"Berlututlah dan letakkan tanganmu di belakang kepala! Ini peringatan kedua!" suara wanita itu terdengar lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Ryan tetap tidak bergerak. Ia hanya menatap polisi wanita itu, mengamati sosoknya yang mencolok. Wanita itu berdiri tegak dengan postur yang menunjukkan kewibawaan, tingginya sekitar 170 cm dengan tubuh ramping namun berotot. Rambut hitamnya yang panjang diikat rapi dalam sanggul tinggi, memberikan kesan profesional sekaligus feminin. Wajahnya oval dengan tulang pipi tinggi dan mata coklat gelap yang tajam. Seragam polisinya yang rapi membalut tubuhnya dengan pas, menegaskan lekuk tubuhnya yang proporsional.Saat petugas wanita itu hendak memberinya peringatan ketiga, Adel bergegas maju dan meraih tangan Ryan tanpa ragu-ragu.Dia mengangkat keduanya ke atas kepala Ryan dan memaksa Ryan untuk berlutut.Setelah melakukan semua itu, Adel berlutut di samping Ryan. Dia berbisik, "Sekarang bukan saatnya melamun. Mereka akan benar-benar memb
"Tidak mungkin..."Patrick Armstrong memutar ulang rekaman itu untuk kesekian kalinya. Setiap kali ia menonton, rasa takut yang asing semakin mencengkeram hatinya. Tanpa sadar, sandwich di tangannya jatuh ke lantai, remah-remahnya berserakan di atas karpet markas Eagle Squad.Matanya terpaku pada wajah seorang pemuda di layar laptop. Wajah yang memancarkan kepercayaan diri, kebanggaan, dan ketidakpedulian sekaligus.Patrick menatap Ryan dalam video itu tanpa berkedip, merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—ketakutan murni yang menusuk hingga ke sumsum tulangnya.Yang lebih mengejutkan, Patrick bahkan belum pernah bertemu langsung dengan Ryan. Bagaimana bisa rekaman buram ini membangkitkan perasaan seperti itu? Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir rasa takut yang kini merayapi seluruh tubuhnya.Sebagai Pimpinan Unit Khusus Eagle Squad, Patrick telah menghadapi berbagai situasi mematikan. Ia dilatih sejak usia muda dalam berbagai seni bela diri dan taktik mi
*Lima tahun yang lalu*"Kau baik-baik saja, anak muda?" sebuah suara serak terdengar.Ryan terbatuk-batuk, memuntahkan air dari paru-parunya sebelum mendongak untuk melihat penolongnya–seorang pria tua dengan jenggot putih panjang dan mata yang tajam namun penuh kebijaksanaan."Si-siapa kau?" Ryan bertanya di antara napasnya yang masih tersengal.Pria tua itu tersenyum tipis. "Namaku Xiao Yan. Dan kau, anak muda?""Ryan... Ryan Pendragon," jawabnya lemah.Xiao Yan mengangguk pelan, seolah nama itu memiliki arti khusus baginya. "Ryan Pendragon, maukah kau menjadi muridku?"Pertanyaan itu mengejutkan Ryan. Ia baru saja diselamatkan dari kematian, dan kini orang asing ini menawarkannya untuk menjadi murid?"A-apa? Murid? Tapi kenapa? Aku bahkan tidak mengenalmu," Ryan tergagap, kebingungan jelas terpancar di wajahnya.Xiao Yan menatapnya dalam-dalam. "Karena aku tahu kau ingin membalas dendam."Ma
Malam telah larut di Kota Golden River. Langit gelap gulita, tanpa secercah pun cahaya bulan yang biasanya menerangi jalanan kota. Hujan deras mengguyur tanpa henti, menciptakan tirai air yang mengaburkan pandangan. Di tengah badai ini, Perumahan Mutiara berdiri kokoh, seolah menantang murka alam. Di ujung kompleks perumahan mewah itu, rumah nomor satu milik keluarga Shaw menjulang angkuh—sebuah properti bernilai 100 miliar yang membentang seluas belasan hektar. Kilatan petir sesekali menyinari garis-garis arsitektur megahnya, memperlihatkan sekilas taman yang luas, kolam renang mewah, dan berbagai fasilitas liburan pribadi yang tersembunyi di balik pagar tinggi.Namun malam ini, suasana di kediaman mewah itu jauh dari ketenangan yang biasa menyelimutinya. Di ruang tamu yang luas, Magnus Shaw mondar-mandir dengan gelisah, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Effendy, putranya, duduk di sofa,
