"Mas ... tolong ambilkan obat ...."
Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya. Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya. "Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau. Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu, ia malah membalikkan badan membelakangi Elena. Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!" Alan yang merasa terusik menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucap Elena bergetar. Alan berdecak kesal menatap Elena ia bangkit terduduk dengan menyandar di kepala ranjang. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan. Elena mendengus. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang bekerja, Mas. Aku juga lelah kalau terus-menerus di forsir untuk bekerja siang dan malam!!" seru Elena yang mulai geram. Alan tersenyum miring. "Memang begitu tugas seorang istri!! Lakukan saja dengan baik, jangan mengeluh! Aku capek!" Kali ini Elena terpaksa menatap Alan ke matanya. "Kamu capek apa, Mas? Bukannya kamu tidak punya kesibukan lain selain bermain game online?!" Rahang Alan mengeras mendengar ucapan Elena. Matanya mengkilat tajam menatap istrinya liar. Plakk!! Gamparan keras membuat Elena tersungkur di atas ranjang, sontak ia memegangi pipinya yang terasa panas dengan mata bergetar. Sudut bibirnya terasa perih diiringi aroma besi yang menjalar di indera pengecapnya. Elena dapat mendengar deru nafas Alan yang memburu. "Apa maksudmu?!" tanya Alan geram. Elena meraih keberanian dari dalam dirinya dan bangkit menatap lurus Alan. "Sikapmu selalu seperti ini, Alan!! Apa kamu tidak bisa berusaha menjadi lebih berguna?!" Akhirnya Elena menyuarakan hatinya. Ia benar-benar geram dengan sikap Alan yang sangat tidak menghargainya. Elena tak hanya melakukan semua pekerjaan rumah, tapi juga bekerja di kantor! Namun, pria itu malah sibuk main game dan tidak mau bergerak saat dibutuhkan pertolongan! Alan menggertakkan geraham, tangannya mengepal kuat. "Jangan kurang ajar kamu, Elena!" "Bukannya itu fakta, Mas?! Semenjak di-PHK kamu selalu hidup sesuai dengan keinginanmu sendiri!!" ungkap Elena dengan mata menyipit. Alan yang tak terima menatap nyalang istrinya lantas menyambar leher Elena dengan cengkraman kuat. "Lalu mau kamu apa? Maksudmu apa mengungkit itu semua, HAH?!" "A-alan!!" Suara Elena tercekat, matanya memerah dan berair menahan sesak. Ia berupaya keras untuk melepas lengan Alan di lehernya. Namun, tenaganya tak cukup kuat. "Kamu juga tahu alasan aku di-PHK itu karena apa! Wajar kalau aku di rumah seharian. Kamu tidak perlu menyinggungku soal itu!!" berang Alan. Ia tak menghiraukan Elena yang megap-megap berusaha mengumpulkan udara melalui mulutnya. Kaki Elena meronta mencari tumpuan agar ia bisa terlepas, namun tak sengaja malah menendang gelas yang berada di atas nakas. Praaakkk!! Alan semakin mengeratkan cengkeramannya dan menekan tubuh Elena. "Lebih baik kamu diam dan jangan banyak bicara! PAHAM?!" tegasnya. Merasa belum puas, Alan menghentakkan tubuh ringkih istrinya ke lantai. BRUKK! Uhuk! Uhuk! Elena terbatuk sambil memegangi lehernya yang terasa sesak. Tubuhnya gemetar dalam kengerian. Tak berhenti di situ beberapa serpihan kaca dari gelas tadi mengenai telapak kakinya yang telanjang, Elena meringis