Seminggu kemudian, tepatnya di rumah sakit.
Keadaan Peige memburuk, dia sangat kesakitan ketika penyakitnya kambuh. Tubuhnya meringkuk sambil memegang bagian bawah perutnya. "Bu ... Bu, aku sudah gak tahan lagi!" katanya merintih. Wanita tua itu tidak tau lagi harus berbuat apa. "Sebentar, Ibu akan memanggilkan dokter!" ujarnya keluar kamar rawat Peige. Di luar, wanita tua itu berteriak memanggil dokter san suster. Seorang suster sibuk memanggil dokter melalui pengeras suara. Tak lama, dokter Harry datang bersama satu orang suster di belakangnya. "Dok, penyakit anak saya kambuh lagi!" katanya ketakutan. Sebab, wajah Peige sangat pucat. Keringat banyak yang keluar dari pori-pori kulit seluruh tubuhnya. Ditambah dia terus merintih kesakitan. "Saya periksa dulu, ya, Bu!" tandas dokter Harry mulai memeriksa keadaan Peige, sebenarnya, dokter Harry tau apa yang harus dilakukan terhadap pasien satu ini. Peige harus segera di operasi, tingkat kerusakan pada ginjalnya membuatnya harus segera diambil tindakan dan di operasi agar bisa hidup lebih lama. Dia menghembuskan napasnya. "Suster, tolong suntikan obat femopizole 200 cc agar pasien kembali tenang!" kata dokter Harry. Suster segera mengikuti perintah dokter mengambil obat. "Dok, apa yang terjadi sama anak saya, dok?" tanya wanita tua itu sedih. Dia tidak tega melihat putrinya terus merintih kesakitan. "Ginjalnya sudah sangat rusak, kita harus segera operasi. Kalau tidak, racun di dalam tubuh anak Ibu akan menyebar ke gingal satunya. Itu berakibat fatal untuk anak Ibu," jelas dokter Harry. Wanita tua itu tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar penjelasan dari dokter. Tak lama, suster datang membawa obat yang diminta dokter Harry. "Maaf, Bu, bisa Ibu minggir. Biar saya tangani anak Ibu dulu," ujar dokter Harry. Wanita tua itu menuruti perintah dokter Harry, dengan berat hati dia menyingkir dari hadapan Peige yang menderita oleh penyakitnya. Dia segera mengambil ponselnya di tas selempang kecil, lalu memencet tombol hijau kala nama Juan ketemu di phonebook. Diletakan di telinga, mendengarkan nada dering sejenak. "Juan, ayo angkat dong, Ibu sudah gak tau harus apa dengan penyakit adikmu ini!" gumamnya berbisik. Berjalan mondar-mandir, menunggu Juan menjawab panggilan teleponnya. Tak seberapa lama, suara Juan terdengar dari balik ponsel. "Halo Bu!" kata Juan sambil memakai kemeja kerjanya. "Juan ... adikmu, Juan, adikmu ...." katanya berhenti. Suara isak tangisnya terdengar. "Kenapa Peige, Bu? Ada apa dengan dia?" Juan menjadi cemas mendengar suara ibunya yang berhenti. "Dia harus segera dioperasi, Juan. Racunnya sudah menjalar ke ginjal satunya. Ibu gak mau kehilangan Peige, Juan!" "Iya, sabar ya, Bu. Ini gak segampang yang aku kira. Jadi, aku harus mengatur strategi dulu agar bisa mendapatkan seluruh harta keluarga Pearl, dan membujuk kakeknya agar mengijinkan Pearl mendonorkan ginjalnya!" kata Juan menjelaskan, jari jemarinya sibuk mengancingkan kancing kemejanya. Berdiri di dekat jendela, sambil menikmati luasnya halaman rumah Pearl yang ditempati mereka berdua. "Apa? Ini sudah satu minggu dari pernikahanmu Juan. Kenapa kamu menjadi lambat seperti ini, huh? Kamu mau melihat adikmu mati pelan-pelan. Lakukanlah dengan cepat, jangan lambat seperti kura-kura!" Wanita tua itu sangat kesal dengan gerak lambat Juan dalam merebut harta warisan Pearl dan membujuk Pearl untuk segera mendonorkan ginjalnya. "Bu, apa Ibu tau, merebut harta warisan dari tangan kakek tua itu tidak gampang. Apalagi dia tidak jadi mati, apa aku harus membunuhnya ag--" "Siapa yang ingin kau bunuh, Juan?" Suara laki-laki tua terdengar dari belakang. Juan tersentak kaget, matanya melotot. Dia bergegas menoleh kebelakang, tanpa sadar Ronald sudah berada di belakangnya. "K-kakek?" katanya tergagap. Jantungnya mendadak berdetak kencang. "Bu, nanti aku telepon lagi!" kata Juan menutup panggilan telepon. Dia menarik napas yang sempat berdetak tak stabil. Lalu melangkah mendekati Ronald. "Sejak kapan kakek di kamar ini?" tanya Juan memasukkan tangannya ke saku celana. "Apa kakek suka menguping pembicaraan orang lain?" "Jadi, siapa yang ingin kau bunuh, Juan?" Ronald tak menjawab pertanyaan suami dari cucunya. "Cucuku atau aku?" tanya Ronald sekali lagi. Juan terbahak-bahak menanggapi pertanyaan Ronald yang mencurigainya. "Apa aku ada tampang pembunuh, Ronald si tua bangka?" Deg. Kinerja detak jantungnya sedikit melambat, ucapan Juan cukup mengejutkan dia, dan hampir membuat jantungnya berhenti berdetak. "Kau? Apa maksud ucapanmu itu?" "Kenapa?" Juan bersikap santai, tetapi dia menunjukan bahwa dirinya bukan orang yang bisa digertak oleh siapapun. Bahkan oleh Ronald yang mempunyai banyak pengawal di rumah ini. "Mungkin, sudah waktunya aku mengatakan sebenarnya padamu, kakek tua. Cucu kesayanganmu itu akan mendonorkan ginjalnya untuk adikku, dan kau tau Tuan Ronald yang terhormat ...." Juan membalikkan badannya, berjalan selangkah demi selangkah menuju jendela. "Aku akan menghancurkan hidupnya setelah mendapatkan semua harta dan juga ginjalnya!" "APA?" Ucapan Juan membuat detak jantungnya enggan bekerja normal. Jari-jarinya mulai meremas baju bagian dadanya. Sakit pada jantungnya membuat dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. "J-jantungku?" katanya terbata, menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera jantungnya. Dia mencengkram baju Juan, "T-tolong ...." pinta Ronald pada Juan, tetapi laki-laki itu membiarkan Ronald kesakitan dengan tatapan bahagia. Lalu .... Bruuk. Ronald terkapar tanpa sadarkan diri. Juan terdiam sambil tersenyum tipis, tetapi begitu licik. Kakinya menendang-nendang tubuh Ronald, memastikan Ronald sudah tidak bergerak. "Akhirnya mampus juga kamu, kakek tua!" katanya sangat senang melihat laki-laki tua mati tanpa harus di sentuh, dan beruntungnya Juan, tidak ada satu orang saksi yang melihat kejadian itu. "Sayang ... Pearl, kemari cepat!" teriak Juan. Dia menjalankan rencana selanjutnya. Pearl datang tergopoh-gopoh, masih mengenakan celemek dan sedikit belepotan bumbu-bumbu masak. "Sayang? Ada apa? Kenapa berteriak?" tanya Pearl belum menyadari kakeknya sudah tergeletak. Juan tak menjawab, hanya matanya saja yang bergerak dan memberi kode pada Pearl. "Juan, siapa dia?" "Kakekmu, siapa lagi?" jawab Juan sedikit emosi. Perempuan itu mendekati Juan dan tubuh kakeknya yang tergeletak. "Ada