Dalam sekejap mata, Ryan bergerak. Telapak tangannya terbuka, dan udara di sekitarnya seolah memadat, membentuk panah api berwarna merah. Dengan suara bergemuruh, panah itu melesat ke arah Effendy. JLEB!Panah energi itu menembus tenggorokan Effendy yang tak sempat melarikan diri. Tubuhnya ambruk ke lantai, tak bergerak. Sementara kepalanya, terus menggelinding hingga berhenti tepat di kaki Magnus."Sekarang, apa yang kau katakan tentangku?" Suara Ryan bergema di seluruh ruangan, dingin dan menusuk.Wajah Magnus pucat pasi, ketika menatap potongan kepala putranya yang matanya terbelalak lebar ke arahnya.Kini, Magnus sadar, bahwa ia tak akan bisa lolos dari kematian malam ini. Dengan terhuyung, ia jatuh terduduk di sofa, seolah menua sepuluh tahun dalam sekejap."Aku tahu aku akan mati malam ini," ujar Magnus, suaranya lemah dan putus asa. "Tapi setidaknya beri aku alasan mengapa kau melakukan ini pada kami. Mengapa? K
Suara ayam jantan memecah keheningan pagi, menandai awal hari baru di Kota Golden River.Ryan membuka matanya perlahan, mengakhiri sesi meditasinya yang berlangsung sepanjang malam.Wajahnya tenang, tak menunjukkan setitik pun ketegangan atau rasa bersalah atas peristiwa berdarah yang baru saja ia lakukan beberapa jam lalu."Hm, sudah pagi rupanya," gumamnya sambil meregangkan tubuh.Ia melirik ke arah jendela, mengamati langit yang mulai berubah warna dari gelap pekat menjadi semburat jingga keemasan.Suara-suara kota yang mulai bangun terdengar samar dari kejauhan.Ryan menghela napas panjang.Awalnya, i
"Apa-apaan ini...?" Ryan bergumam, suaranya terdengar aneh di telinganya sendiri.Kegelapan pekat menyelimuti sekelilingnya, begitu pekat hingga ia nyaris tidak bisa melihat tangannya sendiri. Meski begitu, Ryan tetap menjaga ketenangannya.Udara di sekitarnya terasa berat dan dingin, menusuk hingga ke tulang. Bau tanah basah dan logam berkarat memenuhi indra penciumannya, membuat perutnya sedikit mual.Perlahan, matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan. Siluet-siluet samar mulai terlihat, membentuk pemandangan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ribuan—tidak, mungkin puluhan ribu—pedang tertancap di tanah sejauh mata memandang.Pedang-pedang itu membentuk formasi rumit, seolah menceritakan kisah kuno yang telah lama terlupakan.
Ryan membuka pintu kamarnya dan langsung berhadapan dengan Adel yang sudah berpakaian rapi, siap untuk berangkat kerja.Rambut hitamnya yang panjang diikat rapi, blazer dan rok pensil membalut tubuhnya dengan sempurna.Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Adel tampak sedikit canggung, matanya menghindari tatapan Ryan, dan ada semburat merah tipis di pipinya.Ryan tidak bisa menahan senyumnya. Adel yang biasanya tegas dan percaya diri kini terlihat begitu menggemaskan."Selamat pagi, Nona Cantik," sapa Ryan dengan nada menggoda. "Kau terlihat luar biasa seperti biasa."Adel berdeham, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Pagi. Aku sudah menyiapkan sarapan. Sebaiknya kau cepat makan sebelum dingin."
