'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati.
Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pemarah," ejek Nyla seraya menatap rendah Elena. Situasi macam apa ini. Satu lawan empat itu sebuah perundungan. Elena tak akan kalah, ia akan pulang membawa kemenangan. "Nyla, ku peringatkan, ya, kamu itu tahu apa tentangku? Kamu akan tahu seiring berjalannya waktu. Kita lihat sampai mana kalian akan terus mendongak ke atas. Kamu pikir, siapa yang membayar pajak dan listrik? Itu semua aku yang bayar! Belum lagi makanan dan baju-baju yang kalian pakai, itu semua dari hasil keringatku!" Nyla tak sedikitpun terpengaruh. Ia memutar bola matanya jengah mendengar celotehan Elena yang tak penting. Baron mengusap wajahnya gusar. Ia bingung untuk mengambil sikap, terlebih ada Alan yang berstatus sebagai suami dari wanita gila itu alias Elena. "Cukup Elena!" Alan meninggikan suaranya agar Elena diam. Tak surut dengan itu Elena memalingkan wajahnya ke samping. Dia benar-benar bodoh. Kemana saja selama ini? Ular-ular berbisa itu siap mematuknya kapan saja, namun dia memilih untuk diam pura-pura tak melihat daripada menyelamatkan diri. "Alan, bersiaplah untuk pertemuanmu dengan Valerie. Mama yakin kamu pasti cocok dengannya," ujar Ambar dengan percaya diri. Alan tak bisa menolak dia hanya mengangguk samar membalas ucapan Ambar. 'Dasar bodoh!' cibir Elena dalam hati. Sampai kapan hidupnya akan di setir ibunya sendiri. "Aset keluarga Valerie tersebar di seluruh Nusantara. Kamu tidak perlu cemas akan kemiskinan, Alan. Hidupmu terjamin, bahkan untuk cucu-cucuku kelak." Ambar melirik Elena yang tak berkutik. Ia tahu tembakannya tepat sasaran. "Dia cantik dan berpendidikan, tutur katanya lemah lembut seperti dewi Amalthea dalam mitologi Yunani. Dia akan membawamu dalam karir yang cemerlang. Tidak seperti ilalang yang hanya menumpang hidup di rumah mertuanya." Matanya mengerling pada Elena untuk melihat reaksi menantunya itu. Elena menggeleng, kesabarannya sudah habis. Ia menarik nafasnya dalam. "Baiklah, Mas. Kita bercerai!" Sontak semua mata tertuju pada Elena. Mereka tak mengira Elena akan mengatakan hal sakral itu dengan mudah. "Kenapa? Kalian tidak salah dengar. Aku mengatakannya dengan jelas bukan?" "Apa maksudmu, Elena?" Alan yang masih tak menyangka meminta penjelasan. "Aku lelah, Alan! Kamu sudah menyaksikan perlakuan keluargamu padaku! Dan kamu hanya diam tak sedikitpun membelaku. Kamu sama saja seperti mereka! Dari awal kalian hanya menginginkan uangku." Mata Elena bergetar. Dadanya bergemuruh merasakan gejolak emosional jiwa dan raganya yang kian meningkat. "Kalau di pikir-pikir aku seperti orang bodoh yang menyerahkan semua hidupku pada kalian yang tak tahu berterimakasih! Dua tahun pengorbananku sia-sia hanya untuk bertahan disini!" Tak ada yang menyanggahnya Elena kembali bersuara. "Aku masih disini dan kalian berusaha menggantikan posisiku dengan wanita lain? Lantas bagaimana denganku? Kalian sama sekali tidak memikirkan lewat sudut pandangku!" "Sudah selesai?" tanya Ambar enteng. Elena mendelik kesal. "Orang bodoh mana lagi yang akan menyerahkan hidupnya pada kalian?!" "ELENA!!" bentak Alan. "Talak dia Alan!" titah Ambar tak ingin mengulur waktu. "T-tapi, Ma." Nyla tersenyum miring. Hatinya bersorak-sorai kegirangan, menyaksikan momen bersejarah yang tak mungkin ada pengulangan dimanapun. "Ambil keputusan sekarang, Kak!" Baron yang sudah tak tahan dengan keributan yang timbul karena ulah Elena, mendukung penuh sang ibu. "Kamu masih ingin mempertahankan wanita sepertinya?!" 