apa? Kenapa kakekku tertidur di sini, Juan?" Tiba-tiba wajah Pearl kuatir dengan keadaan kakeknya, dia memeriksa denyut nadi dipergelangan tangan Ronald. Semakin dia syok kala nadinya tak lagi berdenyut. "Kakek?" Bibirnya bergetar mengetahui kakeknya sudah meninggal. "Dia tidak tertidur, tapi ...." "Tapi apa, Juan? Kenapa kakekku tidak bernapas?" "Aku juga gak tau, Pearl! Saat aku keluar kamar mandi, kakekmu sudah di lantai dan tidak bernapas!" jelas Juan pura-pura cemas. "Gak mungkin ... kakekku gak mungkin meninggal 'kan, Juan?" Pearl masih tidak percaya walau dia sudah memeriksa nadi Ronald. "Juan, jawab aku, Juan!" Laki-laki itu tetap terdiam. "Kau anggap aku berbohong, Pearl?" Perempuan itu menggeleng, dia sedikit takut dengan tatapan Juan yang menakutkan itu. Suara Juan juga meninggi. "Kek ... Kakek bangun, Kek!" pekik Pearl lirih. Suara isak tangis pun mulai terdengar. "Jangan tinggalkan aku, Kek!" Juan hanya terdiam sambil mengutuk juga mensukuri kematian Roland. "Akhirnya, satu orang sudah teratasi. Hanya tinggal mengurus perempuan bodoh ini untuk menyerahkan ginjal dan hartanya ke tanganku!" bisik batinnya, pura-pura sedih dan berduka sambil mengusap-usap punggung Pearl. ****Prosesi pemakaman Ronald sudah selesai dilakukan. Juan tersenyum senang ketika kakinya melangkah meninggalkan tanah kuburan yang sedikit basah. Tetapi tidak dengan Pearl, perempuan itu amat kehilangan keluarga satu-satunya, air mata tidak pernah berhenti menetes sepanjang dia mengantarkan Ronald ke peristirahatan terakhir. Juan masuk ke dalam mobil lebih dulu, sikapnya sedikit berubah. Dia tidak lagi membukakan pintu seperti saat berpacaran maupun sebelum kakeknya meninggal. Pearl sedikit kaget, namun dia tidak mau berlarut-larut dengan masalah sepele seperti ini. Dia membuka pintu mobil lalu duduk di samping laki-laki tampan namun berhati buruk. "Berhentilah menangis, aku tidak suka dengan perempuan yang bisanya hanya menangis!" seru Juan ketus. Dia menjadi dingin, dan lupa tentang adiknya yang masih membutuhkan ginjal dari Pearl. "Tapi dia kakekku, Juan! Apa salah aku menangisinya?" sanggah Pearl sedikit kecewa dengan sikap suaminya yang berubah. "Orang mati tetaplah orang m
Anderson membaca surat wasiat Ronald bait per bait, hingga akhirnya dia selesai membacakan surat wasiatnya. Namun, tidak ada nama Juan di sana. Hanya nama Pearl sebagai pewaris tunggal yang berhak menerima semua warisan Ronald. Dahi Juan mengkerut, wajahnya menjadi panas. Dia marah, sangat marah ketika telinganya tidak satupun disebut saat pembagian harga Ronald, sepeserpun dia tidak mendapatkan warisan yang dijanjikan Ronald kala dia diperkenalkan Pearl pada si kakek tua. "Tunggu dulu!" Tahan Juan tak terima. "Apakah Anda gak salah baca atau menuliskan surat wasiat ini saat Ronald membacakannya?" tanya Juan masih penasaran. Dia pikir, seharusnya ada nama dia di antara daftar pembagian harta serta usaha yang dimiliki Ronald. "Tidak Tuan, semua sudah saya bacakan seperti yang Tuan Ronald katakan pada saya waktu itu!" Tegas Anderson meyakinkan. Juan merampas surat wasiat itu. Dia mulai membaca tiap kata yang tertulia di selembaran kertas itu, "Tidak mungkin, seharusnya ada namaku!
Juan dan Pearl kembali ke parkiran setelah semuanya beres. Tangan Pearl diselipkan ke lengan laki-laki yang amat dicintainya. Lalu Pearl menyandarkan kepala di pundak laki-laki gagah nan tampan itu. Namun, ekspresi dari Juan tampak begitu jelas dia tidak menyukai sikap Pearl. Tetapi, laki-laki itu memaksakan diri agar bisa bersikap romantis sebelum semua janji Pearl dilakukan untuknya. Laki-laki itu membukakan pintu mobil dengan terpaksa. Lalu menutupnya kembali, dia bergegas masuk ke dalam. Tujuan mereka kali ini ke rumah sakit, Pearl akan mendonorkan ginjalnya untuk Peige sesuai janjinya sebelum menikah. Telepon Juan tiba-tiba berdering. Suaranya sedikit membuyarkan keromantisan di antara keduanya. Di layar ponselnya tertera tulisan "Ibu" sangat jelas. "Ibu?" Sebut Juan. "Sayang, aku angkat telepon dulu, ya!" kata Juan keluar dari mobil. Pearl menunggu dengan sabar. "Aku senang kau kembali, Juan. Dan aku harap bukan untuk sementara kamu berubah!" gumamnya melihat suaminya sedang
"Dasar bajingan!!" pekik Harry. Lalu .... Buk. Harry mendorong Juan hingga tubuhnya beradu keras di tembok. Amarah sudah tidak bisa dibendung ketika netranya melihat laki-laki yang dulu menjadi sahabat di akademi kedokteran. Tetapi, Harry menjadi sangat membenci Juan, laki-laki di hadapannya menjadi suka mempermainkan wanita dan memanfaatkan ketampanannya hanya untuk mengambil harta para wanita. Bahkan Harry sangat tau kebejatan Juan yang mendekati Pearl. Sebab Harry, diajak kerja sama untuk mengambil keuntungan dari cucu pemilik rumah sakit. Bahkan dokter muda bergelar spesial bedah dan penyakit dalam itu mengetahui rencana gila Juan untuk merebut semua harta warisan dan ginjal dari wanita polos seperti Pearl. Lalu dokter berkacamata itu memukulnya. "Semua ini gara-gara kau, bajingan. Semua gara-gara kau memaksa gadis itu mendonorkan ginjalnya dan membuat dia meninggal di meja operasi!" teriaknya meninju wajah Juan sekali lagi. "Semua ini karena orang licik seperti kau, manusia m
"Dokter ... dokter Harry!" teriak salah satu suster keluar dari ruang operasi dalam keadaan panik. Laki-laki berkacamata itu menoleh, suster itu datang menghampiri. "Ada apa, Sus?" "Pasien bernama Nyonya Pearl ... dia ... dia ...." kata suster itu terbata-bata. Napasnya terengah-engah. "Iya kenapa, Sus? Bicara yang benar dan jangan membuat saya penasaran!" Dokter Harry tidak sabar mendengar kalimat terusannya. "Nyonya Pearl hidup kembali," sahut suster itu menjelaskan sambil mengatur napasnya agar stabil. "Apa?" dokter Harry terkejut. Masih ada secercah harapan untuk dia bisa melihat senyumannya. "B-bagaimana bisa? Bukankan dia sudah dinyatakan meninggal?" "Saya juga gak tau, dok! Tadi ... saat saya hendak menutup wajahnya, tiba-tiba kadiografik nyonya Pearl bergerak!" terang suster itu menjelaskan, ada kecemasan yang terlihag di wajah suster itu. Ia cemas bahwa itu hanya bersifat sementara. Harry tersenyum. "Pearl, ternyata kamu masih hidup?" bisik batinnya senang. "Pearl ...
Juan penasaran dengan sikap Harry, kata-katanya penuh misteri. Dia juga tidak memberitahu di mana Pearl sekarang. "Sial, rencanaku bisa berantakan bila perempuan itu masih hidup," bisik batin Juan sambil memukul dinding. "Gak ... aku harus mencari tau di mana Pearl sekarang!" Dia bergegas melangkah ke resepsionis. Juan mengira bagian resepsionis sumber informasi yang bisa mengetahui Pearl berada. "Siang Devina," sapa Juan pada resepsionis cantik. Laki-laki itu mengeluarkan pesonanya untuk mendapatkan informasi pada gadis yang baru saja lulus kuliah ini. "Eh ... d-dokter Juan!" Devina terlihat malu-malu, wajahnya terlihat memerah. Pesona Juan memang tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bagi semua wanita yang bekerja di rumah sakit itu Juan terlalu tampan, beribawa dan penuh pesona uang bikin para wanita jatuh hati. "A-ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu gugup. "Ya Devina, bisa minta tolong di mana kamar rawat istri saya bernama Pearl. Saya ke ruang UGD, dia gak ada di san