Di Guild Round Table, Ryan membuka mata tepat pukul lima sore. Ia duduk tegak, merasakan luka-lukanya telah pulih signifikan. Yang mengejutkan, entah bagaimana ia berhasil menembus ke ranah Golden Core tingkat kelima. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Wajah Ryan menunjukkan sedikit keterkejutan. Ia terluka parah dan belum mengedarkan teknik kultivasi. Bagaimana mungkin bisa menembus tingkatan dengan sendirinya? Ini sungguh aneh. Apakah hal seperti ini benar-benar mungkin? Saat Ryan masih terheran-heran dengan terobosan tiba-tiba ini, perhatiannya tertuju pada batu giok naga yang melayang di udara. Energi qi mengalir deras dari batu itu memasuki tubuhnya. "Mungkinkah karena Kuburan Pedang?" gumamnya sambil mengepalkan tangan. Batu Giok Naga itu kembali muncul di telapak tangannya. "Larry seharusnya sudah membawa ayah kembali sekarang." Ryan menatap batu di tangannya dengan penasaran. "Aku juga harus menanyakan padanya tentang batu ini. Apa sebenarnya hubungan antara Keluar
Larry terjebak dalam situasi sulit. Di satu sisi ada perintah Ryan, di sisi lain dia berhadapan dengan Guardian yang bahkan tidak segan mengancamnya secara terbuka. Pada saat itu, tetua Sekte Hell Blood keluar dengan senyum menjilat. Dia membungkuk dalam pada Zeke Fernando. "Tetua Zeke, sungguh suatu kehormatan Anda berada di sini!" Larry tertegun. Zeke Fernando adalah tetua Sekte Hell Blood? Dan dari cara tetua lain membungkuk padanya, jelas statusnya sangat tinggi dalam sekte tersebut! Amarah membuncah dalam dada Larry saat menyadari pengkhianatan ini. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Zeke Fernando melirik tetua yang membungkuk padanya dan mendengus. "Dasar tidak berguna! Kau bahkan tidak bisa menangani masalah kecil seperti ini dengan benar. Memalukan nama Sekte Hell Blood!" Wajah tetua itu memucat. Dia hanya bisa menunduk dalam-dalam, tidak berani membantah. Setelah menimbang situasi dengan cermat, Larry berkata, "Tuanku, aku bisa melepaskan
Setelah beberapa saat menenangkan diri, tetua itu mengambil keputusan. "Jika tenaga medis Nexopolis tidak cukup kompeten, kita akan membawa mereka ke Gunung Langit Biru! Para praktisi di sana pasti bisa menyembuhkan mereka." "Ya, sebaiknya kita segera pergi dari sini..." Namun sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, seorang pelayan bergegas masuk dengan wajah panik. "Tuan! Gawat! Kediaman ini telah dikepung pasukan praktisi! Larry Brave sudah menerobos masuk!" "Apa?!" Aaron Ravenclaw menggeram marah. "Larry berani menyerang Keluarga Ravenclaw?" Dia melirik tetua Sekte Hell Blood dan membungkuk hormat. "Tuan, saya akan segera kembali." Tetua itu menatap rekannya yang terluka dan Lucas Ravenclaw sebelum mengangguk. "Jika ada masalah, beritahu saja. Kekuatan Sekte Hell Blood bukan sesuatu yang bisa diganggu semut-semut kecil." Aaron Ravenclaw bergegas menuju aula utama dimana lebih dari selusin praktisi keluarga sudah bersiaga. "Larry," sapanya dengan tawa mengejek. "Bukankah kau p
Larry menyapu pandangannya ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah arena sebelum beralih pada kerumunan penonton. Hanya ada satu emosi yang terpancar dari mata mereka–ketakutan yang begitu dalam. Apa yang baru saja terjadi di sini telah meninggalkan trauma yang tak terhapuskan. Larry bisa merasakannya dari atmosfer mencekam yang menyelimuti arena. "Apa sebenarnya yang terjadi?" gumamnya sambil mengedarkan pandangan. Matanya menangkap sosok pemuda yang dikenalnya–salah satu murid dari akademi bela diri tempatnya mengajar dulu. Tanpa ragu Larry menghampirinya. "Kau, ceritakan padaku apa yang terjadi di sini!" Tubuh pemuda itu masih gemetar hebat. Dengan terbata dia menjawab, "Pa-paman Larry... Ryan, dia..." "Ada apa dengan Ryan?" desak Larry. "Dia melumpuhkan Lucas Ravenclaw..." Larry mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" "Bahkan para tetua Sekte Hell Blood tidak sebanding dengannya..." lanjut pemuda itu dengan suara bergetar. "Ryan mengalahkan mereka semua dengan mudah!"
