Share

6. Mainan Pemersatu

Penulis: Laluna Tan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-23 23:49:18

"Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.

Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."

Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu.

"Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati.

Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."

Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan.

Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"

Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya."

"Keponakanmu yang tadi?"

"Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.

Elena menahan senyum mengingat tingkah anak kecil yang membuatnya hampir menghantam lantai tadi. Beruntung Evan menahannya dengan cekatan.

"Mau ku bantu?" tawar Elena.

"Tidak perlu, Elena, terimakasih," tolak Evan halus.

"Kamu tidak perlu sungkan Evan." Elena beranjak lebih dulu. "Baiklah kita mulai dari mana carinya?"

Evan yang melihat Elena berdiri menggaruk tengkuknya yang tak gatal, pasalnya ia sebenarnya ia malu untuk meminta bantuan Elena.

"Baiklah, kita akan cari di ruang rapat. Aku yakin anak itu meninggalkannya di sana," ucap Evan yakin.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang rapat. Tak terhindarkan beberapa pasang mata tertuju pada mereka. Beberapa karyawan berbisik kalau mereka akan cocok jika menjalin kasih atau bahkan menikah. Pasangan yang ideal menilik kesuksesan yang telah mereka capai.

Namun, ada beberapa yang menyinggung soal mantan suami Elena yang bukan berasal dari keluarga terpandang.

Elena tak menggubris mereka, ia bersama Evan memasuki lift untuk ke ruang rapat.

"Kamu yakin mainan keponakanmu ada disini?" tanya Elena yang mulai mencari di bawah meja.

"Sebelum dia keluar dan menabrak kamu dia sempat memainkan mobil itu di sini." Evan ikut berjongkok di samping Elena.

"Baiklah, Evan sebaiknya kita mulai mencari." Elena menyisir bawah meja dengan matanya. Ia lupa bertanya jenis mobil apa yang hilang itu. "Evan, mobilnya seperti apa?"

"Mobil bus kecil berwarna hijau, kira-kira ukuran telapak tanganku," sahut Evan menggeser satu persatu kursi.

"Itu dia!"

"Itu dia!"

Serentak keduanya mengucapkan kalimat yang sama ketika melihat keberadaan mobil mainan di seberang mereka.

Elena dan Evan sempat tertegun sesaat. Mereka saling menatap satu sama lain, berakhir salah satunya yang mengerjap lebih dulu.

Mereka memutuskan untuk keluar dari bawah meja. Namun karena terlalu buru-buru benturan keplaa keduanya tak terelakkan.

Dugh.

"Aww ...." Elena meringis.

"M-maaf-maaf aku tidak sengaja, biar kulihat kepalamu," Evan menangkup kedua pipi Elena dengan tangan kokohnya, ia lamtas meniup bagian pucuk kepala Elena yang terkena benturan. "Pasti sakit, ya! Maafkan aku, Elena. Aku sungguh tidak sengaja," ucap Evan menyesal di sela-sela tiupannya.

Elena yang baru mendapat perlakuan seperti itu dari laki-laki terkesima. Ia memperhatikan Evan, tak hanya wajahnya yang tampan namun hatinya juga rupawan.

Tak lama kemudian Evan menyunggingkan senyum dan mengelus kepala Elena sayang. "Baiklah, aku yakin lukanya sudah baik. Biar aku saja yang mengambilnya, ya. Sebentar."

Tak sadar Elena mengangguk setuju, padahal ia yakin kepala Evan juga sakit. Namun laki-laki itu malah bertanya dan mengutamakan Elena lebih dulu.

"Huh, misi sudah selesai." Akhirnya Evan bisa menarik nafas lega setelah menemukan mainan Aldo.

Evan kembali menghampiri Elena. Dia lantas mengeluarkan ponsel menyambungman panggilan video bersama seseorang.

Elena menautkan alisnya heran, namun beberapa saat kemudian, Elena mengukir senyum mendrngar suara anak kecil dari ponsel Evan.

"Om!! Mainanku sudah ketemu yaa?!!" tanyanya antusias.

Elena yang berada di samping Evan dapat melihat anak itu dengan jelas di layar ponsel.