Suster Erina tampak gelisah setelah melihat apa yang hendak Juan lakukan pada Pearl dari celah pintu yang sedikit terbuka. "Gawat ... bagaimana ini? Dokter Juan mau membunuh istrinya sendiri!" pikir Suster Erina. "Sekarang aku harus apa? Aduuh ... semua ini karena kebodohanku, seharusnya aku tidak memberitahu dokter Juan." Dia pusing sendirian di depan pintu, rasa gelisahnya berubah menjadi ketakutan. Dia juga merasa bersalah atas kebodohannya, dia mengkhianati amanah Harry dan membocorkan rahasia mereka berdua pada Juan. "Tidak ... tidak ... tidak, aku harus memberitahu dokter Harry sekarang juga. Sebelum semuanya terlambat dan aku terus-terusan merasa bersalah!" Tanpa pikir panjang, suster Erina bergegas mencari Harry. Dia mendatangi ruang Harry memeriksa pasiennya. Namun, tak ada dokter Harry di ruangannya. Hanya ada suster yang biasa membantu dokter Harry saat bekerja. "Suster Anna, apakah kamu melihat dokter Harry?" Wajah Erina kini terlihat pucat, pikirannya tidak fokus
Dokter Harry membalikkan tubuh, mengejar Juan. Kemudian dia menarik bahu Juan dan .... Buk. Kepalan tangan itu akhirnya benar-benar mendarat dengan cepat. Juan terjatuh di lantai. Ini kali kedua dia harus merasakan tinju dari Harry. Selama ini mereka adalah dua sahabat akrab yang tak pernah bertengkar maupun berselisih paham. Harry sudah kidung kesal. Juan selalu menekannya selama dia berambisi untuk menjadi orang paling kaya di negara ini. Bahkan dia melibatkannya dengan iming-iming pembagian harta warisan Pearl. Laki-laki itu juga sering mengintimidasi karena rasa sukanya terhadap Pearl.Suster Erina bingung. Dia ingin melerai, tapi dia takut dipukul satu di antara dua laki-laki yang lagi emosi. "Dok ... sudah hentikan, dok. Jangan berkelahi!" Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibir Erina dengan wajah cemas dan bingung. Harry mengabaikan, Dia menghampiri Juan, lalu menarik kerah blezer dokternya itu. "Bangun kau sialan!" Sekali lagi, kepalan tangan itu dilayangkan. Kali
Harry baru kembali dari gereja rumah sakit. Di tampak lesu dan tak semangat, pakaiannya masih banyak noda darah milik Pearl. Wajahnya terlihat kuyu dengan keringat yang masih membekas di kulit wajahnya yang putih. Dia menghela napas, duduk menyandar di kursi taman yang sepi dan tenang. "Kenapa tidak berhasil? Kenapa doaku tidak bisa membuat Pearl bangun kembali seperti laki-laki itu?" bisik batin Harry, dia benar-benar kehilangan sosok wanita yang dia cintai. "Maaf, dok!" Sebuah suara mengagetkannya. Harry mendongak. "Ya sus, ada apa?" tanya Harry. "Maaf dok, untuk jenazah Nyonya Pearl selanjutnya mau diapain ya?" Harry menghela napas sekali lagi, lalu kepalanya menunduk kembali. "Coba kau tanyakan pada Dokter Juan, saya tidak ada hak untuk menentukan jenazah Pearl selanjutnya!" jawab Harry pupus harapan. Sebab, dia memang tidak punya hak apapun atas jenazah Pearl yang masih berada di ruang operasi. Walau sebenarnya dia amat ingin mengurus jenazah Pearl dan bisa melihat wajah per