menahan sakit sembari berusaha mencabut beling yang tertancap di kakinya. Tiba-tiba, pintu terbuka kasar dari luar menampilkan seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sudah memutih sebagian. "Ada apa ini?!" Hening. Tak ada jawaban dari Alan, sementara Elena masih berusaha untuk tetap tegar serta memegangi lehernya yang terasa nyeri. Setelah kondisinya membaik, Elena beranjak menghampiri Ambar untuk menjelaskan situasi sebenarnya. "Mas Alan mencekikku, Bu! P-padahal aku hanya minta diambilkan obat," adu Elena berharap pembelaan. Ambar mendelik sinis. "Halah, sakit sedikit sudah merengek! Kamu tidak lihat ini jam berapa? Biarkan anakku istirahat!!!” Balasan dari mertuanya membuat Elena membelalakkan mata. Apa mertuanya gila?! Anak itu baru saja hampir membunuhku dan dia sama sekali tak mempermasalahkan tindakan anaknya?! "Kerjaan Mas Alan cuma bermain game online dirumah, Bu. Bagaimana denganku yang sibuk bekerja diluar maupun di dalam rumah? Lagi pula aku sakit karena kehujanan sebab putra ibu tidak menjemput ku tadi!" Elena berkata dengan raut wajah tak terima. “Lagipula, hal yang wajar bagi suami untuk merawat istrinya kan? Yang tak wajar itu ketika seorang suami mencekik istrinya dengan brutal!” sambung Elena terengah-engah karena lelah. Tubuhnya masih sakit dan sekarang dia harus mendapatkan cobaan yang demikian tinggi. Membuatnya sama sekali tak bisa menahan luapan emosi. Seketika darah Ambar mendidih mendengar itu. Matanya menyipit menatap Elena tak suka. "Oh, begitu ya? Kamu sudah bisa perhitungan sekarang?" tanya Ambar sarkas. “Kamu boleh bersikap seperti itu saat dulu keluargamu masih jaya! Sekarang mereka sudah bangkrut, paham?! Kamu tak berhak mengatur perlakuan keluarga ini!” Pernyataan Ambar lagi-lagi membuat Elena tak mempercayai apa yang ia dengar. Jadi, mereka semua dulu baik karena keluarganya masih jaya? Memuakkan! Selama ini memang keluarganya yang mendukung operasional keluarga Alan karena memandang mereka sebagai besan. Namun, ternyata keluarga Alan hanya memanfaatkan keluarganya?! Bibir Elena bergetar, ia berusaha keras menahan air mata yang hampir penuh tertampung di kedua matanya. "Lalu, kamu ini pembawa sial!! Alan dipecat dan sulit mendapatkan pekerjaan karena kamu! Lagipula, kamu juga belum memiliki anak hingga hari ini?! Sudah jatuh miskin, mandul pula! Lantas apa fungsimu sekarang di rumah ini? Hanya menambah beban!!" sambung Ambar sambil mendengus kesal. Belum lagi ketegangan di ruangan itu reda, tiba-tiba Baron dan Nyla muncul dengan muka bantal yang dihiasi rasa kesal. "Ada apa sih berisik sekali. Tidak kenal waktu ya?!" tanya Baron. "Tanyakan saja pada kakak iparmu ini! Selalu saja membuat ulah!" adu Ambar pada Baron. Nyla yang sedang merapikan rambutnya jadi penasaran. "Memangnya kenapa, Bu?" "Dia demam karena kehujanan dan merengek seperti anak kecil. Lemah sekali!" Ambar berkata sambil mendelik sinis pada Elena. Mendengar itu, Baron angkat suara dan melayangkan tatapan kesal pada Elena. "Semenjak dia disini, rasanya rumah ini memang tak pernah damai, Bu. Dasar pembawa nasib buruk!!" Seakan ingin menambah minyak dalam api, Nyla maju selangkah dan mengambil sejumput rambut dari pundak Elena. “Bagaimana dengan Valerie, Bu? Bukankah dia kandidat yang pas, seperti yang Ibu bilang kemarin?” Perkataan Nyla membuat Elena bertanya-tanya. “Kandidat apa? Siapa Valerie?” Mendengar itu, Nyla menjawab lagi. Kali ini sambil mengelus wajah Elena pelan. “Tentu saja calon istri Kak Alan yang baru. Lebih kaya daripada keluarga Wijaya yang sudah bangkrut!”'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe
Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t
Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan
"Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena
Tok. Tok. "Masuk," titah Elena saat mendengar pintu ruangannya di ketuk."Maaf, Bu. Ada tamu dari perusahaan Horison," ucap Yuni, Sekretaris Elena. "Baiklah, suruh langsung masuk.""Baik, Bu." Yuni menunduk hormat lalu keluar ruangan.Tak selang berapa lama, dua wanita masuk ke dalam ruangan. Elena beranjak. "Selamat datang di perusahaan kami," sambut Elena tersenyum."Terimakasih, Bu Elena.""Sepertinya, kamu sudah tahu nama saya," ucap Elena tersanjung."Tentu saja, berita tentang Bu Elena tersebar di mana-mana," terang wanita itu. "Saya, Valerie, wakil CEO perusahaan Horison. Dan ini sekretaris saya, Tiara." Tiara mengangguk sopan. "Saya kemari untuk membahas progres proyek kita yang di luar kota. Bagaimana, Bu. sudah ada pembaruan?" tanya Valerie langsung ke inti.'Valerie. Mungkinkah Valerie yang sama?' tanya Elena dalam hati. 'Sepertinya gak mungkin. Banyak orang yang bernama Valerie di dunia ini.'"Oh soal itu, ya? Pembangunan hotelnya berjalan dengan baik, sudah selesai s
"Aku ganti baju dulu ya, El." Evan melenggang ke ruang ganti meninggalkan Elena yang masih terpaku ditempatnya."Elena," panggil suara bariton dari belakangnya.Deg. Tanpa melihat pun Elena sudah tahu siapa yang memanggilnya. Kenapa pria itu ada dimana-mana pikir Elena. Bukankah tadi dia melihatnya dia bersama Valerie? tanya Elena dalam hati."Elena ikut aku," Tanpa menunggu persetujuan Elena, Alan menarik wanita yang masih tercatat sebagai istrinya di negara ke tempat yang lebih sepi."Alan, lepas!" Elena berusaha melepas cekalan Alan di pergelangan tangannya yang terasa sesak. Tak menggubris gertakan Elena, sampai Alan menemukan tempat yang cocok untuk berbicara dengannya.Elena hendak berbalik dan pergi, namun Alan lebih cepat mengungkung Elena di tembok."Elena, ayo kita pulang!" ajaknya tak tahu malu.Elena berdecih. "Cih. Baru satu minggu yang lalu kamu menalakku dan kamu sudah lupa, Alan? Tampaknya kamu pikun di usia muda, ya?" tanya Elena sarkas."Rujuk denganku dan kita mul
"Kalian memang sangat cocok!" Evan menyetujui ucapan Valerie. Namun tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya Evan mengalihkan pandangan ke lain arah."Ya, sepertinya memang begitu. Kami merupakan pasangan ideal," imbuh Alan percaya diri meraih Valerie dalam dekapannya.Elena melirik Evan sekilas. Sepertinya Evan juga tak nyaman dengan situasi ini. "Kalau begitu kami pamit, saya harap pelayanan hotel ini membuat kalian nyaman." Evan memberi kode pada Elena untuk mengikutinya.Elena membuntuti Evan, namun langkahnya terhenti sejenak di samping Alan. "Tanda tangani surat cerai yang ku kirim nanti!" bisiknya lantas berlalu.Alan mengepal kuat. Ia tak mungkin menunjukkan kekesalannya di depan Valerie. Bagaimanapun menikah dengan Valerie akan kembali mengangkat karirnya. "Sayang, kamu sudah pilih kamar?"Valerie mengibaskan sebuah kartu kunci masuk kamar hotel.Alan tersenyum lebar. Ia ingin bergerak cepat sekarang, begitu juga dengan Valerie yang tak ingin mengulur waktu. Mereka akan meng
