Tengah malam. Aktifitas pusat kota masih terlihat ramai. Juga suasana di jalan raya. Tidak sedikit kendaraan yang melaju cepat, menikmati ruang yang mungkin tak bisa dinikmati saat pagi pagi menjelang. Mobil Daniel masuk dalam salah satu jajaran kendaraan itu. Seusai pesta, Vinn mengatakan tugasnya usai tapi tidak dengan kegiatan pribadinya. Di tengah perjalanan ponsel pria itu berdering, dengan satu tangan Daniel memasang airpods yang telah terhubung pada ponsel melalui bluetooth. "Ya? On the way. Tunggu saja, aku akan sampai dalam sepuluh menit," ujarnya singkat. Menit berlalu, pria dengan setelan hitam itu memarkirkan mobilnya di cafe kucing milik Diana. Tempat itu sudah tutup sejak dua jam lalu, akan tetapi si pemilik masih menunggunya di dalam. "Kau benar-benar datang?" sambut Diana yang kala itu menggunakan outer berwarna pastel. Daniel mengangguk tanpa ekspresi sebelum pandangannya mengitari sekitar. Cafe itu kosong, bahkan tidak ada satupun karyawan yang terlihat. Semua
JD terbangun keesokan paginya dengan kepala berat. Wanita itu membuka mata lalu menutupnya kembali saat menyadari lensanya belum siap untuk menerima cahaya. 'Di mana ini?' batin JD saat akhirnya bisa memindai sekitar. Kamar asing bernuansa minimalis, bercat abu-abu dan putih. Sesuatu yang berat menekan perutnya. Ia yang menoleh seketika berhadapan langsung dengan wajah Daniel yang tertidur lelap. "Apa yang-" JD bahkan dibuat menganga kala mendapati tubuh mereka polos dan hanya tertutup satu selimut tebal. JD tergelak lemah, semalam ia telah mabuk. Jika rencana awal mereka hanya minum bersama, nyatanya mereka juga tidur bersama. Entah ia harus marah atau senang saat ini. Memandangi wajah tampan Daniel, membuat pikiran JD sesaat membeku. 'Tidak, ini tidak benar. Aku harus segera pergi dari sini,' batin JD seraya menggeleng. Perlahan tapi pasti JD memindahkan tangan Daniel. Wanita itu turun dengan gerakan pelan bak kukang, berharap tak membangunkan pria muda itu. JD ambil satu per
Jumat pagi. Vinn masih duduk bersantai di ruang tengah, hanya ditemani secangkir coklat panas dan juga laptop. Meski hari ini ia sedang tidak ingin datang ke kantor, ia masih harus mengurus beberapa file dan juga email-email penting. "Sepagi ini kau sudah sibuk, Vinn?" Tuan Bara yang semalam memilih menginap di mansion muncul dengan wajah segar. Aroma mint menguar samar. "Sedikit. Ada beberapa hal harus kuselesaikan sebelum makan siang." Vinn melihat sekilas sang paman lalu kembali fokus menatap layar laptop. Tuan Bara duduk di sofa yang sama dengan Vinn, melirik layar lalu mengedikkan bahu. Ia tak pernah tertarik ikut campur pada perusahaan. Beruntung ayahnya tak pernah memaksanya menjadi penerus. "Oh ya, tentang percakapan kita dengan Zac, kurasa kakekmu tidak perlu mengetahuinya," ujar Tuan Bara mengingatkan. "Aku tahu. Penyakit jantung kakek bisa-bisa kambuh nanti," respon Vinn. "Bicara tentang penyakit, sampai kapan kau mau mendiamkan kanker itu?" Suara Tuan Bara menjadi l
"Kembalikan, Daniel!!" gusar JD sembari berjinjit. Maklum saja tingginya hanya sebatas dagu pria itu. Daniel mengangkat tangan lebih tinggi. Bibirnya membentuk senyum yang tak bisa disembunyikan. Ia tampak senang menggoda JD sedemikian rupa. Singgungan keduanya menyebabkan Daniel kehilangan keseimbangan dan jatuh terjembab tak lama kemudian. Di detik yang sama JD ikut terjatuh dan posisi mereka persis seperti roti sandwich. Dua pasang mata saling bertemu tatap selama beberapa saat. Meskipun bentuk mata Jade dan JD sedikit berbeda, tapi bagi Daniel keduanya sama indah. JD juga terdiam bak terhipnotis. "Mau mengulang adegan semalam?" canda Daniel sambil memainkan alis. "Jangan gila!" Sontak JD tersadar dan berusaha bangkit. Daniel ikut berdiri dan menunjukkan botol kecil di tangannya lagi. Pria itu tersenyum aneh."Tenanglah, aku akan mengembalikan ini asalkan kau mau menjawab pertanyaanku? Bagaimana?" tanya Daniel. "Mau tanya apa?" balas wanita dengan setelan hitam itu ketus. Se