Ponsel Juan berdering pada waktu yang kurang tepat. Kepalanya pusing, dan hatinya dongkol gara-gara surat wasiat Pearl yang membuat dia sedikit gila. Semua di luar prediksi, harta yang diberikan Pearl hanya setengah dari seluruh harta milik perempuan itu. "Halo Bu!" kata Juan agak malas menjawab panggilan telepon Ibunya. "Juan, gimana? Apa kamu sudah mendapatkan harta milik perempuan itu?" tanya Sabrina. "Aaah ... rasanya Ibu gak sabar buat berbelanja, beli baju, perhiasan, sepatu baru dan tas-tas mahal!" katanya bersemangat. Juan menarik napas, lalu menghembuskan napas panjangnya. "Sudah, Bu! Besok pengacara itu akan mengirimkan salinan dari akta kepemilikan harta milik perempuan sialan itu!" ujar Juan. "Benarkah itu, Juan?" "Benar, Bu," jawab Juan lemas. Dia tau ibunya akan kecewa, harta warisan yang dia dapat hanya setengahnya saja. "Kamu dapat semua harta warisan perempuan bodoh itu kan, Juan?" tanya Sabrina sekali lagi. Dia amat penasaran dengan harta itu. Bayang
"S-saya ... tidak berani merubah surat itu, Tuan. Saya tidak merubahnya, Tuan Juan!" Buk. Satu pukulan keras menghantam pipi Anderson. Pengacara itu jatuh terjungkal. Juan tidak peduli ocehannya dan keadaan Anderson, dia menarik kerah kemeja orang kepercayaan keluarga Pearl itu. "Cepat katakan di mana surat wasiat yang asli itu? Cepat katakan sebelum saya menghajarmu sampai mampus, Anderson!" ancam Juan berteriak. "S-saya tidak berbohong pada Anda, Tuan! Saya tidak merubah apapun isi dari surat wasiat itu!" tegas Anderson merasa dirinya terpojok. Juan mendorong keras tubuh Anderson dan beradu keras dengan tembok. "Itu surat wasiat asli dari nyonya Pearl berikan pada saya, apa Anda paham perkataan saya ini?" Lalu mencekiknya, "Kau pikir saya anak kecil yang bisa dibohongi dengan kata-kata seperti ini, Anderson! Cepat berikan sebelum kesabaran saya habis, pengacara bodoh!" Sambil mengancam pengacara itu. Anderson terkekeh, "Itu salah Anda sendiri, Tuan Juan. Kenapa Anda terlalu ser
Di tempat lain, Peige dan Sabrina tertawa gembira, sesaat tadi ketika Harry berlari ke rumah sakit, Sabrina melihat laki-laki itu membawa Pearl yang penuh darah. Wanita tua itu mengikuti, penasaran dengan apa yang terjadi. Dia memperhatikan apa yang Harry lakukan pada Pearl di ruang UGD. Berusaha membuat perempuan itu bernapas kembali dengan sekuat tenaga, bibirnya menyungging, sama seperti saat ini. "Kau tau Peige, laki-laki itu menangis. Menangisi perempuan bodoh yang sekarat itu," kata Sabrina tertawa. "Padahal perempuan kampungan itu sudah mati dengan kepala dan tubuh berlumur darah!" lanjutnya, tawanya lebih kencang. Dia senang sekarang sudah tidak ada hambatan lagi untuk menjadikan Andrea menantu keluarganya, dan kekayaannya akan semakin bertambah bila pernikahan itu benar-benar terjadi. "Aah ... sukurlah. Aku sangat senang dia mampus dengan keadaan menyedihkan, Bu!" kata Peige bernapas lega. "Iya, Ibu juga bersukur dia mampus dan keluarga kita tidak lagi menjadi orang miski
Pearl menjadi pucat. Ucapan laki-laki itu seolah tau tentang rahasia Pearl. Pasangan setengan tua pun terdiam memandang laki-laki muda itu mengoceh seenaknya saja pada Demian. "Hei ... apa yang sudah kamu katakan pada kakak sepupumu, huh?" Wanita tua itu mengetuk kepalanya dengan garpu. "Seenaknya saja kau bilang kakak sepupumu seorang wanita! Apa kau buta, huh? Di mana matamu kau taruh, bajingan kecil!" lanjutnya kesal, mulutnya tidak berhenti mengunyah daging steak buatannya sendiri. "Aduh, Ibu, kepalaku bisa pecah dan susah mikir kalau Ibu pukul terus-menerus seperti ini!" protes laki-laki muda itu kesakitan, dia mengelus-elus kepala yang terasa sakit itu. "Salah sendiri, kenapa punya mulut tidak dijaga!" sergah wanita tua itu. Laki-laki tua hanya tersenyum mendengar pertengkarang itu. Pearl hanya bingung melihat keluarga Demian bertengkar saat makan bersama. "Aduuh ... Ibu, kenapa cerewet banget sih!" ujarnya melirik pada Demian. "Hei ... kak, apa kau mau diam saja seperti pat
