Surai rambut coklat sepanjang telinga ia usap ke belakang, menampilkan alis tebalnya yang terukir tegas di wajahnya yang rupawan. Cahaya rembulan menembus kaca besar yang terpasang di sepanjang lorong layaknya dinding, menyinari sesosok pria bertubuh tegap yang dengan gagahnya berjalan.
Bagai malaikat, tubuhnya itu disinari dengan indah, ditambah mata abu-abu gelapnya ikut tersenyum ketika kedua sudut bibirnya terangkat, semakin menambah level ketampanannya. Siapa yang tidak tahu Baron? Anak tunggal kaya raya yang siap mewarisi harta turunan sang ayah yang saat ini sedang sakit-sakitan.
Kaki panjangnya melesat masuk ke dalam sebuah ruangan, harum aroma mawar menyerbak masuk ke dalam indera penciuman. Ruangan yang hanya mengandalkan sinar rembulan sebagai penerangan tersebut menampilkan siluet seorang perempuan yang berdiri menghadap jendela.
“Apa kamu sudah siap?” tanya Baron, baritonnya yang serak dan berat menggema dalam ruangan yang diselimuti keheningan.
Siluet perempuan itu bergerak, tampaknya ia sudah berbalik, menghadap pada Baron. Rambut panjangnya yang bergelombang ia kibas ke bahu kiri, menunjukkan lehernya yang jenjang.
Baron berjalan mendekat padanya, perlahan mengikis jarak antara tubuh keduanya. Bukan lagi aroma mawar yang tercium, melainkan nafas hangat yang menguarkan aroma mint, berpadu dengan parfum lembut yang harumnya seperti citrus dan beraroma rempah segar.
“Terima kasih sudah berkunjung.” Lengan perempuan itu menyentuh dada bidang Baron, tubuhnya agak mencondong ke depan, kakinya sedikit berjinjit saat akan mengincar leher Baron, ia kecup mesra.
“Malam ini, biarkan aku melayanimu, suamiku.”
Baron menyeringai dalam gelap ketika mendegar pernyataan tersebut, ekspresi senyum yang memiliki banyak arti itu tidak bisa dilihat oleh lawan bicaranya. Lengan yang penuh dengan urat-urat yang menonjol itu sudah melingkar posesif pada pinggul sang istri.
“Lakukan yang terbaik. Beri hadiah pada suamimu ini, Dorothy,” bisik Baron, sebelah tangannya memegang ujung dagu perempuan tersebut. Bibir mereka nyaris bersentuhan, hangat dari nafas keduanya saling menyapu paras masing-masing.
Satu per satu Dorothy mulai melepas pakaiannya, menjatuhkan kain tipis yang semula melapisi tubuh indahnya ke lantai. Dorothy melakukan apa yang dirinya bisa, sejujurnya ia baru pertama kali melayani suaminya dengan cara seperti ini.
Seminggu yang lalu, Baron meminta agar hubungan ranjang antara dirinya dengan Dorothy tidak terasa membosankan. Selalu, Baron yang memulai semuanya dan Dorothy hanya berperan sebagai penerima saja.
Beberapa bulan terakhir ini, Dorothy mulai menanamkan rasa percaya pada Baron dan pelan-pelan mulai menyadari ada rasa yang tumbuh dalam hatinya. Jadi Dorothy berinisiatif untuk memberi kesenangan pada suaminya itu dalam hal ini.
Dorothy menaruh kedua tangannya pada bahu Baron, memutar tubuh suaminya sebelum akhirnya ia dorong untuk jatuh ke atas ranjang. Baron terkekeh puas, dengan senang hati ia membiarkan wanita itu melakukan apa saja.
“Bi-biarkan malam ini aku yang memegang kendali!” ujar Dorothy sedikit agak gugup, nafasnya yang tak beraturan itu terdengar nyaring menderu-deru dalam kesunyian.
Baron berbaring dengan tangan telentang. “Puaskan aku malam ini, sayang,” pintanya dengan suara serak pasrah.
“... Sebelum nantinya kamu tidak bisa lagi bercinta dengan lelaki setampan, segagah dan seperkasa diriku ini,” sambung Baron dalam gumam yang hanya bisa ia dengar sendiri.