'Bersiaplah, Elena!' pekik Nyla dalam hati. Elena menahan nafas bersiap menerima kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hatinya sudah memberi sinyal agar dia tetap tegar. Namun matanya terasa panas melihat Alan yang menatap lurus padanya, seolah mata mereka sudah berinteraksi lebih dulu. Ketegangan memasuki ke setiap serat tubuhnya. "Elena, dengan ini aku jatuhkan talak satu! Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi! Aku menceraikan mu dalam keadaan sadar." Seketika sengatan listrik terasa menyambar tubuh Elena. Air matanya luruh tanpa permisi. Walaupun ia sudah menduga hal itu, namun rasanya sakit berkali lipat saat mendengarnya. Untuk terakhir kali Elena menatap wajah Alan. Menegaskan pada hatinya kalau Alan bukan suaminya lagi. Bruk! Pertahanan Elena ambruk. Nyla tersenyum miris, menatap Elena yang tak berdaya. 'Wajahmu memang cantik, Elena. Tapi nasib buruk selalu menyertaimu. Mungkin kesialanmu adalah harga yang harus kamu bayar untuk wajah cantikmu itu.' batin Nyla. 'Puas kalian!!' pekik Elena dalam hati. Suara tangisnya mengundang belas kasih untuk siapapun yang mendengarnya. Namun tak berlaku pada keluarga Danuarta. Ambar dengan sigap menarik Elena berdiri. "Tunggu apa lagi? Pergi dari rumahku sekarang!" Elena menyeka air matanya kasar. "Bu, diluar hujan, tidak bisakah kau membiarkan matahari terbit lebih dulu?" "Ah, sudah! Jangan bernegosiasi denganku! Pergi dari rumahku! Sampah sepertimu tak pantas tidur disini!" Sekilas Elena melirik Alan yang tak sedikitpun tergerak hatinya untuk menahan perlakuan Ambar. "Bu, aku sedang sakit! Setidaknya biarkan aku satu malam lagi!" Elena memohon dengan tulus. Tubuhnya benar-benar terasa tak karuan sekarang. Elena yakin suhu tinggi tubuhnya dapat di rasakan Ambar yang sedang menarik lengannya. Nyla dengan senang hati membukakan pintu utama. Bruk! Tubuh Elena terhempas begitu saja di tanah yang basah dengan air hujan mengguyur tubuhnya. Nyla melambai padanya di balik tubuh Ambar. "Biarkan air hujan membasuh tubuhmu yang hina itu!" cela Ambar sebelum menutup pintu dengan kasar. Brakk! Elena terkesiap. Tangisannya pecah saat itu juga bercampur dengan air hujan. Seolah langit pun tahu dan ikut menangisi nasibnya yang malang. Elena bangkit, tak ada gunanya meneteskan air mata hanya karena goresan luka dari mereka yang tak punya etika. Ia bergegas melangkahkan kakinya menuju depan komplek. Kepalanya terangkat memberitahu pada dunia kalau dia baik-baik saja. Namun hatinya rapuh merasakan belenggu tak berujung. Beberapa menit yang lalu ia diceraikan dan diusir. Akhirnya kapalnya bersama Alan karam di lautan menyisakan luka yang terdalam. Sebuah mobil sedan hitam menghampiri Elena. Kaca depan terbuka menampilkan Mike—pengawal yang selama ini di tugaskan untuk mengawasi Elena. "Antarkan aku ke rumah," titahnya pada Mike yang langsung di balas anggukan kecil. Pria bertubuh tegap itu keluar dari mobil lantas membukakan pintu penumpang agar atasannya bisa masuk. Untuk terakhir kalinya Elena menatap sebuah ukiran dinding bertuliskan 'Cempaka Putih'. Elena menjatuhkan salivanya kasar di tanah. "Cuih. Tunggu pembalasanku! Kalian akan membayar semuanya!!"Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t
Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan
"Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena
"Mas, tolong ambilkan obat."Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya.Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya."Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau.Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena.Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!"Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar.Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan.Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-m
"Aww!" pekik Evan yang merasa perih saat Elena mengobati lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik.Reflek Elena menarik lengannya. "Maaf."Luka robekan di sudut bibir Evan mengingatkan Elena pada perlakuan Alan yang diterimanya beberapa waktu lalu."Dia suami kamu?" tanya Evan hati-hati. Elena melirik Evan sekilas. "Bukan. Kami sudah bercerai."Evan mengangguk paham. Dari kejadian tadi dapat dilihat kalau pria itu masih sering mengganggu Elena, pikir Evan. Elena yang heran dengan kehadiran Evan bertanya, "Ngomong-ngomong, bukannya kamu sudah pulang? Kenapa balik lagi?"Ucapan Elena mengingatkan Evan tentang suatu hal. "Benar. Mobil mainan milik keponakanku tertinggal. Jadi aku diminta untuk mengambilnya.""Keponakanmu yang tadi?" "Ya, dia memang nakal dan manja. Dia terus saja merengek minta diambilkan. Kalau dia bukan keponakanku mungkin aku sudah menitipkannya di panti asuhan." Anehnya Evan begitu lancar berbicara pada Elena padahal mereka baru bertemu.Elena mena
Akhirnya rapat selesai para petinggi perusahaan serta pemegang saham mulai undur diri meninggalkan ruangan. Seorang pria dengan rambut yang sudah memutih menghampiri Julian dan Elena. Ia mengulurkan tangan memberi selamat."Selamat bergabung, Nona Elena. Saya percaya di tangan Anda perusahaan akan lebih meningkat dengan inovasi dan kreativitas yang lebih maju," imbuhnya melebarkan senyum.Elena balas tersenyum menerima uluran pria itu. "Terimakasih, Pak. Namun saran dan kritik Bapak juga akan saya nantikan mengenai kinerja saya ke depannya.""Ya, memang sudah seharusnya begitu," ucapnya dengan nada gurau.Mereka terkekeh geli mendapati raut Elena yang sebelumnya menganggap hal itu serius."Oh, ya, perkenalkan. Ini Evan, anak saya," ujar pria itu lagi menunjuk pria yang sudah bertemu dengan Elena sebelumnya.Evan mengulurkan tangan seraya menyunggingkan senyum menawannya.Elena menyambut hangat uluran itu."Dia CEO perusahaan Adhyaksa," bisik Julian di telinga Elena.Elena membulatkan
Elena mematut dirinya di depan cermin, blazer merah marun dengan celana warna senada menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rambut yang ia catok bergelombang tergerai bebas turut menyempurnakan penampilannya. Senyumnya mengembang bersiap membawa dirinya dalam versi baru.Elena bergegas keluar kamar untuk menyapa kedua orang tuanya."Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Elena dengan mata berbinar. Kehidupannya sudah kembali ke pengaturan awal, tanpa sadar ia sudah menghapus perangkat yang memberatkan beban pikiran dan hatinya."Pagi, Sayang," jawab mereka kompak."Mau makan apa, Nak?" tanya Julian lembut."Pancake ada?""Tentu, Sayang. Mama sudah buatkan spesial untuk kamu," Clarissa beranjak menyodorkan satu piring berisi dua potong pancake dengan krim vanila dan potongan stroberi di atasnya.Elena mulai memotong kue itu dengan cantik lantas menikmati setiap suapan kue yang sudah hampir ia lupakan."Sayang, kamu sudah siap untuk hari ini?" tanya Julian."Pastinya, Pa. Aku sudah sehat dan siap
