan kasih sayangnya secara berlebihan, dan kadang menghalalkan segala cara untuk membahagiakanku. Aku memiliki tetangga yang anaknya seumuran denganku, namanya Nuri dan biasa dipanggil Nur, aku sedikit terganggu dengan kehadirannya, karena biasanya anak seusi
Fitri dikembalikan pada pihak kepolisian dengan surat pernyataan gangguan kejiwaan, setelah dari kepolisian lalu merujuk ke rumah sakit jiwa. Ada beberapa kriteria pasien yang diharuskan menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, yaitu, pasien menunjukkan gejala dan niat melakukan bunuh diri, termasuk kecenderungan untuk melukai diri sendiri atau orang lain. Pasien dengan gejala psikosis atau gangguan halusinasi.Setelah dari psikiater, pihak kepolisian menyerahkan pada hakim, setelah melakukan observasi dan dokter khusus kejiwaan yang sengaja didatangkan pengadilan, Fitri memang dinyatakan sebagai pasien dengan pengidap penyakit bipolar. Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang ditandai dengan perubahan yang drastis pada suasana hati. Penderita gangguan ini bisa merasa sangat bahagia kemudian berubah menjadi sangat sedih. Fitri kembali diserahkan ke pengadilan dan hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa, jadi Fitri bisa beba
Nur menangkap sosok Fitri di dalam rumah Bu Beti, kali ini Nur merasa cukup yakin jika ia tidak salah lihat. "Bang, boleh berhenti sebentar?""Untuk apa, Nur? Takutnya kita terlambat."Rizki terus melajukan mobil menuju kantor, Nur sedikit kesal, apa salahnya berhenti sebentar, ingin protes tapi ada rasa sungkan di hati karena Rizki sudah berbaik hati memberikan tumpangan. Hanya alunan musik yang terdengar, Rizki fokus menyetir. Nur masih memikirkan sosok Fitri yang ia lihat, tidak mungkin ia salah lihat. "Nur, apakah kamu pernah pacaran?" Rizki melayangkan pertanyaan, Nur yang sedang melamun tampak bengong. "Abang tanya apa, tadi?""Nur pernah pacaran?""Tidak Bang, tidak pernah." Nur menjawab pelan."Kapan hari, lelaki yang di rumah sakit itu, suaminya teman Nur, apakah Nur ada rasa padanya," tanya Rizki dengan hati-hati."Emang kenapa Bang? Bang Raihan? Dia lelaki yang baik lagi sholeh, Nur tidak ada rasa," ucap Nur pelan, walaupun jauh dari dalam hati, ia memiliki perasaan pad
Nur masih diam, begitupun Raihan, ada keinginan hendak pulang naik angkutan umum tapi mengingat luka yang belum kering, Nur menjadi urung. "Nur, apakah nyaman atau merasa terganggu jika pulang berdua sama abang?"Nur hanya diam dan menimbang-nimbang, tadi pagi saat berangkat kerja bersama Rizki, Nur merasa biasa saja, tetapi kenapa sekarang saat bersama Raihan ia merasa ragu, bukankah lebih aman jika bersama Raihan, karena sedikit banyak ia tahu bagaimana lelaki itu. Nur menyadari, rasa ragunya lebih kepada rasa grogi, karena Nur mempunyai perasaan yang selama ini coba ia buang jauh, tapi sekarang harus satu mobil dengan lelaki itu. "Ya sudah, pulang sekarang saja Bang," ucap Nur pelan, Raihan membukakan pintu tapi yang ia buka pintu tengah.""Jangan dekat-dekat, bukan muhrim, lagian Abang paham, pasti Nur merasa tidak nyaman kan?""Terima-kasih ya Bang."Sepanjang perjalanan pulang tiada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Raihan maupun Nur, hanya alunan musik yang mengiringi p
