Suara pintu terbuka, Juan dan Pearl masuk kembali ke ruang tamu rumah pria itu.
Namun, tiba-tiba saja, adik dari sang kekasih menghampirinya. "Pearl maafkan aku kalau kau kekasih kakakku, karena dia tidak pernah menceritakan apapun tentang kau!"
Pearl tersentak, tetapi tak lama.Seketika, gadis cantik itu tersenyum. "Tidak apa-apa, Peige. Aku harap kau cepat sembuh!" ujar Pearl. "Dan aku harap ada pendonor yang ikhlas mendonorkan ginjalnya padamu, Peige," sambungnya mengelus-elus pundak Peige.
Toh, wajar jika adik dari kekasihnya itu bersikap ketus karena perkenalan mereka belum benar.
Lagipula, Juan juga sudah memberi tahu keadaan gadis itu yang sebenarnya menyedihkan.
"Entahlah, Pearl. Aku sudah putus asa dengan penyakit ini. Sudah puluhan orang yang hendak mendonorkan ginjalnya, tetapi tidak ada satupun yang cocok padaku." Peige tampak sedih membuat Pearl kian merasa kasihan pada adik dari Juan itu. "Rasanya aku ingin mati saja, biar tidak lagi merasakan penyakit yang selalu menyiksaku." Dia mengambil pisau di meja di sampingnya. Lalu meletakan pisau di pergelangan tangannya, menekan hingga darah keluar dari goresan pisau yang tajam.Deg!
"Peige!!" Suara lantang berteriak terdengar menggema dari Juan dan wanita tua itu. Pearl pun ikut tersentak kaget melihat apa yang dilakukan Peige. "Apa yang kamu lakukan, Nak? Taruh pisau itu kembali di meja!" pinta wanita itu ketakutan. Ini di luar rencana dia dan Juan. "Gak ... Mungkin benar ini jalan satu-satunya agar aku tidak lagi merasakan penyakit ini terus menerus," kata Peige lirih. Pearl semakin merasa kasihan pada Peige, dia pernah di posisi Peige. Namun bukan tentang penyakit, tetapi tentang kemiskinan. Pearl pernah dirawat oleh kedua orang tua angkat yang serba kesusahan. "Gila ... apa kamu sudah gila, Peige! Letakan pisau itu sekarang juga. Kau tau kan aku dan Ibu sudah bersusah payah mencari pendonor agar kau bisa hidup lebih lama!" bentak Juan penuh emosi. Pearl hanya ketakutan pelihat aksi Peige yang terlalu frontal itu. "Sampai kapan, Kak? Sampai aku pelan-pelan mati digerogoti penyakit ini?" balas Peige seperti orang yang sudah tidak ada harapan hidup lagi. "Aku sudah capek, Kak! Aku sudah capek dengan penyakit ini, cuci darah, minum obat, muntah dan tidak pernah bisa menikmati makanan enak yang aku sukai. Jadi, bukankah lebih baik aku mati saja, Kak!" "Tidak sayang, Ibu mohon jangan menyerah. Kamu harus berjuang, Ibu dan kakakmu akan usahakan agar bisa menemukan pendonor ginjal untukmu yang cocok!" pinta wanita itu. "Ayolah sayang, Ibu tau kamu anak kuat. Ibu mohon bertahanlah sebentar lagi dan letakan pisau itu, demi Ibu dan kakakmu!" "Iya, Peige. Percayalah pada Ibu dan kakakmu ini, kami juga sedang berjuang mendapatkan mendonornya." Juan mendekati Peige pelan-pelan. "Jadi, kakak mohon sama kamu, letakan pisau itu. Aku ingin kamu segera berkumpul lagi di rumah!" sambungnya sudah memegang pisau itu. Lalu membuang jauh-jauh pisau itu dan memeluk Peige. "Maafkan aku, Kak. Maafkan aku sudah bertindak bodoh, aku hanya gak tahan menahan rasa sakit penyakit ini di tubuhku!" katanya sesegukan di pelukan Juan. "Iya, Kakak tau itu. Maaf, kakak belum bisa menemukan pendonor itu." Juan berusaha menenangkan batin Peige yang putus asa dengan penyakit yang sudah dia rasakan selama 3 tahun lamanya, dan selama itu juga perjuangannya seolah sia-sia buatnya. Tiap hari dia menunggu dan menunggu kabar baik dari kakak juga Ibunya serta dari rumah sakit untuknya, namun setiap hasil hanya bernilai nihil. "Juan ... coba kamu tanyakan dokter Harry. Siapa tau dia sudah menemukan pendonor lainnya untuk kita pilih untuk Peige," usul wanita itu. Juan mengangguk. Laki-laki itu melepaskan pelukannya pada Peige, "Sayang, aku ke ruangan dokter dulu!" "Tunggu sebentar, Juan." Henti Pearl menahan langkah kaki kekasihnya. "Kalian bisa mencoba memeriksa ginjal dan tipe