Home / Rumah Tangga / Pembalasan Sang Pewaris / 3. Kembalinya Sang Pewaris

Share

3. Kembalinya Sang Pewaris

Author: Laluna Tan
last update Last Updated: 2024-10-31 02:31:10

Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.

Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.

Sepasang mata familiar menyambutnya.

"Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya.

Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.

Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam.

Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.

Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri.

"Kata Dokter kamu kelelahan dan tubuhmu kekurangan nutrisi. Apa yang sebenarnya terjadi di sana, Sayang?" tanya Clarissa khawatir.

"Benarkah?" tanya Elena berusaha menyembunyikan kejadian sebenarnya.

Bagaimana tidak, Elena seringkali melewatkan makannya saat di rumah. Bahkan setiap makan siang di kantor ia selalu berpikir ribuan kali untuk makan enak. Alhasil pilihannya selalu jatuh pada sepotong roti atau nasi bungkus yang di jual pendagang kaki lima seberang kantornya.

Semua ia lakukan demi memenuhi kebutuhan keluarga Danuarta. Elena tersenyum miris, meratapi kebodohannya yang berkorban sendirian hanya untuk memanjakan suami dan mertuanya.

Apalagi setelah kehadiran Nyla dan suaminya, mereka memperlakukan Elena dengan semena-mena dan sering kali salah kaprah tentang pengabdian Elena yang lebih condong menganggapnya sebagai pembantu.

Elena tak mungkin mengungkap semuanya pada Clarisa. Ia malu karena beberapa waktu lalu dengan percaya diri, Elena menyangkal tuduhan ibunya menyangkut ketamakan keluarga Alan.

Clarissa mengangguk, menatap iba anak semata wayangnya yang terlihat tak terurus. "Kamu pasti jarang makan, ya?"

"Gak apa-apa, Ma. Aku hanya kelelahan bekerja di kantor itu saja," dalih Elena.

"Wajahmu terlihat pucat, Elena. Jelas sekali kalau kamu mengalami stres," imbuh Clarissa membuat putrinya itu terdiam. "Berat badanmu pasti turun banyak."

Elena masih bungkam. Semua yang dilontarkan Clarissa sepenuhnya benar.

"Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Clarissa serius.

"Alan sudah menceraikanku, Ma," ucap Elena lemah.

Clarissa tersenyum miring. "Baguslah. Mama tidak perlu repot-repot untuk menjauhkannya darimu." Nampak jelas raut kebencian tersirat di wajah ayu Clarissa. "Sekarang kamu sudah mengetahui sifat asli mereka, bukan?"

Elena mengangguk setuju.

"Firasat seorang ibu tidak pernah salah untuk anaknya, Elena. Kamu itu anak semata wayang kami. Kamu dan keluargamu yang akan mewarisi semua harta keluarga Wijaya nantinya. Mama tidak akan mempercayakan kamu pada orang yang salah, Elena."

Elena menaikkan sudut bibirnya, menatap ibunya kagum. Di sisi lain Elena tak pernah takut menua karena melihat Clarissa yang masih menawan di usianya yang menginjak kepala lima.

"Aku ngerti, Ma."

"Dokter juga sudah mengoleskan salep untuk sudut bibirmu. Kamu tidak ingin melaporkan tindak kekerasan yang sudah di lakukan Alan?"

Elena menggeleng. "Hukum tidak akan membuat mereka jera, Ma! Aku akan membalasnya sendiri!" tekad Elena bulat.

"Baiklah, terserah padamu saja. Mama hanya bisa mendukung dan meluruskan. Ingat, dunia ada pemiliknga, Sayang," ucap Clarissa mengingatkan agar anaknya tidak melewati batas.

Elena tak sangka Clarissa mau menerimanya lagi dengan lapang, kedatangan Elena. Padahal ia pikir orang tuanya akan marah besar dan ikut membuangnya karena tak patuh.

Penyesalan kian menggerumutinya sekarang. Ia sudah menyia-nyiakan keluarga cemaranya demi keluarga Danuarta yang tak memiliki belas kasih.