"Fitri mau pulang Bang, ini namanya jebakan," protes Fitri saat Raihan ingin mengajaknya masuk. "Fit, kenapa seperti ini, semua demi kebaikanmu Fit, kalau memang kau sakit, kita periksa, bagian mana yang sakit, biar bisa diobati," bujuk Raihan. "Nggak, Fitri ga mau! Fitri cuma mau pulang, Abang antarkanlah Fitri pulang!" Raihan keluar mobil, lalu membuka pintu mobil yang disebelah Fitri dan membujuk wanita itu agar mau keluar, Raihan paham betul watak wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya, kalau dipaksa, pasti akan berontak, jadi Raihan berusaha membujuk sambil mikir keras pakai cara apa agar wanita itu mau periksa. "Ga sabaran aku Nur, pengen aku tarik saja rambutnya itu," bisik Maya pada Nur. "Sabar Maya sayang, biarin saja Bang Raihan membujuk istrinya itu," ucap Nur pelan. "Sebentar lagi akan menjadi mantan, ketuk palu baru gas, Nur.""Udah kayak kereta aja pake di gas segala May, lagian aku takut May," ucap Nur sedih sambil melihat Raihan dengan sabar memb
"Kamu saudaranya Riki? Ohh … pantesan selama ini aku merasa ada yang aneh dengan kamu, ternyata kamu saudara Riki." Nur mundur beberapa langkah dari Rizki."Nur, memang benar aku saudaranya Riki, tapi aku tidak ada niat jahat sama kamu, serius.""Sudah cukup dramanya, Rizki, mulai sekarang menjauhlah dari Nur," ucap Raihan tenang tapi penuh penegasan. "Diam kau, mending kau urus istrimu yang sudah menyakiti Nur, kalian berdua suami istri sama saja, taunya hanya bisa menyakiti Nur, iya memang benar aku saudara Riki, tetapi tidak ada niat sedikitpun buat menyakiti Nur, aku benar-benar jatuh hati pada kesederhanaannya.""Sudah Bang Rizki, cukup, jangan ngegombal lagi, mulai sekarang menjauhlah dariku." "Ayo Nur, kita pergi dari sini," ajak Raihan pada Nur, wanita berjilbab panjang itu tampak ragu. "Kamu lebih memilih pria yang masih berstatus suami orang, apa kamu mau dicap sebagai pelakor." "Aku sudah resmi bercerai dengan Fitri, Nur, tadi siang baru ketuk palu, jadi statusku duda b
Kembali ke POV Nur. Sontak saja aku kaget saat mamak berkata jika Rizki datang melamar, nekat juga tuh orang, ingin protes karena lelaki itu seenaknya datang begitu saja, tetapi melihat wajah bahagia mamak, jadi urung. "Apalagi Nur, cepat ganti baju, pakai gamis terbaikmu," ucap mamak yang sudah berganti busana dengan gamis batik yang aku belikan lebaran dua tahun yang lalu."Mak, sini dulu Mak.""Apa?""Walaupun si Rizki ngelamar tapi bukan berarti Nur menerima begitu saja," protesku pada mamak."Iya, setidaknya mamak pengen tau bagaimana rasanya jika anak dilamar, selama ini mamak hanya menyaksikan anak tetangga saja, barusan udah mamak telp Kak Biah buat minta tolong sama suaminya untuk belikan sekotak air mineral dan cemilan, makanya cepat ganti bajumu." Ya Allah … sebegitu bahagianya mamak saat ada orang yang melamarku, tidak peduli orang itu siapa, andai yang sedang melamar itu orang yang aku harapkan pasti lain ceritanya. "Apalagi … kok malah bengong, cepatlah Nur ganti baj
"Lamarannya mendadak ya, biasanya pasti ada sesuatu, jangan-jangan sudah tekdung atau sudah di grepe-grepe tuh si pertu alias perawan tua," ujar Bu Beti saat Bu Zubaidah membersihkan bunga-bunga yang berada di depan rumahnya dari rumput-rumput kecil yang mengganggu. "Hushh … jangan ngomong sembarangan, calonya Nur itu ganteng kali, badannya kekar, ga kalah sama Raihan– menantunya Bu Beti, eh udah jadi mantan menantu ya," celetuk Bu Miah, salah satu tetangga Bu Beti maupun Bu Zubaidah. "Palingan dapat jodoh karena main dukun, pikirlah pake logika, mana ada orang ganteng kayak gitu mau sama perawan tua," ucap Bu Beti dengan suara lantang, sengaja agar Bu Zubaidah mendengar. Bu Zubaidah hanya menghela nafas, buru-buru ia mengumpulkan rumput yang sudah sedari tadi ia cabuti dari pot-pot tanaman di halaman kecil depan rumahnya, setelah terkumpul bergegas Bu Zubaidah masuk ke dalam rumahnya dan tidak menghiraukan ucapan Bu Beti, wanita tua nan bersahaja itu menganggap jika Bu Beti iri ka