"Mas, tolong ambilkan obat."
Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya. Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya. "Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau. Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena. Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!" Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar. Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan. Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-menerus di forsir untuk bekerja siang dan malam!!" Alan tersenyum miring. "Memang begitu tugas seorang istri!! Lakukan saja dengan baik, jangan mengeluh! Aku capek!" Kali ini Elena terpaksa menatap Alan ke matanya. "Kamu capek apa, Mas? Bukannya kamu tidak punya kesibukan lain selain bermain game online?!" Rahang Alan mengeras mendengar ucapan Elena. Matanya mengkilat tajam menatap istrinya. Plakk!! Gamparan keras membuat Elena tersungkur di atas ranjang, sontak ia memegangi pipinya yang terasa panas dengan mata bergetar. Sudut bibirnya terasa perih diiringi aroma besi yang menjalar di indera pengecapnya. Elena dapat mendengar deru nafas Alan yang memburu. "Apa maksudmu?!" tanyanya geram. Elena meraih keberanian dari dalam dirinya dan bangkit menatap lurus Alan. "Sikapmu selalu seperti ini! Apa kamu tidak bisa berusaha menjadi lebih berguna?!" Akhirnya Elena menyuarakan hatinya. Ia benar-benar geram dengan sikap suaminya yang sangat tidak menghargainya. Ia tak hanya melakukan semua pekerjaan rumah, tapi juga bekerja di kantor! Namun, pria itu malah sibuk main game dan tidak mau bergerak saat dibutuhkan pertolongan! Alan menggertakkan geraham, tangannya mengepal kuat. "Jangan kurang ajar kamu, Elena!" "Bukannya itu fakta, Mas?! Semenjak di-PHK kamu selalu hidup sesuai dengan kenyamananmu sendiri!!" ungkap Elena. Suhu badannya yang panas dan emosinya yang meluap membuat gadis itu menitikkan air mata. Tak kuasa menahan emosi. Alan tak terima, ia menatap nyalang istrinya lantas menyambar leher Elena dengan cengkraman kuat. "Lalu kamu mau apa? Maksudmu apa mengungkit itu semua, HAH?!" "A-alan!!" Suara Elena tercekat, matanya memerah dan berair menahan sesak. Ia berupaya keras untuk melepas lengan Alan di lehernya. Namun, tenaganya tak cukup kuat. Kaki Elena yang bergerak ke sana ke mari tak sengaja menendang vas bunga hingga pecah. Praakk! "Kamu juga tahu alasan aku di-PHK itu karena apa! Wajar kalau aku di rumah seharian. Kamu tidak perlu menyinggungku soal itu!!" berang pria itu lagi. Alan semakin mengeratkan cengkeramannya dan menekan tubuh Elena. "Lebih baik kamu diam dan jangan banyak bicara! PAHAM?!" tegasnya. Ia tak menghiraukan Elena yang megap-megap berusaha mengumpulkan udara melalui mulutnya. Merasa belum puas, Alan menghentakkan tubuh ringkih itu ke lantai. BRUKK! Uhuk! Uhuk! Elena terbatuk sambil memegangi lehernya yang terasa sesak. Tubuhnya gemetar dalam kengerian. Tiba-tiba, pintu terbuka kasar dari luar menampilkan seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sudah memutih sebagian. "Ada apa ini?!" Hening. Tak ada jawaban dari Alan, sementara Elena masih memegangi lehernya sambil berusaha mengatur napas. Setelah kondisinya membaik, Elena beranjak menghampiri Ambar untuk menjelaskan situasi sebenarnya. "Mas Alan mencekikku, Bu! P-padahal aku hanya minta diambilkan obat.." "Halah, sakit sedikit sudah merengek! Kamu tidak lihat ini jam berapa? Biarkan anakku istirahat!!!” Balasan dari mertuanya membuat Elena membelalakkan mata. Apa mertuanya gila?! Anak itu baru saja hampir membunuh orang dan dia sama sekali tak mempermasalahkan tindakan anaknya?! "Kerjaan Mas Alan cuma bermain game online dirumah. Bagaimana denganku yang sibuk bekerja diluar maupun di dalam rumah, Bu? Lagi pula aku sakit karena kehujanan sebab putra ibu tidak menjemputku!!" Elena berkata dengan raut wajah tak terima. “Lagipula, hal yang wajar bagi suami untuk merawat istrinya kan? Yang tak wajar itu ketika seorang suami mencekik istrinya dengan brutal!” Sambung Elena terengah-engah karena lelah. Tubuhnya masih sakit dan sekarang dia harus mendapatkan cobaan yang demikian tinggi. Membuatnya sama sekali tak bisa menahan emosi. Seketika darah Ambar mendidih mendengar itu. Matanya menyipit menatap Elena tak suka. "Oh, begitu ya? Kamu sudah bisa perhitungan sekarang?" tanya Ambar sarkas. “Kamu boleh bersikap seperti itu saat dulu keluargamu masih jaya! Sekarang mereka sudah bangkrut, paham?! Kamu tak berhak mengatur tingkah laku keluarga ini!” Pernyataan Ambar lagi-lagi membuat Elena tak mempercayai apa yang ia dengar. Jadi, mereka semua dulu baik karena keluarganya masih jaya? Memuakkan! Selama ini memang keluarganya yang mendukung operasional keluarga Alan karena memandang mereka sebagai besan. Namun, ternyata keluarga Alan hanya memanfaatkan keluarganya?! Bibir Elena bergetar, ia berusaha keras menahan air mata yang hampir penuh tertampung di kedua matanya. "Lalu, kamu ini pembawa sial!! Alan dipecat dan sulit mendapatkan pekerjaan karena kamu! Lagipula, kamu juga belum memiliki anak hingga hari ini?! Sudah jatuh miskin, mandul pula! Lantas apa fungsimu sekarang di rumah ini? Hanya menambah beban!!" sambung Ambar sambil mendengus kesal. Belum lagi ketegangan di ruangan itu reda, tiba-tiba Baron dan Nyla muncul dengan muka bantal yang dihiasi rasa kesal. "Ada apa sih berisik sekali. Tidak kenal waktu ya?!" tanya Baron. "Tanyakan saja pada kakak iparmu ini! Selalu saja membuat ulah!" adu Ambar pada Baron. Nyla yang sedang merapikan rambutnya jadi penasaran. "Memangnya kenapa, Bu?" "Dia demam karena kehujanan dan merengek seperti anak kecil. Lemah sekali!" Ambar berkata sambil mendelik sinis pada Elena. Mendengar itu, Baron angkat suara dan melayangkan tatapan sinis pada Elena. "Semenjak dia disini, rasanya rumah ini memang tak pernah damai, Ma. Dasar pembawa nasib buruk!!" Seakan ingin menambah minyak dalam api, Nyla maju selangkah dan mengambil sejumput rambut dari pundak Elena. “Bagaimana dengan Valerie, Ma? Bukankah dia kandidat yang pas, seperti yang mama bilang kemarin?” Perkataan Nyla membuat Elena bertanya-tanya. “Kandidat apa? Siapa Valerie?” Mendengar itu, Nyla menjawab lagi. Kali ini sambil mengelus wajah Elena pelan. “Tentu saja calon istri Kak Alan yang baru. Lebih kaya daripada keluarga Wijaya yang sudah bangkrut!”'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe
Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t
Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan
Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap
Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t
'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe
"Mas, tolong ambilkan obat."Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya.Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya."Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau.Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena.Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!"Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar.Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan.Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-m