Suara pekikan kecil terdengar diikuti oleh suara dentingan piring yang jatuh, membuat suasana pesta menjadi hening.
Ryan Pendragon menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang gadis kecil, mungkin berusia sekitar 10 tahun, berdiri kaku dengan wajah pucat.
Di depannya, seorang pria tinggi besar dengan mata tajam berdiri menjulang, jasnya yang mahal kini bernoda makanan yang tumpah.
"Ma-maafkan saya, Tuan," gadis kecil itu terbata-bata, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Pria itu menatap gadis kecil tersebut dengan tatapan dingin yang menusuk. Tangannya terkepal erat, dan Ryan bisa melihat urat-urat di lehernya menegang karena menahan amarah.
Melihat situasi yang semakin tegang, Ayah Ryan–William Pendragon bergegas menghampiri mereka. Ia berlutut di samping gadis kecil itu, mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya.
"Tidak apa-apa, Nak. Itu hanya kecelakaan," ujar William lembut sambil mencoba membersihkan noda di sepatu gadis itu. Kemudian ia berdiri dan menghadap pria yang terlihat marah itu. "Master Lucas, saya William Pendragon. Mohon maaf atas insiden ini. Biarkan saya membantu membersihkan jas Anda."
Namun, kebaikan William rupanya tidak diapresiasi. Master Lucas menatap William dengan pandangan merendahkan.
"Apa yang kau lakukan?!" bentaknya pada William. "Kau pikir sapu tanganmu yang murahan itu bisa membersihkan jas mahalku?!"
William tersentak, "Maaf, saya hanya bermaksud membantu. Mungkin kita bisa—"
PLAK!
Suara tamparan itu menggema di seluruh ruangan. William terhuyung, pipinya memerah akibat pukulan pria itu.
Ryan membeku. Matanya melebar menyaksikan adegan di depannya. Ia ingin berlari, ingin menyelamatkan ayahnya, tapi kakinya seolah terpaku di lantai.
"Kau pikir kau siapa?!" teriak pria itu lagi. "Berani-beraninya kau menyentuhku dengan sapu tangan kotormu!"
William mencoba menjelaskan, "Tuan, saya hanya bermaksud membantu. Ini hanya kecelakaan kecil dan—"
"DIAM!" Pria itu semakin murka. Tangannya bergerak cepat, mencengkeram kerah William. "Kau tidak tahu siapa aku? Aku bisa menghancurkanmu dan seluruh keluargamu dalam sekejap!"
Ruangan itu mendadak sunyi. Tak ada yang berani bersuara, apalagi bergerak untuk membantu William.
Ryan akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Ia berlari mendekati kerumunan, berusaha menembus para tamu yang menonton kejadian itu dengan wajah pucat.
"Ayah!" teriaknya.
Namun sebelum Ryan bisa mencapai ayahnya, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Master Lucas, dengan gerakan yang sangat cepat, menebas leher William Pendragon dengan tangan kosongnya. Seketika itu, kepala William menggelinding, diikuti robohnya tubuh William ke lantai.
"TIDAK!" Ryan berteriak histeris. Air mata mengalir deras di pipinya saat ia melihat ayahnya roboh ke lantai, darah mengalir deras dari lehernya.
Orang-orang mulai berteriak panik. Beberapa wanita pingsan menyaksikan kejadian berdarah itu.
Namun tak seorang pun berani mendekati William yang telah tewas, ataupun menghentikan pria yang baru saja membunuhnya.
Ryan berlutut di samping tubuh ayahnya, tangannya gemetar memeluk potongan kepala William. "Ayah ... Ayah!"
Ryan meraung, matanya liar mencari-cari bantuan. Ia melihat wajah-wajah familiar di antara kerumunan.
Orang-orang yang dulu selalu memuji keluarga Pendragon, teman-teman lama ayahnya, bahkan pamannya sendiri.
Tapi tak seorang pun bergerak. Mereka hanya berdiri diam, wajah mereka campuran antara ketakutan dan ... penghinaan? Seakan akhir seperti ini sudah sepantasnya diterima oleh keluarga Ryan!
Amarah membakar dada Ryan. Dengan gerakan cepat, ia meraih pisau makan dari meja terdekat dan menyerbu ke arah pembunuh ayahnya.
