"Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.
Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf." Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu. "Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai." Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?" Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya." "Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu. Elena menahan senyum mengingat tingkah anak kecil yang membuatnya hampir menghantam lantai tadi. Beruntung Evan menahannya dengan cekatan. "Mau ku bantu?" tawar Elena. "Tidak perlu, Elena, terimakasih," tolak Evan halus. "Kamu tidak perlu sungkan Evan." Elena beranjak lebih dulu. "Baiklah kita mulai dari mana carinya?" Evan yang melihat Elena berdiri menggaruk tengkuknya yang tak gatal, pasalnya ia sebenarnya ia malu untuk meminta bantuan Elena. "Baiklah, kita akan cari di ruang rapat. Aku yakin anak itu meninggalkannya di sana," ucap Evan yakin. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang rapat. Tak terhindarkan beberapa pasang mata tertuju pada mereka. Beberapa karyawan berbisik kalau mereka akan cocok jika menjalin kasih atau bahkan menikah. Pasangan yang ideal menilik kesuksesan yang telah mereka capai. Namun, ada beberapa yang menyinggung soal mantan suami Elena yang bukan berasal dari keluarga terpandang. Elena tak menggubris mereka, ia bersama Evan memasuki lift untuk ke ruang rapat. "Kamu yakin mainan keponakanmu ada disini?" tanya Elena yang mulai mencari di bawah meja. "Sebelum dia keluar dan menabrak kamu dia sempat memainkan mobil itu di sini." Evan ikut berjongkok di samping Elena. "Baiklah, Evan sebaiknya kita mulai mencari." Elena menyisir bawah meja dengan matanya. Ia lupa bertanya jenis mobil apa yang hilang itu. "Evan, mobilnya seperti apa?" "Mobil bus kecil berwarna hijau, kira-kira ukuran telapak tanganku," sahut Evan menggeser satu persatu kursi. "Itu dia!" "Itu dia!" Serentak keduanya mengucapkan kalimat yang sama ketika melihat keberadaan mobil mainan di seberang mereka. Elena dan Evan sempat tertegun sesaat. Mereka saling menatap satu sama lain, berakhir salah satunya yang mengerjap lebih dulu. Mereka memutuskan untuk keluar dari bawah meja. Namun karena terlalu buru-buru benturan keplaa keduanya tak terelakkan. Dugh. "Aww ...." Elena meringis. "M-maaf-maaf aku tidak sengaja, biar kulihat kepalamu," Evan menangkup kedua pipi Elena dengan tangan kokohnya, ia lamtas meniup bagian pucuk kepala Elena yang terkena benturan. "Pasti sakit, ya! Maafkan aku, Elena. Aku sungguh tidak sengaja," ucap Evan menyesal di sela-sela tiupannya. Elena yang baru mendapat perlakuan seperti itu dari laki-laki terkesima. Ia memperhatikan Evan, tak hanya wajahnya yang tampan namun hatinya juga rupawan. Tak lama kemudian Evan menyunggingkan senyum dan mengelus kepala Elena sayang. "Baiklah, aku yakin lukanya sudah baik. Biar aku saja yang mengambilnya, ya. Sebentar." Tak sadar Elena mengangguk setuju, padahal ia yakin kepala Evan juga sakit. Namun laki-laki itu malah bertanya dan mengutamakan Elena lebih dulu. "Huh, misi sudah selesai." Akhirnya Evan bisa menarik nafas lega setelah menemukan mainan Aldo. Evan kembali menghampiri Elena. Dia lantas mengeluarkan ponsel menyambungman panggilan video bersama seseorang. Elena menautkan alisnya heran, namun beberapa saat kemudian, Elena mengukir senyum mendrngar suara anak kecil dari ponsel Evan. "Om!! Mainanku sudah ketemu yaa?!!" tanyanya antusias. Elena yang berada di samping Evan dapat melihat anak itu dengan jelas di layar ponsel. "Sudah, Sayang. Lihaaat!!" Evan mengibaskan