Elena membuka matanya perlahan, cahaya lampu LED yang menggantung di tengah ruangan menyambutnya pertama kali. Aroma obat-obatan menusuk hidung bangirnya tanpa permisi menguak perihal dimana posisinya sekarang.Nyeri terasa merambat ke seluruh tubuhnya, bahkan ia tak merasakan kehadiran tulang-belulang di dalamnya. Kepalanya juga terasa berat. Manik Elena bergulir ke samping.Sepasang mata familiar menyambutnya. "Mama?" Mata Elena berbinar mendapati wanita paruh baya yang sudah lama ia rindukan disampingnya. Clarissa tersenyum. "Kamu sudah merasa lebih baik?" Jemari lentik wanita itu mengelus pucuk kepala Elena lembut.Elena mengangguk samar. Pikirannya mengembara memutar kembali rangkaian peristiwa semalam. Benar. Dia sudah di depak dari kediaman Danuarta dengan cara yang kasar. Setelah itu ia berjalan di bawah hujan menuju gerbang komplek untuk pulang ke rumahnya.Belum sempat menggapai pintu, pandangannya buram dan ia terjatuh tak sadarkan diri."Kata Dokter kamu kelelahan dan t
'Sial! Keluarga ini sudah benar-benar gila harta!' pekik Elena dalam hati. Elena yang mendengar perkataan Nyla tertawa hambar. "Haha, Valerie? Kaya? Baiklah kita lihat orang bodoh mana lagi yang akan terperangkap dalam lingkaran hitam keluarga Danuarta ini!" "Elena! Jaga sikapmu!" Sontak Alan tak percaya Elena mengatakannya. "Kenapa, Mas? Suaramu sudah kembali setelah membisu beberapa saat?" Elena tersenyum getir. Lama-lama dia bisa gila jika terus-menerus berhadapan dengan mereka. Wajah asli keluarga ini terungkap saat mendengar keluarga Elena bangkrut. Menyedihkan! Benar-benar lintah darat. Alan terkesiap mendengar nada bicara Elena. "Lihatlah, Alan! Begitukah cara seorang istri berbicara pada suaminya?!" Ambar menggeleng tak habis pikir. Elena menatap Alan menunggu jawaban. Jika ini akhirnya, ia akan mengikuti permainan mereka sebentar lagi. "Benar, Ma. Dia memang jauh berbeda dengan Valerie. Selain cantik, Valerie juga bersikap lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang pe
"Mas, tolong ambilkan obat."Suhu tinggi memicu hawa panas yang terus menyeruak dari dalam tubuh Elena. Ia menarik selimut hingga membungkus sempurna sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Gigi-giginya bergemeletuk diluar kendali si empunya.Paras cantik Elena yang menawan itu kini terlihat pucat. Ia melirik suaminya yang tengah larut dalam mimpi di sebelahnya."Mas?" panggil Elena lagi dengan suara parau.Namun, Alan tak mengindahkan panggilan itu dan malah membalikkan badan membelakangi Elena.Melihat itu, Elena mendudukkan paksa tubuhnya dan memberanikan diri mengguncang bahu Alan perlahan. "Mas!"Alan menepis lengan Elena kasar. "Kamu gak punya kaki ya?! Merepotkan sekali!" gerutunya. "Aku gak kuat," ucapnya bergetar.Alan berdecak kesal. "Kamu tahu ini sudah larut malam? Waktunya istirahat, kamu malah menyuruhku ini dan itu!!" Matanya menyorot penuh kejengkelan.Elena menghembuskan nafas kesal. "Aku tidak enak badan karena kehujanan saat pulang tadi. Aku juga lelah kalau terus-m