Berlatar pada zaman dimana harta menjadi penunjang utama bagaimana seseorang bisa dipandang. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka derajatnya akan semakin diagung-agungkan.
Matteo Adhelmar adalah pria pekerja keras yang berhasil memiliki lahan luas yang ia jadikan sebagai perkebunan. Berhektar-hektar tanah yang dimiliki ia pakai untuk menanam sayur, buah, dan padi.
Beberapa penduduk desa berbondong-bondong ingin menjadi pegawai Matteo, semua hasil dari perkebunan dijual ke desa lain dengan harga yang tinggi. Hanya di desa inilah tanah begitu subur gembur, sehingga mudah untuk mengembangkan usaha bahan pangan.
“Pendapatan kita bulan ini turun lagi?” Matteo melenguh pasrah, pelipisnya yang terasa berdenyut ia pijat pelan.
Matteo tak kuasa melihat hasil laporan dari keuntungan yang didapat bulan ini. Sebenarnya dari beberapa bulan sebelumnya sudah terasa mencurigakan, Matteo merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tidak mungkin data penjualan tidak sebanding dengan pemasukan yang didapat.
“Tuan Baron juga sudah lama tidak mengontrol ke kebun, Juragan. Tapi sekitar tiga bulan lalu Tuan Baron sempat ikut campur dalam data pendapatan penjualan.” Melihat ekspresi Matteo yang syok, buru-buru dirinya memberi pernyataan. “Bu-bukan bermaksud saya menuduh yang tidak-tidak. Tapi—”
“Saya paham, Arjun. Tidak apa. Biar saya yang membicarakan hal ini padanya. Terima kasih atas informasinya, kamu boleh pergi,” sela Matteo pada pria yang sebaya dengan putranya.
Arjun adalah orang kepercayaannya. Ia sudah mengabdi pada keluarga Adhelmar sejak usianya masih dalam fase remaja tanggung. Selain patuh dan bertanggung jawab, Arjun memiliki paras yang tampan, identik dengan bola matanya yang berwarna ungu terang.
Matteo sudah tidak lagi muda, sehingga tubuhnya yang mulai ringkih itu menyulitkannya untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Dan putra tunggalnya— orang satu-satunya yang bisa diandalkan dan diharapkan justru tidak peduli.
“Tunggu,” panggil Matteo, membuat Arjun yang tubuhnya nyaris menghilang dari balik pintu seketika langsung menghadap pada Matteo kembali.
“Tolong panggil Baron untuk menghadap padaku sekarang. Tidak peduli dia sedang melakukan apa, sekalipun sedang bercengkrama dengan istrinya, aku ingin mengobrol dengannya sekarang juga,” pinta Matteo tegas.
Arjun lantas mengangguk paham. “Baik, Juragan.”
***
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sejak pagi tadi Baron belum juga menampakkan batang hidungnya, membuat Matteo yang sedang menunggunya semakin tersulut emosi.
Matteo dengan tongkat di tangannya menghampiri Dorothy yang tengah berdiri menghadap jendela. Wajah wanita itu menunjukkan kecemasan yang mendalam, karena memang akhir-akhir ini Baron jarang sekali ada di rumah, dan tidak pernah memberitahu kemana dia akan pergi.
“Dia tidak bilang ingin kemana saat pergi tadi?” tanya Matteo yang berada tepat satu langkah di belakang tubuh menantunya.
Dorothy yang menyadari kehadiran Matteo segera membalikkan tubuhnya. “Tidak, Ayah. Baron tidak bilang apa-apa. Dia selalu pergi tanpa pamitan, dan pulang saat sudah larut.”
“Sejak kapan?”
Kening Dorothy berlipat, ekspresinya menunjukkan dirinya tengah mengingat-ngingat. “Sudah lumayan lama. Aku pikir dia ada keperluan khusus, seperti mengunjungi kebun atau mencari peluang usaha lain mungkin?”