Sekali lagi Alan melirik map hijau yang teronggok di lantai. "SIALL!!" geramnya. Satu hentakan Alan menarik ujung sepreinya kasar hingga bantal dan guling yang berada diatasnya porak poranda di lantai. Tangannya mengepal kuat. Hatinya merasa tercabik-cabik mendapat perlakuan Elena sekarang. Wanita yang biasanya patuh itu kini berubah menjadi wanita tangguh.Alan mengusap wajahnya gusar. "Elena!! Jika ini yang kamu mau aku akan turuti!! Tapi lihat saja. Hidupmu tidak akan bahagia...!!"Dengan kasar Alan menyambar map hijau itu dan mencari bolpoin di dalam laci. Tak perlu usaha yang keras saat ia membuka laci paling atas tampak bolpoin berwarna hitam menyambutnya. Alan segera membuka map itu dan membubuhkan tanda tangan dengan rusuh. "Lihat Elena! Aku sudah menandatangani surat cerai ini," katanya entah pada siapa.***"Assalamu'alaikum!" ucap seorang pria yang baru membuka pintu kamar bangsal Elena."Waalaikumsalam," sahut Clarissa dan Elena kompak.Evan menampakkan senyum dan mengha
Mata Elena terbuka perlahan, menampilkan beberapa orang yang tengah sibuk memeriksa kondisinya."Bu Elena sudah siuman, Dok," ucap salah satu suster yang pertama kali melihat Elena membuka mata.Dokter perempuan itu memutar badan menghampiri Elena. "Bu Elena, apa kepalanya terasa sakit?" tanya Dokter langsung."Hanya pusing," jawab Elena lemah.Sementara suster yang satu lagi mengubah kecepatan tetesan infus lebih lambat. "Baiklah kita periksa lagi, sebentar." Dokter Aura yang memeriksanya waktu itu menempelkan stetoskop ke dada Elena. Setelah selesai sang Dokter membungkus lengan atas Elena dengan alat tensi darah, keningnya mengkerut. "Tekanan darah ibu agak tinggi."Elena tak kaget lagi, setelah bertemu dengan Ambar dia memang agak tertekan. Dokter melepas alat itu lalu bertanya, "Apa Ibu akhir-akhir ini banyak pikiran?""Mungkin, Dok.""Sebaiknya Ibu istirahat yang cukup, ya. Saya akan resepkan beberapa vitamin dan penurun darah," imbuh Dokter itu lantas berbicara dengan salah s
Mata Elena mengerling pada map hijau di tangan. "Maaf, Sayang. Tapi ibu dan ayahmu harus berpisah," ucap Elena lagi.Elena membalikkan badannya kembali keluar ruangan. Ia menghampiri Yuni yang tengah sibuk dengan komputernya."Yun, kirimkan ke alamat rumah Danuarta, pastikan hari ini sampai," titahnya pada Yuni menyodorkan map itu.Yuni mendongak dan menerima sodoran map dari Elena. "Baik, Bu!" serunya tersenyum."Pastikan sampai hari ini, ya?!" tegas Elena."Siap, Bu. Saya akan melakukannya sesuai perintah," jawab Yuni patuh.Elena mengangguk lantas kembali ke ruangan. Ia menyalakan laptop masih harus mempelajari beberapa hal tentang perusahaan yang ia tinggal dua tahun lalu. Tok. Tok. Tok. Elena melirik pintu, ia tak merasa ada janji hari ini. "Masuk!" titahnya.Daun pintu terbuka menampilkan Yuni. "Kenapa, Yun?" tanya Elena."Maaf, Bu. Ada yang ingin bertemu dengan Ibu. Saya sudah berusaha keras melarangnya namun dia memaksa," ucap Yuni menyesal.Elena mengerutkan dahi. "Siapa?"