darahku, siapa tau ginjal dan darahku cocok untuk Peige!" sambung Pearl. Pikirannya saat ini begitu kosong, batinnya sangat iba melihat kejadian tadi. Dia tidak bisa tidak menolak kala pikiran dan batinnya ingin menolong atau sekedar mencoba menjalani tes kecocokan darah dan ginjalnya untuk calon adik iparnya. "Maksud kamu, Pearl?" Kepura-puraan Juan terlihat. Padahal di lubuk hatinya, dia amat menyukai dan sudah menunggu kata-kata itu dari bibir perempuan lugu yang sedang dijebak olehnya. "Tes aku juga, siapa tau ginjal dan darahku cocok untuk Peige," jelas Pearl. Dia berharap bisa menolong gadis yang dianggap malang di hadapannya kini. "Aku tidak mau melihat calon adik iparku kesakitan tiap hari, apalagi aku ingin Peige bisa menghadiri pernikahan kita nanti. Berkumpul sebagai satu keluarga," lanjutnya sambil melangkah ke arah Peige. Digenggam erat tangannya. "T-tapi bagaimana dengan kamu nantinya, Pearl? Kamu akan hidup dengan satu ginjal, apa kamu bisa tahan, Pearl?" tanya Juan, dia sengaja seolah khawatir dengan keadaan pearl nantinya. Namun, hatinya sangat bahagia adiknya bisa hidup dari perempuan yang di mata dia terlihat sangat bodoh. Begitu dengan batin wanita tua dan Peige, merekalah yang paling bahagia mendengar ucapan Pearl yang sudah masuk dalam kejabakan Juan terlalu dalam. "Iya Pearl, itu pasti akan sangat menderita!" Wanita tua itu ikut nimbrung dengan pembicaraan keduanya. "Aku gak apa-apa, aku pasti bisa menahannya." Juan dan wanita itu saling memandang, awalnya berpura-pura bingung. Lambat laun wajah iblis mereka terlihat semakin jelas dengan senyuman licik yang menghiasi wajah mereka itu. "Kak Pearl ... terima kasih, terima kasih banyak kakak mau mendonorkan ginjalnya untuk aku. Aku pasti tidak akan bisa membalas semua kebaikan kakak padaku ini!!" Isaknya bersandiwara. Pearl semakin iba pada gadis melang namun sangat licik seperti kakak dan ibunya. "Tidak apa-apa Peige. Semoga ginjal dan darahku cocok untuk bisa didonorkan padamu," ujar Pearl. "Oiya, Juan, kapan aku bisa dicek?" "Sekarang pun bisa, tapi kalau kamu gak bisa sekarang gak---" "Ayo kita lakukan pemeriksaan sekarang, Juan!" ajak Pearl tanpa berpikir panjang. "Kita gak boleh menunggu lama-lama demi kesembuhan adikmu." Juan mengangguk, baginya ini jalan terang menuju kesembuhan adik satu-satunya itu. Pearl dan Juan keluar. Ibu Juan dan Peige tertawa, bersorak gembira akan mendapatkan ginjal dari Pearl secara gratis. "Ini menakjubkan, akting benar-benar luar biasa, sayang. Kita berhasil mengelabui perempuan bodoh itu dengan mudah," kata wanita tua itu kesenangan. "Iya Bu, aku tidak menyangka dia akan sebodoh ini!" ujar Peige. Mereka lalu berpelukan membayangkan betapa mudahnya menghancurkan Pearl! Wanita bodoh yang menjadi kekasih Juan! *****Sementara itu, Pearl dan Juan dengan cepat mengatur pertemuan dengan dokter yang menangani penyakit Peige. Hanya saja, sepanjang lorong perasaan kuatir di batin Pearl terus mengusik niatnya. Bisikan demi bisikan seolah menghalangi niat Pearl yang terlalu gegabah dan sembrono dalam mengambil keputusan yang menyangkut masa depannya. "Apa keputusan yang kau ambil ini sudah benar?" tanya Juan. Dia tau apa yang Pearl kuatirkan saat ini, tetapi pertanyaan itu hanya sebuah basa-basi agar perempuan itu tidak menaruh curiga padanya. "S-sudah, aku sangat yakin." "Tapi bagaimana dengan nasibmu di masa depan, Pearl? Apa kakekmu tidak akan marah bila mengetahui keputusan kamu ini?" Juan menghentikan langkahnya. Lalu berdiri di hadapan Pearl, jari jemari itu memegang bahu Pearl. "Aku tau apa yang kamu lakukan demi adikku, dan aku berterima kasih padamu. Tapi ingat, masa depanmu juga masih panjang, Pearl!" Pearl tersenyum, dia sangat senang dengan kekuatiran Juan padanya. Dia merasa sangat