Pengabdiannya selama dua tahun silam tak membuat Alan terenyuh seujung kuku pun. Kilas balik perlakuan Alan berputar dalam benaknya. Kebenciannya semakin besar kala ucapan sakral itu meluncur bebas dari mulut Alan.

Pria itu terlalu tunduk pada ibunya. Bukan, dia memang sama liciknya. Sandiwara yang di buat keluarga Wijaya tak sia-sia untuk menyebar berita palsu mengenai kebangkrutannya. Setelah mendengar itu perlahan sikap Ambar dan Alan berubah menjadi ketus dan seenaknya. Apalagi ketika kucuran dana ke rekeningnya di hentikan keluarga Wijaya. Mereka memeras Elena agar bekerja lebih keras dan berhemat.

Elena yang dungu menurut saja karena masih dibawah kendali perasaannya pada Alan.

Kini semuanya sudah terlewati, Elena bisa bernafas lega dan memulai kembali kehidupan barunya sebagai anak tunggal dari keluarga Wijaya.

"Ma, aku minta maaf karena tidak mendengarkan perkataanmu. Seharusnya aku bisa melihat topeng yang mereka pakai dari awal," keluh Elena yang merasa dua tahunnya benar-benar terbuang.

"Jadikan semua sebagai pelajaran, Elena. Ke depannya kmau harus lebih selektif dalam memilih pasangan. Mengerti?"

Elena mengangguk cepat.

"Ma, dimana Papa?" tanya Elena, ia berusaha mendudukkan diri di bantu Clarissa.

"Papamu di kantor, Sayang ada urusan. Sebentat lagi dia kesini."

"Bagaiamana kabar Papa?" tanya Elena penasaran.

"Papamu sehat. Dia sangat geram mendapat laporan dari Mike soal perlakuan keluarga Alan padamu. Tapi Mama menahannya, biarkan itu semua jadi proses pendewasaan untuk kamu, Elena. Mungkin ini cara Tuhan agar kamu merasakan kepahitan dunia dan memetik sebuah pengajaran dari sana. Ada tanggung jawab besar yang akan menantimu."

"Maksud Mama?" Elena tak paham. Tanggung jawab apa yang Clarissa maksud.

***

Julian, pria paruh baya bertubuh tegap dengan paras rupawan memapah putrinya masuk rumah. "Rumah ini sepi tanpamu, Elena," ucap Julian setelah mereka menapakkan kakinya ke dalam.

Ukiran-ukiran di dinding, guci-guci mewah yang tersebar di sudut ruangan, serta lampu gantung yang menjuntai di tengah ruangan, membuat Elena tersadar. Kalau disinilah tempat untuknya. Dia sama sekali tidak kekurangan apapun disini, tapi dia memilih untuk tinggal di komplek perumahan yang tak begitu mewah dan nyaris menyerahkan seluruh hidupnya untuk mereka.

Seorang kepala pelayan menyambut kedatangan mereka. "Selamat datang, Nona," ucapnya tersenyum ramah.

Elena balas tersenyum. "Terimakasih."

"Mbak, tolong buatkan sup ayam kesukaan Elena, ya dan jus jeruk," titah Clarissa.

Pelayan itu mengangguk. "Baik, Nyonya. Saya akan segera menyiapkannya." Dia membungkuk sopan lalu pergi dari hadapan mereka.

Elena menatap Julian. Matanya menyiratkan penyesalan yang tiada berujung tapi Julian menyambutnya dengan logawa memaklumi Elena.

Mereka berjalan mulai meniti anak tangga satu persatu ke kamar Elena.

Tak terasa air mata Elena menitik haru. Rasanya ia baru saja terbangun dari mimpi buruknya yang panjang.

'Jangan pikir aku akan melepasmu begitu saja, Alan.' batinnya.

Luka yang sudah ditorehkannya, Elena tak yakin akan sembuh dalam kurun waktu singkat.

Elena terduduk di sofa.

"Elena, Papa minta kamu kembali ke perusahaan. Papa percaya perusahaan kita bisa sukses di tanganmu."