Satu jam sebelumnya.Siang terik. Matahari bersinar tanpa awan menggelayut. Martin tergesa turun dari mobil usai memakirkan kendaraan mewah roda empat itu di depan butik ternama. Bangunan berlantai dua dengan lima manekin cantik di kaca depan adalah milik ibunya, Nyonya Amber. Hari ini ia ingin menemui wanita paruh baya itu, wanita yang semakin acuh padanya sejak hari pernikahan dengan Stella. Tiga karyawati butik itu sedikit membungkuk begitu Martin masuk. Mereka telah mengetahui siapa pria tampan minus akhlak itu."Di mana mama?" tanya Martin. "Bu Amber ada di atas," jawab salah satu karyawati tanpa berani menatap mata Martin. Tidak menunggu lama Martin langsung naik melalui tangga yang menempel pada dinding. Ibunya memang lebih sering di atas, mendesain pakaian wanita seharga belasan juta atau sekedar menikmati waktu senggang. Area lantai dua dibentuk lebar layaknya balkon. Terdapat beberapa manekin dan lima orang karyawati lain yang sedang mengerjakan tugas masing-masing. Sal
Dengan penuh waspada, Vinn melangkah masuk ke area vila. Hening. Kecurigaan pria itu telah tumbuh sejak mendapati pos security kosong. Entah kemana perginya dua pria yang seharusnya menjaga bangunan ini. Gerak kakinya dengan cepat telah memasuki ruang tamu, sebercak noda merah pada lantai porselen menarik perhatian Vinn. Tangannya menyentuh dan bisa memastikan jika noda itu adalah darah. Kembali Vinn bangkit, kini keheningan di vila peninggalan orang tuanya memberi firasat tidak baik. Netranya menatap awas pada sekitar.Detik berlalu, Vinn memutuskan mencari keberadaan Clara di lantai dua. Tidak butuh waktu lama sosok cantik dengan mata indah itu muncul, lengkap dengan wajah pucat dan senyum yang dipaksakan. "Vinn!" Tanpa ragu Clara mendekat, memeluknya. "Apa yang terjadi?" Vinn bertanya. Tangannya nyaris terangkat, hendak mengusap punggung Clara. Namun suara dalam kepalanya seolah melarang. Clara menggeleng tapi enggan melepaskan dekapannya. Vinn menghela napas berat, ia lega Cl
Siang menjelang sore. Dua pria awal empat puluhan duduk di dalam mobil sedan yang terparkir. Pandangan mereka menuju satu titik yang sama, rumah besar di seberang jalan. Tampak satu mobil box dengan logo pengiriman MXC Express memasuki pintu pagar rumah itu dan si kurir sekaligus supir turun menemui security. Zac dan Bara yang masih diam di dalam mobil saling pandang selama sedetik. "Dari mana kau tahu jika si tua Ronald akan mengirim barang-barang ke alamat ini?" tanya Zac. "Mudah, Paman Ronald membuat alur yang sama pada Kak Darren dulu. Untung saja kau cepat menghubungiku," balas Tuan Bara. "Di mana pemuda malang itu?" tanya Zac lagi, kini memandang Tuan Bara yang duduk bersandar di kursi belakang kemudi. "Aku minta Vinn untuk mengalihkan perhatiannya. Ini waktunya Jason pulang dari sekolah," jawab pria itu singkat lalu membuang napas kasar.Dalam waktu sepuluh menit, mobil box keluar dari berwarna biru laut dan putih itu keluar dari pagar setelah sebelumnya meletakkan tumpuka
Jason memasuki rumahnya nyaris petang, setelah menyanggupi ajakan Vinn untuk snack time. Remaja laki-laki itu berjalan malas menuju kamarnya di lantai dua. Rumahnya sepi sejak sang ibu lebih sibuk di luar rumah untuk 'urusan bisnis'.Ia tak benar-benar sendirian di rumah besar bergaya Eropa itu. Terdapat sedikitnya empat pelayan yang selalu siap memenuhi segala kebutuhannya.Setelah berada di kamar, Jason sudah ingin melemparkan diri pada ranjang empuk bersprai monokrom. Namun satu kotak coklat berukuran sedang merebut perhatiannya. Dengan penasaran, Jason mengambil kotak paket tersebut."Tidak ada nama pengirimnya?" Pemuda itu hanya bisa menemukan namanya pada sebuah kolom meski telah membolak-balikan kotak paket.Jason putuskan untuk mengambil cutter dan membuka paket. Terdapat jam tangan tua yang masih berfungsi, kartu hitam dengan nama mendiang ayahnya dan juga kunciTepat saat Jason akan menyentuh jam tangan tua, sebuah notifikasi pesan memasuki ponselnya. Pemuda itu meletakkan p