"KUBUNUH KAU!" teriaknya, mengayunkan pisau itu sekuat tenaga.
Namun pria itu terlalu kuat. Dengan satu tangan, ia menangkap pergelangan tangan Ryan, menghentikan serangannya dengan mudah.
Ryan menatap mata pria itu. Dingin, tanpa emosi. Seolah membunuh seseorang di depan umum adalah hal biasa baginya.
"Keluarga Pendragon dari Golden River, ya?" Pria itu berkata, suaranya sedingin es. "Kau pikir kau siapa? Bahkan jika kau adalah keluarga yang berada di posisi paling atas, aku tetap bisa membunuhmu dengan menjentikkan jariku!"
Ia melempar Ryan ke lantai dengan kasar. "Dan kau, dasar sampah tak berarti, kudengar kau terkenal di daerah ini karena tidak berguna. Haha, dan kau ingin membunuhku? Bahkan jika aku memberimu seratus tahun, kau tetap tidak berguna!"
Ryan tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar karena shock dan amarah. Ia ingin bangkit, ingin membalas, tapi tubuhnya seolah kehilangan seluruh kekuatannya.
Tiba-tiba, seseorang menarik lengannya dengan kuat. Ryan menoleh, melihat ibunya, Eleanor, dengan wajah pucat dan berlinang air mata.
"Ibu?" bisiknya bingung.
Tanpa berkata apa-apa, Eleanor mendorong Ryan sekuat tenaga ke arah jendela besar yang mengarah ke Sungai Emas di belakang Paviliun Riverside.
PRANG!
Kaca jendela itu pecah, dan Ryan merasakan tubuhnya melayang di udara sebelum akhirnya tercebur ke dalam air sungai yang dingin.
Sebelum kesadarannya menghilang, Ryan melihat ibunya berlari ke arah pria pembunuh itu, wajahnya penuh tekad ... dan keputusasaan.
Air sungai yang deras menarik tubuh Ryan, menghanyutkannya entah kemana. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa semua ini terjadi? Mengapa tidak ada yang membantu? Mengapa ibunya mendorongnya?
Dan yang paling penting ... apa yang akan terjadi padanya sekarang?
Entah sudah berapa lama Ryan hanyut, ia tidak dapat menghitungnya. Ketika kesadarannya mulai berangsur menghilang, Ryan merasakan sebuah tangan kuat menariknya ke permukaan. Samar-samar, ia melihat wajah seorang pria tua sebelum semuanya menjadi gelap.
*Lima tahun kemudian*
Angin dingin berhembus kencang di puncak Gunung Langit Biru. Di sebuah gua yang tersembunyi, seorang pemuda berdiri tegak, matanya terpejam dengan konsentrasi mendalam.
"Fokus, Ryan!" Suara serak seorang pria tua terdengar. "Rasakan aliran energi di sekitarmu. Biarkan Teknik Matahari Surgawi mengalir dalam meridianmu!"
Ryan Pendragon membuka matanya. Cahaya keemasan berpendar dari tubuhnya, menerangi seluruh gua.
Dengan satu gerakan tangan, batu-batu besar di sekitarnya terangkat ke udara, melayang seolah tak memiliki bobot.
Pria tua itu tersenyum puas. "Bagus. Kau sudah siap."
Ryan menurunkan batu-batu itu kembali ke tempatnya. Ia berbalik, menatap pria yang telah menjadi gurunya selama lima tahun terakhir.
"Guru," katanya dengan suara dalam. "Apakah ini saatnya?"
Sang guru mengangguk pelan. "Ya, muridku. Kau telah menguasai Teknik Matahari Surgawi dan rahasia alkimia tingkat tinggi. Kini saatnya kau kembali dan menghadapi takdirmu."
Ryan mengepalkan tangannya. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya. Ayahnya yang terbunuh, ibunya yang mengorbankan diri, dan pria itu ... pria yang telah menghancurkan segalanya.
"Akhirnya," ucap Ryan, matanya berkilat penuh tekad, "dendam ini bisa kubalaskan."