Related chapters

  • Pembalasan Sang Pewaris   4. CEO baru

    Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap

    Last Updated : 2024-11-01
  • Pembalasan Sang Pewaris   5. Pembuat Onar

    Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan

    Last Updated : 2024-11-03
  • Pembalasan Sang Pewaris   6. Mainan Pemersatu

    "Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena

    Last Updated : 2024-11-23
  • Pembalasan Sang Pewaris   7. Pesona Evan

    Tok. Tok. "Masuk," titah Elena saat mendengar pintu ruangannya di ketuk."Maaf, Bu. Ada tamu dari perusahaan Horison," ucap Yuni, Sekretaris Elena. "Baiklah, suruh langsung masuk.""Baik, Bu." Yuni menunduk hormat lalu keluar ruangan.Tak selang berapa lama, dua wanita masuk ke dalam ruangan. Elena beranjak. "Selamat datang di perusahaan kami," sambut Elena tersenyum."Terimakasih, Bu Elena.""Sepertinya, kamu sudah tahu nama saya," ucap Elena tersanjung."Tentu saja, berita tentang Bu Elena tersebar di mana-mana," terang wanita itu. "Saya, Valerie, wakil CEO perusahaan Horison. Dan ini sekretaris saya, Tiara." Tiara mengangguk sopan. "Saya kemari untuk membahas progres proyek kita yang di luar kota. Bagaimana, Bu. sudah ada pembaruan?" tanya Valerie langsung ke inti.'Valerie. Mungkinkah Valerie yang sama?' tanya Elena dalam hati. 'Sepertinya gak mungkin. Banyak orang yang bernama Valerie di dunia ini.'"Oh soal itu, ya? Pembangunan hotelnya berjalan dengan baik, sudah selesai s

    Last Updated : 2024-11-25
  • Pembalasan Sang Pewaris   8. Pertemuan yang tak terduga di area fitnes

    "Aku ganti baju dulu ya, El." Evan melenggang ke ruang ganti meninggalkan Elena yang masih terpaku ditempatnya."Elena," panggil suara bariton dari belakangnya.Deg. Tanpa melihat pun Elena sudah tahu siapa yang memanggilnya. Kenapa pria itu ada dimana-mana pikir Elena. Bukankah tadi dia melihatnya dia bersama Valerie? tanya Elena dalam hati."Elena ikut aku," Tanpa menunggu persetujuan Elena, Alan menarik wanita yang masih tercatat sebagai istrinya di negara ke tempat yang lebih sepi."Alan, lepas!" Elena berusaha melepas cekalan Alan di pergelangan tangannya yang terasa sesak. Tak menggubris gertakan Elena, sampai Alan menemukan tempat yang cocok untuk berbicara dengannya.Elena hendak berbalik dan pergi, namun Alan lebih cepat mengungkung Elena di tembok."Elena, ayo kita pulang!" ajaknya tak tahu malu.Elena berdecih. "Cih. Baru satu minggu yang lalu kamu menalakku dan kamu sudah lupa, Alan? Tampaknya kamu pikun di usia muda, ya?" tanya Elena sarkas."Rujuk denganku dan kita mul

    Last Updated : 2024-11-27
  • Pembalasan Sang Pewaris   9. Kabar baik atau buruk?

    "Kalian memang sangat cocok!" Evan menyetujui ucapan Valerie. Namun tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya Evan mengalihkan pandangan ke lain arah."Ya, sepertinya memang begitu. Kami merupakan pasangan ideal," imbuh Alan percaya diri meraih Valerie dalam dekapannya.Elena melirik Evan sekilas. Sepertinya Evan juga tak nyaman dengan situasi ini. "Kalau begitu kami pamit, saya harap pelayanan hotel ini membuat kalian nyaman." Evan memberi kode pada Elena untuk mengikutinya.Elena membuntuti Evan, namun langkahnya terhenti sejenak di samping Alan. "Tanda tangani surat cerai yang ku kirim nanti!" bisiknya lantas berlalu.Alan mengepal kuat. Ia tak mungkin menunjukkan kekesalannya di depan Valerie. Bagaimanapun menikah dengan Valerie akan kembali mengangkat karirnya. "Sayang, kamu sudah pilih kamar?"Valerie mengibaskan sebuah kartu kunci masuk kamar hotel.Alan tersenyum lebar. Ia ingin bergerak cepat sekarang, begitu juga dengan Valerie yang tak ingin mengulur waktu. Mereka akan meng