“Itu mustahil,” bantah Matteo cepat. “Arjun bilang dia sudah lama tidak datang ke kebun. Entah kemana dia kelayapan. Aku pikir dia selalu bersamamu. Tapi hubungan kalian benar baik-baik saja, 'kan?”
“Bisa dikatakan begitu. Karena selama dua tahun ini dia sedikit lebih menghangat dan juga dia selalu memperlakukanku dengan baik,” jawab Dorothy apa adanya.
“Syukurlah, setidaknya dia masih berguna untuk menjadi suami yang baik.” Rasa lega dalam dadanya membuat Matteo sedikit tenang.
Di tengah-tengah pembicaraan, suara derap langkah kaki menyita perhatian mereka berdua. Dari arah lorong yang minim penerangan, siluet pria tinggi yang diduga adalah Baron tengah berjalan ke arah mereka berdua.
Ketika sinar rembulan menyorot parasnya dan tubuhnya sudah berjalan kian mendekat, Matteo langsung menghadapkan tubuhnya itu pada putranya. Memandang penuh kekesalan.
“Dari mana saja? Ikut ke ruangan Ayah sekarang! Ada yang ingin Ayah bicarakan denganmu,” perintah Matteo, langsung memutar rodanya untuk berjalan lebih dulu.
“Baik, Ayah.” Baron memasang wajah tenang, tidak ikut tersulut ataupun berniat untuk menentang.
“Tidak ada kata nanti, sekarang juga Ayah ingin bicara! Hanya empat mata,” tegas Matteo, intonasi nadanya sedikit meninggi.
Baron hanya mengangguk singkat meski sang ayah tak melihat. Sesaat pandangannya bergulir pada sosok istrinya, Baron tersenyum seraya bergerak mendekat padanya.
“Ka-kamu...” Dorothy sedikit salah tingkah, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri secara gelisah.
Lengan Baron menyentuh dahi istrinya, lalu mengecup ubun-ubun Dorothy dengan lembut dan penuh perasaan. Membuat wanita tersebut semakin salah tingkah, karena jarang-jarang Baron melakukan interaksi macam itu selain ketika dalam aktivitas ranjang.
“Tidurlah duluan. Jangan menungguku. Setelah selesai berbicara dengan Ayah, aku akan menyusulmu,” ujar Baron sebelum akhirnya melenggang pergi meninggalkan Dorothy sendirian dengan pipi yang tersipu kemerahan.
Dorothy menyentuh dan sedikit memberi tepukan pelan pada pipinya. Dadanya pun entah mengapa mendadak bertalu kencang tanpa sebab, seolah ada rasa yang berhasil dipantik keluar.
“Apa mungkin Baron sudah benar-benar bisa menerimaku secara seutuhnya? Apa aku pantas menerima perasaan ini? Apa aku sudah boleh jatuh cinta padanya?” gumam Dorothy seraya menggigit bibir bawahnya, menahan euforia yang menggebu-gebu.
***
Dorothy mengerang pelan, terbangun dari tidur lelapnya. Tangannya bergerak-gerak ke samping, meraba untuk mencari sesuatu.
Saat tidak menemukan sesuatu yang dicarinya, rasa kantuk seketika hilang. Kepalanya menoleh, melihat bahwa suaminya tidak ada di sisinya.
Pandangannya pindah untuk melihat ke arah luar jendela, malam panjang belum usai. Karena penasaran mengapa suaminya belum kembali, Dorothy memutuskan untuk melihat keadaan di luar, setidaknya memastikan bahwa memang Baron masih bersama ayahnya.
Kediaman Adhelmar yang luas dan dipenuhi oleh beberapa ruangan yang diisi barang berharga, serta kamar-kamar para pegawai maupun pelayan yang bekerja di rumah ini, membuat Dorothy merasa tidak sendirian meski suaminya tidak sedang menemani.
“Tuan Baron sepertinya belum keluar dari kamar Juragan, Nyonya,” kata salah satu pelayan yang masih terjaga, perempuan yang memakai celemek tersebut segera berpamitan dari hadapan Dorothy.
