Setelah pertemuannya dengan seseorang bernama Jeremy semalam, Martin tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Pria itu memandang langit-langit ruangan VIP-nya dan tidak sadar ketika seseorang masuk."Selamat pagi, Matty," sapa Peter dengan senyum jahil."Itu bukan namaku." Martin melirik kakaknya dengan malas."Masih pagi dan suasana hatimu sudah tidak baik. Ck, tunggu sampai kau benar-benar pulih maka kita akan liburan bersama. Swiss? Kau masih suka bermain sky?"Yang ditanya tidak menjawab. Martin justru memandang jendela dan Peter beranggapan itu adalah kode jika adiknya ingin tirai dibuka. Pria itu berjalan menuju jendela lalu menarik tali tirai."Feel better?" Peter menoleh.Cuaca pagi ini cerah. Tapi itu tidak berlaku untuk kondisi batin Martin. Ia menatap sang kakak yang tampak rapi dengan setelan kantor. Sepertinya pria itu hanya sekedar mampir dan pergi sebentar lagi."Aku akan menemanimu hingga mama datang satu jam lagi," ucap Peter meski sedari tadi adiknya tidak menjawab."
Jason benar-benar menarik pelatuk. Dalam kepalanya, terbayang sang ibu akan bersimbah darah dengan kepala berlubang. Batinnya melarang tapi semua terlambat. Cklik!"Tidak ada peluru?" Jason memandang Tuan Ronald dengan heran."Dia bahkan tidak ragu untuk menembak," bisik salah satu anggota yang sejak tadi mengawasi pada rekan di samping."Welcome to the family!" seru Tuan Ronald senang yang kemudian menyalami Jason.Jason mengembalikan pistol pada bawahan Tuan Ronald dan memandang wanita yang nyaris ia tembak. Benarkah itu ibunya? Ternyata bukan. Wanita itu hanyalah orang lain yang menggunakan topeng elastis. Sesaat mata mereka bertemu, wanita itu mengerling pada Jason sebelum meninggalkan ruangan.Remaja itu mengamati satu per satu wajah orang-orang di ruangan itu. Semua terlihat senang. Sepertinya cuma ia sendiri yang masih harus menenangkan detak jantung.Selanjutnya fokus Tuan Ronald tak lagi tertuju pada Jason. Pemuda itu duduk menyendiri, di sofa maroon motif burung Phoenix.Ta
Petang di salah satu ruang sayap kiri mansion. Tuan Bara mengamati pria muda di depannya dari ujung kepala hingga kaki. Tak jauh darinya, berdiri Daniel yang justru mengawasi tindak tanduk Tuan Bara yang tak seperti biasanya."Tinggi dan postur tubuh kurang lebih sama. Rambut? Hm, kita tidak punya waktu untuk menata rambut tapi bisa diatur dengan cepat." Tuan Bara melihat jam tangannya."Tuan, apa yang akan Anda lakukan?" Daniel yang tak bisa menahan rasa ingin tahu akhirnya bertanya.Tuan Bara membalikkan badan hingga tatapan mereka bertemu. Daniel bisa memastikan pria itu tersenyum."Bukan aku, tapi dia," tunjuk Tuan Bara pada Edward, salah satu pekerjanya yang berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan."Saya tidak mengerti, Tuan," tambah Daniel."Biar kujelaskan. Vinn takkan mungkin bisa menemui Pak Tora satu jam lagi. Tapi pria itu terlalu keras kepala. Jika tidak malam ini, kujamin dia akan datang lagi ke kantor besok. Jadi aku minta Edward menyamar menjadi Vinn.""Tapi bagai
Atmosfer tidak nyaman seketika tercipta tepat setelah Daniel dan Edward memasuki ruang VIP restoran Jepang paling ternama di kota. Dua pria itu membeku sesat karena yang menanti kedatangan mereka bukan Pak Tora melainkan nona muda bergaya sosialita. "Akhirnya. Selamat malam, Vincent?" sambut wanita dengan make up bold itu."Selamat malam, Nona. Anda adalah ...." Daniel yang bersuara."Kim. Kimberly Johan. Vincent? Kau tak mengenaliku?" Wanita dengan dress hijau tua atas lutut itu menatap Edward lekat.Edward terpaksa tersenyum lalu menyikut Daniel. Ia tak diijinkan bersuara dan tentu ia pun tak mengenal wanita cantik namun berkesan arogan itu."Maaf, Nona. Tapi kami datang atas undangan-""Ayahku? Ya, aku yang meminta ayah untuk mengundang Vincent. Tapi kalian terlambat empat menit tiga puluh dua detik." Bibir dengan lipstik merah itu tersenyum. "Bukan masalah, silahkan duduk.""Nona Kim, di mana Pak Tora sekarang?" tanya Daniel usai menarik kursi agar Edward bisa duduk."Pertemuan m
Daniel dan Edward melangkah cepat menuju parkiran mobil di depan restoran. Mereka tak ingin bertemu orang lain lagi yang mungkin mengenal Vinn."Apa itu tadi? Tersedak tulang ikan sehingga tidak bisa bicara? Tidak ada yang lebih cool? Tuan Vincent takkan memaafkanmu jika dia tahu." Edward tertawa setelah mereka memasuki mobil hampir bersamaan."Berhenti meledekku, Edward! Setidaknya cara itu berhasil membuat Nona Clara membiarkan kita pergi." Daniel menggelengkan kepala mengingat insiden baru saja."Tapi aku tidak setuju saat kau menyebut Edward yang keren ini sebagai supir." Pria muda itu menyalakan mesin mobil."Kau bicara begitu sambil menyetir. Lucu sekali." Daniel tergelak.Beberapa saat lalu, sebuah keberuntungan terjadi karena tak lama setelah bertemu Clara, Briana datang dan mengajak wanita itu pergi dengan terburu-buru sambil menelepon seseorang."Untuk apa kita ke rumah lama?" tanya Edward ketika menjalankan mobil hitam mengkilat itu."Tuan Bara ingin kita mengambil kotak di
Langkah pria paruh baya itu semakin mendekat bersama senter besar di tangan. Daniel terus mengawasi, pikirannya menerka karena sepertinya sosok itu tidaklah asing. Tangan Edward bergerak pelan namun pasti. Mengambil pisau lipat yang tersimpan di balik atasan hitamnya. Mengetahui hal itu, Daniel langsung menahan."Dia bukan musuh.""Darimana kau tahu? Bagaimanapun kita harus tetap waspada." Edward tetap keukeuh.Pria itu menyoroti wajah Daniel lalu Edward. Ekspresinya berubah ketika menemukan itu adalah wajah Vincent. Ia menghampiri dan memeriksa sesuatu pada leher Edward."Apa-apaan ini?" protes Edward yang tidak terima."Kau bukan Vincent Alfredo." Kemudian tatapannya berpindah pada Daniel. "Siapa yang menyuruh kalian ke sini?"Daniel memandang sosok itu lekat. Janggut dan kumis yang tidak rapi, juga rambut yang sedikit gondrong mengaburkan wajahnya."Tuan Bara meminta kami mengambil sebuah kotak di dalam sana," terang Daniel.Tanpa bertanya lagi, si pria memasukkan enam digit kode
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji