Share

Bab 6 - Datangnya Magnus Shaw

Beberapa waktu berlalu, dan suasana di ruangan itu semakin mencekam. 

Adel, dengan wajah pucat, mencondongkan tubuhnya ke arah Ryan.

"Dengar," bisiknya, suaranya bergetar, "kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Keluarga Shaw mungkin baru naik daun dalam lima tahun terakhir, tapi pengaruh mereka di Golden River tidak bisa diremehkan."

Ryan menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Oh ya? Ceritakan padaku."

Adel menarik napas dalam-dalam, matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Keluarga Shaw... mereka bukan sekadar keluarga kaya biasa. Lima tahun lalu, mereka hanya pemilik beberapa properti di Golden River. Tapi sekarang? Mereka menguasai hampir setengah pasar real estate kota ini."

Ryan mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit sedikit mendengar perkembangan pesat keluarga Shaw.

"Bukan hanya itu," Adel melanjutkan, suaranya semakin pelan. "Mereka punya koneksi politik yang kuat. Walikota, kepala kepolisian, bahkan beberapa anggota dewan kota—semuanya berada di bawah pengaruh Shaw. Bisnis mereka merambah ke berbagai sektor: perbankan, teknologi, bahkan media massa."

"Seberapa kuat pengaruh mereka?" tanya Ryan, nada suaranya tenang namun penuh keingintahuan.

Adel merendahkan suaranya hingga nyaris berbisik. "Sangat kuat. Tahun lalu, ada pengusaha yang mencoba bersaing dengan mereka di proyek pembangunan mall baru. Dalam seminggu, semua izin bisnisnya dicabut, rekeningnya dibekukan, dan dia terpaksa meninggalkan kota. Itulah kekuatan Shaw di Golden River."

Ryan terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Lalu, tiba-tiba ia tersenyum lebar, membuat Adel tersentak kaget.

"Terima kasih, Adel," ujar Ryan, nada suaranya ringan seolah mereka baru saja membicarakan cuaca. "Kau baru saja memberiku informasi yang sangat berharga. Aku berhutang padamu."

Adel menggeleng frustasi. "Ini bukan lelucon! Kau harus pergi dari sini. Sekarang." 

Dia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah kartu dan kunci. "Ini, ambillah. Kartu ini berisi semua tabunganku, ada sekitar 600 juta di dalamnya.’

“Kemudian, kunci ini untuk mobilku di parkiran. Pergilah sejauh mungkin dan jangan pernah kembali," tambahnya.

Ryan menatap benda-benda di tangannya, lalu beralih ke wajah Adel. Ia tidak menyangka teman SMP-nya ini akan begitu peduli padanya di saat genting seperti ini.

"Bagaimana denganmu?" tanya Ryan, matanya menyiratkan kekhawatiran.

Adel tersenyum lemah. "Jangan pikirkan aku. Aku hanya seorang gadis, mereka tidak akan membunuhku. Tapi kau... jika tidak pergi sekarang, semuanya akan terlambat."

Sebelum Ryan bisa membalas, sebuah suara menggelegar dari luar ruangan.

"Tidak ada yang boleh meninggalkan tempat ini!"

Pintu terbuka lebar. Sekelompok pria berjas hitam masuk, diikuti oleh seorang pria paruh baya dengan aura mengintimidasi. 

"Magnus Shaw," bisik Adel, wajahnya semakin pucat. 

Dia merasa seolah dunianya runtuh. "Sudah berakhir," bisiknya putus asa. "Kali ini tamatlah riwayat kita."

Di belakang Magnus, seorang pria tua dengan punggung bungkuk mengikuti dengan langkah pelan namun pasti.

Ryan mengamati kedatangan mereka dengan santai, tangannya masih memegang garpu. 

Namun, matanya tiba-tiba menyipit saat melihat pria tua di belakang Magnus. 

'Menarik,' pikir Ryan. 'Di memiliki aura seperti kultivator, namun dia tidak memiliki meridian. Itu artinya, dia adalah seorang praktisi bela diri.'

Ketika Adel melirik Ryan, matanya melebar tak percaya. Pria itu masih asik menyantap makanannya!

"Apa yang kau lakukan?!" desis Adel panik. "Magnus Shaw ada di sini, dan kau masih bisa makan?!"

Ryan menyodorkan sepotong ayam ke arah Adel. "Ini enak sekali, percayalah. Ayo, coba sedikit."

Adel hanya bisa terdiam, begitu pula dengan Yohan dan semua orang di ruangan itu. Mereka menatap Ryan seolah dia sudah gila.

Sementara itu, Effendy berlari ke arah ayahnya, air mata dan ingus bercucuran. "Ayah! Itu orangnya!" teriaknya sambil menunjuk Ryan. 

"Dia bilang ingin membunuhku dan menghabisi keluarga Shaw! Dia memukuli pengawalku, menamparku, dan bahkan mengatakan kau harus berlutut di hadapannya!"

Magnus melirik wajah bengkak putranya, ekspresinya semakin gelap. Dia menatap tajam ke arah para tamu.