Dorothy mengamati pintu ruangan yang didalamnya ada suami dan mertuanya dalam jarak beberapa meter. Terdengar amat hening, entah apa yang mereka lakukan di dalam sana hingga berjam-jam lamanya.
Tak lama Arjun yang membawa nampan berisi dua cangkir minuman langsung mengetuk pintu, Baron yang membuka pintu. Lalu mengizinkan Arjun untuk masuk agar mengantarkan langsung pada Matteo.
“Tuan tidak akan minum?” tanya Arjun sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan.
Baron menggeleng pelan. “Tidak. Aku akan langsung masuk ke kamar, aku ingin memastikan apakah istriku sudah tidur apa belum.”
“Baiklah. Kalau begitu saya izin masuk, Tuan.” Arjun berjalan melewati tubuh Baron, pintu ruangan pun ditutup.
Jelaga hitam milik Baron mengedar ke sembarang arah, tak sengaja melakukan kontak mata dengan Dorothy yang sejak tadi mengamati. Buru-buru Baron berjalan menghampiri.
“Kamu belum tidur?” Baron bertanya, kakinya melangkah dan diikuti oleh Dorothy. Mereka berjalan berdampingan.
“Aku terbangun. Melihat kamu tidak ada di sampingku, aku jadi cemas. Aku pikir kamu sudah selesai mengobrol dengan Ayah dan pergi keluar kembali,” balas Dorothy malu-malu.
Baron tertawa singkat, kedua tangannya ia simpan di belakang punggung. Menghirup nafas dalam-dalam sembari menanggah menatap ke langit-langit bangunan.
“Obrolan kami sangat panjang. Ayah kecewa padaku, ada hal yang aku sembunyikan darinya, dan aku tahu itu sangat salah. Melihat kondisi kesehatannya yang semakin memburuk, aku semakin merasa bersalah,” terang Baron kemudian.
Dorothy menahan napas sebentar, menyiapkan mental sebelum meluncur pertanyaan, “Jadi, setelah ini apakah kamu mau berubah untuk menuruti keinginan Ayah?”
Pria jangkung itu mengangguk semangat. “Tentu saja. Aku adalah pewaris keluarga Adhelmar satu-satunya.”
Sepasang suami istri itu memasuki kamar bersamaan, menggunakan malam yang tersisa dengan berbaring di atas ranjang yang sama. Beda dari malam-malam biasanya, Baron tampak lebih banyak melakukan interaksi fisik pada istrinya, membuat Dorothy merasa bahwa Baron memang mencintainya.
Ketika pagi baru menjemput, saat Dorothy dan suaminya masih asik tertidur pulas, sebuah ketukan di pintu yang begitu bising membuat keduanya merasa terganggu. Baron yang merasa tidurnya belum cukup pun langsung bangun dan misuh-misuh tak jelas.
Membuka pintu dengan mata yang masih setengah terpejam, dua orang perempuan yang bekerja sebagai pelayan di rumah ini datang menghadap Baron dengan wajah pucat dan bibir yang gemetaran.
“Apa yang terjadi? Kenapa pagi-pagi begini kalian mengusik jam tidurku?” Baron mengacak-acak rambutnya, mulutnya menguap tanpa ditutup.
“A-anu, Tuan ... Juragan...”
“Ada apa dengan Ayahku?” Baron tak sabaran.
“Begini, Tuan. Pagi tadi Arjun memeriksa kamar Juragan. Lalu mendapati bahwa Juragan sudah tak bernyawa. Tubuhnya sudah kaku dan membiru, seolah kematiannya tidak wajar,” papar pelayan itu sedikit gugup.
“Hah? Kalian tidak sedang bercanda, 'kan?” Baron langsung membuka matanya lebar-lebar, lebih jelas mengamati dua pelayan di depannya. Wajah kantuknya menghilang.
“Mana mungkin kami bercanda, Tuan.”
Dorothy yang masih duduk di atas ranjang dan menyimak obrolan mereka langsung mematung dengan mulut yang terbuka, jantungnya seolah berhenti berdetak beberapa detik, rasanya tidak menyangka ia mendapat kabar tersebut.
