JD terbangun keesokan paginya dengan kepala berat. Wanita itu membuka mata lalu menutupnya kembali saat menyadari lensanya belum siap untuk menerima cahaya. 'Di mana ini?' batin JD saat akhirnya bisa memindai sekitar. Kamar asing bernuansa minimalis, bercat abu-abu dan putih. Sesuatu yang berat menekan perutnya. Ia yang menoleh seketika berhadapan langsung dengan wajah Daniel yang tertidur lelap. "Apa yang-" JD bahkan dibuat menganga kala mendapati tubuh mereka polos dan hanya tertutup satu selimut tebal. JD tergelak lemah, semalam ia telah mabuk. Jika rencana awal mereka hanya minum bersama, nyatanya mereka juga tidur bersama. Entah ia harus marah atau senang saat ini. Memandangi wajah tampan Daniel, membuat pikiran JD sesaat membeku. 'Tidak, ini tidak benar. Aku harus segera pergi dari sini,' batin JD seraya menggeleng. Perlahan tapi pasti JD memindahkan tangan Daniel. Wanita itu turun dengan gerakan pelan bak kukang, berharap tak membangunkan pria muda itu. JD ambil satu per
Jumat pagi. Vinn masih duduk bersantai di ruang tengah, hanya ditemani secangkir coklat panas dan juga laptop. Meski hari ini ia sedang tidak ingin datang ke kantor, ia masih harus mengurus beberapa file dan juga email-email penting. "Sepagi ini kau sudah sibuk, Vinn?" Tuan Bara yang semalam memilih menginap di mansion muncul dengan wajah segar. Aroma mint menguar samar. "Sedikit. Ada beberapa hal harus kuselesaikan sebelum makan siang." Vinn melihat sekilas sang paman lalu kembali fokus menatap layar laptop. Tuan Bara duduk di sofa yang sama dengan Vinn, melirik layar lalu mengedikkan bahu. Ia tak pernah tertarik ikut campur pada perusahaan. Beruntung ayahnya tak pernah memaksanya menjadi penerus. "Oh ya, tentang percakapan kita dengan Zac, kurasa kakekmu tidak perlu mengetahuinya," ujar Tuan Bara mengingatkan. "Aku tahu. Penyakit jantung kakek bisa-bisa kambuh nanti," respon Vinn. "Bicara tentang penyakit, sampai kapan kau mau mendiamkan kanker itu?" Suara Tuan Bara menjadi l
"Kembalikan, Daniel!!" gusar JD sembari berjinjit. Maklum saja tingginya hanya sebatas dagu pria itu. Daniel mengangkat tangan lebih tinggi. Bibirnya membentuk senyum yang tak bisa disembunyikan. Ia tampak senang menggoda JD sedemikian rupa. Singgungan keduanya menyebabkan Daniel kehilangan keseimbangan dan jatuh terjembab tak lama kemudian. Di detik yang sama JD ikut terjatuh dan posisi mereka persis seperti roti sandwich. Dua pasang mata saling bertemu tatap selama beberapa saat. Meskipun bentuk mata Jade dan JD sedikit berbeda, tapi bagi Daniel keduanya sama indah. JD juga terdiam bak terhipnotis. "Mau mengulang adegan semalam?" canda Daniel sambil memainkan alis. "Jangan gila!" Sontak JD tersadar dan berusaha bangkit. Daniel ikut berdiri dan menunjukkan botol kecil di tangannya lagi. Pria itu tersenyum aneh."Tenanglah, aku akan mengembalikan ini asalkan kau mau menjawab pertanyaanku? Bagaimana?" tanya Daniel. "Mau tanya apa?" balas wanita dengan setelan hitam itu ketus. Se
Satu jam sebelumnya.Siang terik. Matahari bersinar tanpa awan menggelayut. Martin tergesa turun dari mobil usai memakirkan kendaraan mewah roda empat itu di depan butik ternama. Bangunan berlantai dua dengan lima manekin cantik di kaca depan adalah milik ibunya, Nyonya Amber. Hari ini ia ingin menemui wanita paruh baya itu, wanita yang semakin acuh padanya sejak hari pernikahan dengan Stella. Tiga karyawati butik itu sedikit membungkuk begitu Martin masuk. Mereka telah mengetahui siapa pria tampan minus akhlak itu."Di mana mama?" tanya Martin. "Bu Amber ada di atas," jawab salah satu karyawati tanpa berani menatap mata Martin. Tidak menunggu lama Martin langsung naik melalui tangga yang menempel pada dinding. Ibunya memang lebih sering di atas, mendesain pakaian wanita seharga belasan juta atau sekedar menikmati waktu senggang. Area lantai dua dibentuk lebar layaknya balkon. Terdapat beberapa manekin dan lima orang karyawati lain yang sedang mengerjakan tugas masing-masing. Sal