Dorothy perlahan naik ke atas tubuh Baron, duduk di antara kedua paha pria itu. Jemari lentiknya bermain-main di atas perut kotak-kotak milik Baron, sebelum akhirnya Baron menarik Dorothy hingga bibir mereka saling berbenturan, kemudian disambung dengan memberi lumatan-lumatan ganas yang memicu suhu tubuh keduanya naik.
Decak-decak yang mengisi keheningan menjadi pengiring permainan panas mereka. Gerakan-gerakan erotis Dorothy semakin terlihat lihai tak kaku lagi, membuat Baron kian bersemangat menuntaskan hasratnya pada malam yang panjang.
***
“Hubungan kalian harmonis, 'kan?”
Pertanyaan yang dilontarkan Matteo — ayah kandung Baron membuat sepasang suami istri yang sedang khidmat menyantap sarapan pagi langsung terhenti. Atensi mereka berdua diambil alih pria tua yang selalu membawa tongkat ke mana-mana.
Di meja panjang yang diisi oleh banyak hidangan lezat, hanya ada tiga kursi saja yang terisi. Baron dan Dorothy yang duduk saling berhadapan, lalu Matteo yang duduk di ujung meja, di tengah-tengah mereka berdua.
“Tentu saja. Memangnya kami terlihat tidak harmonis di mata Ayah?” Baron membalikan pertanyaan, merasa bingung.
“Bukan begitu,” kekeh Matteo pelan, “Maksud Ayah hubungan intim kalian berjalan lancar kan?”
Mendengar pertanyaan yang diperjelas barusan, membuat Dorothy langsung tersedak. Dengan penuh perhatian buru-buru Baron memberikan segelas air putih pada istrinya tersebut, tangannya menepuk pelan punggung Dorothy.
“Apa aku harus memberitahu Ayah setiap kami selesai melakukannya?” Baron tertawa singkat, “Tidak tahu saja malam tadi seganas apa Dorothy melayaniku.”
Ucapan Baron tersebut langsung dihadiahi pelototan dan pukulan ringan pada bahu oleh Dorothy. Bisa-bisanya Baron mengatakan hal itu secara terang-terangan pada sang ayah.
“Syukurlah kalau hubungan di antara kalian berjalan baik-baik saja. Hanya saja Ayah sangat menunggu kehadiran bayi kecil di keluarga kita yang sedikit ini. Sayang sekali kan rumah seluas ini jika tidak diisi oleh suara tangisan dan tawaan bayi,” kata Matteo yang dibubuhi gelak tawa tipis.
Baron mengangguk-angguk paham. “Benar, Ayah. Tapi kami pun sedang mengusahakannya. Kami sangat bersemangat untuk menghadirkan anggota baru dalam keluarga ini.”
Dorothy menunduk malu. Sedikit merasa tidak enak hati juga tidak nyaman, takut dipandang bahwa dirinya bukan istri yang baik sebab belum juga diberi keturunan setelah dua tahun pernikahan.
Lengan Baron mendekap tubuh kecil Dorothy, seolah paham dengan perasaan istrinya. Tapi pandangannya tak ia alihkan dari Ayahnya. “Fokus saja dulu pada kesembuhan Ayah. Kami pastikan keluarga ini memiliki penerus.”
Matteo tersenyum tipis sembari manggut-manggut. “Bukan bermaksud memaksa ataupun memojokkan kalian agar segera memiliki anak. Ayah juga tahu bahwa itu di luar kendali kita, sebab Tuhan sudah mengatur semuanya. Tapi Ayah hanya berpikir, jika sudah memiliki anak, Baron bisa menjadi pribadi yang lebih baik.”
Baron yang merasa tersinggung langsung menautkan alisnya. “Maksud Ayah apa?”
“Mau sampai kapan kamu terus berleha-leha dan menunda pekerjaan? Baron, sekarang kamu itu sudah menjadi kepala keluarga. Kamu anak satu-satunya dan kamu adalah pewaris utama keluarga ini. Tapi harta yang akan kamu dapatkan nanti tentu harus kamu kelola agar tidak habis begitu saja. Ayah ini sudah tua, Baron. Tidak mampu lagi menjalankan usaha keluarga kita seperti dulu,” pesan Matteo yang hampir tiap hari diucapkan pada putranya itu.
Kepala Baron langsung angguk-angguk, meng-iyakan. Dalam hati ia merasa jengkel, tapi bisa tertutup dengan ekspresinya tenangnya. “Baik, Ayah. Aku paham.”