“Tapi ... Bagaimana bisa itu terjadi?” Dorothy menimbrung dalam obrolan, kakinya sudah menapaki lantai dan hendak bergabung dengan mereka.
***
Baron dan Dorothy berjalan tergesa-gesa menuju kamar Matteo setelah mendapat kabar mengejutkan dari pelayan tadi. Sepertinya kabar tentang kematian Matteo sudah menyebar ke seluruh isi rumah, karena para pelayan yang ada di rumah ini sudah berkerumun di depan ruangan yang di dalamnya ada Matteo. Tapi satu pun dari mereka tidak ada yang berani masuk. Baron lantas melesat masuk, diikuti oleh Dorothy, mereka langsung disuguhi pemandangan yang menyedihkan. Bahwa Matteo benar-benar sudah terbujur kaku dengan warna kulitnya yang sudah pucat membiru, tubuhnya layaknya seonggok bangkai, tergeletak di atas lantai tak berdaya. Saat Baron mendekat ke arahnya, berjongkok untuk menyentuh tubuh ayahnya, rasa dingin yang dirasakan membuatnya bergidik merinding. Pandangan Baron menyapu ke samping, tak jauh dari tubuh Matteo yang terkapar ada pecahan gelas yang berserakan. Mengambil salah satu dari pecahan tersebut, Baron jadi teringat bahwa gelas yang pecah itu adalah gelas yang dibawa Arjun tadi
Arjun ditarik keluar ruangan secara brutal, Baron sudah menetapkan pria itu sebagai pelaku. Keputusannya untuk memberikan hukuman padanya tidak bisa diganggu gugat.Sedang Dorothy yang masih membenamkan dirinya dalam pikiran penuh tanda tanya hanya bisa bergeming, menyaksikan Arjun yang mulai diarak keliling desa dengan kedua tangan dan kakinya yang diborgol, beberapa pria bertubuh kekar menghimpit Arjun sambil sesekali memberi pecutan agar Arjun tidak diam di tempat.Para warga desa yang menonton pun mulai mengolok-olok, saling memberi cacian hingga beberapa diantaranya melemparkan kerikil tajam pada tubuh Arjun. Pelipis pria itu terluka cukup parah, darah mengalir layaknya air terjun yang mulai menutupi seluruh paras Arjun.Dorothy semakin merasakan tenggorokannya tercekat ketika tak sengaja melakukan kontak mata dengan Arjun, tatapan pria yang sudah babak belur itu seolah meminta pertolongan. Sorot matanya mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah.Sebetulnya Dorothy ingin sekali men
Sempat hening beberapa saat sebelum akhirnya Baron kembali menjelaskan sebab Dorothy tampaknya belum paham. Sebetulnya selama seminggu ini Baron sudah merencanakan semuanya, bahkan tentang keputusan ini sudah ia pikirkan sejak lama. “Aku tidak bisa lagi berpura-pura mencintaimu. Aku tidak bisa menjalani pernikahan yang didalamnya tidak ada cinta. Seharusnya sejak awal kamu tahu dan sadar diri siapa posisimu. Mana mungkin aku bisa jatuh cinta pada anak pembantu sepertimu?” jelas Baron mimik wajahnya yang dingin menunjukkan bahwa ia serius dengan ucapannya. Dorothy merasa tercekat, nafasnya tersendat-sendat, rasa syok membuat dadanya penuh dan sesak. Ia masih berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Baron. Rasanya sulit sekali menerima semua perkataan itu setelah dua tahun menjalani kehidupan bersama, bahkan selama beberapa bulan terakhir pria itu memberikan perlakuan istimewa yang membuat Dorothy percaya hingga berhasil jatuh cinta padanya. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, segala
