Dengan penuh waspada, Vinn melangkah masuk ke area vila. Hening. Kecurigaan pria itu telah tumbuh sejak mendapati pos security kosong. Entah kemana perginya dua pria yang seharusnya menjaga bangunan ini. Gerak kakinya dengan cepat telah memasuki ruang tamu, sebercak noda merah pada lantai porselen menarik perhatian Vinn. Tangannya menyentuh dan bisa memastikan jika noda itu adalah darah. Kembali Vinn bangkit, kini keheningan di vila peninggalan orang tuanya memberi firasat tidak baik. Netranya menatap awas pada sekitar.Detik berlalu, Vinn memutuskan mencari keberadaan Clara di lantai dua. Tidak butuh waktu lama sosok cantik dengan mata indah itu muncul, lengkap dengan wajah pucat dan senyum yang dipaksakan. "Vinn!" Tanpa ragu Clara mendekat, memeluknya. "Apa yang terjadi?" Vinn bertanya. Tangannya nyaris terangkat, hendak mengusap punggung Clara. Namun suara dalam kepalanya seolah melarang. Clara menggeleng tapi enggan melepaskan dekapannya. Vinn menghela napas berat, ia lega Cl
Siang menjelang sore. Dua pria awal empat puluhan duduk di dalam mobil sedan yang terparkir. Pandangan mereka menuju satu titik yang sama, rumah besar di seberang jalan. Tampak satu mobil box dengan logo pengiriman MXC Express memasuki pintu pagar rumah itu dan si kurir sekaligus supir turun menemui security. Zac dan Bara yang masih diam di dalam mobil saling pandang selama sedetik. "Dari mana kau tahu jika si tua Ronald akan mengirim barang-barang ke alamat ini?" tanya Zac. "Mudah, Paman Ronald membuat alur yang sama pada Kak Darren dulu. Untung saja kau cepat menghubungiku," balas Tuan Bara. "Di mana pemuda malang itu?" tanya Zac lagi, kini memandang Tuan Bara yang duduk bersandar di kursi belakang kemudi. "Aku minta Vinn untuk mengalihkan perhatiannya. Ini waktunya Jason pulang dari sekolah," jawab pria itu singkat lalu membuang napas kasar.Dalam waktu sepuluh menit, mobil box keluar dari berwarna biru laut dan putih itu keluar dari pagar setelah sebelumnya meletakkan tumpuka
Jason memasuki rumahnya nyaris petang, setelah menyanggupi ajakan Vinn untuk snack time. Remaja laki-laki itu berjalan malas menuju kamarnya di lantai dua. Rumahnya sepi sejak sang ibu lebih sibuk di luar rumah untuk 'urusan bisnis'.Ia tak benar-benar sendirian di rumah besar bergaya Eropa itu. Terdapat sedikitnya empat pelayan yang selalu siap memenuhi segala kebutuhannya.Setelah berada di kamar, Jason sudah ingin melemparkan diri pada ranjang empuk bersprai monokrom. Namun satu kotak coklat berukuran sedang merebut perhatiannya. Dengan penasaran, Jason mengambil kotak paket tersebut."Tidak ada nama pengirimnya?" Pemuda itu hanya bisa menemukan namanya pada sebuah kolom meski telah membolak-balikan kotak paket.Jason putuskan untuk mengambil cutter dan membuka paket. Terdapat jam tangan tua yang masih berfungsi, kartu hitam dengan nama mendiang ayahnya dan juga kunciTepat saat Jason akan menyentuh jam tangan tua, sebuah notifikasi pesan memasuki ponselnya. Pemuda itu meletakkan p
Menit berlalu, Jason terus menyusuri setiap pintu kamar di hotel bernuansa minimalis. Ia menghindari berpapasan dengan petugas hotel. Tapi semua pintu benar-benar menggunakan kartu, termasuk ruang staff dan area lain di mana tamu hotel tidak diijinkan masuk. Pemuda itu terduduk di balkon lantai empat, menatap langit malam sementara waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima puluh. Tatapan malas Jason mengantarnya menemukan bangunan kecil di bawah sana, dekat dengan parkir mobil. Ia bergegas turun dan keluar. Benar saja, bangunan bertuliskan 'No Entry' tidak memerlukan kartu. Jason cepat-cepat menggunakan kunci miliknya sebelum ada yang melihat tentu ia tak ingin dianggap penyusup atau pencuri. Dan ketika ia berhasil masuk. Ruangan dengan pencahayaan redup menyambutnya. Satu hal yang membuat Jason terus melangkah maju, kenampakan seorang pria yang duduk di kursi. Dengan posisi membelakangi. "Kau sudah datang?" Sosok itu berbicara dengan suara tanpa bergerak sedikitpun. "Siapa
Denting garpu dan pisau beradu di atas piring ketika Tuan Ronald menikmati sarapannya pagi itu. Apel kukus dan minuman coklat tanpa gula masih menjadi favorit di usia yang tak lagi muda. Di seberang meja, Martin duduk membisu dengan ekspresi datar. Ia bahkan belum menyentuh sepiring pancake strawberry yang telah disediakan pelayan. Pria muda itu menatap sang kakek lurus. Menunggu. "Apa yang kau tunggu? Pancake lebih nikmat jika disantap ketika hangat," ujar Tuan Ronald tapi cucunya masih tak bergeming. Seusai Tuan Ronald menyelesaikan makanannya, barulah Martin berbicara. "Apa benar aku cuma anak angkat mama dan papa? Aku bukan cucu kandung Kakek?" "Untuk apa membahasnya? Apapun yang terjadi kau tetaplah cucuku, Martin." Tuan Ronald membalas tatapan Martin tak kalah datar. "Kakek tahu jika aku butuh jawaban, bukan penghiburan. Dan aku harap Kakek mau mengatakan yang sebenarnya.""Itulah yang sebenarnya. Kau adalah cucuku." Bibir keriput Tuan Ronald membentuk lengkungan ke atas.