Sang guru meletakkan tangannya di bahu Ryan. "Ingat apa yang telah kuajarkan padamu, Ryan. Kekuatan sejati bukan hanya tentang membalas dendam. Tapi tentang keadilan dan melindungi yang lemah."
Ryan mengangguk. Ia telah berubah. Bukan lagi pemuda lemah yang hanya bisa menangis saat melihat ayahnya dibunuh. Kini ia adalah seorang kultivator, sekaligus alkemis yang kuat, menguasai teknik yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Saat fajar menyingsing, Ryan Pendragon melangkah keluar dari gua, meninggalkan kehidupannya selama lima tahun terakhir. Matanya menatap jauh ke cakrawala, ke arah kota Golden River yang tersembunyi di balik awan.
"Golden River," bisiknya. "Aku sudah kembali."
“Terima kasih,” ucap Ryan setelah turun dari taksi dan memberikan bayaran ke sopir.Beralih menatap sebuah bangunan kantor yang menjulang tinggi di hadapan, Ryan membaca lagi secarik kertas yang diberikan oleh gurunya, memastikan ini adalah tempat yang harus dia tuju.“Snowfield Group,” ulang Ryan, lalu mengangkat pandangan untuk melihat plang besar yang terpatri nyata di depan gedung. “Benar ini,” ucapnya sebelum masuk ke dalam lobi.Awalnya, Ryan berniat untuk langsung pergi ke Ibu Kota–Riverdale dan mencari Master Lucas, pria yang muncul di kediamannya lima tahun lalu dan membunuh ayahnya. Bagaimanapun, dia adalah orang yang paling ingin Ryan bunuh selama lima tahun terakhir. Namun, gurunya bersikeras agar Ryan terlebih dahulu pergi ke Golden River dan menemui seorang wanita bernama Rindy Snowfield. Oleh karena itu, di sinilah Ryan sekarang, di lobi perusahaan Snowfield Group.Mengenakan kaos, topi, dan tas selempang kusam yang tersampir di bahunya, penampilan Ryan yang sederhana
Keheningan mencekam menyelimuti lobi gedung Snowfield Group. Semua mata tertuju pada sosok pemuda yang berdiri tenang di tengah kekacauan. Dua penjaga keamanan tergeletak tak sadarkan diri di dekat pecahan kaca, sementara pemuda itu hanya berdiri diam, seolah tak terjadi apa-apa."Astaga, apa yang baru saja terjadi?" bisik salah seorang karyawan, matanya terbelalak ketakutan."Ssst! Jangan keras-keras. Kau mau jadi korban berikutnya?" balas temannya, menarik lengan si karyawan untuk menjauh.Para resepsionis muda bersembunyi di balik meja, ketakutan. Mereka bahkan tidak melihat pemuda itu menyerang. Semuanya terjadi begitu cepat, seolah-olah kedua penjaga itu tiba-tiba saja terpental dan tak sadarkan diri.Ryan melirik kedua penjaga yang tak sadarkan diri itu dan menggelengkan kepalanya dengan jengkel. Tanpa menghiraukan tatapan ketakutan dari orang-orang di sekitarnya, ia melangkah santai dan duduk di sofa. Dengan tenang, ia mengambil koran yang tergeletak di meja, mulai membacanya
Adel menghela napas lega saat melangkah keluar dari gedung Snowfield Group.Hari ini sungguh tidak terduga, tapi setidaknya situasi dengan pemuda misterius itu sudah mereda. Dia membuka pintu Mercedes-nya, bersiap untuk pergi ke pertemuan berikutnya.Tepat saat dia hendak masuk, pintu penumpang terbuka. Adel terkejut melihat Ryan meluncur masuk dengan santai."Hei! Apa yang kau lakukan?" seru Adel, matanya melebar.Ryan menatapnya dengan serius. Dia bisa melihat aura gelap menyelimuti Adel, tanda adanya bahaya yang mengintai. Teknik Matahari Surgawi-nya memperingatkan bahwa gadis ini akan menghadapi ancaman besar dalam waktu dekat."Kupikir kau mungkin butuh teman ngobrol dalam perjalanan," jawab Ryan ringan, menyembunyikan kekhawatirannya.Adel mengangkat alisnya. "Oh, benarkah? Dan sejak kapan kita jadi teman ngobrol?"Ryan tersenyum. "Sejak aku memutuskan untuk berterima kasih atas bantuanmu tadi."Adel memutar matanya, tapi ada senyum kecil di bibirnya. "Baiklah, tuan misterius.
Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada sosok Ryan yang baru saja membela Adel dengan berani. Tak seorang pun menyangka akan ada yang berani menentang Effendy Shaw, apalagi di wilayah kekuasaannya sendiri."Hei, kau!" Yohan, salah satu penjilat Effendy, berdiri dengan wajah merah padam. Dia menunjuk ke arah Ryan dengan jari gemetar, suaranya bergetar menahan amarah. "Dasar orang bodoh! Apa kau tahu siapa yang kau hadapi? Lihat pakaianmu, bahkan itu tidak sampai bernilai ratusan ribu. Beraninya orang desa sepertimu menyinggung Tuan Muda Shaw!"Ryan hanya melirik Yohan sekilas, tatapannya dingin dan menusuk. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aura intimidasi yang dipancarkannya membuat Yohan mundur selangkah.Merasa terhina oleh sikap acuh tak acuh Ryan, Yohan melanjutkan ancamannya dengan suara bergetar, "A-aku hanya perlu menelepon, dan kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada kehidupanmu di Golden River!"Ryan mendengus pelan, seolah menganggap ancaman it
Beberapa waktu berlalu, dan suasana di ruangan itu semakin mencekam. Adel, dengan wajah pucat, mencondongkan tubuhnya ke arah Ryan."Dengar," bisiknya, suaranya bergetar, "kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Keluarga Shaw mungkin baru naik daun dalam lima tahun terakhir, tapi pengaruh mereka di Golden River tidak bisa diremehkan."Ryan menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Oh ya? Ceritakan padaku."Adel menarik napas dalam-dalam, matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Keluarga Shaw... mereka bukan sekadar keluarga kaya biasa. Lima tahun lalu, mereka hanya pemilik beberapa properti di Golden River. Tapi sekarang? Mereka menguasai hampir setengah pasar real estate kota ini."Ryan mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit sedikit mendengar perkembangan pesat keluarga Shaw."Bukan hanya itu," Adel melanjutkan, suaranya semakin pelan. "Mereka punya koneksi politik yang kuat. Walikota, kepala kepolisian, bahkan beberapa anggota dewan kota—semuanya berada di bawah pe
"Seekor semut, katamu?" Ryan tersenyum dingin. "Mungkin kau perlu memeriksa matamu, Pak Tua."Tetua Zimmer mendengus mendengar balasan Ryan. Dia mengambil posisi bertarung, kedua tangannya terangkat di depan dada. "Anak muda, aku akan memberimu kesempatan terakhir untuk berlutut dan memohon ampun. Jika tidak, jangan salahkan aku jika kau tidak bisa meninggalkan tempat ini dengan utuh."Ryan hanya mengangkat alisnya, ekspresinya masih tenang. "Oh? Lalu apa yang akan kau lakukan? Membunuhku dengan omong kosongmu?"Kemarahan melintas di wajah Tetua Zimmer. Tanpa peringatan lebih lanjut, dia melesat maju, telapak tangannya mengarah langsung ke dada Ryan."Teknik Telapak Angin Topan!"Serangan Tetua Zimmer begitu cepat hingga mata biasa nyaris tidak bisa mengikutinya. Angin kencang berputar di sekitar telapak tangannya, menciptakan pusaran udara yang mampu meremukkan tulang.Namun, Ryan tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun."Ryan, awas!" teriak Adel panik, tangannya menu