Harga diri Dorothy benar-benar hancur, namanya sudah jelek di mata orang-orang. Melangkah pergi dari kediaman Adhelmar pun Dorothy harus menelan banyak cacian dan hujatan dari mereka-mereka yang sudah terhasut omongan Baron. Dorothy pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas, juga dirinya tidak membawa apa-apa. Ia luntang-lantung tanpa arah, terus berjalan dan berharap bisa memiliki lingkungan dan tempat tinggal yang bisa membuatnya merasa dimanusiakan. Berjalan memasuki hutan, meninggalkan ingar bingar pedesaan, Dorothy berjalan tanpa alas dan tanpa istirahat hingga langit sudah mulai menggelap. Perutnya yang terasa lapar dan perih hanya bisa ia usap-usap di sepanjang perjalanan, sesekali Dorothy meneguk sisa embun di dedaunan, sedikit bisa menghilangkan dahaga. “Kemana aku harus pergi? Aku bahkan tidak tahu sekarang aku ada di mana.” Dorothy mengedarkan pandangan, sesekali menengadah, menatap dedaunan rimbun yang menghalau sinar mentari untuk menelusup ke dalam hutan. Suara tapak ka
Di tahun ketiga pernikahan Baron dan Gracia, mereka berdua memutuskan untuk bercerai. Lebih tepatnya Gracia yang menginginkan untuk berpisah, alasannya karena ia mengira sudah tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan dari Baron. Dan juga tujuan Gracia sejak awal sudah tercapai. Usaha keluarganya kembali pulih, ekonominya kembali stabil, tapi sebaliknya Baron yang kini berada di ambang kesusahan. Separuh tanah peninggalan sang ayah sudah habis terjual, usaha perkebunan pun banyak mengalami kerugian. “Jadi selama ini kamu tidak pernah mencintaiku?” Baron memasang wajah nelangsa, teringat apa saja yang sudah ia korbankan hanya untuk bisa bersama Gracia dan sekarang berakhir sia-sia. Karena kenyataannya memang inilah balasannya. Gracia merampas habis semua yang dimiliki Baron, lalu mencampakkannya persis seperti Baron membuang Dorothy tanpa manusiawi. Gracia juga terang-terangan mengakui sudah memiliki lelaki lain, makinlah Baron menggila. “Sudahlah, jangan terlalu dramatis.” Gracia teru
Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, akhirnya Baron bisa mendapatkan beberapa informasi tentang mantan istrinya, Dorothy. Mulai dari desa yang menjadi tempat tinggal Dorothy, hingga tempat bekerja wanita itu. Tapi satu hal yang tidak diketahui Baron, bahwa Dorothy memiliki seorang anak. Sehingga saat ini, setelah dirinya mengetuk pintu dan sudah berharap bahwa wajah mantan istrinya yang ia lihat, justru yang menampakkan diri adalah seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya. Baron memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, membungkuk ke depan, mencoba mensejajarkan tingginya dengan bocah tersebut sambil memandanginya lamat-lamat. “Apakah benar ini kediaman Nyonya Dorothy?” tanya Baron memastikan. Bocah itu mengangguk, memandangi Baron sedikit bingung. “Benar, Tuan. Nyonya Dorothy adalah Mama saya.”Mendengar jawaban tersebut, Baron tercengang beberapa saat. Punggungnya yang membungkuk ia tegakkan kembali, sorot matanya masih berpusat pada bocah laki-laki pemilik mat
Sesaat Dorothy kehilangan kata-kata, ucapan Baron barusan mengguncang pikirannya. Tapi saat kembali menyadari bahwa yang dihadapannya saat ini adalah seorang bajingan yang sudah banyak membuat hidupnya menderita, cekalan di tangan pria itu langsung ia tepis, tubuhnya mundur menjauh darinya. “Dasar gila! Apa kamu tidak punya malu?” Dorothy mendesis sebal, dadanya semakin kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan rahang yang mengetat. “Sejak awal pun aku sudah tidak punya malu dan harga diri ini sudah aku korbankan ketika memutuskan untuk datang ke sini. Aku tahu aku salah, aku mengerti dengan rasa bencimu, dan itu sangat wajar. Tapi, tidak bisakah aku memintamu kembali untuk menjadi istriku?” Baron mengeluarkan jurus andalan, lihat saja wajahnya yang tampak memelas berusaha mengambil hati Dorothy. “Jangan mimpi!” sembur Dorothy, sedetik kemudian tubuhnya berbalik memunggungi Baron. “Pulanglah. Jangan membual dengan omong kosong seperti itu. Aku tidak akan pernah mau bersama den
Surai rambut coklat sepanjang telinga ia usap ke belakang, menampilkan alis tebalnya yang terukir tegas di wajahnya yang rupawan. Cahaya rembulan menembus kaca besar yang terpasang di sepanjang lorong layaknya dinding, menyinari sesosok pria bertubuh tegap yang dengan gagahnya berjalan. Bagai malaikat, tubuhnya itu disinari dengan indah, ditambah mata abu-abu gelapnya ikut tersenyum ketika kedua sudut bibirnya terangkat, semakin menambah level ketampanannya. Siapa yang tidak tahu Baron? Anak tunggal kaya raya yang siap mewarisi harta turunan sang ayah yang saat ini sedang sakit-sakitan. Kaki panjangnya melesat masuk ke dalam sebuah ruangan, harum aroma mawar menyerbak masuk ke dalam indera penciuman. Ruangan yang hanya mengandalkan sinar rembulan sebagai penerangan tersebut menampilkan siluet seorang perempuan yang berdiri menghadap jendela. “Apa kamu sudah siap?” tanya Baron, baritonnya yang serak dan berat menggema dalam ruangan yang diselimuti keheningan. Siluet perempuan i
Sesaat Dorothy kehilangan kata-kata, ucapan Baron barusan mengguncang pikirannya. Tapi saat kembali menyadari bahwa yang dihadapannya saat ini adalah seorang bajingan yang sudah banyak membuat hidupnya menderita, cekalan di tangan pria itu langsung ia tepis, tubuhnya mundur menjauh darinya. “Dasar gila! Apa kamu tidak punya malu?” Dorothy mendesis sebal, dadanya semakin kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan rahang yang mengetat. “Sejak awal pun aku sudah tidak punya malu dan harga diri ini sudah aku korbankan ketika memutuskan untuk datang ke sini. Aku tahu aku salah, aku mengerti dengan rasa bencimu, dan itu sangat wajar. Tapi, tidak bisakah aku memintamu kembali untuk menjadi istriku?” Baron mengeluarkan jurus andalan, lihat saja wajahnya yang tampak memelas berusaha mengambil hati Dorothy. “Jangan mimpi!” sembur Dorothy, sedetik kemudian tubuhnya berbalik memunggungi Baron. “Pulanglah. Jangan membual dengan omong kosong seperti itu. Aku tidak akan pernah mau bersama den
Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, akhirnya Baron bisa mendapatkan beberapa informasi tentang mantan istrinya, Dorothy. Mulai dari desa yang menjadi tempat tinggal Dorothy, hingga tempat bekerja wanita itu. Tapi satu hal yang tidak diketahui Baron, bahwa Dorothy memiliki seorang anak. Sehingga saat ini, setelah dirinya mengetuk pintu dan sudah berharap bahwa wajah mantan istrinya yang ia lihat, justru yang menampakkan diri adalah seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya. Baron memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, membungkuk ke depan, mencoba mensejajarkan tingginya dengan bocah tersebut sambil memandanginya lamat-lamat. “Apakah benar ini kediaman Nyonya Dorothy?” tanya Baron memastikan. Bocah itu mengangguk, memandangi Baron sedikit bingung. “Benar, Tuan. Nyonya Dorothy adalah Mama saya.”Mendengar jawaban tersebut, Baron tercengang beberapa saat. Punggungnya yang membungkuk ia tegakkan kembali, sorot matanya masih berpusat pada bocah laki-laki pemilik mat