Dengan penuh waspada, Vinn melangkah masuk ke area vila. Hening. Kecurigaan pria itu telah tumbuh sejak mendapati pos security kosong. Entah kemana perginya dua pria yang seharusnya menjaga bangunan ini. Gerak kakinya dengan cepat telah memasuki ruang tamu, sebercak noda merah pada lantai porselen menarik perhatian Vinn. Tangannya menyentuh dan bisa memastikan jika noda itu adalah darah. Kembali Vinn bangkit, kini keheningan di vila peninggalan orang tuanya memberi firasat tidak baik. Netranya menatap awas pada sekitar.Detik berlalu, Vinn memutuskan mencari keberadaan Clara di lantai dua. Tidak butuh waktu lama sosok cantik dengan mata indah itu muncul, lengkap dengan wajah pucat dan senyum yang dipaksakan. "Vinn!" Tanpa ragu Clara mendekat, memeluknya. "Apa yang terjadi?" Vinn bertanya. Tangannya nyaris terangkat, hendak mengusap punggung Clara. Namun suara dalam kepalanya seolah melarang. Clara menggeleng tapi enggan melepaskan dekapannya. Vinn menghela napas berat, ia lega Cl
Siang menjelang sore. Dua pria awal empat puluhan duduk di dalam mobil sedan yang terparkir. Pandangan mereka menuju satu titik yang sama, rumah besar di seberang jalan. Tampak satu mobil box dengan logo pengiriman MXC Express memasuki pintu pagar rumah itu dan si kurir sekaligus supir turun menemui security. Zac dan Bara yang masih diam di dalam mobil saling pandang selama sedetik. "Dari mana kau tahu jika si tua Ronald akan mengirim barang-barang ke alamat ini?" tanya Zac. "Mudah, Paman Ronald membuat alur yang sama pada Kak Darren dulu. Untung saja kau cepat menghubungiku," balas Tuan Bara. "Di mana pemuda malang itu?" tanya Zac lagi, kini memandang Tuan Bara yang duduk bersandar di kursi belakang kemudi. "Aku minta Vinn untuk mengalihkan perhatiannya. Ini waktunya Jason pulang dari sekolah," jawab pria itu singkat lalu membuang napas kasar.Dalam waktu sepuluh menit, mobil box keluar dari berwarna biru laut dan putih itu keluar dari pagar setelah sebelumnya meletakkan tumpuka
Jason memasuki rumahnya nyaris petang, setelah menyanggupi ajakan Vinn untuk snack time. Remaja laki-laki itu berjalan malas menuju kamarnya di lantai dua. Rumahnya sepi sejak sang ibu lebih sibuk di luar rumah untuk 'urusan bisnis'.Ia tak benar-benar sendirian di rumah besar bergaya Eropa itu. Terdapat sedikitnya empat pelayan yang selalu siap memenuhi segala kebutuhannya.Setelah berada di kamar, Jason sudah ingin melemparkan diri pada ranjang empuk bersprai monokrom. Namun satu kotak coklat berukuran sedang merebut perhatiannya. Dengan penasaran, Jason mengambil kotak paket tersebut."Tidak ada nama pengirimnya?" Pemuda itu hanya bisa menemukan namanya pada sebuah kolom meski telah membolak-balikan kotak paket.Jason putuskan untuk mengambil cutter dan membuka paket. Terdapat jam tangan tua yang masih berfungsi, kartu hitam dengan nama mendiang ayahnya dan juga kunciTepat saat Jason akan menyentuh jam tangan tua, sebuah notifikasi pesan memasuki ponselnya. Pemuda itu meletakkan p
Menit berlalu, Jason terus menyusuri setiap pintu kamar di hotel bernuansa minimalis. Ia menghindari berpapasan dengan petugas hotel. Tapi semua pintu benar-benar menggunakan kartu, termasuk ruang staff dan area lain di mana tamu hotel tidak diijinkan masuk. Pemuda itu terduduk di balkon lantai empat, menatap langit malam sementara waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima puluh. Tatapan malas Jason mengantarnya menemukan bangunan kecil di bawah sana, dekat dengan parkir mobil. Ia bergegas turun dan keluar. Benar saja, bangunan bertuliskan 'No Entry' tidak memerlukan kartu. Jason cepat-cepat menggunakan kunci miliknya sebelum ada yang melihat tentu ia tak ingin dianggap penyusup atau pencuri. Dan ketika ia berhasil masuk. Ruangan dengan pencahayaan redup menyambutnya. Satu hal yang membuat Jason terus melangkah maju, kenampakan seorang pria yang duduk di kursi. Dengan posisi membelakangi. "Kau sudah datang?" Sosok itu berbicara dengan suara tanpa bergerak sedikitpun. "Siapa
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S