    Last Updated : 2024-11-28
  • Pembalasan Sang Pewaris   10. Berbadan dua

    "Evan?" panggil Elena menghentikan langkahnya, setelah mereka keluar dari ruangan Dokter Aura."Ya?" Evan berbalik menatap Elena."Rahasiakan kehamilanku dari siapapun, termasuk Alan," pinta Elena. Ia berusaha menutupi kegelisahannya di hadapan Evan.Evan mengangguk tanpa menanyakan hal itu lebih jauh, ia paham betul perasaan Elena sekarang. Mereka berjalan beriringan menuju mobil Evan tanpa suara. Setelah mobil melaju Evan memerhatikan Elena yang tengah jauh dalam pikirannya. "Elena, maaf kamu mau langsung pulang?" tanya Evan hati-hati. Elena menoleh dengan wajah kusut. "Ya, sepertinya aku harus pulang." Pandangannya kembali beralih pada luar jendela. Jalanan kota yang sibuk tak membuat Elena teralihkan dari kabar yang baru menyambarnya. Bagaimana mungkin dia hamil, tapi setelah diingat-ingat lagi tanggal menstruasi Elena memang sudah terlewat. Ada rasa bahagia bercampur duka. Di satu sisi doanya selama ini untuk menginginkan seorang anak terkabul, di sisi lainnya pernikahan Elen

    Last Updated : 2024-12-01
  • Pembalasan Sang Pewaris   11. Kedatangan Ibu Alan

    Mata Elena mengerling pada map hijau di tangan. "Maaf, Sayang. Tapi ibu dan ayahmu harus berpisah," ucap Elena lagi.Elena membalikkan badannya kembali keluar ruangan. Ia menghampiri Yuni yang tengah sibuk dengan komputernya."Yun, kirimkan ke alamat rumah Danuarta, pastikan hari ini sampai," titahnya pada Yuni menyodorkan map itu.Yuni mendongak dan menerima sodoran map dari Elena. "Baik, Bu!" serunya tersenyum."Pastikan sampai hari ini, ya?!" tegas Elena."Siap, Bu. Saya akan melakukannya sesuai perintah," jawab Yuni patuh.Elena mengangguk lantas kembali ke ruangan. Ia menyalakan laptop masih harus mempelajari beberapa hal tentang perusahaan yang ia tinggal dua tahun lalu. Tok. Tok. Tok. Elena melirik pintu, ia tak merasa ada janji hari ini. "Masuk!" titahnya.Daun pintu terbuka menampilkan Yuni. "Kenapa, Yun?" tanya Elena."Maaf, Bu. Ada yang ingin bertemu dengan Ibu. Saya sudah berusaha keras melarangnya namun dia memaksa," ucap Yuni menyesal.Elena mengerutkan dahi. "Siapa?"

    Last Updated : 2024-12-02

Latest chapter

  • Pembalasan Sang Pewaris   13. Perasaan Aneh

    Sekali lagi Alan melirik map hijau yang teronggok di lantai. "SIALL!!" geramnya. Satu hentakan Alan menarik ujung sepreinya kasar hingga bantal dan guling yang berada diatasnya porak poranda di lantai. Tangannya mengepal kuat. Hatinya merasa tercabik-cabik mendapat perlakuan Elena sekarang. Wanita yang biasanya patuh itu kini berubah menjadi wanita tangguh.Alan mengusap wajahnya gusar. "Elena!! Jika ini yang kamu mau aku akan turuti!! Tapi lihat saja. Hidupmu tidak akan bahagia...!!"Dengan kasar Alan menyambar map hijau itu dan mencari bolpoin di dalam laci. Tak perlu usaha yang keras saat ia membuka laci paling atas tampak bolpoin berwarna hitam menyambutnya. Alan segera membuka map itu dan membubuhkan tanda tangan dengan rusuh. "Lihat Elena! Aku sudah menandatangani surat cerai ini," katanya entah pada siapa.***"Assalamu'alaikum!" ucap seorang pria yang baru membuka pintu kamar bangsal Elena."Waalaikumsalam," sahut Clarissa dan Elena kompak.Evan menampakkan senyum dan mengha

