Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan.
Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat. "Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum. Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya." "Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau. Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius. "Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya. Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya. Elena menyambut hangat uluran itu. "Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena. Elena membulatkan mulutnya takjub. Setelah basa-basi sebentar Evan dan orang tuanya pamit pulang. Elena juga kembali ke ruangannya. Berita soal pengangkatan Elena sebagai CEO di tayangkan di saluran televisi, juga tersebar di seluruh media sosial dan media cetak menghebohkan jagat maya. "Anak semata wayang Wijaya Group Mountain Properti Company kembali membawa kabar baik, setelah lama tak terdengar kabarnya." "Pertanyaan kian mencuat perihal keberadaan Elena Sarasvati selama ini." "Kabarnya dia sudah menikah dan di talak mentah-mentah oleh suaminya tanpa belas kasih." "Sang Pewaris kembali." "Kabar hangat kali ini datang dari WGM, sebuah perusahaan properti terkenal yang sempat di kabarkan bangkrut beberapa bulan lalu, kembali memenangkan tender besar. Perusahaan itu di gadang-gadang akan kembali mengepakkan sayapnya, merambat ke mancanegara. Apalagi dengan kehadiran CEO baru selaku anak semata wayang berikut pewaris tunggal yang bersiap menggeluti dunia bisnis internasional." "Elena?" Nyla yang pertama kali menyadari sosok Elena di layar kaca menyita perhatian anggota keluarga lain. Alan menatap mantan istrinya yang terlihat lebih menawan sejak terakhir kali pertemuan mereka malam itu. Ambar mematung di tempatnya. Wanita yang sudah ia hempas dengan keji itu menjadi CEO perusahaan ternama. Keluarga Wijaya kembali mengeluarkan taringnya sekarang. "Ma, dia Elena yang sama kan?" tanya Nyla justru membuat Ambar semakin kesal. "Menurutmu ada berapa banyak Elena di dunia ini?!" sinis Ambar masih tak percaya dengan berita yang ada di televisi. "Aku hanya bertanya saja," gerutu Nyla. "Pertanyaanmu malah membuat kepalaku sakit." "Sayang, lebih baik kamu diam dulu," saran Baron tak ingin istrinya kena semprot. Penyesalan menggerayangi hati Alan, namun secercah harapan membuat api semangat membara dalam dirinya. Ia harus menghampiri Elena dan meminta maaf sebelum terlambat. Ia yakin Elena akan dengan senang hati menyambutnya dan mengangkat dirinya sebagai direktur. "Alan, temui Valerie segera!" "Kenapa harus, Ma?" "Alan, ikuti saja perintahku! Keluarga Valerie tak kalah kaya dengan mereka." "Ma, bagaimana jika aku kembali pada Elena?" tanya Alan memberi pintasan. "Jangan bodoh, Alan!" Ambar semakin geram. Gerahamnya menggertak gemas. Bagaimana mungkin keluarga Wijaya bangkit dalam waktu singkat. Ia yakin ada manipulasi di dalamnya. Alan terpaksa patuh. Namun tak salah jika ia mencobanya nanti. Disisi lain, Elena tersenyum puas. Keluarga Danuarta pasti sudah melihat berita tentangnya tersebar di semua media. "Kegagalan menyakitkan, namun berlalu dengan cepat. Berbeda dengan penyesalan yang menyakitkan selamanya," desis Elena seraya menyesap kopi perlahan di atas kursi kebesarannya. Drrrttt... Drrrttt... Drrrtt... Elena melirik ponselnya sekilas yang menyala diatas meja menampilkan nama Alan. Ia tersenyum miring tak menghiraukan panggilan itu. Jam istirahat makan siang, Elena memilih untuk turun mencari makan di kantin kantor. "LEPAS!! ELENA!! KELUARLAHH, INI AKU SUAMIMU!! ARRGGHH!! Kalian akan menyesal setelah mengetahui siapa aku sebenarnya!!" Elena menautkan alis saat gendang telinganya terganggu kegaduhan di luar. "Ada apa ini?" tanya Elena. Sontak matanya membulat mendapati Alan sedang di tahan dua satpam berbadan tegap. "Elena! Katakan pada mereka kalau aku suamimu! Mereka tidak mempercayaiku." Elena terlihat berpikir sejenak. Ada baiknya ia mengobrol sebentar dengan Alan untuk menunjukkan kalau dia wanita tangguh. "Lepaskan dia, Pak. Saya mengenalnya," ujar Elena yang langsung di patuhi mereka. Kedua pria berbadan kekar itu lantas