Tak terasa, satu jam sebelum pernikahan, Pearl duduk di depan cermin. Gaun pengantin yang dia kenakan menambah kecantikan alami dalam dirinya. Dia tidak percaya bahwa dia akan menikah dengan laki-laki yang dia sukai. Laki-laki yang terkenal di rumah sakit, di antara para perawat perempuan dan juga pasien-pasien perempuan. Entahlah, Pearl tidak mengerti kenapa Juan menyukainya. Hembusan napas terdengar berat. "Aku akan jadi istri yang baik untuk kamu, Juan!" gumamnya. Tak lama suara pintu membuyarkan lamunannya. Seorang laki-laki gagah berkacamata masuk ke dalam ruangan Pearl. "Dokter Harry?" gadis itu cukup terkejut melihat Harry datang ke ruangannya kala dia sendirian. Lalu dia duduk menghadap dokter Harry yang berdiri di pintu "M-mau apa Anda ke sini?" tanya Pearl sedikit takut. Jantungnya berdebar sangat kencang, sebab dia sedang berdua dengan laki-laki yang bukan kekasih atau calon suaminya. Harry tidak menjawab, dia terus melangkah mendekati Pearl. "Kau harus membatalkan
Seminggu kemudian, tepatnya di rumah sakit. Keadaan Peige memburuk, dia sangat kesakitan ketika penyakitnya kambuh. Tubuhnya meringkuk sambil memegang bagian bawah perutnya. "Bu ... Bu, aku sudah gak tahan lagi!" katanya merintih. Wanita tua itu tidak tau lagi harus berbuat apa. "Sebentar, Ibu akan memanggilkan dokter!" ujarnya keluar kamar rawat Peige. Di luar, wanita tua itu berteriak memanggil dokter san suster. Seorang suster sibuk memanggil dokter melalui pengeras suara. Tak lama, dokter Harry datang bersama satu orang suster di belakangnya. "Dok, penyakit anak saya kambuh lagi!" katanya ketakutan. Sebab, wajah Peige sangat pucat. Keringat banyak yang keluar dari pori-pori kulit seluruh tubuhnya. Ditambah dia terus merintih kesakitan. "Saya periksa dulu, ya, Bu!" tandas dokter Harry mulai memeriksa keadaan Peige, sebenarnya, dokter Harry tau apa yang harus dilakukan terhadap pasien satu ini. Peige harus segera di operasi, tingkat kerusakan pada ginjalnya membuatnya harus sege
Prosesi pemakaman Ronald sudah selesai dilakukan. Juan tersenyum senang ketika kakinya melangkah meninggalkan tanah kuburan yang sedikit basah. Tetapi tidak dengan Pearl, perempuan itu amat kehilangan keluarga satu-satunya, air mata tidak pernah berhenti menetes sepanjang dia mengantarkan Ronald ke peristirahatan terakhir. Juan masuk ke dalam mobil lebih dulu, sikapnya sedikit berubah. Dia tidak lagi membukakan pintu seperti saat berpacaran maupun sebelum kakeknya meninggal. Pearl sedikit kaget, namun dia tidak mau berlarut-larut dengan masalah sepele seperti ini. Dia membuka pintu mobil lalu duduk di samping laki-laki tampan namun berhati buruk. "Berhentilah menangis, aku tidak suka dengan perempuan yang bisanya hanya menangis!" seru Juan ketus. Dia menjadi dingin, dan lupa tentang adiknya yang masih membutuhkan ginjal dari Pearl. "Tapi dia kakekku, Juan! Apa salah aku menangisinya?" sanggah Pearl sedikit kecewa dengan sikap suaminya yang berubah. "Orang mati tetaplah orang m
Anderson membaca surat wasiat Ronald bait per bait, hingga akhirnya dia selesai membacakan surat wasiatnya. Namun, tidak ada nama Juan di sana. Hanya nama Pearl sebagai pewaris tunggal yang berhak menerima semua warisan Ronald. Dahi Juan mengkerut, wajahnya menjadi panas. Dia marah, sangat marah ketika telinganya tidak satupun disebut saat pembagian harga Ronald, sepeserpun dia tidak mendapatkan warisan yang dijanjikan Ronald kala dia diperkenalkan Pearl pada si kakek tua. "Tunggu dulu!" Tahan Juan tak terima. "Apakah Anda gak salah baca atau menuliskan surat wasiat ini saat Ronald membacakannya?" tanya Juan masih penasaran. Dia pikir, seharusnya ada nama dia di antara daftar pembagian harta serta usaha yang dimiliki Ronald. "Tidak Tuan, semua sudah saya bacakan seperti yang Tuan Ronald katakan pada saya waktu itu!" Tegas Anderson meyakinkan. Juan merampas surat wasiat itu. Dia mulai membaca tiap kata yang tertulia di selembaran kertas itu, "Tidak mungkin, seharusnya ada namaku!