"Sudah, Sayang. Lihaaat!!" Evan mengibaskan mobil itu di depan layar ponsel.

"Yeeee, Om memang terbaik!!" pekiknya kegirangan.

"Iya, Sayang lain kali jangan membuat Om Evan kesulitan," ucap wanita di samping Aldo.

"Iya, Ma."

"Kamu juga harus berterima kasih pada Tante cantik, lhoo ... Dia yang membantu Om mencari mainan kamu."

Evan melirik Elena dan mengedipkan sebelah matanya.

Elena balas tersenyum canggung.

Evan mengarahkan kamera ponsel pada Elena.

"Hai, Aldo," sapa Elena lembut.

"Wahh, jadi Tante cantik ini pacar Om Evan, ya?" tanya anak itu polos.

Sontak Elena melirik Evan. Dia bingung bagaimana cara berbisa dengan anak kecil.

"Aldo kamu ini, ya. Jangan bicara begitu tidak sopan, Nak," pesan ibu Aldo.

"Evan sudah dulu, ya! Terimakasih sudah menemukan mainan Aldo."

"Iya, Kak sama-sama."

"Kalau gitu, Kakak tutup, ya. Kamu juga pasti sibuk dan harus kembali ke kantor."

Setelah menutup panggilan, suasana canggung di antara Evan dan Elena tak bisa di hindari

"Elena, maaf tapi aku harus kembali ke kantor. Kamu gak papa kan?"

Elena mengernyit, sejak kapan seseorang akan meminta persetujuannya. Meski begitu Elena mengangguk mengiyakan.

Perasaan aneh pada hati Elena menyambutnya. Namun ia segera menepis perasat itu. Luka lamanya belum sembuh agak sulit untuk Elena percaya lagi pada seseorang.

***

"Dasar bodoh!!" maki Ambar pada putra sulungnya. "Untuk apa kamu mendatangi kantornya? Sebentar lagi kamu akan menikah dengan Valerie. Untuk apa kamu menemui wanita itu?"

Alan menunduk merasa bersalah. "Maaf, Ma. Tapi aku masih mencintainya."

Ambar membelalak. "Apa? Sejak kapan kamu mulai peduli padanya?"

Alan mengusap wajahnya gusar. Ia juga tidak tahu sejak kapan. Yang jelas ada perasaan tak rela saat Elena di bela pria berjas tadi.

"Sudahlah, Alan. Turuti saja apa kata Mama. Menikahlah segera dengan Valerie," ucap Ambar tegas.

'Cinta, sejak kapan anak itu mencintai Elena' batin Ambar.

"Ingat, Alan! Valerie tak kalah kaya dari Elena, walaupun perusahaan Elena lebih besar, tapi keluarga Valerie memiliki beberapa cabang perusahaan." Ambar memijat pelipisnya terasa pening. Ia beranjak memutuskan untuk beristirahat sejenak di kamar.

"Elena, kenapa kamu begitu mudah melupakanku? Bagaimana dengan aku sekarang?!"

***

Bab terkait

  • Pembalasan Sang Pewaris   1. Kegaduhan

    "Mas, tolong ambilkan obat."Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya.Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya."Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau.Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena.Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!"Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar.Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan.Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-m

  • Pembalasan Sang Pewaris   2. Luka terdalam

    'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe

  • Pembalasan Sang Pewaris   3. Kembalinya Sang Pewaris

    Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t

  • Pembalasan Sang Pewaris   4. CEO baru

    Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap

  • Pembalasan Sang Pewaris   5. Pembuat Onar

    Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan

Bab terbaru

  • Pembalasan Sang Pewaris   6. Mainan Pemersatu

    "Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena

  • Pembalasan Sang Pewaris   5. Pembuat Onar

    Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan

  • Pembalasan Sang Pewaris   4. CEO baru

    Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap

  • Pembalasan Sang Pewaris   3. Kembalinya Sang Pewaris

    Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t

  • Pembalasan Sang Pewaris   2. Luka terdalam

    'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe

  • Pembalasan Sang Pewaris   1. Kegaduhan

    "Mas, tolong ambilkan obat."Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya.Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya."Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau.Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena.Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!"Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar.Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan.Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-m

DMCA.com Protection Status