***
Kepulan asap yang keluar dari ujung cerutu, mulut dan juga hidung Baron menguar ke udara, lalu mulai menghilang dalam langit-langit malam. Pria berumur 30 tahun itu tengah menunggu kedatangan seseorang, duduk manis di bangku taman belakang kediaman mewahnya.
Meski angin malam begitu dingin, terasa menusuk-nusuk tulang, Baron sama sekali tidak terusik. Pikirannya penuh dengan suatu hal, dan sewaktu-waktu bisa meledak jika terus dipendam.
Daun telinga Baron bergerak-gerak, menangkap suara derap langkah kaki seseorang yang datang mendekat padanya. Baron bisa menebak seseorang itu adalah orang yang ditunggunya sejak tadi.
“Tuan Baron,” panggil seseorang tersebut.
Kepala Baron menoleh, disusul dengan tubuhnya yang beringsut dari kursi. “Berhasil?”
Pria bertubuh kurus berpakaian ala kadarnya tanpa mengenakan alas kaki, bagian dada yang mencetak tulang selangka dibiarkan terbuka. Kemeja lusuh tak berkancing yang dikenakannya menampilkan bahwa dia dari kalangan biasa.
Tubuhnya membungkuk, tangannya menyerahkan sebuah botol kecil yang entah apa isinya. “Ini ramuan dari tumbuhan wilayah timur yang Tuan minta.”
Baron menerima barang pemberian pria lusuh tersebut. “Berapa lama efek reaksinya?”
“Langsung seketika saat ramuan itu bekerja, Tuan. Ramuan ini diracik khusus sehingga tidak mengeluarkan aroma apapun bahkan tidak berwarna,” jawabnya masih dengan posisi membungkuk penuh hormat.
Baron merogoh sesuatu dari dalam saku celananya, segunduk uang logam emas ia berikan pada pria itu sebagai imbalan. “Sisanya menyusul setelah kabar yang ditunggu-tunggu menyebar. Sisa uang yang dikirimkan pakai untuk berpesta satu kampung. Makan-makanlah yang enak dan berpesta sepuasnya.”
“Baik, Tuanku.”
Dikira aktivitas dan percakapan itu hanya mereka saja yang tahu, tapi ternyata Dorothy diam-diam memantau dari jendela lantai atas untuk melihat transaksi yang dilakukan mereka berdua. Batinnya bertanya-tanya, benda apa yang dibeli Baron hingga rela menguras banyak uang?
***
Berlatar pada zaman dimana harta menjadi penunjang utama bagaimana seseorang bisa dipandang. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka derajatnya akan semakin diagung-agungkan. Matteo Adhelmar adalah pria pekerja keras yang berhasil memiliki lahan luas yang ia jadikan sebagai perkebunan. Berhektar-hektar tanah yang dimiliki ia pakai untuk menanam sayur, buah, dan padi. Beberapa penduduk desa berbondong-bondong ingin menjadi pegawai Matteo, semua hasil dari perkebunan dijual ke desa lain dengan harga yang tinggi. Hanya di desa inilah tanah begitu subur gembur, sehingga mudah untuk mengembangkan usaha bahan pangan. “Pendapatan kita bulan ini turun lagi?” Matteo melenguh pasrah, pelipisnya yang terasa berdenyut ia pijat pelan. Matteo tak kuasa melihat hasil laporan dari keuntungan yang didapat bulan ini. Sebenarnya dari beberapa bulan sebelumnya sudah terasa mencurigakan, Matteo merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tidak mungkin data penjualan tidak sebanding dengan pemasukan ya
Baron dan Dorothy berjalan tergesa-gesa menuju kamar Matteo setelah mendapat kabar mengejutkan dari pelayan tadi. Sepertinya kabar tentang kematian Matteo sudah menyebar ke seluruh isi rumah, karena para pelayan yang ada di rumah ini sudah berkerumun di depan ruangan yang di dalamnya ada Matteo. Tapi satu pun dari mereka tidak ada yang berani masuk. Baron lantas melesat masuk, diikuti oleh Dorothy, mereka langsung disuguhi pemandangan yang menyedihkan. Bahwa Matteo benar-benar sudah terbujur kaku dengan warna kulitnya yang sudah pucat membiru, tubuhnya layaknya seonggok bangkai, tergeletak di atas lantai tak berdaya. Saat Baron mendekat ke arahnya, berjongkok untuk menyentuh tubuh ayahnya, rasa dingin yang dirasakan membuatnya bergidik merinding. Pandangan Baron menyapu ke samping, tak jauh dari tubuh Matteo yang terkapar ada pecahan gelas yang berserakan. Mengambil salah satu dari pecahan tersebut, Baron jadi teringat bahwa gelas yang pecah itu adalah gelas yang dibawa Arjun tadi