  • Pembalasan Sang Pewaris   12. Kenyataan pahit

    Mata Elena terbuka perlahan, menampilkan beberapa orang yang tengah sibuk memeriksa kondisinya."Bu Elena sudah siuman, Dok," ucap salah satu suster yang pertama kali melihat Elena membuka mata.Dokter perempuan itu memutar badan menghampiri Elena. "Bu Elena, apa kepalanya terasa sakit?" tanya Dokter langsung."Hanya pusing," jawab Elena lemah.Sementara suster yang satu lagi mengubah kecepatan tetesan infus lebih lambat. "Baiklah kita periksa lagi, sebentar." Dokter Aura yang memeriksanya waktu itu menempelkan stetoskop ke dada Elena. Setelah selesai sang Dokter membungkus lengan atas Elena dengan alat tensi darah, keningnya mengkerut. "Tekanan darah ibu agak tinggi."Elena tak kaget lagi, setelah bertemu dengan Ambar dia memang agak tertekan. Dokter melepas alat itu lalu bertanya, "Apa Ibu akhir-akhir ini banyak pikiran?""Mungkin, Dok.""Sebaiknya Ibu istirahat yang cukup, ya. Saya akan resepkan beberapa vitamin dan penurun darah," imbuh Dokter itu lantas berbicara dengan salah s

  • Pembalasan Sang Pewaris   11. Kedatangan Ibu Alan

    Mata Elena mengerling pada map hijau di tangan. "Maaf, Sayang. Tapi ibu dan ayahmu harus berpisah," ucap Elena lagi.Elena membalikkan badannya kembali keluar ruangan. Ia menghampiri Yuni yang tengah sibuk dengan komputernya."Yun, kirimkan ke alamat rumah Danuarta, pastikan hari ini sampai," titahnya pada Yuni menyodorkan map itu.Yuni mendongak dan menerima sodoran map dari Elena. "Baik, Bu!" serunya tersenyum."Pastikan sampai hari ini, ya?!" tegas Elena."Siap, Bu. Saya akan melakukannya sesuai perintah," jawab Yuni patuh.Elena mengangguk lantas kembali ke ruangan. Ia menyalakan laptop masih harus mempelajari beberapa hal tentang perusahaan yang ia tinggal dua tahun lalu. Tok. Tok. Tok. Elena melirik pintu, ia tak merasa ada janji hari ini. "Masuk!" titahnya.Daun pintu terbuka menampilkan Yuni. "Kenapa, Yun?" tanya Elena."Maaf, Bu. Ada yang ingin bertemu dengan Ibu. Saya sudah berusaha keras melarangnya namun dia memaksa," ucap Yuni menyesal.Elena mengerutkan dahi. "Siapa?"

  • Pembalasan Sang Pewaris   10. Berbadan dua

    "Evan?" panggil Elena menghentikan langkahnya, setelah mereka keluar dari ruangan Dokter Aura."Ya?" Evan berbalik menatap Elena."Rahasiakan kehamilanku dari siapapun, termasuk Alan," pinta Elena. Ia berusaha menutupi kegelisahannya di hadapan Evan.Evan mengangguk tanpa menanyakan hal itu lebih jauh, ia paham betul perasaan Elena sekarang. Mereka berjalan beriringan menuju mobil Evan tanpa suara. Setelah mobil melaju Evan memerhatikan Elena yang tengah jauh dalam pikirannya. "Elena, maaf kamu mau langsung pulang?" tanya Evan hati-hati. Elena menoleh dengan wajah kusut. "Ya, sepertinya aku harus pulang." Pandangannya kembali beralih pada luar jendela. Jalanan kota yang sibuk tak membuat Elena teralihkan dari kabar yang baru menyambarnya. Bagaimana mungkin dia hamil, tapi setelah diingat-ingat lagi tanggal menstruasi Elena memang sudah terlewat. Ada rasa bahagia bercampur duka. Di satu sisi doanya selama ini untuk menginginkan seorang anak terkabul, di sisi lainnya pernikahan Elen

  • Pembalasan Sang Pewaris   9. Kabar baik atau buruk?