Di tahun ketiga pernikahan Baron dan Gracia, mereka berdua memutuskan untuk bercerai. Lebih tepatnya Gracia yang menginginkan untuk berpisah, alasannya karena ia mengira sudah tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan dari Baron. Dan juga tujuan Gracia sejak awal sudah tercapai. Usaha keluarganya kembali pulih, ekonominya kembali stabil, tapi sebaliknya Baron yang kini berada di ambang kesusahan. Separuh tanah peninggalan sang ayah sudah habis terjual, usaha perkebunan pun banyak mengalami kerugian. “Jadi selama ini kamu tidak pernah mencintaiku?” Baron memasang wajah nelangsa, teringat apa saja yang sudah ia korbankan hanya untuk bisa bersama Gracia dan sekarang berakhir sia-sia. Karena kenyataannya memang inilah balasannya. Gracia merampas habis semua yang dimiliki Baron, lalu mencampakkannya persis seperti Baron membuang Dorothy tanpa manusiawi. Gracia juga terang-terangan mengakui sudah memiliki lelaki lain, makinlah Baron menggila. “Sudahlah, jangan terlalu dramatis.” Gracia teru
Harga diri Dorothy benar-benar hancur, namanya sudah jelek di mata orang-orang. Melangkah pergi dari kediaman Adhelmar pun Dorothy harus menelan banyak cacian dan hujatan dari mereka-mereka yang sudah terhasut omongan Baron. Dorothy pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas, juga dirinya tidak membawa apa-apa. Ia luntang-lantung tanpa arah, terus berjalan dan berharap bisa memiliki lingkungan dan tempat tinggal yang bisa membuatnya merasa dimanusiakan. Berjalan memasuki hutan, meninggalkan ingar bingar pedesaan, Dorothy berjalan tanpa alas dan tanpa istirahat hingga langit sudah mulai menggelap. Perutnya yang terasa lapar dan perih hanya bisa ia usap-usap di sepanjang perjalanan, sesekali Dorothy meneguk sisa embun di dedaunan, sedikit bisa menghilangkan dahaga. “Kemana aku harus pergi? Aku bahkan tidak tahu sekarang aku ada di mana.” Dorothy mengedarkan pandangan, sesekali menengadah, menatap dedaunan rimbun yang menghalau sinar mentari untuk menelusup ke dalam hutan. Suara tapak ka
Sempat hening beberapa saat sebelum akhirnya Baron kembali menjelaskan sebab Dorothy tampaknya belum paham. Sebetulnya selama seminggu ini Baron sudah merencanakan semuanya, bahkan tentang keputusan ini sudah ia pikirkan sejak lama. “Aku tidak bisa lagi berpura-pura mencintaimu. Aku tidak bisa menjalani pernikahan yang didalamnya tidak ada cinta. Seharusnya sejak awal kamu tahu dan sadar diri siapa posisimu. Mana mungkin aku bisa jatuh cinta pada anak pembantu sepertimu?” jelas Baron mimik wajahnya yang dingin menunjukkan bahwa ia serius dengan ucapannya. Dorothy merasa tercekat, nafasnya tersendat-sendat, rasa syok membuat dadanya penuh dan sesak. Ia masih berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Baron. Rasanya sulit sekali menerima semua perkataan itu setelah dua tahun menjalani kehidupan bersama, bahkan selama beberapa bulan terakhir pria itu memberikan perlakuan istimewa yang membuat Dorothy percaya hingga berhasil jatuh cinta padanya. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, segala
Arjun ditarik keluar ruangan secara brutal, Baron sudah menetapkan pria itu sebagai pelaku. Keputusannya untuk memberikan hukuman padanya tidak bisa diganggu gugat.Sedang Dorothy yang masih membenamkan dirinya dalam pikiran penuh tanda tanya hanya bisa bergeming, menyaksikan Arjun yang mulai diarak keliling desa dengan kedua tangan dan kakinya yang diborgol, beberapa pria bertubuh kekar menghimpit Arjun sambil sesekali memberi pecutan agar Arjun tidak diam di tempat.Para warga desa yang menonton pun mulai mengolok-olok, saling memberi cacian hingga beberapa diantaranya melemparkan kerikil tajam pada tubuh Arjun. Pelipis pria itu terluka cukup parah, darah mengalir layaknya air terjun yang mulai menutupi seluruh paras Arjun.Dorothy semakin merasakan tenggorokannya tercekat ketika tak sengaja melakukan kontak mata dengan Arjun, tatapan pria yang sudah babak belur itu seolah meminta pertolongan. Sorot matanya mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah.Sebetulnya Dorothy ingin sekali men