Vinn membalas lambaian tangan Clara yang telah beranjak dan sampai di dekat pintu. Pembicaraan mereka terhenti begitu saja seusai Vinn enggan menjawab pertanyaannya. Clara pun tak memaksa. Namun wajah wanita itu menyiratkan kekecewaan. "Aku akan menelepon dua hari lagi," ujar Clara. "Ya, baiklah." Vinn mengangguk singkat walau dalam hati merasakan gelagat aneh dari cara bicara wanita itu. Satu jam kemudian, Tuan Bara muncul. Vinn yang baru berjalan keluar ruangan menuju ruang meeting seketika mengubah haluan mendekatinya. "Sekarang kau ada waktu?" tanya Tuan Bara yang siang itu menggunakan long coat berwarna coklat. "Ada apa, Paman? Mungkin aku bisa menunda meeting beberapa menit." Vinn memeriksa jam tangan lalu meminta sekretarisnya pergi terlebih dahulu. Vinn mengikuti langkah Tuan Bara kembali masuk ke ruangannya. Ia tahu saat ini ada hal penting yang ingin pria itu bicarakan, jika tidak Tuan Bara tidak akan repot-repot datang ke kantor. Dugaan Vinn diperkuat oleh sikap sang
Esoknya, kekhawatiran Clara semakin terasa. Ia tahu Martin bukan sekedar mengancam. Bagi Clara, pria gila itu penjahat. Benar-benar jahat. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ingin rasanya memberitahu Vinn, tapi Clara khawatir Martin akan berbuat nekat dan menyakiti Vinn juga. Sejak bangun, ia cuma merenung. Ketika sarapan pun, dua pelayan saling pandang karena Clara tak kunjung menyentuh makanannya. Tinn. Tinn.Clara nyaris terlonjak, mendengar klakson mobil yang begitu dekat. Ia memandang salah seorang pelayan dengan ketakutan. "Saya akan melihatnya ke depan, Nona," ucap pelayan itu. Beberapa saat kemudian pelayan muda kembali menghampiri Clara dan mengatakan jika yang datang adalah orang dari Keluarga Alfredo, menyampaikan satu bingkisan berukuran sedang untuknya. "Untukku?" tanya Clara heran. Ia tak mengerti mengapa Vinn memberinya bingkisan kotak berwarna pink untuknya. "Iya, Nona."Clara membukanya dan menemukan sepatu berlabel mahal dan juga kartu ucapan. Ia baru menyada
Hampir pukul sembilan, di kamarnya yang hening akhirnya Clara bisa memejamkan mata. Wanita itu berhasil mensugesti diri sendiri akan ada solusi untuk permasalahannya dengan Martin. Setidaknya itulah yang ada di pikirannya sebelum seseorang merangsek masuk ke ruang pribadinya tersebut. Martin datang, satu malam lebih awal dari yang ia katakan. Pria itu melangkah maju dengan sepatu convers* hitamnya tanpa bersuara di lantai kayu. Mengagumi lekuk indah Clara yang tertidur, terlihat polos dan tenang."Sweetheart ...," bisiknya tepat di telinga wanita itu. Clara seketika terbangun dan nyaris berteriak jika saja Martin tidak menutup mulutnya dengan tangan."Ssssttt, jangan berteriak jika tidak ingin terluka. Mengerti?" Martin tersenyum manis, bertingkah seolah yang ia lakukan bukanlah dosa. Clara segera mengangguk. Saat ini ia sedang membawa dua nyawa. Dan juga keselamatan tiga pelayan dipertaruhkan jika ia membuat keributan. Martin tidak akan ragu menembak orang lain yang membuatnya ma