"Semua yang terlibat dalam masalah ini," ujarnya dengan nada dingin, "saya sarankan kalian keluar sekarang dan bersujud sepuluh kali. Jika kalian melakukannya, keluarga Shaw mungkin akan mempertimbangkan untuk membiarkan mayat kalian tetap utuh."

Semua mata tertuju pada Ryan, menunggu reaksinya. Namun, yang mereka lihat hanyalah seorang pemuda yang masih asyik menikmati hidangannya.

"Apa-apaan ini?" bisik salah seorang tamu. "Dari mana datangnya orang gila ini?"

"Mungkin dia kabur dari rumah sakit jiwa," sahut yang lain.

"Atau dia sedang menikmati makanan terakhirnya sebelum mati," tambah tamu ketiga.

Magnus, geram melihat sikap acuh tak acuh Ryan, memberi perintah pada pengawalnya. "Bawa bajingan itu kepadaku!"

Belasan pengawal bergegas maju. Salah satunya langsung melancarkan pukulan ke arah Ryan tanpa basa-basi.

"Awas!" teriak Adel panik.

Namun, tepat sebelum pukulan itu mengenai sasaran, Ryan akhirnya meletakkan garpunya. Dengan gerakan santai, dia memiringkan tubuhnya dan menangkap tangan si pengawal.

"Tsk, tsk," Ryan berdecak, seolah menegur anak kecil. "Tidak sopan menyerang orang yang sedang makan, kau tahu?"

"Lagi pula, kalian terlalu lemah," ujar Ryan dingin. "Sama sekali tidak layak untuk melawanku."

Suaranya yang tenang namun mengintimidasi membuat seluruh ruangan terdiam.

Pengawal yang tangannya tertangkap, sadar dari keterkejutannya, segera mencabut belati dari pinggangnya. "Dia sangat kuat!" teriaknya pada rekan-rekannya. "Mari serang bersama-sama!"

Dalam sekejap, tujuh atau delapan tinju melayang ke arah Ryan dari berbagai arah.

Ryan hanya menghela napas, seolah merasa terganggu. "Haruskah kalian memaksaku bertarung?"

Dengan satu gerakan ringan, dia melepaskan cengkeramannya pada pengawal pertama. Energi Qi samar tiba-tiba menyeruak dan menyebar di sekelilingnya.

BAM!

Suara ledakan keras memenuhi ruangan. Dalam hitungan detik, belasan pengawal yang menyerangnya terpental dan jatuh bergelimpangan di lantai.

Keheningan total menyelimuti ruangan. Semua orang terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.

Adel menatap Ryan dengan mata terbelalak, napasnya terengah-engah. "Kau ... bagaimana bisa ...?"

Ryan menoleh, senyum percaya diri tersungging di bibirnya. "Ini bukan apa-apa. Kali ini, biarkan aku melindungimu. Mulai hari ini, aku pastikan tidak ada seorang pun yang berani memaksamu minum minuman keras bahkan segelas pun. Tidak seorang pun!"

Dengan itu, Ryan berbalik dan menatap Magnus Shaw dengan tatapan dingin yang menusuk.

Lima tahun yang lalu, Ryan hanyalah sampah dari keluarga Pendragon, nyaris tidak bisa bertahan hidup dengan harga diri yang hancur. Kini, ia kembali dengan kekuatan yang cukup untuk meluluhlantakkan kota ini.

Magnus, terkejut dengan tatapan Ryan, mundur beberapa langkah. Lelaki tua di belakangnya dengan sigap menahannya.

"Tetua Zimmer," ujar Magnus dengan suara bergetar, "mungkinkah orang ini..."

Tetua Zimmer mengangguk pelan. "Anda benar. Pria ini memiliki kemampuan yang sama seperti saya. Tapi dilihat dari usianya, dia pasti baru saja memasuki ranah ini. Dia bukan ancaman nyata."

Magnus menghela napas lega. "Kalau begitu, saya serahkan ini pada Anda, Tetua Zimmer. Terima kasih banyak."

Di mata orang luar, Tetua Zimmer hanyalah kepala pelayan keluarga Shaw. 

Namun Magnus tahu, bahwa posisi Tetua Zimmer di keluarga Shaw, adalah tertinggi kedua setelah kakek buyutnya yang kini sedang berkultivasi di gunung. 

Yang lebih penting, Tetua Zimmer merupakan seorang praktisi bela diri, figur legendaris dengan kekuatan luar biasa.

Magnus pernah menyaksikan sendiri bagaimana Tetua Zimmer menciptakan retakan di tanah hanya dengan satu jarinya. 

Kekuatan itulah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa posisi keluarga Shaw di Golden River terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan penuh percaya diri, Tetua Zimmer melangkah maju, dan berhenti tepat di depan Ryan.

Ia menyipitkan matanya sedikit dan meletakkan kedua tangannya di belakang punggungnya, seakan dia adalah praktisi bela diri paling ahli di kota.

"Anak muda, jangan terlalu sombong. Hanya karena kau telah belajar beberapa gerakan bela diri, bukan berarti kau bisa sombong di depan master sepertiku."

Tetua Zimmer mendengus. "Di mataku, kamu tidak lebih dari seekor semut."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status