berlalu meninggalkan Alan dan Elena. "Lihat? Sudah kubilang aku suaminya!" pekik Alan pada punggung mereka yang hendak menjauh. Elena menatapnya iba. "Kamu sudah bukan suamiku, Alan." Alan menghampiri Elena dengan raut melasnya. "Elena, maafkan aku, Sayang. Aku khilaf. Kita bisa memulai lembaran baru bukan?" Elena mendengus. "Jangan mimpi!" "Kamu sudah berjaya sekarang, Elena. Mama pasti akan senang menyambut mu pulang ke rumah. Bagaimana jika aku menemanimu sampai jam pulang nanti. Kita pulang bersama," bujuk Alan tanpa rasa malu. Elena menggeleng tak habis pikir. Nyaris tak percaya kalau dia pernah tergila-gila pada sosok dihadapannya yang berujung meninggalkan keluarganya sendiri. "Kamu lupa talakmu sudah jatuh, Alan." Elena memperingatkan. "K-kita bisa rujuk, Sayang." Alan menatapnya penuh harap. "Alan, sebaiknya kamu pulang. Tak ada gunanya kamu disini, hanya akan memperkeruh keadaan." "Maksudmu?" "Ya, kurasa aku tidak perlu mengulanginya. Kamu tidak sadar sudah membuat kerusuhan barusan?" tanya Elena sarkas. "ELENA!! Jangan pikir karena kau seorang anak pengusaha terkenal aku tidak berani padamu!" Alan mulai naik pitam melihat respon Elena yang tak peduli. "Lalu apa? Kenapa aku harus tunduk pada seorang pengangguran?" "ELENA!" Alan bersiap melayangkan tamparan namun lengannya tiba-tiba berhenti di udara. Pria dengan setelan jas abu-abu dengan sigap menghalau lengan Alan. "Jangan menjadi pengecut!!" Alan melepas lengannya yang berada dalam cekalan pria asing itu kasar. "Siapa kamu berani ikut campur dalam urusan rumah tangga kami?!" Evan tersenyum remeh. "Aku tidak melihat peranmu sebagai suami disini. Suami mana yang akan tega melakukan kekerasan pada istrinya?!" Menilik dari penampilan pria itu, Alan yakin kalau dia juga bukan orang sembarangan. "Pernikahan kami masih terdaftar secara sah di negara." "Alan, jangan bicara omong kosong! Sebaiknya kamu pergi dan jangan muncul lagi di hadapanku!" Elena angkat bicara. Evan memperhatikan Elena dan Alan bergantian. Ia yakin Alan bukan suami yang baik sebelumnya. "Elena! Ikut denganku sekarang!" Di luar dugaan Alan menarik Elena secara paksa. Dengan cekatan Evan menarik Elena dan menyembunyikannya di balik tubuh tegap miliknya. "Pergi!" usir Evan. Bugh. Satu pukulan dari Alan membuat Evan terhuyung ke samping. "Sial!" Evan tak terima ia balas menghantam rahang Alan dengan kuat. Bugh. Seketika Alan tersungkur ke tanah. Elena menangkup mulut dengan kedua tangannya. Ia tak ingin adu jotos mereka berlanjut. Ia berteriak memanggil satpam. Dua pria tegap datang memegangi kedua sisi tubuh Alan. "Elena! Kamu berani melakukan ini padaku?!" "Bawa dia pergi, jangan biarkan orang ini masuk lagi!!" tegas Elena pada kedua satpam itu. "Baik, Bu!!" jawab mereka tak kalah tegas. "Elena!! Sial!! Aku ini masih suamimu!!" Alan terus meracau, sampai wajahnya tenggelam di tikungan."Mas, tolong ambilkan obat."Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya.Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya."Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau.Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena.Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!"Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar.Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan.Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-m
'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe
Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t
Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan
Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap
Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t
'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe
"Mas, tolong ambilkan obat."Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya.Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya."Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau.Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena.Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!"Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar.Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan.Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-m