"Evan?" panggil Elena menghentikan langkahnya, setelah mereka keluar dari ruangan Dokter Aura."Ya?" Evan berbalik menatap Elena."Rahasiakan kehamilanku dari siapapun, termasuk Alan," pinta Elena. Ia berusaha menutupi kegelisahannya di hadapan Evan.Evan mengangguk tanpa menanyakan hal itu lebih jauh, ia paham betul perasaan Elena sekarang. Mereka berjalan beriringan menuju mobil Evan tanpa suara. Setelah mobil melaju Evan memerhatikan Elena yang tengah jauh dalam pikirannya. "Elena, maaf kamu mau langsung pulang?" tanya Evan hati-hati. Elena menoleh dengan wajah kusut. "Ya, sepertinya aku harus pulang." Pandangannya kembali beralih pada luar jendela. Jalanan kota yang sibuk tak membuat Elena teralihkan dari kabar yang baru menyambarnya. Bagaimana mungkin dia hamil, tapi setelah diingat-ingat lagi tanggal menstruasi Elena memang sudah terlewat. Ada rasa bahagia bercampur duka. Di satu sisi doanya selama ini untuk menginginkan seorang anak terkabul, di sisi lainnya pernikahan Elen
"Kalian memang sangat cocok!" Evan menyetujui ucapan Valerie. Namun tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya Evan mengalihkan pandangan ke lain arah."Ya, sepertinya memang begitu. Kami merupakan pasangan ideal," imbuh Alan percaya diri meraih Valerie dalam dekapannya.Elena melirik Evan sekilas. Sepertinya Evan juga tak nyaman dengan situasi ini. "Kalau begitu kami pamit, saya harap pelayanan hotel ini membuat kalian nyaman." Evan memberi kode pada Elena untuk mengikutinya.Elena membuntuti Evan, namun langkahnya terhenti sejenak di samping Alan. "Tanda tangani surat cerai yang ku kirim nanti!" bisiknya lantas berlalu.Alan mengepal kuat. Ia tak mungkin menunjukkan kekesalannya di depan Valerie. Bagaimanapun menikah dengan Valerie akan kembali mengangkat karirnya. "Sayang, kamu sudah pilih kamar?"Valerie mengibaskan sebuah kartu kunci masuk kamar hotel.Alan tersenyum lebar. Ia ingin bergerak cepat sekarang, begitu juga dengan Valerie yang tak ingin mengulur waktu. Mereka akan meng
"Aku ganti baju dulu ya, El." Evan melenggang ke ruang ganti meninggalkan Elena yang masih terpaku ditempatnya."Elena," panggil suara bariton dari belakangnya.Deg. Tanpa melihat pun Elena sudah tahu siapa yang memanggilnya. Kenapa pria itu ada dimana-mana pikir Elena. Bukankah tadi dia melihatnya dia bersama Valerie? tanya Elena dalam hati."Elena ikut aku," Tanpa menunggu persetujuan Elena, Alan menarik wanita yang masih tercatat sebagai istrinya di negara ke tempat yang lebih sepi."Alan, lepas!" Elena berusaha melepas cekalan Alan di pergelangan tangannya yang terasa sesak. Tak menggubris gertakan Elena, sampai Alan menemukan tempat yang cocok untuk berbicara dengannya.Elena hendak berbalik dan pergi, namun Alan lebih cepat mengungkung Elena di tembok."Elena, ayo kita pulang!" ajaknya tak tahu malu.Elena berdecih. "Cih. Baru satu minggu yang lalu kamu menalakku dan kamu sudah lupa, Alan? Tampaknya kamu pikun di usia muda, ya?" tanya Elena sarkas."Rujuk denganku dan kita mul
Tok. Tok. "Masuk," titah Elena saat mendengar pintu ruangannya di ketuk."Maaf, Bu. Ada tamu dari perusahaan Horison," ucap Yuni, Sekretaris Elena. "Baiklah, suruh langsung masuk.""Baik, Bu." Yuni menunduk hormat lalu keluar ruangan.Tak selang berapa lama, dua wanita masuk ke dalam ruangan. Elena beranjak. "Selamat datang di perusahaan kami," sambut Elena tersenyum."Terimakasih, Bu Elena.""Sepertinya, kamu sudah tahu nama saya," ucap Elena tersanjung."Tentu saja, berita tentang Bu Elena tersebar di mana-mana," terang wanita itu. "Saya, Valerie, wakil CEO perusahaan Horison. Dan ini sekretaris saya, Tiara." Tiara mengangguk sopan. "Saya kemari untuk membahas progres proyek kita yang di luar kota. Bagaimana, Bu. sudah ada pembaruan?" tanya Valerie langsung ke inti.'Valerie. Mungkinkah Valerie yang sama?' tanya Elena dalam hati. 'Sepertinya gak mungkin. Banyak orang yang bernama Valerie di dunia ini.'"Oh soal itu, ya? Pembangunan hotelnya berjalan dengan baik, sudah selesai s
"Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan