Seminggu setelah kejadian itu, Juan tak pernah lagi datang menjenguknya. Begitu juga Sabrina. Perempuan tua itu seolah menghilang walau sebenarnya dia ada di rumah sakit yang sama menemani Peige. Tetapi seolah Pearl tak pernah ada setelah semua Pearl korbankan untuk Peige dan hartanya diberikan pada Juan. Perempuan itu tidak tau apa-apa lagi tentang Juan dan keluarganya semenjak di rumah sakit. Seakan-akan dia adalah barang yang sudah usang dan harus dibuang di tempat sampah. Pearl berbaring di ranjang, tatapan matanya kosong memandamg jendela. Dia merasa kesepian, sudah 4 hari pasca operasi Juan tidak kunjung menjenguknya. Bahkan, chat dia untuk Juan pun tidak pernah dibalas. Hanya di baca saja. "Juan, kamu di mana? Kenapa tidak pernah sekalipun menjenguk atau sekedar membalas pesanku?" bisik batin Pearl resah. Dia hanya bisa menatap layar ponsel dan berharap Juan membalas pesannya. Namun sia-sia menunggunya. Walau keadaannya sudah semakin pulih, namun rasa nyeri kadang datang men
"Aku mencintainya, sangat mencintainya. Tetapi hingga saat ini tak sekalipun dia menjengukku, bahka tidak membaca pesanku. Padahal aku hanya butuh perhatian darinya setelah aku memberikan semua yang aku miliki padanya." Tangan Pearl menyeka air mata yang sudah lama tak menetes. Rasa sedih bercampur kesepian membuat dia tidak kuasa menahan air mata agar tidak menetes di hadapan laki-laki lain. Tetapi, hari ini bendungan itu runtuh dalam sekejap setelah sekian tahun di tahan dalam relung hatinya. "Tidak, kamu pantas di cintai. Bahkan melebihi wanita manapun di dunia ini, mungkin dia hanya sibuk. Aku yakin dia akan datang menjengukmu, Pearl." Dokter Harry menghiburnya. Dia tidak mau pasien sekaligus perempuan cinta pertamanya bersedih dan bekas operasinya menjadi terbuka lagi. Pearl tersenyum getir. Dia sadar Juan tidak pernah mencintainya, bahkan mungkin semenjak mereka mengenal dulu. Bisa saja laki-laki itu bertujuan hanya menginginkan harta warisan kakeknya juga ginjal untuk Peige,
"Kita mau ke mana sekarang?" Pearl tidak menjawab, dia terus melangkah di koridor rumah sakit. Harry mengeluh, lalu terdiam sambil terus mengikuti Pearl dari belakang. "Di mana ruangan Peige?" tanya Pearl setelah sekian menit terdiam. Kakinya berhenti di persimpangan koridor rumah sakit. Dia tampak bingung, sebab, belum sekalipun Pearl ke ruangan adik iparnya itu. "Mau apa Anda ke ruangan Nona Peige?" Harry sedikit kuatir. Dia takut Pearl berbuat perhitungan pada Peige setelah mengetahui perselingkuhan Juan dengan Andrea. "Jawab saja dan jangan banyak bertanya, dok!" Pearl mulai kesal. Harry berpikir keras agar Pearl tidak membuat masalah baru lagi pada keluarga Juan. "Baiklah, kalau Anda tidak mau memberitahu, saya akan cari sendiri ruanganya." Pearl memgambil arah sebelah kanan, dia tidak tau apakah langkah yang dia ambil benar atau salahm "Tunggu!" "Apalagi? Lebih baik Anda tidak usah ikut campur dan mengikuti saya," protes Pearl kesal. "Maaf, tapi ruang rawat Peige ada di s
"Terserah kamu mau bilang apa! Saya sebagai Ibunya Juan ingin bilang terima kasih sudah memberikan seluruh harta warisanmu dan juga ginjalmu." Lalu Sabrina tertawa senang bisa membuat mental Pearl semakin down. "Bajingan kalian! Dasar keluarga iblis, aku akan membunuh kalian!" Pearl sudah hilang kesabaran, dia mendorong Sabrina hingga wanita tua itu terpojok di jendela yang terbuka. Sabrina hendak lari, tetapi Pearl sudah menarik rambut wanita tua itu hingga berteriak histeris. "lepaskan aku wanita bodoh, kau merusak rambutku!" teriak Sabrina meringis. Namun, Pearl tidak peduli lagi Sabrina berteriak atau masih berstatus mertuanya. Baginya, ucapan wanita tua itu terlalu menyakitkan dan sangat terang-terangan mengakui kejahatannya ingin menguasai harta dan ginjalnya saja. Sabrina lalu terjatuh ke lantai, Pearl sengaja menarik rambutnya lebih kencang lagi. "Dasar wanita sialan!" pekik Peige. "Lepaskan Ibuku, kau bisa saja kamu tuntut atas penganiayaan ini!" "Tuntut saja ... tuntu
Tin. Klakson mobil Harry terdengar kencang, mengagetkan Pearl hingga dia berhenti sejenak memikirkan kebenciannya pada Juan. "Ayo cepat naik!" pinta Harry. Dia menyimpan kembali ponselnya di saku celana rumah sakit. Bergegas naik ke mobil Harry. Ban mobilpun mulai berputar dan keluar halaman rumah sakit pelan-pelan. Dari kejauhan, sepasang mata menatap serius ke arah Pearl dari jendela ruang rawat inap. Sabrina melihat menantunya pergi bersama Harry dari jendela kamar Peige. "Bagus, ini berita bagus yang harus aku sampaikan pada Juan. Dengan isu perselingkuhan ini, Juan bisa menceraikan secepat mungkin dari perempuan bodoh itu dan menikahi Andrea!" gumamnya senang. Dia mengambil ponsel dari dalam tas. Tombol hijau di tekan sangat cepat. Menunggu untuk diangkat Juan. "Halo Juan." Tanpa menunggu lama, Juan sudah menjawab panggilan telepon ibunya. "Iya, ada apa, Bu?" "Juan ... kau tau apa yang Ibu lihat barusan?" kata Sabrina sangat senang. Dia tak sabar ingin memberita
"Juan ... Juan ...." teriak Pearl sekencang mungkin. Sayangnya suara perempuan itu tidak sampai ke telinga Juan. Laki-laki itu asik bercengkrama sambil bercanda juga tertawa. Ekspresi wajah yang berbeda kala dia bersama Pearl. Kaki itu terus berlari, dia tidak peduli dianggap gila karena telanjang kaki dan masih berpakaian rumah sakit. Tubuhnya terus menabrak, makian demi makian terdengar di telinga Pearl. Dia oleh sudah kebal dengan caci maki, sebab Pearl sudah amat sering mendengar kata-kata kasar sebelum bertemu kakeknya. "Juan tunggu!!" Sekali lagi Pearl berteriak. Di belakang Harry masih mengejar, tampaknya laki-laki itu tertinggal jauh dari Pearl. Di depan, Juan dan Andera berhenti. Lampu merah buat penjalan kaki mengharuskan keduanya berhenti melangkah. Pearl semakin kencang berlari. Lalu berdiri di depan Juan dan Andrea setelah posisinya sudah melewati mereka berdua. napasnya terengah-engah dengan tubuh berkeringat. Mata Juan terbelalak, "Pearl?" Sebut Juan pelan. Namu
Harry langsung menggotong tubuh Pearl yang berlumur darah. Tak ada harapan untuknya, detak jantung yang tak berdegup, nadi yang tak berdenyut. Hidup Pearl sudah tamat. Namun, ada satu sosok yang berdiri dan melihat Harry membawa tubuh Pearl. Sedari tadi dia melihat laki-laki itu memeluk dan menangisi kematian gadis malang itu. Bahkan, tangisannya jauh lebih merasa kehilangan dibanding sikap Juan yang suaminya. "Ayo sayang, kita pergi!" ajak Andrea menarik lengan Juan. Mata laki-laki itu masih saja menatap Harry yang berlari ke tempat mobilnya terparkir. Lalu, senyum itu menyeringai. "Akhirnya, aku jadi orang yang sangat kaya tanpa harus bersusah payah!" pikir Juan membayangkan kemewahan harta dan hidup Pearl yang seluruhnya jatuh ke tangan Juan. Sosok transparan itu bingung, kepada siapa dia harus melangkah. "Tunggu! Jangan pergi!!" teriaknya, tak ada satupun yang mendengar teriakan itu, baik Harry maupun Juan. Lalu dia beralih ke arah Harry yang membawa yang tak lain tubuhnya se