Pemuda yang tadinya dianggap sombong dan tidak tahu diri itu ternyata masih berdiri tegak di arena. Meski tampak sangat lemah, fakta bahwa dia masih hidup membuat semua orang tercengang. "Dia... dia masih hidup?" "Bagaimana mungkin? Anak ini benar-benar beruntung!" Di tengah bisik-bisik kebingungan, seseorang tiba-tiba menunjuk ke suatu arah dengan mata terbelalak. "Lihat! Guardian itu... Guardian itu mati!" Serentak semua mata mengikuti arah yang ditunjuk. Di kejauhan, tubuh sang Guardian tertancap kaku di dinding, berlumuran darah dan tak bernyawa. Keheningan mencekam menyelimuti arena. Tidak ada yang berani bersuara, semua wajah dipenuhi ketidakpercayaan. Dengan satu serangan pedang, Ryan telah membunuh seorang Guardian! "Mustahil..." bisik seseorang gemetar. "Sejak kapan Guardian menjadi selemah ini?" Semua orang menghirup udara dingin saat mata mereka beralih pada sosok Ryan. Tubuh mereka gemetar tanpa bisa dikontrol. Pemuda yang tadinya mereka remehkan kini tamp
Selama ini Ryan menyimpan Pedang Clarent, menunggu momen yang tepat. Sebelumnya ia masih waspada terhadap para praktisi tersembunyi yang mungkin mengawasi pertarungan. Tapi sekarang, meski enggan menggunakannya, Ryan tidak punya pilihan lain. Guardian sialan ini benar-benar membuatnya murka. Menyerahkan teknik bela dirinya? Melumpuhkan kultivasi? Ide konyol macam apa itu? "Aku memberimu waktu sepuluh detik untuk memikirkannya," ucap Guardian itu dengan nada angkuh. "Sepuluh..." "Tidak perlu menghitung," potong Ryan datar. "Aku menolak." Ekspresi Guardian itu membeku sejenak sebelum wajahnya dipenuhi amarah. "Karena kau menolak, aku akan menghargai keinginanmu! Kau benar-benar kelelahan dan sangat lemah, jadi mari kita lihat bagaimana rencanamu untuk bertahan hidup." Detik berikutnya, hembusan angin kencang menerpa arena saat gelombang tekanan tak terlihat menyapu. Guardian itu berdiri dengan angkuh, memancarkan aura bagai dewa yang tak tersentuh. Kepala Keluarga Jorge
"Gila... anak ini benar-benar gila!" gumam sang tetua sambil memuntahkan darah. "Dia tidak takut mati? Teknik rahasia seperti itu pasti memiliki efek samping yang mengerikan!" Ryan sendiri kini dalam kondisi tidak lebih baik. Efek jimat spiritual telah sepenuhnya menghilang, membuat auranya melemah drastis. Ia terhuyung mundur dan duduk bersandar ke dinding, napasnya terengah-engah. Keringat membasahi seluruh tubuhnya–serangan tadi benar-benar telah menguras habis tenaganya. Seluruh arena menjadi sunyi. Banyak pasang mata memandang Ryan dengan simpati saat melihat wajah kedua Guardian yang berubah pucat pasi karena murka. Guardian yang mengenakan setelan jas hitam melangkah maju, matanya berkilat berbahaya saat menatap Ryan. "Hmph! Kau terlalu percaya diri!" hardiknya. "Beraninya kau bertindak begitu lancang setelah aku memberi perintah untuk berhenti! Kau benar-benar sudah bosan hidup!" Tanpa peringatan, Guardian itu melancarkan serangan telapak tangan ke arah Ryan yang mas
Sekali lagi Ryan muncul di depan tetua yang masih terguncang. Tinjunya terayun, diselimuti naga darah yang meraung ganas. Serangan ini membawa aura kematian yang membuat sang tetua gemetar ketakutan. Namun di saat kritis, tetua itu melakukan hal tak terduga. Dia mencengkeram leher Simon Helion yang berdiri di dekatnya dan melemparkan pria malang itu sebagai tameng manusia. Ryan yang telah berkomitmen pada serangannya tak bisa menghentikan momentum pukulannya. BOOM! Darah menyembur dari mulut Simon Helion. Tubuhnya terpental bagai peluru meriam, menghantam dinding dengan suara mengerikan. Dadanya hancur cekung ke dalam. Dalam sekejap, cahaya kehidupan menghilang dari matanya. "Bawa pergi Lucas dan kalahkan anak ini terlebih dahulu!" teriak sang tetua panik pada rekannya. "Kalau tidak, akan ada masalah yang tak ada habisnya jika dia hidup!" "Aaron Ravenclaw! Apakah kamu tidak ingin membalaskan dendam putramu? Ayo serang bersama!" "Baik!" Aaron Ravenclaw menyahut penuh dendam.
"Beraninya kau!" Tetua itu meraung murka. Dia menyerbu ke arah Ryan dengan kecepatan yang meningkat drastis. Kali ini, kekuatan di kipas lipatnya berlipat ganda saat bertabrakan dengan Pedang Suci Caliburn. Tang! Pedang Suci Caliburn terlempar dari tangan Ryan, berputar di udara sebelum menancap ke tanah beberapa meter dari sana. Ryan sendiri terpaksa mundur beberapa langkah untuk meredam dampak benturan. 'Situasi mulai tidak menguntungkan,' pikir Ryan sambil menilai kondisinya. Jika ia berada di puncak kondisi, melawan tetua ini secara seimbang bukanlah masalah besar. Namun penggunaan jurus kedua dari teknik Pedang Pembelah Langit sebelumnya telah menguras hampir seluruh tenaganya. Lebih menyulitkan lagi, saat ini Ryan tidak bisa meminjam kekuatan dari Kuburan Pedang. Peter Carter juga telah memperingatkan bahwa menggunakan jimat iblis dalam kondisi lemah bisa berakibat fatal. Tapi, bukan berarti Ryan tidak memiliki jimat lainnya. "Bocah, ini harga dari kesombonganmu.