mobil itu di depan layar ponsel. "Yeeee, Om memang terbaik!!" pekiknya kegirangan. "Iya, Sayang lain kali jangan membuat Om Evan kesulitan," ucap wanita di samping Aldo. "Iya, Ma." "Kamu juga harus berterima kasih pada Tante cantik, lhoo ... Dia yang membantu Om mencari mainan kamu." Evan melirik Elena dan mengedipkan sebelah matanya. Elena balas tersenyum canggung. Evan mengarahkan kamera ponsel pada Elena. "Hai, Aldo," sapa Elena lembut. "Wahh, jadi Tante cantik ini pacar Om Evan, ya?" tanya anak itu polos. Sontak Elena melirik Evan. Dia bingung bagaimana cara berbisa dengan anak kecil. "Aldo kamu ini, ya. Jangan bicara begitu tidak sopan, Nak," pesan ibu Aldo. "Evan sudah dulu, ya! Terimakasih sudah menemukan mainan Aldo." "Iya, Kak sama-sama." "Kalau gitu, Kakak tutup, ya. Kamu juga pasti sibuk dan harus kembali ke kantor." Setelah menutup panggilan, suasana canggung di antara Evan dan Elena tak bisa di hindari "Elena, maaf tapi aku harus kembali ke kantor. Kamu gak papa kan?" Elena mengernyit, sejak kapan seseorang akan meminta persetujuannya. Meski begitu Elena mengangguk mengiyakan. Perasaan aneh pada hati Elena menyambutnya. Namun ia segera menepis perasat itu. Luka lamanya belum sembuh agak sulit untuk Elena percaya lagi pada seseorang. *** "Dasar bodoh!!" maki Ambar pada putra sulungnya. "Untuk apa kamu mendatangi kantornya? Sebentar lagi kamu akan menikah dengan Valerie. Untuk apa kamu menemui wanita itu?" Alan menunduk merasa bersalah. "Maaf, Ma. Tapi aku masih mencintainya." Ambar membelalak. "Apa? Sejak kapan kamu mulai peduli padanya?" Alan mengusap wajahnya gusar. Ia juga tidak tahu sejak kapan. Yang jelas ada perasaan tak rela saat Elena di bela pria berjas tadi. "Sudahlah, Alan. Turuti saja apa kata Mama. Menikahlah segera dengan Valerie," ucap Ambar tegas. 'Cinta, sejak kapan anak itu mencintai Elena' batin Ambar. "Ingat, Alan! Valerie tak kalah kaya dari Elena, walaupun perusahaan Elena lebih besar, tapi keluarga Valerie memiliki beberapa cabang perusahaan." Ambar memijat pelipisnya terasa pening. Ia beranjak memutuskan untuk beristirahat sejenak di kamar. "Elena, kenapa kamu begitu mudah melupakanku? Bagaimana dengan aku sekarang?!" ***Tok. Tok. "Masuk," titah Elena saat mendengar pintu ruangannya di ketuk."Maaf, Bu. Ada tamu dari perusahaan Horison," ucap Yuni, Sekretaris Elena. "Baiklah, suruh langsung masuk.""Baik, Bu." Yuni menunduk hormat lalu keluar ruangan.Tak selang berapa lama, dua wanita masuk ke dalam ruangan. Elena beranjak. "Selamat datang di perusahaan kami," sambut Elena tersenyum."Terimakasih, Bu Elena.""Sepertinya, kamu sudah tahu nama saya," ucap Elena tersanjung."Tentu saja, berita tentang Bu Elena tersebar di mana-mana," terang wanita itu. "Saya, Valerie, wakil CEO perusahaan Horison. Dan ini sekretaris saya, Tiara." Tiara mengangguk sopan. "Saya kemari untuk membahas progres proyek kita yang di luar kota. Bagaimana, Bu. sudah ada pembaruan?" tanya Valerie langsung ke inti.'Valerie. Mungkinkah Valerie yang sama?' tanya Elena dalam hati. 'Sepertinya gak mungkin. Banyak orang yang bernama Valerie di dunia ini.'"Oh soal itu, ya? Pembangunan hotelnya berjalan dengan baik, sudah selesai s
"Aku ganti baju dulu ya, El." Evan melenggang ke ruang ganti meninggalkan Elena yang masih terpaku ditempatnya."Elena," panggil suara bariton dari belakangnya.Deg. Tanpa melihat pun Elena sudah tahu siapa yang memanggilnya. Kenapa pria itu ada dimana-mana pikir Elena. Bukankah tadi dia melihatnya dia bersama Valerie? tanya Elena dalam hati."Elena ikut aku," Tanpa menunggu persetujuan Elena, Alan menarik wanita yang masih tercatat sebagai istrinya di negara ke tempat yang lebih sepi."Alan, lepas!" Elena berusaha melepas cekalan Alan di pergelangan tangannya yang terasa sesak. Tak menggubris gertakan Elena, sampai Alan menemukan tempat yang cocok untuk berbicara dengannya.Elena hendak berbalik dan pergi, namun Alan lebih cepat mengungkung Elena di tembok."Elena, ayo kita pulang!" ajaknya tak tahu malu.Elena berdecih. "Cih. Baru satu minggu yang lalu kamu menalakku dan kamu sudah lupa, Alan? Tampaknya kamu pikun di usia muda, ya?" tanya Elena sarkas."Rujuk denganku dan kita mul
"Kalian memang sangat cocok!" Evan menyetujui ucapan Valerie. Namun tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya Evan mengalihkan pandangan ke lain arah."Ya, sepertinya memang begitu. Kami merupakan pasangan ideal," imbuh Alan percaya diri meraih Valerie dalam dekapannya.Elena melirik Evan sekilas. Sepertinya Evan juga tak nyaman dengan situasi ini. "Kalau begitu kami pamit, saya harap pelayanan hotel ini membuat kalian nyaman." Evan memberi kode pada Elena untuk mengikutinya.Elena membuntuti Evan, namun langkahnya terhenti sejenak di samping Alan. "Tanda tangani surat cerai yang ku kirim nanti!" bisiknya lantas berlalu.Alan mengepal kuat. Ia tak mungkin menunjukkan kekesalannya di depan Valerie. Bagaimanapun menikah dengan Valerie akan kembali mengangkat karirnya. "Sayang, kamu sudah pilih kamar?"Valerie mengibaskan sebuah kartu kunci masuk kamar hotel.Alan tersenyum lebar. Ia ingin bergerak cepat sekarang, begitu juga dengan Valerie yang tak ingin mengulur waktu. Mereka akan meng
"Evan?" panggil Elena menghentikan langkahnya, setelah mereka keluar dari ruangan Dokter Aura."Ya?" Evan berbalik menatap Elena."Rahasiakan kehamilanku dari siapapun, termasuk Alan," pinta Elena. Ia berusaha menutupi kegelisahannya di hadapan Evan.Evan mengangguk tanpa menanyakan hal itu lebih jauh, ia paham betul perasaan Elena sekarang. Mereka berjalan beriringan menuju mobil Evan tanpa suara. Setelah mobil melaju Evan memerhatikan Elena yang tengah jauh dalam pikirannya. "Elena, maaf kamu mau langsung pulang?" tanya Evan hati-hati. Elena menoleh dengan wajah kusut. "Ya, sepertinya aku harus pulang." Pandangannya kembali beralih pada luar jendela. Jalanan kota yang sibuk tak membuat Elena teralihkan dari kabar yang baru menyambarnya. Bagaimana mungkin dia hamil, tapi setelah diingat-ingat lagi tanggal menstruasi Elena memang sudah terlewat. Ada rasa bahagia bercampur duka. Di satu sisi doanya selama ini untuk menginginkan seorang anak terkabul, di sisi lainnya pernikahan Elen
Mata Elena mengerling pada map hijau di tangan. "Maaf, Sayang. Tapi ibu dan ayahmu harus berpisah," ucap Elena lagi.Elena membalikkan badannya kembali keluar ruangan. Ia menghampiri Yuni yang tengah sibuk dengan komputernya."Yun, kirimkan ke alamat rumah Danuarta, pastikan hari ini sampai," titahnya pada Yuni menyodorkan map itu.Yuni mendongak dan menerima sodoran map dari Elena. "Baik, Bu!" serunya tersenyum."Pastikan sampai hari ini, ya?!" tegas Elena."Siap, Bu. Saya akan melakukannya sesuai perintah," jawab Yuni patuh.Elena mengangguk lantas kembali ke ruangan. Ia menyalakan laptop masih harus mempelajari beberapa hal tentang perusahaan yang ia tinggal dua tahun lalu. Tok. Tok. Tok. Elena melirik pintu, ia tak merasa ada janji hari ini. "Masuk!" titahnya.Daun pintu terbuka menampilkan Yuni. "Kenapa, Yun?" tanya Elena."Maaf, Bu. Ada yang ingin bertemu dengan Ibu. Saya sudah berusaha keras melarangnya namun dia memaksa," ucap Yuni menyesal.Elena mengerutkan dahi. "Siapa?"