Arjun ditarik keluar ruangan secara brutal, Baron sudah menetapkan pria itu sebagai pelaku. Keputusannya untuk memberikan hukuman padanya tidak bisa diganggu gugat.Sedang Dorothy yang masih membenamkan dirinya dalam pikiran penuh tanda tanya hanya bisa bergeming, menyaksikan Arjun yang mulai diarak keliling desa dengan kedua tangan dan kakinya yang diborgol, beberapa pria bertubuh kekar menghimpit Arjun sambil sesekali memberi pecutan agar Arjun tidak diam di tempat.Para warga desa yang menonton pun mulai mengolok-olok, saling memberi cacian hingga beberapa diantaranya melemparkan kerikil tajam pada tubuh Arjun. Pelipis pria itu terluka cukup parah, darah mengalir layaknya air terjun yang mulai menutupi seluruh paras Arjun.Dorothy semakin merasakan tenggorokannya tercekat ketika tak sengaja melakukan kontak mata dengan Arjun, tatapan pria yang sudah babak belur itu seolah meminta pertolongan. Sorot matanya mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah.Sebetulnya Dorothy ingin sekali men
Sempat hening beberapa saat sebelum akhirnya Baron kembali menjelaskan sebab Dorothy tampaknya belum paham. Sebetulnya selama seminggu ini Baron sudah merencanakan semuanya, bahkan tentang keputusan ini sudah ia pikirkan sejak lama. “Aku tidak bisa lagi berpura-pura mencintaimu. Aku tidak bisa menjalani pernikahan yang didalamnya tidak ada cinta. Seharusnya sejak awal kamu tahu dan sadar diri siapa posisimu. Mana mungkin aku bisa jatuh cinta pada anak pembantu sepertimu?” jelas Baron mimik wajahnya yang dingin menunjukkan bahwa ia serius dengan ucapannya. Dorothy merasa tercekat, nafasnya tersendat-sendat, rasa syok membuat dadanya penuh dan sesak. Ia masih berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Baron. Rasanya sulit sekali menerima semua perkataan itu setelah dua tahun menjalani kehidupan bersama, bahkan selama beberapa bulan terakhir pria itu memberikan perlakuan istimewa yang membuat Dorothy percaya hingga berhasil jatuh cinta padanya. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, segala
Harga diri Dorothy benar-benar hancur, namanya sudah jelek di mata orang-orang. Melangkah pergi dari kediaman Adhelmar pun Dorothy harus menelan banyak cacian dan hujatan dari mereka-mereka yang sudah terhasut omongan Baron. Dorothy pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas, juga dirinya tidak membawa apa-apa. Ia luntang-lantung tanpa arah, terus berjalan dan berharap bisa memiliki lingkungan dan tempat tinggal yang bisa membuatnya merasa dimanusiakan. Berjalan memasuki hutan, meninggalkan ingar bingar pedesaan, Dorothy berjalan tanpa alas dan tanpa istirahat hingga langit sudah mulai menggelap. Perutnya yang terasa lapar dan perih hanya bisa ia usap-usap di sepanjang perjalanan, sesekali Dorothy meneguk sisa embun di dedaunan, sedikit bisa menghilangkan dahaga. “Kemana aku harus pergi? Aku bahkan tidak tahu sekarang aku ada di mana.” Dorothy mengedarkan pandangan, sesekali menengadah, menatap dedaunan rimbun yang menghalau sinar mentari untuk menelusup ke dalam hutan. Suara tapak ka
Di tahun ketiga pernikahan Baron dan Gracia, mereka berdua memutuskan untuk bercerai. Lebih tepatnya Gracia yang menginginkan untuk berpisah, alasannya karena ia mengira sudah tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan dari Baron. Dan juga tujuan Gracia sejak awal sudah tercapai. Usaha keluarganya kembali pulih, ekonominya kembali stabil, tapi sebaliknya Baron yang kini berada di ambang kesusahan. Separuh tanah peninggalan sang ayah sudah habis terjual, usaha perkebunan pun banyak mengalami kerugian. “Jadi selama ini kamu tidak pernah mencintaiku?” Baron memasang wajah nelangsa, teringat apa saja yang sudah ia korbankan hanya untuk bisa bersama Gracia dan sekarang berakhir sia-sia. Karena kenyataannya memang inilah balasannya. Gracia merampas habis semua yang dimiliki Baron, lalu mencampakkannya persis seperti Baron membuang Dorothy tanpa manusiawi. Gracia juga terang-terangan mengakui sudah memiliki lelaki lain, makinlah Baron menggila. “Sudahlah, jangan terlalu dramatis.” Gracia teru
Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, akhirnya Baron bisa mendapatkan beberapa informasi tentang mantan istrinya, Dorothy. Mulai dari desa yang menjadi tempat tinggal Dorothy, hingga tempat bekerja wanita itu. Tapi satu hal yang tidak diketahui Baron, bahwa Dorothy memiliki seorang anak. Sehingga saat ini, setelah dirinya mengetuk pintu dan sudah berharap bahwa wajah mantan istrinya yang ia lihat, justru yang menampakkan diri adalah seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya. Baron memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, membungkuk ke depan, mencoba mensejajarkan tingginya dengan bocah tersebut sambil memandanginya lamat-lamat. “Apakah benar ini kediaman Nyonya Dorothy?” tanya Baron memastikan. Bocah itu mengangguk, memandangi Baron sedikit bingung. “Benar, Tuan. Nyonya Dorothy adalah Mama saya.”Mendengar jawaban tersebut, Baron tercengang beberapa saat. Punggungnya yang membungkuk ia tegakkan kembali, sorot matanya masih berpusat pada bocah laki-laki pemilik mat
Sesaat Dorothy kehilangan kata-kata, ucapan Baron barusan mengguncang pikirannya. Tapi saat kembali menyadari bahwa yang dihadapannya saat ini adalah seorang bajingan yang sudah banyak membuat hidupnya menderita, cekalan di tangan pria itu langsung ia tepis, tubuhnya mundur menjauh darinya. “Dasar gila! Apa kamu tidak punya malu?” Dorothy mendesis sebal, dadanya semakin kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan rahang yang mengetat. “Sejak awal pun aku sudah tidak punya malu dan harga diri ini sudah aku korbankan ketika memutuskan untuk datang ke sini. Aku tahu aku salah, aku mengerti dengan rasa bencimu, dan itu sangat wajar. Tapi, tidak bisakah aku memintamu kembali untuk menjadi istriku?” Baron mengeluarkan jurus andalan, lihat saja wajahnya yang tampak memelas berusaha mengambil hati Dorothy. “Jangan mimpi!” sembur Dorothy, sedetik kemudian tubuhnya berbalik memunggungi Baron. “Pulanglah. Jangan membual dengan omong kosong seperti itu. Aku tidak akan pernah mau bersama den
Sesaat Dorothy kehilangan kata-kata, ucapan Baron barusan mengguncang pikirannya. Tapi saat kembali menyadari bahwa yang dihadapannya saat ini adalah seorang bajingan yang sudah banyak membuat hidupnya menderita, cekalan di tangan pria itu langsung ia tepis, tubuhnya mundur menjauh darinya. “Dasar gila! Apa kamu tidak punya malu?” Dorothy mendesis sebal, dadanya semakin kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan rahang yang mengetat. “Sejak awal pun aku sudah tidak punya malu dan harga diri ini sudah aku korbankan ketika memutuskan untuk datang ke sini. Aku tahu aku salah, aku mengerti dengan rasa bencimu, dan itu sangat wajar. Tapi, tidak bisakah aku memintamu kembali untuk menjadi istriku?” Baron mengeluarkan jurus andalan, lihat saja wajahnya yang tampak memelas berusaha mengambil hati Dorothy. “Jangan mimpi!” sembur Dorothy, sedetik kemudian tubuhnya berbalik memunggungi Baron. “Pulanglah. Jangan membual dengan omong kosong seperti itu. Aku tidak akan pernah mau bersama den
Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, akhirnya Baron bisa mendapatkan beberapa informasi tentang mantan istrinya, Dorothy. Mulai dari desa yang menjadi tempat tinggal Dorothy, hingga tempat bekerja wanita itu. Tapi satu hal yang tidak diketahui Baron, bahwa Dorothy memiliki seorang anak. Sehingga saat ini, setelah dirinya mengetuk pintu dan sudah berharap bahwa wajah mantan istrinya yang ia lihat, justru yang menampakkan diri adalah seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya. Baron memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, membungkuk ke depan, mencoba mensejajarkan tingginya dengan bocah tersebut sambil memandanginya lamat-lamat. “Apakah benar ini kediaman Nyonya Dorothy?” tanya Baron memastikan. Bocah itu mengangguk, memandangi Baron sedikit bingung. “Benar, Tuan. Nyonya Dorothy adalah Mama saya.”Mendengar jawaban tersebut, Baron tercengang beberapa saat. Punggungnya yang membungkuk ia tegakkan kembali, sorot matanya masih berpusat pada bocah laki-laki pemilik mat
Di tahun ketiga pernikahan Baron dan Gracia, mereka berdua memutuskan untuk bercerai. Lebih tepatnya Gracia yang menginginkan untuk berpisah, alasannya karena ia mengira sudah tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan dari Baron. Dan juga tujuan Gracia sejak awal sudah tercapai. Usaha keluarganya kembali pulih, ekonominya kembali stabil, tapi sebaliknya Baron yang kini berada di ambang kesusahan. Separuh tanah peninggalan sang ayah sudah habis terjual, usaha perkebunan pun banyak mengalami kerugian. “Jadi selama ini kamu tidak pernah mencintaiku?” Baron memasang wajah nelangsa, teringat apa saja yang sudah ia korbankan hanya untuk bisa bersama Gracia dan sekarang berakhir sia-sia. Karena kenyataannya memang inilah balasannya. Gracia merampas habis semua yang dimiliki Baron, lalu mencampakkannya persis seperti Baron membuang Dorothy tanpa manusiawi. Gracia juga terang-terangan mengakui sudah memiliki lelaki lain, makinlah Baron menggila. “Sudahlah, jangan terlalu dramatis.” Gracia teru
Harga diri Dorothy benar-benar hancur, namanya sudah jelek di mata orang-orang. Melangkah pergi dari kediaman Adhelmar pun Dorothy harus menelan banyak cacian dan hujatan dari mereka-mereka yang sudah terhasut omongan Baron. Dorothy pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas, juga dirinya tidak membawa apa-apa. Ia luntang-lantung tanpa arah, terus berjalan dan berharap bisa memiliki lingkungan dan tempat tinggal yang bisa membuatnya merasa dimanusiakan. Berjalan memasuki hutan, meninggalkan ingar bingar pedesaan, Dorothy berjalan tanpa alas dan tanpa istirahat hingga langit sudah mulai menggelap. Perutnya yang terasa lapar dan perih hanya bisa ia usap-usap di sepanjang perjalanan, sesekali Dorothy meneguk sisa embun di dedaunan, sedikit bisa menghilangkan dahaga. “Kemana aku harus pergi? Aku bahkan tidak tahu sekarang aku ada di mana.” Dorothy mengedarkan pandangan, sesekali menengadah, menatap dedaunan rimbun yang menghalau sinar mentari untuk menelusup ke dalam hutan. Suara tapak ka
Sempat hening beberapa saat sebelum akhirnya Baron kembali menjelaskan sebab Dorothy tampaknya belum paham. Sebetulnya selama seminggu ini Baron sudah merencanakan semuanya, bahkan tentang keputusan ini sudah ia pikirkan sejak lama. “Aku tidak bisa lagi berpura-pura mencintaimu. Aku tidak bisa menjalani pernikahan yang didalamnya tidak ada cinta. Seharusnya sejak awal kamu tahu dan sadar diri siapa posisimu. Mana mungkin aku bisa jatuh cinta pada anak pembantu sepertimu?” jelas Baron mimik wajahnya yang dingin menunjukkan bahwa ia serius dengan ucapannya. Dorothy merasa tercekat, nafasnya tersendat-sendat, rasa syok membuat dadanya penuh dan sesak. Ia masih berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Baron. Rasanya sulit sekali menerima semua perkataan itu setelah dua tahun menjalani kehidupan bersama, bahkan selama beberapa bulan terakhir pria itu memberikan perlakuan istimewa yang membuat Dorothy percaya hingga berhasil jatuh cinta padanya. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, segala