Juan dan Pearl kembali ke parkiran setelah semuanya beres. Tangan Pearl diselipkan ke lengan laki-laki yang amat dicintainya. Lalu Pearl menyandarkan kepala di pundak laki-laki gagah nan tampan itu. Namun, ekspresi dari Juan tampak begitu jelas dia tidak menyukai sikap Pearl. Tetapi, laki-laki itu memaksakan diri agar bisa bersikap romantis sebelum semua janji Pearl dilakukan untuknya. Laki-laki itu membukakan pintu mobil dengan terpaksa. Lalu menutupnya kembali, dia bergegas masuk ke dalam. Tujuan mereka kali ini ke rumah sakit, Pearl akan mendonorkan ginjalnya untuk Peige sesuai janjinya sebelum menikah. Telepon Juan tiba-tiba berdering. Suaranya sedikit membuyarkan keromantisan di antara keduanya. Di layar ponselnya tertera tulisan "Ibu" sangat jelas. "Ibu?" Sebut Juan. "Sayang, aku angkat telepon dulu, ya!" kata Juan keluar dari mobil. Pearl menunggu dengan sabar. "Aku senang kau kembali, Juan. Dan aku harap bukan untuk sementara kamu berubah!" gumamnya melihat suaminya sedang
"Dasar bajingan!!" pekik Harry. Lalu .... Buk. Harry mendorong Juan hingga tubuhnya beradu keras di tembok. Amarah sudah tidak bisa dibendung ketika netranya melihat laki-laki yang dulu menjadi sahabat di akademi kedokteran. Tetapi, Harry menjadi sangat membenci Juan, laki-laki di hadapannya menjadi suka mempermainkan wanita dan memanfaatkan ketampanannya hanya untuk mengambil harta para wanita. Bahkan Harry sangat tau kebejatan Juan yang mendekati Pearl. Sebab Harry, diajak kerja sama untuk mengambil keuntungan dari cucu pemilik rumah sakit. Bahkan dokter muda bergelar spesial bedah dan penyakit dalam itu mengetahui rencana gila Juan untuk merebut semua harta warisan dan ginjal dari wanita polos seperti Pearl. Lalu dokter berkacamata itu memukulnya. "Semua ini gara-gara kau, bajingan. Semua gara-gara kau memaksa gadis itu mendonorkan ginjalnya dan membuat dia meninggal di meja operasi!" teriaknya meninju wajah Juan sekali lagi. "Semua ini karena orang licik seperti kau, manusia m
"Dokter ... dokter Harry!" teriak salah satu suster keluar dari ruang operasi dalam keadaan panik. Laki-laki berkacamata itu menoleh, suster itu datang menghampiri. "Ada apa, Sus?" "Pasien bernama Nyonya Pearl ... dia ... dia ...." kata suster itu terbata-bata. Napasnya terengah-engah. "Iya kenapa, Sus? Bicara yang benar dan jangan membuat saya penasaran!" Dokter Harry tidak sabar mendengar kalimat terusannya. "Nyonya Pearl hidup kembali," sahut suster itu menjelaskan sambil mengatur napasnya agar stabil. "Apa?" dokter Harry terkejut. Masih ada secercah harapan untuk dia bisa melihat senyumannya. "B-bagaimana bisa? Bukankan dia sudah dinyatakan meninggal?" "Saya juga gak tau, dok! Tadi ... saat saya hendak menutup wajahnya, tiba-tiba kadiografik nyonya Pearl bergerak!" terang suster itu menjelaskan, ada kecemasan yang terlihag di wajah suster itu. Ia cemas bahwa itu hanya bersifat sementara. Harry tersenyum. "Pearl, ternyata kamu masih hidup?" bisik batinnya senang. "Pearl ...