Mata Elena terbuka perlahan, menampilkan beberapa orang yang tengah sibuk memeriksa kondisinya."Bu Elena sudah siuman, Dok," ucap salah satu suster yang pertama kali melihat Elena membuka mata.Dokter perempuan itu memutar badan menghampiri Elena. "Bu Elena, apa kepalanya terasa sakit?" tanya Dokter langsung."Hanya pusing," jawab Elena lemah.Sementara suster yang satu lagi mengubah kecepatan tetesan infus lebih lambat. "Baiklah kita periksa lagi, sebentar." Dokter Aura yang memeriksanya waktu itu menempelkan stetoskop ke dada Elena. Setelah selesai sang Dokter membungkus lengan atas Elena dengan alat tensi darah, keningnya mengkerut. "Tekanan darah ibu agak tinggi."Elena tak kaget lagi, setelah bertemu dengan Ambar dia memang agak tertekan. Dokter melepas alat itu lalu bertanya, "Apa Ibu akhir-akhir ini banyak pikiran?""Mungkin, Dok.""Sebaiknya Ibu istirahat yang cukup, ya. Saya akan resepkan beberapa vitamin dan penurun darah," imbuh Dokter itu lantas berbicara dengan salah s
Sekali lagi Alan melirik map hijau yang teronggok di lantai. "SIALL!!" geramnya. Satu hentakan Alan menarik ujung sepreinya kasar hingga bantal dan guling yang berada diatasnya porak poranda di lantai. Tangannya mengepal kuat. Hatinya merasa tercabik-cabik mendapat perlakuan Elena sekarang. Wanita yang biasanya patuh itu kini berubah menjadi wanita tangguh.Alan mengusap wajahnya gusar. "Elena!! Jika ini yang kamu mau aku akan turuti!! Tapi lihat saja. Hidupmu tidak akan bahagia...!!"Dengan kasar Alan menyambar map hijau itu dan mencari bolpoin di dalam laci. Tak perlu usaha yang keras saat ia membuka laci paling atas tampak bolpoin berwarna hitam menyambutnya. Alan segera membuka map itu dan membubuhkan tanda tangan dengan rusuh. "Lihat Elena! Aku sudah menandatangani surat cerai ini," katanya entah pada siapa.***"Assalamu'alaikum!" ucap seorang pria yang baru membuka pintu kamar bangsal Elena."Waalaikumsalam," sahut Clarissa dan Elena kompak.Evan menampakkan senyum dan mengha
"Mas ... tolong ambilkan obat ...." Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya. Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya. "Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau. Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu, ia malah membalikkan badan membelakangi Elena. Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!" Alan yang merasa terusik menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucap Elena bergetar. Alan berdecak kesal menatap Elena ia bangkit terduduk dengan menyandar di kepala ranjang. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan. Elena mend