Arjun ditarik keluar ruangan secara brutal, Baron sudah menetapkan pria itu sebagai pelaku. Keputusannya untuk memberikan hukuman padanya tidak bisa diganggu gugat.Sedang Dorothy yang masih membenamkan dirinya dalam pikiran penuh tanda tanya hanya bisa bergeming, menyaksikan Arjun yang mulai diarak keliling desa dengan kedua tangan dan kakinya yang diborgol, beberapa pria bertubuh kekar menghimpit Arjun sambil sesekali memberi pecutan agar Arjun tidak diam di tempat.Para warga desa yang menonton pun mulai mengolok-olok, saling memberi cacian hingga beberapa diantaranya melemparkan kerikil tajam pada tubuh Arjun. Pelipis pria itu terluka cukup parah, darah mengalir layaknya air terjun yang mulai menutupi seluruh paras Arjun.Dorothy semakin merasakan tenggorokannya tercekat ketika tak sengaja melakukan kontak mata dengan Arjun, tatapan pria yang sudah babak belur itu seolah meminta pertolongan. Sorot matanya mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah.Sebetulnya Dorothy ingin sekali men
Baron dan Dorothy berjalan tergesa-gesa menuju kamar Matteo setelah mendapat kabar mengejutkan dari pelayan tadi. Sepertinya kabar tentang kematian Matteo sudah menyebar ke seluruh isi rumah, karena para pelayan yang ada di rumah ini sudah berkerumun di depan ruangan yang di dalamnya ada Matteo. Tapi satu pun dari mereka tidak ada yang berani masuk. Baron lantas melesat masuk, diikuti oleh Dorothy, mereka langsung disuguhi pemandangan yang menyedihkan. Bahwa Matteo benar-benar sudah terbujur kaku dengan warna kulitnya yang sudah pucat membiru, tubuhnya layaknya seonggok bangkai, tergeletak di atas lantai tak berdaya. Saat Baron mendekat ke arahnya, berjongkok untuk menyentuh tubuh ayahnya, rasa dingin yang dirasakan membuatnya bergidik merinding. Pandangan Baron menyapu ke samping, tak jauh dari tubuh Matteo yang terkapar ada pecahan gelas yang berserakan. Mengambil salah satu dari pecahan tersebut, Baron jadi teringat bahwa gelas yang pecah itu adalah gelas yang dibawa Arjun tadi
Berlatar pada zaman dimana harta menjadi penunjang utama bagaimana seseorang bisa dipandang. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka derajatnya akan semakin diagung-agungkan. Matteo Adhelmar adalah pria pekerja keras yang berhasil memiliki lahan luas yang ia jadikan sebagai perkebunan. Berhektar-hektar tanah yang dimiliki ia pakai untuk menanam sayur, buah, dan padi. Beberapa penduduk desa berbondong-bondong ingin menjadi pegawai Matteo, semua hasil dari perkebunan dijual ke desa lain dengan harga yang tinggi. Hanya di desa inilah tanah begitu subur gembur, sehingga mudah untuk mengembangkan usaha bahan pangan. “Pendapatan kita bulan ini turun lagi?” Matteo melenguh pasrah, pelipisnya yang terasa berdenyut ia pijat pelan. Matteo tak kuasa melihat hasil laporan dari keuntungan yang didapat bulan ini. Sebenarnya dari beberapa bulan sebelumnya sudah terasa mencurigakan, Matteo merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tidak mungkin data penjualan tidak sebanding dengan pemasukan ya
Surai rambut coklat sepanjang telinga ia usap ke belakang, menampilkan alis tebalnya yang terukir tegas di wajahnya yang rupawan. Cahaya rembulan menembus kaca besar yang terpasang di sepanjang lorong layaknya dinding, menyinari sesosok pria bertubuh tegap yang dengan gagahnya berjalan. Bagai malaikat, tubuhnya itu disinari dengan indah, ditambah mata abu-abu gelapnya ikut tersenyum ketika kedua sudut bibirnya terangkat, semakin menambah level ketampanannya. Siapa yang tidak tahu Baron? Anak tunggal kaya raya yang siap mewarisi harta turunan sang ayah yang saat ini sedang sakit-sakitan. Kaki panjangnya melesat masuk ke dalam sebuah ruangan, harum aroma mawar menyerbak masuk ke dalam indera penciuman. Ruangan yang hanya mengandalkan sinar rembulan sebagai penerangan tersebut menampilkan siluet seorang perempuan yang berdiri menghadap jendela. “Apa kamu sudah siap?” tanya Baron, baritonnya yang serak dan berat menggema dalam ruangan yang diselimuti keheningan. Siluet perempuan i