"Dasar roh bandel!" Laki-laki bersayap berdiri di depan Pearl dan membuyarkan tatapannya pada Harry. "Kamu?" "Sekarang ikut aku, dan kamu gak akan bisa lolos lagi!" Laki-laki berwajah dingin dan mengerikan itu menarik tubuh Pearl. "Tunggu! Beri aku kesempatan hidup sekali lagi. Aku harus balas dendam pada Juan dan keluarganya! Aku gak mau mati begini dan dalam keadaan dendam." Pearl mengajukan banding sambil merengek. Laki-laki itu terdiam, lalu menatap sinis pada Pearl. Melihat lekat-lekat keseriusan gadis itu. "Tugasmu di dunia sudah habis, sekarang waktunya kita pergi!" Laki-laki itu tak mau tau. "Gak ... aku belum puas bila aku belum membalaskan dendam padanya!" sergah Pearl mempertahankan pendapatnya. "Aku ingin dia juga merasakan apa yang aku rasakan sebelum mati," sambungnya, sorot matanya terlihat tajam, penuh dendam dan ambisius. "Jadi, biarkan aku masuk kembali ke dalam tubuhku!" Pearl melepaskan genggaman tangan laki-laki misterius itu. Lalu melangkah menuju tubuhnya.
Harry baru kembali dari gereja rumah sakit. Di tampak lesu dan tak semangat, pakaiannya masih banyak noda darah milik Pearl. Wajahnya terlihat kuyu dengan keringat yang masih membekas di kulit wajahnya yang putih. Dia menghela napas, duduk menyandar di kursi taman yang sepi dan tenang. "Kenapa tidak berhasil? Kenapa doaku tidak bisa membuat Pearl bangun kembali seperti laki-laki itu?" bisik batin Harry, dia benar-benar kehilangan sosok wanita yang dia cintai. "Maaf, dok!" Sebuah suara mengagetkannya. Harry mendongak. "Ya sus, ada apa?" tanya Harry. "Maaf dok, untuk jenazah Nyonya Pearl selanjutnya mau diapain ya?" Harry menghela napas sekali lagi, lalu kepalanya menunduk kembali. "Coba kau tanyakan pada Dokter Juan, saya tidak ada hak untuk menentukan jenazah Pearl selanjutnya!" jawab Harry pupus harapan. Sebab, dia memang tidak punya hak apapun atas jenazah Pearl yang masih berada di ruang operasi. Walau sebenarnya dia amat ingin mengurus jenazah Pearl dan bisa melihat wajah per
Ponsel Juan berdering pada waktu yang kurang tepat. Kepalanya pusing, dan hatinya dongkol gara-gara surat wasiat Pearl yang membuat dia sedikit gila. Semua di luar prediksi, harta yang diberikan Pearl hanya setengah dari seluruh harta milik perempuan itu. "Halo Bu!" kata Juan agak malas menjawab panggilan telepon Ibunya. "Juan, gimana? Apa kamu sudah mendapatkan harta milik perempuan itu?" tanya Sabrina. "Aaah ... rasanya Ibu gak sabar buat berbelanja, beli baju, perhiasan, sepatu baru dan tas-tas mahal!" katanya bersemangat. Juan menarik napas, lalu menghembuskan napas panjangnya. "Sudah, Bu! Besok pengacara itu akan mengirimkan salinan dari akta kepemilikan harta milik perempuan sialan itu!" ujar Juan. "Benarkah itu, Juan?" "Benar, Bu," jawab Juan lemas. Dia tau ibunya akan kecewa, harta warisan yang dia dapat hanya setengahnya saja. "Kamu dapat semua harta warisan perempuan bodoh itu kan, Juan?" tanya Sabrina sekali lagi. Dia amat penasaran dengan harta itu. Bayang
"S-saya ... tidak berani merubah surat itu, Tuan. Saya tidak merubahnya, Tuan Juan!" Buk. Satu pukulan keras menghantam pipi Anderson. Pengacara itu jatuh terjungkal. Juan tidak peduli ocehannya dan keadaan Anderson, dia menarik kerah kemeja orang kepercayaan keluarga Pearl itu. "Cepat katakan di mana surat wasiat yang asli itu? Cepat katakan sebelum saya menghajarmu sampai mampus, Anderson!" ancam Juan berteriak. "S-saya tidak berbohong pada Anda, Tuan! Saya tidak merubah apapun isi dari surat wasiat itu!" tegas Anderson merasa dirinya terpojok. Juan mendorong keras tubuh Anderson dan beradu keras dengan tembok. "Itu surat wasiat asli dari nyonya Pearl berikan pada saya, apa Anda paham perkataan saya ini?" Lalu mencekiknya, "Kau pikir saya anak kecil yang bisa dibohongi dengan kata-kata seperti ini, Anderson! Cepat berikan sebelum kesabaran saya habis, pengacara bodoh!" Sambil mengancam pengacara itu. Anderson terkekeh, "Itu salah Anda sendiri, Tuan Juan. Kenapa Anda terlalu ser
Di tempat lain, Peige dan Sabrina tertawa gembira, sesaat tadi ketika Harry berlari ke rumah sakit, Sabrina melihat laki-laki itu membawa Pearl yang penuh darah. Wanita tua itu mengikuti, penasaran dengan apa yang terjadi. Dia memperhatikan apa yang Harry lakukan pada Pearl di ruang UGD. Berusaha membuat perempuan itu bernapas kembali dengan sekuat tenaga, bibirnya menyungging, sama seperti saat ini. "Kau tau Peige, laki-laki itu menangis. Menangisi perempuan bodoh yang sekarat itu," kata Sabrina tertawa. "Padahal perempuan kampungan itu sudah mati dengan kepala dan tubuh berlumur darah!" lanjutnya, tawanya lebih kencang. Dia senang sekarang sudah tidak ada hambatan lagi untuk menjadikan Andrea menantu keluarganya, dan kekayaannya akan semakin bertambah bila pernikahan itu benar-benar terjadi. "Aah ... sukurlah. Aku sangat senang dia mampus dengan keadaan menyedihkan, Bu!" kata Peige bernapas lega. "Iya, Ibu juga bersukur dia mampus dan keluarga kita tidak lagi menjadi orang miski
Pearl menjadi pucat. Ucapan laki-laki itu seolah tau tentang rahasia Pearl. Pasangan setengan tua pun terdiam memandang laki-laki muda itu mengoceh seenaknya saja pada Demian. "Hei ... apa yang sudah kamu katakan pada kakak sepupumu, huh?" Wanita tua itu mengetuk kepalanya dengan garpu. "Seenaknya saja kau bilang kakak sepupumu seorang wanita! Apa kau buta, huh? Di mana matamu kau taruh, bajingan kecil!" lanjutnya kesal, mulutnya tidak berhenti mengunyah daging steak buatannya sendiri. "Aduh, Ibu, kepalaku bisa pecah dan susah mikir kalau Ibu pukul terus-menerus seperti ini!" protes laki-laki muda itu kesakitan, dia mengelus-elus kepala yang terasa sakit itu. "Salah sendiri, kenapa punya mulut tidak dijaga!" sergah wanita tua itu. Laki-laki tua hanya tersenyum mendengar pertengkarang itu. Pearl hanya bingung melihat keluarga Demian bertengkar saat makan bersama. "Aduuh ... Ibu, kenapa cerewet banget sih!" ujarnya melirik pada Demian. "Hei ... kak, apa kau mau diam saja seperti pat
Pearl langsung mandi, dia membiarkan air mengguyur tubuhnya. Sedikit demi sedikit air membasahi rambut dan tubuh yang sudah bau amis darah itu. Setelah itu, dia membasuh tubuhnya dengan sabun. Dia menghela napas ketika matanya memandang kejantanan Demian mengeras. "Aduuh, sial! Apa aku harus melakukan ini semua?" pikir Pearl, walau ini sudah kedua kalinya dia melihat kepunyaan laki-laki, tetap saja dia jijik melihatnya. Pelan-pelan dia mulai menuruni tangannya. Hendak menyentuh, "Aaah ... ini sangat memalukan. Kenapa aku harus masuk ke tubuh laki-laki?" keluhnya menarik tangan. Kemudian dia menutup mata sambil berekspresi jijik kala telapak tangannya mulai menyentuhnya. "Aaaah ... apa tidak ada tubuh wanita lain agar bisa aku rasuki?" pikirnya kesal, pikirannya mulai teringat kala Juan menyentubuhinya. Dia kian bertambah jijik, namun tangan itu asik menyabuni. Napasnya terengah-engah, menderu. "Ini benar-benar gila? Besar!" Perempuan yang berinkarnasi di tubuh Demian bergegas menyel
Dia menoleh cepat, lalu menyipitkan matanya. "Siapa mereka?" tanya batinnya, dia berusaha mengingat siapa perempuan dan laki-laki setengah tua yang muncul di ambang pintu. "Sial, tak ada informasi tentang kedua orang ini?" pikirnya lagi. "Sekarang aku harus apa? Aku juga tidak tau nama mereka berdua!" Kepala Pearl mulai pusing. Wanita itu menghampiri Pearl, "Demian, benarkah ini kamu?" Wanita itu seolah menahan rindu sekaligus tak percaya bahwa Demian masih hidup. "Bibi tidak menyangka kamu masih hidup. Padahal tadi Bibi dan Pamanmu baru saja mendapat kabar bahwa kamu telah meninggal akibat serangan dari orang tak dikenal," katanya lagi, menyeka airmata yang tiba-tiba saja menetes. "Jadi ... mereka berdua bibi dan paman laki-laki ini?" pikir Pearl. Dia memperhatikan wajah keduanya. Terlihat sedih dan bahagian bercampur jadi satu di raut wajah mereka. "Bibi takut saat pihak rumah sakit dan kepolisian mengabarkan bahwa kamu telah meninggal dunia!" katanya lagi, lalu Meraih tangan
"Sekarang, aku harus mencari tau identitas laki-laki bernama Demian ini," ujar Pearl alias Demian berjalan masuk ke dalam rumah sakit. "Selamat malam, Nona!" "Oh ... Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya resepsionis bersikap ramah dengan sebuah senyuman. Namun matanya mengisyaratkan bahwa dia memandang jijik pada Demian. Mungkin, dia menganggap Demian sebagai gembel berpakaian jas berpura-pura menjadi seorang kaya raya. "Saya Demian, menurut dokter Harry saya dinyatakan meninggal, apakah barang-barang saya ada di sini?" Sebut Pearl. "Baik, tunggu sebentar. Akan saya carikan dulu datanya." Resepsionis itu mulai mencari di komputer. Mengetik nama Demian di pencarian. Dahinya mengkerut, dia melihat ke Demian sekali lagi. Memastikan bahwa dia adalah orang sama. "Demian Hogwart?" "Ah ... ya!" kata Pearl. "Dinyatakan meninggal pagi tadi jam 08.00? Di ruang operasi saat ditangani dokter Harry?" kata perempuan berambut hitam sebahu menyebutkan kronologinya. "Aah ... Anda
"Aku ... sepertinya mengenali kamu?" kata dokter Harry sangat yakin. Dia memperhatikan wajarnya, sepertinya dokter Harry curiga pada Pearl."A-apa?" Pearl cukup syok mendengarnya. Tubuhnya mendadak lemas bila dirinya ketauan oleh dokter harry. "Apa a-aku ketauan olehnya?" "Kau ... Demian 'kan?" tanya Harry. Pearl terdiam, dia tidak tau nama laki-laki yang tubuhnya dirasuki. "Demian? Siapa? Aku?" tanya Pearl bertanya-tanya, sebab, dia sama sekali tidak tau nama, rumah, orang-orang terdekat dan keluarga laki-laki yang kini menjadi tubuhnya. "Apa laki-laki ini teman dokter Harry?" sambungnya. Tiba-tiba Pearl membalikkan tubuh, lalu tertawa terbahak-bahak. Dia mengira dokter Harry adalah teman tubuh Pearl sekarang. "Hei ... brother! Apa kabar?" sapanya sok akrab sambil menepuk-nepuk pundak dokter Harry. Laki-laki itu mengernyitkan dahi, dia terlihat bingung dengan sikap Pearl yang sok akrab dan sok kenal dengannya. Waah ... hebat ya kamu sekarang? Jadi dokter ahli beda hebat di rumah