"Berlututlah dan letakkan tanganmu di belakang kepala! Ini peringatan kedua!" suara wanita itu terdengar lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Ryan tetap tidak bergerak. Ia hanya menatap polisi wanita itu, mengamati sosoknya yang mencolok. Wanita itu berdiri tegak dengan postur yang menunjukkan kewibawaan, tingginya sekitar 170 cm dengan tubuh ramping namun berotot. Rambut hitamnya yang panjang diikat rapi dalam sanggul tinggi, memberikan kesan profesional sekaligus feminin. Wajahnya oval dengan tulang pipi tinggi dan mata coklat gelap yang tajam. Seragam polisinya yang rapi membalut tubuhnya dengan pas, menegaskan lekuk tubuhnya yang proporsional.Saat petugas wanita itu hendak memberinya peringatan ketiga, Adel bergegas maju dan meraih tangan Ryan tanpa ragu-ragu.Dia mengangkat keduanya ke atas kepala Ryan dan memaksa Ryan untuk berlutut.Setelah melakukan semua itu, Adel berlutut di samping Ryan. Dia berbisik, "Sekarang bukan saatnya melamun. Mereka akan benar-benar memb
"Tidak mungkin..."Patrick Armstrong memutar ulang rekaman itu untuk kesekian kalinya. Setiap kali ia menonton, rasa takut yang asing semakin mencengkeram hatinya. Tanpa sadar, sandwich di tangannya jatuh ke lantai, remah-remahnya berserakan di atas karpet markas Eagle Squad.Matanya terpaku pada wajah seorang pemuda di layar laptop. Wajah yang memancarkan kepercayaan diri, kebanggaan, dan ketidakpedulian sekaligus.Patrick menatap Ryan dalam video itu tanpa berkedip, merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—ketakutan murni yang menusuk hingga ke sumsum tulangnya.Yang lebih mengejutkan, Patrick bahkan belum pernah bertemu langsung dengan Ryan. Bagaimana bisa rekaman buram ini membangkitkan perasaan seperti itu? Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir rasa takut yang kini merayapi seluruh tubuhnya.Sebagai Pimpinan Unit Khusus Eagle Squad, Patrick telah menghadapi berbagai situasi mematikan. Ia dilatih sejak usia muda dalam berbagai seni bela diri dan taktik mi
"Nona, apakah itu..."Tetua Ken berpikir lama dan hendak berbicara ketika suara dingin terdengar dari dalam ruangan."Tetua Ken, Anda juga bisa pergi. Jangan biarkan siapa pun mengganggu saya.""Baiklah kalau begitu," jawab Tetua Ken setelah ragu sejenak, kemudian beranjak pergi dengan langkah berat.Di dalam ruangan, Jamie Leon menghela napas panjang dan bersandar pada dinding. Ketegangan yang terpancar dari tubuhnya perlahan mereda."Akhirnya mereka pergi. Sekarang kita aman," ucapnya lega.Dia bangkit dari tempat tidur dan duduk di sampingnya dengan posisi seolah sedang berlutut. Selimut yang tadinya menutupi mereka jatuh ke lantai, dan tiba-tiba, dia menyadari situasi mereka.Jamie Leon menatap ke bawah dan melihat dirinya bertelanjang dada, begitu pula Ryan. Dia kemudian mengarahkan pandangannya ke wajah Ryan.Saat mata mereka bertemu, rona merah muncul di pipi gadis itu.Ini adalah pertama kalinya dia bersikap seperti ini dengan seorang pria. Meskipun mereka berdua masih meng
"Nona Jamie, salah satu mata kami sudah rusak. Tolong jangan membesar-besarkan masalah ini," pinta seorang penjaga dengan suara tertahan, tangannya masih menekan rongga mata yang berdarah. Jamie Leon melirik Ryan sebelum melangkah maju dengan anggun. Dia mendengus dingin, matanya yang indah berkilat berbahaya. "Maaf, sepertinya kamu salah paham. Aku sudah mengatakannya dengan sangat jelas. Aku ingin kamu meninggalkan satu mata, bukan menghancurkan satu mata!" Begitu kata-kata itu terucap, ekspresi kedua penjaga berubah drastis. Wajah mereka yang sudah pucat kini seolah kehilangan seluruh darahnya. Mereka tahu betul bahwa Jamie Leon memang berbicara tentang meninggalkan satu mata, tetapi bukankah menghancurkan satu mata sama saja? Siapakah yang mengira bahwa wanita ini begitu tidak masuk akal? 'Mungkinkah dia ingin kami meninggalkan mata kami yang lain?' pikir mereka ngeri. 'Wanita ini ingin kami menjadi buta!' Mereka ingin membalas, tetapi mereka berada dalam situasi yang s