Pearl langsung mandi, dia membiarkan air mengguyur tubuhnya. Sedikit demi sedikit air membasahi rambut dan tubuh yang sudah bau amis darah itu. Setelah itu, dia membasuh tubuhnya dengan sabun. Dia menghela napas ketika matanya memandang kejantanan Demian mengeras. "Aduuh, sial! Apa aku harus melakukan ini semua?" pikir Pearl, walau ini sudah kedua kalinya dia melihat kepunyaan laki-laki, tetap saja dia jijik melihatnya. Pelan-pelan dia mulai menuruni tangannya. Hendak menyentuh, "Aaah ... ini sangat memalukan. Kenapa aku harus masuk ke tubuh laki-laki?" keluhnya menarik tangan. Kemudian dia menutup mata sambil berekspresi jijik kala telapak tangannya mulai menyentuhnya. "Aaaah ... apa tidak ada tubuh wanita lain agar bisa aku rasuki?" pikirnya kesal, pikirannya mulai teringat kala Juan menyentubuhinya. Dia kian bertambah jijik, namun tangan itu asik menyabuni. Napasnya terengah-engah, menderu. "Ini benar-benar gila? Besar!" Perempuan yang berinkarnasi di tubuh Demian bergegas menyel
Dia menoleh cepat, lalu menyipitkan matanya. "Siapa mereka?" tanya batinnya, dia berusaha mengingat siapa perempuan dan laki-laki setengah tua yang muncul di ambang pintu. "Sial, tak ada informasi tentang kedua orang ini?" pikirnya lagi. "Sekarang aku harus apa? Aku juga tidak tau nama mereka berdua!" Kepala Pearl mulai pusing. Wanita itu menghampiri Pearl, "Demian, benarkah ini kamu?" Wanita itu seolah menahan rindu sekaligus tak percaya bahwa Demian masih hidup. "Bibi tidak menyangka kamu masih hidup. Padahal tadi Bibi dan Pamanmu baru saja mendapat kabar bahwa kamu telah meninggal akibat serangan dari orang tak dikenal," katanya lagi, menyeka airmata yang tiba-tiba saja menetes. "Jadi ... mereka berdua bibi dan paman laki-laki ini?" pikir Pearl. Dia memperhatikan wajah keduanya. Terlihat sedih dan bahagian bercampur jadi satu di raut wajah mereka. "Bibi takut saat pihak rumah sakit dan kepolisian mengabarkan bahwa kamu telah meninggal dunia!" katanya lagi, lalu Meraih tangan
"Sekarang, aku harus mencari tau identitas laki-laki bernama Demian ini," ujar Pearl alias Demian berjalan masuk ke dalam rumah sakit. "Selamat malam, Nona!" "Oh ... Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya resepsionis bersikap ramah dengan sebuah senyuman. Namun matanya mengisyaratkan bahwa dia memandang jijik pada Demian. Mungkin, dia menganggap Demian sebagai gembel berpakaian jas berpura-pura menjadi seorang kaya raya. "Saya Demian, menurut dokter Harry saya dinyatakan meninggal, apakah barang-barang saya ada di sini?" Sebut Pearl. "Baik, tunggu sebentar. Akan saya carikan dulu datanya." Resepsionis itu mulai mencari di komputer. Mengetik nama Demian di pencarian. Dahinya mengkerut, dia melihat ke Demian sekali lagi. Memastikan bahwa dia adalah orang sama. "Demian Hogwart?" "Ah ... ya!" kata Pearl. "Dinyatakan meninggal pagi tadi jam 08.00? Di ruang operasi saat ditangani dokter Harry?" kata perempuan berambut hitam sebahu menyebutkan kronologinya. "Aah ... Anda
"Aku ... sepertinya mengenali kamu?" kata dokter Harry sangat yakin. Dia memperhatikan wajarnya, sepertinya dokter Harry curiga pada Pearl."A-apa?" Pearl cukup syok mendengarnya. Tubuhnya mendadak lemas bila dirinya ketauan oleh dokter harry. "Apa a-aku ketauan olehnya?" "Kau ... Demian 'kan?" tanya Harry. Pearl terdiam, dia tidak tau nama laki-laki yang tubuhnya dirasuki. "Demian? Siapa? Aku?" tanya Pearl bertanya-tanya, sebab, dia sama sekali tidak tau nama, rumah, orang-orang terdekat dan keluarga laki-laki yang kini menjadi tubuhnya. "Apa laki-laki ini teman dokter Harry?" sambungnya. Tiba-tiba Pearl membalikkan tubuh, lalu tertawa terbahak-bahak. Dia mengira dokter Harry adalah teman tubuh Pearl sekarang. "Hei ... brother! Apa kabar?" sapanya sok akrab sambil menepuk-nepuk pundak dokter Harry. Laki-laki itu mengernyitkan dahi, dia terlihat bingung dengan sikap Pearl yang sok akrab dan sok kenal dengannya. Waah ... hebat ya kamu sekarang? Jadi dokter ahli beda hebat di rumah