Sekali lagi Alan melirik map hijau yang teronggok di lantai. "SIALL!!" geramnya. Satu hentakan Alan menarik ujung sepreinya kasar hingga bantal dan guling yang berada diatasnya porak poranda di lantai. Tangannya mengepal kuat. Hatinya merasa tercabik-cabik mendapat perlakuan Elena sekarang. Wanita yang biasanya patuh itu kini berubah menjadi wanita tangguh.Alan mengusap wajahnya gusar. "Elena!! Jika ini yang kamu mau aku akan turuti!! Tapi lihat saja. Hidupmu tidak akan bahagia...!!"Dengan kasar Alan menyambar map hijau itu dan mencari bolpoin di dalam laci. Tak perlu usaha yang keras saat ia membuka laci paling atas tampak bolpoin berwarna hitam menyambutnya. Alan segera membuka map itu dan membubuhkan tanda tangan dengan rusuh. "Lihat Elena! Aku sudah menandatangani surat cerai ini," katanya entah pada siapa.***"Assalamu'alaikum!" ucap seorang pria yang baru membuka pintu kamar bangsal Elena."Waalaikumsalam," sahut Clarissa dan Elena kompak.Evan menampakkan senyum dan mengha
Mata Elena terbuka perlahan, menampilkan beberapa orang yang tengah sibuk memeriksa kondisinya."Bu Elena sudah siuman, Dok," ucap salah satu suster yang pertama kali melihat Elena membuka mata.Dokter perempuan itu memutar badan menghampiri Elena. "Bu Elena, apa kepalanya terasa sakit?" tanya Dokter langsung."Hanya pusing," jawab Elena lemah.Sementara suster yang satu lagi mengubah kecepatan tetesan infus lebih lambat. "Baiklah kita periksa lagi, sebentar." Dokter Aura yang memeriksanya waktu itu menempelkan stetoskop ke dada Elena. Setelah selesai sang Dokter membungkus lengan atas Elena dengan alat tensi darah, keningnya mengkerut. "Tekanan darah ibu agak tinggi."Elena tak kaget lagi, setelah bertemu dengan Ambar dia memang agak tertekan. Dokter melepas alat itu lalu bertanya, "Apa Ibu akhir-akhir ini banyak pikiran?""Mungkin, Dok.""Sebaiknya Ibu istirahat yang cukup, ya. Saya akan resepkan beberapa vitamin dan penurun darah," imbuh Dokter itu lantas berbicara dengan salah s
Mata Elena mengerling pada map hijau di tangan. "Maaf, Sayang. Tapi ibu dan ayahmu harus berpisah," ucap Elena lagi.Elena membalikkan badannya kembali keluar ruangan. Ia menghampiri Yuni yang tengah sibuk dengan komputernya."Yun, kirimkan ke alamat rumah Danuarta, pastikan hari ini sampai," titahnya pada Yuni menyodorkan map itu.Yuni mendongak dan menerima sodoran map dari Elena. "Baik, Bu!" serunya tersenyum."Pastikan sampai hari ini, ya?!" tegas Elena."Siap, Bu. Saya akan melakukannya sesuai perintah," jawab Yuni patuh.Elena mengangguk lantas kembali ke ruangan. Ia menyalakan laptop masih harus mempelajari beberapa hal tentang perusahaan yang ia tinggal dua tahun lalu. Tok. Tok. Tok. Elena melirik pintu, ia tak merasa ada janji hari ini. "Masuk!" titahnya.Daun pintu terbuka menampilkan Yuni. "Kenapa, Yun?" tanya Elena."Maaf, Bu. Ada yang ingin bertemu dengan Ibu. Saya sudah berusaha keras melarangnya namun dia memaksa," ucap Yuni menyesal.Elena mengerutkan dahi. "Siapa?"