Jamie Leon telah meninggalkan Alchemy Tower selama bertahun-tahun dan bersembunyi di sini karena suatu alasan, dan kemunculan Ryan telah mengubah kalkulasinya. Gadis ini tampaknya tidak akan menyerah pada Ryan dengan mudah. 'Tidak peduli apa pun,' pikir Jamie Leon sambil menatap mata Ryan, 'bahkan jika aku harus mengorbankan segalanya, aku tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi pada Ryan!' Pada saat itu, suara tegas Tetua Ken terdengar dari luar. "Tuan-tuan, nona mudaku sedang beristirahat. Jangan ganggu dia!" Suara kasar membalas, "Hmph, enyahlah! Ini perintah dari Slaughter Lord! Bahkan jika Nona Mudamu berasal dari Alchemy Tower!" Detik berikutnya... Boom! Pintunya terdorong terbuka dengan paksa! Dua pengawal bertubuh kekar melangkah masuk dengan sikap arogan, mata mereka menyapu ruangan dengan tatapan tajam. Namun mereka langsung membeku di tempat saat melihat pemandangan di hadapan mereka. Di atas tempat tidur, dua sosok terbungkus selimut yang terus bergerak, disertai
Ryan menatapnya dengan tenang, tak terpengaruh oleh janji-janji indah itu. Jamie Leon tampaknya menyadari hal ini, jadi dia menambahkan dengan suara lebih rendah. "Ada satu hal lagi yang mungkin tidak diketahui oleh Tuan Ryan. Keluarga Leon kita memiliki tingkat otoritas tertentu di Gunung Langit Biru, dan kita bahkan memiliki hubungan dengan beberapa sekte terkemuka!" Setelah mengatakan begitu banyak, Jamie Leon menatap Ryan penuh harap, menunggu reaksinya. Dalam benaknya, tak seorangpun yang waras akan menolak tawaran seindah ini. Kekuatan, kekayaan, dan hubungan—segala yang diinginkan seorang kultivator. Namun, Ryan tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. "Nona Jamie, maafkan aku. Aku tidak akan bergabung dengan keluarga manapun." Kata-kata ini diucapkan dengan lembut namun tegas, menunjukkan bahwa keputusannya sudah bulat. Jamie Leon tampak terkejut, matanya melebar untuk sesaat. Namun dengan cepat dia menguasai diri, meskipun senyumnya menjadi sedikit kaku. "Juga,"
Jamie Leon telah meminta Tetua Ken untuk mengikuti Ryan, tapi pria tua itu berhenti di luar rumah besar Travis Hayes dan memutuskan tidak masuk. Namun dari keributan yang terjadi, dia menduga Arthur Pendragon telah muncul. Tentu saja, dia segera menghubungkan Arthur Pendragon dan Ryan, menganggap mereka mungkin bersaudara atau rekan. Namun Jamie Leon tidak menyangka bahwa Ryan adalah Arthur Pendragon. Selain perbedaan penampilan yang jelas, ketika kedua lelaki tua itu turun tangan dan Ryan dalam bahaya besar, dia menyadari bahwa tingkat kultivasi Ryan tetap stagnan di Ranah Transcendence, yang berarti bahwa inilah kekuatan aslinya. Tak mungkin dia bisa sama dengan Arthur Pendragon yang mampu melawan Slaughter Lord. ‘Mengapa Ryan berpura-pura menjadi Arthur Pendragon?’ Jamie Leon bertanya-tanya dalam hati. ‘Sudah jelas Arthur Pendragon sengaja mengatur hal ini untuk membingungkan Slaughter Lord dan membuatnya panik!’ Mendengar perkataan Jamie Leon, mata Ryan menyipit waspada.
Mata Slaughter Lord dalam proyeksi itu menyipit berbahaya. "Di mana dia sekarang?" tanyanya dengan nada dingin yang membekukan darah. "Arthur Pendragon terlalu kuat," jawab lelaki tua itu, suaranya masih bergetar. "Tidak ada dari kami yang bisa menghentikannya. Namun, dia baru saja pergi belum lama ini, jadi dia seharusnya masih berada di Tanah Pembantaian." "Hm!" Sang Slaughter Lord mendengus dingin. Tanpa kata lagi, jari-jarinya dengan cepat membentuk segel rumit. Sebuah lempengan batu giok melayang keluar dari lengan jubahnya, langsung bersinar dengan cahaya merah darah yang menyilaukan. Aura merah pekat menyebar dari batu itu, menembus dinding dan langit! Dalam hitungan detik, langit malam yang gelap di Slaughter Land berubah merah menyala. Bulan purnama di atas tampak seolah berlumuran darah, menerangi kota dengan cahaya kemerahan yang mengerikan. Rune-rune kuno bermunculan di udara, membentuk penghalang raksasa yang meliputi seluruh Slaughter Land. Pada saat yang sama
Ryan bisa merasakan niat membunuh mereka, dan pikirannya berputar cepat. Dia mungkin bisa membunuh dengan susah payah, tetapi jika bala bantuan datang lagi, dia akan berada dalam bahaya jika dia sendirian tanpa kartu As. 'Aku harus memikirkan cara untuk lolos tanpa cedera,' pikirnya sambil mengukur kekuatan lawannya. Lebih dari sepuluh kultivator ranah Origin menatapnya dengan dingin, masing-masing siap mencabik tubuhnya jika diberi perintah. Dalam keadaan normal, Ryan tidak akan gentar, tapi dia perlu kembali ke gurunya dalam waktu singkat. Dia tidak bisa terlibat dalam pertarungan panjang. Tiba-tiba, sebuah ide brilian melintas di benaknya. Tanpa ragu, Ryan melangkah maju dengan sikap arogan dan menatap dingin ke arah lelaki tua berjubah panjang yang memimpin kelompok itu. "Aku hanya memberimu satu kesempatan," ucapnya dengan nada dingin yang mengintimidasi. "Berlututlah dan lumpuhkan kultivasimu, atau mati!" Mendengar kata-kata ini, lelaki tua itu tanpa sadar melangkah mu
"Aku tidak tahu mengapa Slaughter Lord sangat menginginkan Travis Hayes," Ryan merenung. "Apakah itu benar-benar hanya untuk membuat pil? Mungkinkah ada rahasia lain?""Kalau tidak, dia tidak akan mengirim seseorang untuk menyegel tempat ini dengan formasi secepat ini."Tiba-tiba, Ryan merasakan nyeri tajam di antara kedua alisnya. Pandangannya berubah merah, dan suara asing terus terngiang dalam benaknya..."Ambil ini!" bisik suara itu, mendorong pikiran Ryan ke arah tertentu.Tatapan Ryan seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat, terarah pada sebuah kotak kayu hitam di sudut ruangan. Di permukaan kotak itu terukir gambar kerangka yang menyeramkan. Energi jahat merembes keluar dari setiap celahnya, membuat udara di sekitar terasa berat dan dingin."Manik naga jahat itu..." gumam Ryan, menyadari bahwa itulah yang menyebabkan reaksi aneh dalam dirinya. "Kotak ini pasti ada hubungannya dengan Slaughter Lord!"Tanpa ragu, Ryan menggunakan energi spiritualnya untuk meraih kotak itu da
Saat pembicaraan Jamie Leon dan Tetua Ken terjadi, Ryan telah bergerak cepat meninggalkan toko herbal, menuju kediaman Travis Hayes. Slaughter Land tampak lebih terang dari biasanya malam ini, dengan banyak obor dan segel cahaya menerangi jalan-jalan utama. Para kultivator ranah Origin datang silih berganti, jelas-jelas mencari bukti keberadaan Arthur Pendragon.Ryan menyipitkan matanya waspada. Dengan situasi sekacau ini, dia harus sangat berhati-hati. Alih-alih menuju pintu depan yang dijaga ketat, dia langsung menuju pintu belakang yang terpencil dan jarang dilalui.Seperti dugaannya, hanya ada beberapa orang yang menjaga pintu masuk ini. Namun, begitu dia mendekat, sekelompok penjaga langsung mengarahkan tombak mereka."Berhenti!" teriak salah satu penjaga. "Orang yang tidak berkepentingan dilarang mendekat. Enyahlah!"Ryan tetap tenang, tak bergeming dari tempatnya berdiri. Dia melepaskan indra spiritualnya, memperhatikan dengan cermat situasi di sekitarnya. Tidak ada kultiva