Share

Bab 2

Aku berlutut di depannya dan memohon, "Haris, aku mohon padamu, selamatkan Nea!"

"Dia benar-benar ada di dalam! Aku mohon selamatkan dia!"

"Diam!" Dia mendorongku dengan kasar dan memalingkan wajahnya dengan muak. "Bawa dia pergi! Jangan biarkan dia mendekati tempat kebakaran!"

Aku diseret paksa oleh beberapa petugas pemadam kebakaran. Aku berjuang melepaskan diri, menangis, berteriak, tetapi tidak ada gunanya.

"Haris!"

Lingkungan sekitar begitu kacau dan bising, tetapi aku tidak dapat mendengar apa pun, kecuali detak jantungku yang makin cepat, seolah-olah akan berhenti kapan saja.

Seiring berjalannya waktu, Nea masih belum terlihat di antara anak-anak yang berhasil diselamatkan satu per satu.

Dua jam kemudian, Haris keluar.

Dia sedang menggendong seorang gadis kecil. Hanya sekilas aku dapat mengenalinya, anak itu adalah Vina Prisa, putri Stella.

Aku berlari seperti orang gila dan meraih lengan Haris, kuku tajamku hampir menusuk dagingnya. Aku berteriak, "Haris! Di mana Nea! Di mana putri kita!"

"Kenapa kamu begitu tega? Kenapa kamu begitu kejam?"

Dia mengabaikanku dengan kesal, menundukkan kepalanya, menyeka air mata di sudut Vina dengan lembut dan menghiburnya, "Vina, jangan takut, sudah nggak apa-apa."

Pada saat ini, Stella datang dengan tergesa-gesa. Begitu melihat putrinya, dia memeluk Haris dan berkata, "Haris! Aku tahu kamu akan membantuku menyelamatkan Vina!"

Begitu hangat dan begitu mengharukan.

Seakan-akan mereka bertiga adalah satu keluarga.

Tiba-tiba, terdengar ledakan besar dan kobaran api di gedung TK makin membesar.

Aku terkejut, mataku membelalak tidak percaya, dan menggelengkan kepalaku dengan putus asa. "Nggak ... nggak mungkin ...."

"Cepat padamkan apinya! Di mana petugasnya!"

Aku duduk di tanah, menangis sampai suaraku menjadi serak. Setelah apinya padam pun, Haris sama sekali tidak melihatku.

Setelah api padam, lingkungan sekitar menjadi sunyi kembali.

Haris membawa Stella dan Vina ke ambulans, dia pergi tanpa menoleh ke belakang.

Aku berjuang untuk bangkit, berjalan terhuyung-huyung memasuki TK.

Gedung TK terbakar hingga tak dapat dikenali lagi. Aku bertatih-tatih menuju lantai dua. Setiap langkahku membuat hatiku terasa makin dingin.

Ruang tari yang paling disukai Nea berada di ujung koridor.

Aku berjalan masuk dengan gemetar.

Ketika melihat ada dua mayat hangus, satu besar dan satu kecil, aku berlutut dan menangis dengan keras lagi.

Guru tari memeluk Nea dengan erat.

Dengan gemetar, aku menyingkap jasad guru itu. Kutemukan, hanya bagian tubuh Nea yang hangus terbakar, sedangkan wajahnya tampak seperti sedang tertidur.

Aku memeluknya dan bergumam, "Maaf ... maafkan Ibu ... ini salah Ibu ... Ibu nggak bisa melindungi ...."

Api yang membakar gedung ini sudah padam, tetapi api yang membakar di hatiku membesar, seakan-akan sedang membakar seluruh organku.

Aku bersujud kepada guru itu dengan penuh rasa terima kasih.

Dia sudah membuat Nea tahu, di saat-saat terakhirnya, bahwa dia dicintai oleh seseorang.

Polisi dan dokter forensik tiba, aku dengan tenang mengeklaim jasad putriku, Nea, dan segera membawanya untuk dikremasi.

Nea sangat suka kecantikan, aku tidak ingin dia melihat penampilannya yang terbakar.

Aku menyentuh kotak abu Nea, ingin menangis tetapi tidak bisa. "Nea, di kehidupan selanjutnya, jangan menjadi putriku lagi ...."

Aku membawa "Nea" kembali ke rumah.

Di rumah ini, tiba-tiba terasa begitu sunyi tanpa kehadiran Nea.

Namun ... saat aku melihat baju dan sepatu Nea, aku kembali merasa sangat sedih.

Haris menelepon, suaranya sedingin es, "Malam ini, tim pemadam kebakaran mengadakan pesta perayaan, kamu bawa Nea datang kemari."

Huh.

Hari perayaanmu adalah hari kematian putriku.

Kamu memperoleh kehormatanmu itu dengan nyawa putriku sebagai bayarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status