    "Kalian memang sangat cocok!" Evan menyetujui ucapan Valerie. Namun tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya Evan mengalihkan pandangan ke lain arah."Ya, sepertinya memang begitu. Kami merupakan pasangan ideal," imbuh Alan percaya diri meraih Valerie dalam dekapannya.Elena melirik Evan sekilas. Sepertinya Evan juga tak nyaman dengan situasi ini. "Kalau begitu kami pamit, saya harap pelayanan hotel ini membuat kalian nyaman." Evan memberi kode pada Elena untuk mengikutinya.Elena membuntuti Evan, namun langkahnya terhenti sejenak di samping Alan. "Tanda tangani surat cerai yang ku kirim nanti!" bisiknya lantas berlalu.Alan mengepal kuat. Ia tak mungkin menunjukkan kekesalannya di depan Valerie. Bagaimanapun menikah dengan Valerie akan kembali mengangkat karirnya. "Sayang, kamu sudah pilih kamar?"Valerie mengibaskan sebuah kartu kunci masuk kamar hotel.Alan tersenyum lebar. Ia ingin bergerak cepat sekarang, begitu juga dengan Valerie yang tak ingin mengulur waktu. Mereka akan meng

  • Pembalasan Sang Pewaris   8. Pertemuan yang tak terduga di area fitnes

    "Aku ganti baju dulu ya, El." Evan melenggang ke ruang ganti meninggalkan Elena yang masih terpaku ditempatnya."Elena," panggil suara bariton dari belakangnya.Deg. Tanpa melihat pun Elena sudah tahu siapa yang memanggilnya. Kenapa pria itu ada dimana-mana pikir Elena. Bukankah tadi dia melihatnya dia bersama Valerie? tanya Elena dalam hati."Elena ikut aku," Tanpa menunggu persetujuan Elena, Alan menarik wanita yang masih tercatat sebagai istrinya di negara ke tempat yang lebih sepi."Alan, lepas!" Elena berusaha melepas cekalan Alan di pergelangan tangannya yang terasa sesak. Tak menggubris gertakan Elena, sampai Alan menemukan tempat yang cocok untuk berbicara dengannya.Elena hendak berbalik dan pergi, namun Alan lebih cepat mengungkung Elena di tembok."Elena, ayo kita pulang!" ajaknya tak tahu malu.Elena berdecih. "Cih. Baru satu minggu yang lalu kamu menalakku dan kamu sudah lupa, Alan? Tampaknya kamu pikun di usia muda, ya?" tanya Elena sarkas."Rujuk denganku dan kita mul

  • Pembalasan Sang Pewaris   7. Pesona Evan

    Tok. Tok. "Masuk," titah Elena saat mendengar pintu ruangannya di ketuk."Maaf, Bu. Ada tamu dari perusahaan Horison," ucap Yuni, Sekretaris Elena. "Baiklah, suruh langsung masuk.""Baik, Bu." Yuni menunduk hormat lalu keluar ruangan.Tak selang berapa lama, dua wanita masuk ke dalam ruangan. Elena beranjak. "Selamat datang di perusahaan kami," sambut Elena tersenyum."Terimakasih, Bu Elena.""Sepertinya, kamu sudah tahu nama saya," ucap Elena tersanjung."Tentu saja, berita tentang Bu Elena tersebar di mana-mana," terang wanita itu. "Saya, Valerie, wakil CEO perusahaan Horison. Dan ini sekretaris saya, Tiara." Tiara mengangguk sopan. "Saya kemari untuk membahas progres proyek kita yang di luar kota. Bagaimana, Bu. sudah ada pembaruan?" tanya Valerie langsung ke inti.'Valerie. Mungkinkah Valerie yang sama?' tanya Elena dalam hati. 'Sepertinya gak mungkin. Banyak orang yang bernama Valerie di dunia ini.'"Oh soal itu, ya? Pembangunan hotelnya berjalan dengan baik, sudah selesai s

  • Pembalasan Sang Pewaris   6. Mainan Pemersatu

    "Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena

  • Pembalasan Sang Pewaris   5. Pembuat Onar

    Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status