Menit berlalu, Jason terus menyusuri setiap pintu kamar di hotel bernuansa minimalis. Ia menghindari berpapasan dengan petugas hotel. Tapi semua pintu benar-benar menggunakan kartu, termasuk ruang staff dan area lain di mana tamu hotel tidak diijinkan masuk. Pemuda itu terduduk di balkon lantai empat, menatap langit malam sementara waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima puluh. Tatapan malas Jason mengantarnya menemukan bangunan kecil di bawah sana, dekat dengan parkir mobil. Ia bergegas turun dan keluar. Benar saja, bangunan bertuliskan 'No Entry' tidak memerlukan kartu. Jason cepat-cepat menggunakan kunci miliknya sebelum ada yang melihat tentu ia tak ingin dianggap penyusup atau pencuri. Dan ketika ia berhasil masuk. Ruangan dengan pencahayaan redup menyambutnya. Satu hal yang membuat Jason terus melangkah maju, kenampakan seorang pria yang duduk di kursi. Dengan posisi membelakangi. "Kau sudah datang?" Sosok itu berbicara dengan suara tanpa bergerak sedikitpun. "Siapa
Denting garpu dan pisau beradu di atas piring ketika Tuan Ronald menikmati sarapannya pagi itu. Apel kukus dan minuman coklat tanpa gula masih menjadi favorit di usia yang tak lagi muda. Di seberang meja, Martin duduk membisu dengan ekspresi datar. Ia bahkan belum menyentuh sepiring pancake strawberry yang telah disediakan pelayan. Pria muda itu menatap sang kakek lurus. Menunggu. "Apa yang kau tunggu? Pancake lebih nikmat jika disantap ketika hangat," ujar Tuan Ronald tapi cucunya masih tak bergeming. Seusai Tuan Ronald menyelesaikan makanannya, barulah Martin berbicara. "Apa benar aku cuma anak angkat mama dan papa? Aku bukan cucu kandung Kakek?" "Untuk apa membahasnya? Apapun yang terjadi kau tetaplah cucuku, Martin." Tuan Ronald membalas tatapan Martin tak kalah datar. "Kakek tahu jika aku butuh jawaban, bukan penghiburan. Dan aku harap Kakek mau mengatakan yang sebenarnya.""Itulah yang sebenarnya. Kau adalah cucuku." Bibir keriput Tuan Ronald membentuk lengkungan ke atas.
Vinn membalas lambaian tangan Clara yang telah beranjak dan sampai di dekat pintu. Pembicaraan mereka terhenti begitu saja seusai Vinn enggan menjawab pertanyaannya. Clara pun tak memaksa. Namun wajah wanita itu menyiratkan kekecewaan. "Aku akan menelepon dua hari lagi," ujar Clara. "Ya, baiklah." Vinn mengangguk singkat walau dalam hati merasakan gelagat aneh dari cara bicara wanita itu. Satu jam kemudian, Tuan Bara muncul. Vinn yang baru berjalan keluar ruangan menuju ruang meeting seketika mengubah haluan mendekatinya. "Sekarang kau ada waktu?" tanya Tuan Bara yang siang itu menggunakan long coat berwarna coklat. "Ada apa, Paman? Mungkin aku bisa menunda meeting beberapa menit." Vinn memeriksa jam tangan lalu meminta sekretarisnya pergi terlebih dahulu. Vinn mengikuti langkah Tuan Bara kembali masuk ke ruangannya. Ia tahu saat ini ada hal penting yang ingin pria itu bicarakan, jika tidak Tuan Bara tidak akan repot-repot datang ke kantor. Dugaan Vinn diperkuat oleh sikap sang
Esoknya, kekhawatiran Clara semakin terasa. Ia tahu Martin bukan sekedar mengancam. Bagi Clara, pria gila itu penjahat. Benar-benar jahat. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ingin rasanya memberitahu Vinn, tapi Clara khawatir Martin akan berbuat nekat dan menyakiti Vinn juga. Sejak bangun, ia cuma merenung. Ketika sarapan pun, dua pelayan saling pandang karena Clara tak kunjung menyentuh makanannya. Tinn. Tinn.Clara nyaris terlonjak, mendengar klakson mobil yang begitu dekat. Ia memandang salah seorang pelayan dengan ketakutan. "Saya akan melihatnya ke depan, Nona," ucap pelayan itu. Beberapa saat kemudian pelayan muda kembali menghampiri Clara dan mengatakan jika yang datang adalah orang dari Keluarga Alfredo, menyampaikan satu bingkisan berukuran sedang untuknya. "Untukku?" tanya Clara heran. Ia tak mengerti mengapa Vinn memberinya bingkisan kotak berwarna pink untuknya. "Iya, Nona."Clara membukanya dan menemukan sepatu berlabel mahal dan juga kartu ucapan. Ia baru menyada
Hampir pukul sembilan, di kamarnya yang hening akhirnya Clara bisa memejamkan mata. Wanita itu berhasil mensugesti diri sendiri akan ada solusi untuk permasalahannya dengan Martin. Setidaknya itulah yang ada di pikirannya sebelum seseorang merangsek masuk ke ruang pribadinya tersebut. Martin datang, satu malam lebih awal dari yang ia katakan. Pria itu melangkah maju dengan sepatu convers* hitamnya tanpa bersuara di lantai kayu. Mengagumi lekuk indah Clara yang tertidur, terlihat polos dan tenang."Sweetheart ...," bisiknya tepat di telinga wanita itu. Clara seketika terbangun dan nyaris berteriak jika saja Martin tidak menutup mulutnya dengan tangan."Ssssttt, jangan berteriak jika tidak ingin terluka. Mengerti?" Martin tersenyum manis, bertingkah seolah yang ia lakukan bukanlah dosa. Clara segera mengangguk. Saat ini ia sedang membawa dua nyawa. Dan juga keselamatan tiga pelayan dipertaruhkan jika ia membuat keributan. Martin tidak akan ragu menembak orang lain yang membuatnya ma
Tubuh laki-laki renta terbaring di ranjang putih khas rumah sakit, di sampingnya terdapat alat medis untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Di sudut lain ruangan, meringkuk wanita muda dengan cardigan hitam dan celana denim. Kesadarannya nyaris tenggelam karena kantuk yang sedari tadi mendera. Jade memandang sang kakek yang tampak rapuh. Pria itu adalah satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini. Jade memejamkan matanya lagi, mungkin ia bisa tidur barang sejenak. Namun baru beberapa saat, sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Jade membuka mata dan mendapati seseorang sedang menempelkan moncong pistol. "Daniel ...." bisik Jade. Ia pandangi wajah tampan yang terlihat dingin itu. Daniel tidak berucap sepatah kata pun. Pria itu siap menarik pelatuk. Bagai mengingat dosanya di masa lalu, Jade memilih diam dan pasrah. Suara tembakan pun terdengar di salah satu kamar inap rumah sakit yang semula senyap. Dor! Jade terbangun dari mimpinya. Terengah-engah, keringat membasahi kening j
Begitu turun dari mobil, Martin beralih ke sisi lain untuk menarik Clara agar keluar juga. Clara mencoba melawan tapi kekuatannya tidaklah sebanding. "Ayo, ikut!" cerca Martin dengan kedua tangan memegangi tubuh Clara sedangkan kaki menutup pintu mobil mahal produksi Inggris. "Kamu mau apa, Martin?" Clara mengiba. Tapi air matanya tak lagi bisa membuat Martin luluh. "Menangislah! Aku tidak peduli."Pria muda itu berhasil membawa Clara naik ke atas bangunan yang belum rampung itu. Meski demikian telah terdapat lampu dengan watt kecil untuk penerangan. "Kamu gila, Martin!" raung Clara yang telah muak. "Ya, aku memang sudah gila. Tidak waras, atau apapun sebutannya." Martin tertawa dan melepaskan kedua tangannya. Clara mengusap air mata dan melihat sekeliling, terdapat beberapa balok kayu. Sayang ukurannya terlalu lebar untuk ia jadikan senjata. Tapi di sana beberapa meter darinya sebongkah kayu bisa ia gunakan. Pandangannya tertuju pada Martin. Tuan muda itu menghubungi seseorang
"Ini tentang kita kenapa harus melibatkan mereka?" Vinn bersuara, tangannya meminta Daniel untuk menyingkir. "Tuan, tapi ...." Daniel menggeleng. "Yang Martin inginkan adalah aku, cari cara untuk membawa Clara pergi. Jika dalam dua puluh menit aku belum menyusulmu, kau tahu harus menghubungi siapa," ucap Vinn setengah berbisik. Daniel akhirnya mengangguk. "Ternyata kau cukup bernyali juga, Vincent. Ingin duel satu lawan satu? Oke." Martin memintanya mendekat dengan gerakan telunjuk. Namun ia juga memperhatikan Daniel yang menghampiri Clara. "Kemana pun kalian membawanya, berani bertaruh aku akan menemukannya kembali," ujar pria itu. Daniel tak mengindahkan. Ia melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Clara. Wanita itu tampak lemas, nyaris pingsan. Daniel merasakan dress tidur Clara yang basah karena darah. "Mari, Nona," ujar Daniel lalu menggendong Clara ala bridal style. Jade semula hanya diam. Ia tak menghalangi langkah Daniel sama sekali. Namun ketika pria hampir sampai di