"Evan?" panggil Elena menghentikan langkahnya, setelah mereka keluar dari ruangan Dokter Aura."Ya?" Evan berbalik menatap Elena."Rahasiakan kehamilanku dari siapapun, termasuk Alan," pinta Elena. Ia berusaha menutupi kegelisahannya di hadapan Evan.Evan mengangguk tanpa menanyakan hal itu lebih jauh, ia paham betul perasaan Elena sekarang. Mereka berjalan beriringan menuju mobil Evan tanpa suara. Setelah mobil melaju Evan memerhatikan Elena yang tengah jauh dalam pikirannya. "Elena, maaf kamu mau langsung pulang?" tanya Evan hati-hati. Elena menoleh dengan wajah kusut. "Ya, sepertinya aku harus pulang." Pandangannya kembali beralih pada luar jendela. Jalanan kota yang sibuk tak membuat Elena teralihkan dari kabar yang baru menyambarnya. Bagaimana mungkin dia hamil, tapi setelah diingat-ingat lagi tanggal menstruasi Elena memang sudah terlewat. Ada rasa bahagia bercampur duka. Di satu sisi doanya selama ini untuk menginginkan seorang anak terkabul, di sisi lainnya pernikahan Elen
"Kalian memang sangat cocok!" Evan menyetujui ucapan Valerie. Namun tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya Evan mengalihkan pandangan ke lain arah."Ya, sepertinya memang begitu. Kami merupakan pasangan ideal," imbuh Alan percaya diri meraih Valerie dalam dekapannya.Elena melirik Evan sekilas. Sepertinya Evan juga tak nyaman dengan situasi ini. "Kalau begitu kami pamit, saya harap pelayanan hotel ini membuat kalian nyaman." Evan memberi kode pada Elena untuk mengikutinya.Elena membuntuti Evan, namun langkahnya terhenti sejenak di samping Alan. "Tanda tangani surat cerai yang ku kirim nanti!" bisiknya lantas berlalu.Alan mengepal kuat. Ia tak mungkin menunjukkan kekesalannya di depan Valerie. Bagaimanapun menikah dengan Valerie akan kembali mengangkat karirnya. "Sayang, kamu sudah pilih kamar?"Valerie mengibaskan sebuah kartu kunci masuk kamar hotel.Alan tersenyum lebar. Ia ingin bergerak cepat sekarang, begitu juga dengan Valerie yang tak ingin mengulur waktu. Mereka akan meng
"Aku ganti baju dulu ya, El." Evan melenggang ke ruang ganti meninggalkan Elena yang masih terpaku ditempatnya."Elena," panggil suara bariton dari belakangnya.Deg. Tanpa melihat pun Elena sudah tahu siapa yang memanggilnya. Kenapa pria itu ada dimana-mana pikir Elena. Bukankah tadi dia melihatnya dia bersama Valerie? tanya Elena dalam hati."Elena ikut aku," Tanpa menunggu persetujuan Elena, Alan menarik wanita yang masih tercatat sebagai istrinya di negara ke tempat yang lebih sepi."Alan, lepas!" Elena berusaha melepas cekalan Alan di pergelangan tangannya yang terasa sesak. Tak menggubris gertakan Elena, sampai Alan menemukan tempat yang cocok untuk berbicara dengannya.Elena hendak berbalik dan pergi, namun Alan lebih cepat mengungkung Elena di tembok."Elena, ayo kita pulang!" ajaknya tak tahu malu.Elena berdecih. "Cih. Baru satu minggu yang lalu kamu menalakku dan kamu sudah lupa, Alan? Tampaknya kamu pikun di usia muda, ya?" tanya Elena sarkas."Rujuk denganku dan kita mul
Tok. Tok. "Masuk," titah Elena saat mendengar pintu ruangannya di ketuk."Maaf, Bu. Ada tamu dari perusahaan Horison," ucap Yuni, Sekretaris Elena. "Baiklah, suruh langsung masuk.""Baik, Bu." Yuni menunduk hormat lalu keluar ruangan.Tak selang berapa lama, dua wanita masuk ke dalam ruangan. Elena beranjak. "Selamat datang di perusahaan kami," sambut Elena tersenyum."Terimakasih, Bu Elena.""Sepertinya, kamu sudah tahu nama saya," ucap Elena tersanjung."Tentu saja, berita tentang Bu Elena tersebar di mana-mana," terang wanita itu. "Saya, Valerie, wakil CEO perusahaan Horison. Dan ini sekretaris saya, Tiara." Tiara mengangguk sopan. "Saya kemari untuk membahas progres proyek kita yang di luar kota. Bagaimana, Bu. sudah ada pembaruan?" tanya Valerie langsung ke inti.'Valerie. Mungkinkah Valerie yang sama?' tanya Elena dalam hati. 'Sepertinya gak mungkin. Banyak orang yang bernama Valerie di dunia ini.'"Oh soal itu, ya? Pembangunan hotelnya berjalan dengan baik, sudah selesai s
"Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan