"Ini tentang kita kenapa harus melibatkan mereka?" Vinn bersuara, tangannya meminta Daniel untuk menyingkir. "Tuan, tapi ...." Daniel menggeleng. "Yang Martin inginkan adalah aku, cari cara untuk membawa Clara pergi. Jika dalam dua puluh menit aku belum menyusulmu, kau tahu harus menghubungi siapa," ucap Vinn setengah berbisik. Daniel akhirnya mengangguk. "Ternyata kau cukup bernyali juga, Vincent. Ingin duel satu lawan satu? Oke." Martin memintanya mendekat dengan gerakan telunjuk. Namun ia juga memperhatikan Daniel yang menghampiri Clara. "Kemana pun kalian membawanya, berani bertaruh aku akan menemukannya kembali," ujar pria itu. Daniel tak mengindahkan. Ia melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Clara. Wanita itu tampak lemas, nyaris pingsan. Daniel merasakan dress tidur Clara yang basah karena darah. "Mari, Nona," ujar Daniel lalu menggendong Clara ala bridal style. Jade semula hanya diam. Ia tak menghalangi langkah Daniel sama sekali. Namun ketika pria hampir sampai di
Pagi itu langit mendung menaungi sekitaran mansion. Sama halnya dengan suasana hati Tuan Bara dan beberapa ajudan yang dengan sengaja ia kumpulkan di ruangan khusus bangunan besar nan luas itu. "Untuk waktu yang tak bisa ditentukan, Vincent tidak akan bergabung bersama kita. Tak perlu dijelaskan, aku yakin kalian telah mendengar apa yang terjadi semalam." Tuan Bara membuat jeda sejenak sembari menatap satu per satu ajudan yang berjumlah lebih dari dua puluh orang. "Apa yang terjadi pada Tuan Vincent?" Gerald yang baru datang dari tugas luar kota subuh tadi bertanya pada Daniel yang berdiri di sampingnya. Daniel enggan menjawab, pria itu tampak murung. "Tuan Vincent mengalami mati otak karena terjatuh dari lantai empat," Aiden menjawab dengan suara parau. Ya, pria itu menangis. Meski tampak garang, nyatanya ajudan satu itu berhati melankolis. "Apa yang kau tangisi? Tuan Vincent tidak selemah itu. Dia akan baik-baik saja," sela Daniel. Tiga ajudan kembali diam, mendengarkan Tuan Ba
Siang itu cukup terik. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu gerbang Mansion Alfredo. Si sopir yang juga mengenal para security memberi kode jika seseorang yang ia bawa seharusnya diijinkan masuk."Aku akan menghubungi Tuan Bara terlebih dahulu," ucap salah satu pria bertubuh tegap itu.Di kursi belakang, Clara meremas kedua tangan dengan kalut. Wanita cantik dalam balutan dress abu muda itu baru baru keluar dari rumah sakit akibat insiden di bangunan kosong. Seminggu sudah berlalu, Clara masih terpuruk setelah dokter menyatakan janinnya tidak dapat diselamatkan. Namun ia lebih khawatir akan kondisi Vinn.Malam itu di sela kesadaran yang nyaris tenggelam, Clara bisa mendengar percakapan Daniel dengan seseorang. Ajudan Vinn dengan panik dan wajah pucat mengatakan tuan mudanya terjatuh dari lantai empat."Masih lama, Pak?" tanya Clara yang mulai tidak sabar pada supir yang bernama Anto."Tunggu sebentar, Non."Sekian detik yang bagi Clara terasa menyiksa. Akhirnya si security
"Apa yang membawamu kemari, Jason?" Tuan Bara mengawasi remaja tanggung yang kini duduk di seberang meja.Setelah menimbang, ia mengijinkan keponakan jauhnya itu masuk. Walau rasanya ada yang aneh dengan kemunculan Jason kali ini. Ditambah raut wajah remaja laki-laki itu tidak biasa. Tampak murung."Kudengar Kak Vincent mengalami kecelakaan, bagaimana keadaannya sekarang?" Jason akhirnya bersuara."Siapa yang mengatakannya padamu?""Seseorang di klub ...."Hening selama beberapa saat. Tuan Bara menggeleng tanpa ketara. Rencananya bersama Vinn dan Zac telah kacau. Tapi baginya itu tidaklah penting. Yang utama kini keselamatan Vinn."Siapapun yang memberitahumu, katakan padanya jika ia tak perlu khawatir akan keadaan Vinn. Dia baik-baik saja. Untuk sementara, dia tidak berada di Indonesia.""Lalu di mana dia sekarang?" Jason menatap Tuan Bara lurus."Kau tidak perlu tahu. Itu saja yang ingin kau bicarakan?" Tuan Bara memberi kode agar percakapan mereka segera diakhiri.Jason terlihat in
Setelah pertemuannya dengan seseorang bernama Jeremy semalam, Martin tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Pria itu memandang langit-langit ruangan VIP-nya dan tidak sadar ketika seseorang masuk."Selamat pagi, Matty," sapa Peter dengan senyum jahil."Itu bukan namaku." Martin melirik kakaknya dengan malas."Masih pagi dan suasana hatimu sudah tidak baik. Ck, tunggu sampai kau benar-benar pulih maka kita akan liburan bersama. Swiss? Kau masih suka bermain sky?"Yang ditanya tidak menjawab. Martin justru memandang jendela dan Peter beranggapan itu adalah kode jika adiknya ingin tirai dibuka. Pria itu berjalan menuju jendela lalu menarik tali tirai."Feel better?" Peter menoleh.Cuaca pagi ini cerah. Tapi itu tidak berlaku untuk kondisi batin Martin. Ia menatap sang kakak yang tampak rapi dengan setelan kantor. Sepertinya pria itu hanya sekedar mampir dan pergi sebentar lagi."Aku akan menemanimu hingga mama datang satu jam lagi," ucap Peter meski sedari tadi adiknya tidak menjawab."
Jason benar-benar menarik pelatuk. Dalam kepalanya, terbayang sang ibu akan bersimbah darah dengan kepala berlubang. Batinnya melarang tapi semua terlambat. Cklik!"Tidak ada peluru?" Jason memandang Tuan Ronald dengan heran."Dia bahkan tidak ragu untuk menembak," bisik salah satu anggota yang sejak tadi mengawasi pada rekan di samping."Welcome to the family!" seru Tuan Ronald senang yang kemudian menyalami Jason.Jason mengembalikan pistol pada bawahan Tuan Ronald dan memandang wanita yang nyaris ia tembak. Benarkah itu ibunya? Ternyata bukan. Wanita itu hanyalah orang lain yang menggunakan topeng elastis. Sesaat mata mereka bertemu, wanita itu mengerling pada Jason sebelum meninggalkan ruangan.Remaja itu mengamati satu per satu wajah orang-orang di ruangan itu. Semua terlihat senang. Sepertinya cuma ia sendiri yang masih harus menenangkan detak jantung.Selanjutnya fokus Tuan Ronald tak lagi tertuju pada Jason. Pemuda itu duduk menyendiri, di sofa maroon motif burung Phoenix.Ta
Petang di salah satu ruang sayap kiri mansion. Tuan Bara mengamati pria muda di depannya dari ujung kepala hingga kaki. Tak jauh darinya, berdiri Daniel yang justru mengawasi tindak tanduk Tuan Bara yang tak seperti biasanya."Tinggi dan postur tubuh kurang lebih sama. Rambut? Hm, kita tidak punya waktu untuk menata rambut tapi bisa diatur dengan cepat." Tuan Bara melihat jam tangannya."Tuan, apa yang akan Anda lakukan?" Daniel yang tak bisa menahan rasa ingin tahu akhirnya bertanya.Tuan Bara membalikkan badan hingga tatapan mereka bertemu. Daniel bisa memastikan pria itu tersenyum."Bukan aku, tapi dia," tunjuk Tuan Bara pada Edward, salah satu pekerjanya yang berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan."Saya tidak mengerti, Tuan," tambah Daniel."Biar kujelaskan. Vinn takkan mungkin bisa menemui Pak Tora satu jam lagi. Tapi pria itu terlalu keras kepala. Jika tidak malam ini, kujamin dia akan datang lagi ke kantor besok. Jadi aku minta Edward menyamar menjadi Vinn.""Tapi bagai
Atmosfer tidak nyaman seketika tercipta tepat setelah Daniel dan Edward memasuki ruang VIP restoran Jepang paling ternama di kota. Dua pria itu membeku sesat karena yang menanti kedatangan mereka bukan Pak Tora melainkan nona muda bergaya sosialita. "Akhirnya. Selamat malam, Vincent?" sambut wanita dengan make up bold itu."Selamat malam, Nona. Anda adalah ...." Daniel yang bersuara."Kim. Kimberly Johan. Vincent? Kau tak mengenaliku?" Wanita dengan dress hijau tua atas lutut itu menatap Edward lekat.Edward terpaksa tersenyum lalu menyikut Daniel. Ia tak diijinkan bersuara dan tentu ia pun tak mengenal wanita cantik namun berkesan arogan itu."Maaf, Nona. Tapi kami datang atas undangan-""Ayahku? Ya, aku yang meminta ayah untuk mengundang Vincent. Tapi kalian terlambat empat menit tiga puluh dua detik." Bibir dengan lipstik merah itu tersenyum. "Bukan masalah, silahkan duduk.""Nona Kim, di mana Pak Tora sekarang?" tanya Daniel usai menarik kursi agar Edward bisa duduk."Pertemuan m
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S