Baron dan Dorothy berjalan tergesa-gesa menuju kamar Matteo setelah mendapat kabar mengejutkan dari pelayan tadi. Sepertinya kabar tentang kematian Matteo sudah menyebar ke seluruh isi rumah, karena para pelayan yang ada di rumah ini sudah berkerumun di depan ruangan yang di dalamnya ada Matteo. Tapi satu pun dari mereka tidak ada yang berani masuk. Baron lantas melesat masuk, diikuti oleh Dorothy, mereka langsung disuguhi pemandangan yang menyedihkan. Bahwa Matteo benar-benar sudah terbujur kaku dengan warna kulitnya yang sudah pucat membiru, tubuhnya layaknya seonggok bangkai, tergeletak di atas lantai tak berdaya. Saat Baron mendekat ke arahnya, berjongkok untuk menyentuh tubuh ayahnya, rasa dingin yang dirasakan membuatnya bergidik merinding. Pandangan Baron menyapu ke samping, tak jauh dari tubuh Matteo yang terkapar ada pecahan gelas yang berserakan. Mengambil salah satu dari pecahan tersebut, Baron jadi teringat bahwa gelas yang pecah itu adalah gelas yang dibawa Arjun tadi
Berlatar pada zaman dimana harta menjadi penunjang utama bagaimana seseorang bisa dipandang. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka derajatnya akan semakin diagung-agungkan. Matteo Adhelmar adalah pria pekerja keras yang berhasil memiliki lahan luas yang ia jadikan sebagai perkebunan. Berhektar-hektar tanah yang dimiliki ia pakai untuk menanam sayur, buah, dan padi. Beberapa penduduk desa berbondong-bondong ingin menjadi pegawai Matteo, semua hasil dari perkebunan dijual ke desa lain dengan harga yang tinggi. Hanya di desa inilah tanah begitu subur gembur, sehingga mudah untuk mengembangkan usaha bahan pangan. “Pendapatan kita bulan ini turun lagi?” Matteo melenguh pasrah, pelipisnya yang terasa berdenyut ia pijat pelan. Matteo tak kuasa melihat hasil laporan dari keuntungan yang didapat bulan ini. Sebenarnya dari beberapa bulan sebelumnya sudah terasa mencurigakan, Matteo merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tidak mungkin data penjualan tidak sebanding dengan pemasukan ya
Surai rambut coklat sepanjang telinga ia usap ke belakang, menampilkan alis tebalnya yang terukir tegas di wajahnya yang rupawan. Cahaya rembulan menembus kaca besar yang terpasang di sepanjang lorong layaknya dinding, menyinari sesosok pria bertubuh tegap yang dengan gagahnya berjalan. Bagai malaikat, tubuhnya itu disinari dengan indah, ditambah mata abu-abu gelapnya ikut tersenyum ketika kedua sudut bibirnya terangkat, semakin menambah level ketampanannya. Siapa yang tidak tahu Baron? Anak tunggal kaya raya yang siap mewarisi harta turunan sang ayah yang saat ini sedang sakit-sakitan. Kaki panjangnya melesat masuk ke dalam sebuah ruangan, harum aroma mawar menyerbak masuk ke dalam indera penciuman. Ruangan yang hanya mengandalkan sinar rembulan sebagai penerangan tersebut menampilkan siluet seorang perempuan yang berdiri menghadap jendela. “Apa kamu sudah siap?” tanya Baron, baritonnya yang serak dan berat menggema dalam ruangan yang diselimuti keheningan. Siluet perempuan i