Prosesi pemakaman Ronald sudah selesai dilakukan. Juan tersenyum senang ketika kakinya melangkah meninggalkan tanah kuburan yang sedikit basah. Tetapi tidak dengan Pearl, perempuan itu amat kehilangan keluarga satu-satunya, air mata tidak pernah berhenti menetes sepanjang dia mengantarkan Ronald ke peristirahatan terakhir.
Juan masuk ke dalam mobil lebih dulu, sikapnya sedikit berubah. Dia tidak lagi membukakan pintu seperti saat berpacaran maupun sebelum kakeknya meninggal. Pearl sedikit kaget, namun dia tidak mau berlarut-larut dengan masalah sepele seperti ini. Dia membuka pintu mobil lalu duduk di samping laki-laki tampan namun berhati buruk. "Berhentilah menangis, aku tidak suka dengan perempuan yang bisanya hanya menangis!" seru Juan ketus. Dia menjadi dingin, dan lupa tentang adiknya yang masih membutuhkan ginjal dari Pearl. "Tapi dia kakekku, Juan! Apa salah aku menangisinya?" sanggah Pearl sedikit kecewa dengan sikap suaminya yang berubah. "Orang mati tetaplah orang mati, dia gak akan hidup lagi. Jadi, buat kau menangisi orang yang sudah mati? Semua yang kau lakukan itu buang-buang waktu!" balas Juan membuat hati Pearl kian bertambah sakit. Perempuan itu sangat terkejut mendengar Juan bisa berkata-kata menyakitkan padanya. "K-kamu ... k-kenapa b-berkata seperti itu?" tanya Pearl. "Kenapa? Buka pikiranmu, dia gak akan bisa hidup lagi menemanimu, Pearl, atau kau ingin ikut kakekmu mati, huh?" Di mata Pearl, Juan sudah berubah total dari sebelumnya. "Pikirkan itu sebelum kau membantah terus-menerus ucapanku!" Pearl tidak bisa berkata-kata, dadanya sakit, bahkan lebih sakit ketika sakit jantung Ronald kambuh. Lalu wajah perempuan itu berpaling melihat jendela. Dia enggan melihat wajah suaminya saat ini. Juan mengabaikan sikap Pearl, dia menghidupkan mesin mobil, roda mobil pun mulai berputar, semula lambat lambat laun Juan menambah kecepatannya. Laki-laki itu hanya ingin cepat sampai ke rumah dan beristirahat tanpa harus mendengar isak tangan Pearl yang menurutnya membuang-buang tenaga. Lalu, sesampainya di rumah, Juan bergegas masuk ke rumah tanpa bertanya apakah Pearl baik-baik saja atau tidak. Duduk di sofa tanpa menoleh sedikitpun. "Kapan kau akan mendonorkan ginjalmu untuk adikku?" Deg. Jantung Pearl seolah berhenti persekian detik. Dia masih ingat janjinya pada Peige tapi dia merasa terlalu dini membicarakan hal itu di hari kematian kakeknya. Pearl mengeratkan jari jemarinya. "Secepatnya!" "Bagus, aku harap kamu tidak lupa sama semua janjimu itu, Pearl," tandas Juan. "Oiya, aku juga mau mengingatkan satu hal lagi padamu, ini tentang warisan. Secepat hubungi pengacara, minta dia membacakan surat wasiat kakekmu. Aku ingin bagianku segera, seperti janjimu sebelum kita menikah!" "Apa-apaan ini, Juan? Kenapa sikapmu berubah? Kenapa kamu hanya mengungkit masalah harta warisan dan donor ginjal" pekik Pearl kecewa. "Apa kau sadar saat ini aku sedang berkabung? Kenapa kau malah membicarakan semua hal yang berhubungan dengan dirimu sendiri?" tanya Pearl. "Tidak adakah rasa kasihanmu padaku seperti saat kita belum menikah?" Dengan santainya Juan menjawab, "Iya, aku tau itu. Tapi, apa ada pertanyaanku yang salah, Pearl? Aku hanya ingin menagih janjimu padaku dan juga Peige," sanggah Juan. Tatapan matanya terlalu mengintimidasi Pearl. Gadis malang itu ketakutan, tak ada kehangatan, tak ada cinta yang dia rasakan di dalam diri Juan seperti pertama kali mengobrol. "Aku gak mau kau melupakan apa yang sudah kau dan kakekmu janjikan padaku!" Lalu laki-laki itu berdiri mendekati Pearl, dicengkeram tangan Pearl seerat mungkin. "Apakah kau lupa, aku menikah denganmu karena kau mengiming-imingiku pembagian harta warisan kakekmu setengahnya untukku. Kakekmu juga pernah berkata akan memberikan warisan padaku." Pearl menghempaskan cengkeraman tangan Juan, "Baik, besok kita ke kantor pengacara. Lalu kita ke rumah sakit. Aku akan melakukan semua janjiku agar kamu puas Juan!" pungkas Pearl kesal. Dia ke kamarnya dan menutup kencang pintu. Juan tersenyum senang penuh kemenangan. "Lalu hidupmu, akan menjadi lembaran kertas yang tersobek-sobek menjadi bagian yang kecil, Pearl!" gumam Juan terkekeh pelan. **** Esok hari, Juan dan Pearl berjalan di koridor masuk kantor pengacara. Keduanya tampak seperti orang yang tak kenal atau pasangan yang sedang bertengkar. Juan berjalan dengan angkuhnya, walau dia terlihat sangat gagah dengan setelan jas berwarna biru gelap. Sedangkan Pearl, dia terlihat seperti orang bodob dengan baju seadanya dan riasan di wajahnya hanya menggunakan bedak dan pelembab serta lipstik berwarna peach. Sayangnya, riasan di wajahnya tidak bisa menutupi bagian mata yang bengkak dan sedikit menghitam akibat menangis dan tidak tidur semalaman. Juan tidak peduli dengan keadaan Pearl, dia seolah sedang membuang perempuan itu secara pelan-pelan. Tidak, laki-laki bangsat itu memang sedang membuangnya. Hanya saja, Pearl tidak mengetahui rencana Juan secara keseluruhan, kemarin sore yang Juan tunjukan pada Pearl hanya sebagian kecil sifat juga rencana yang dia rencanakan bersama keluarganya. "Tunggu!" Juan menghentikan langkah serta niat Pearl yang hendak masuk ke dalam kantor pengacara. "Kamu ingat kan apa yang aku katakan tadi di mobil?" Pearl mengangguk. "Bersikap layaknya pasangan, dan mesra di hadapan pengacara kakekku." "Bagus! Sekarang pegang lenganku, dan tersenyumlah. Jangan sampai pengacara si tua bangka itu curiga pada hubungan kita!" ujar Juan. Rasa sakit di dada Pearl kian melebar, saat mendengar kata-kata Juan, seolah laki-laki itu hanya ingin harta warisan, bukan dirinya. Perempuan itu menahan rasa sakit itu, demi janjinya pada Juan, dia akan bertahan. Bodohnya dia dulu, terlalu percaya pada ucapan manis Juan di awal pertemuan waktu itu. Bodohnya lagi, Pearl memaksa Juan menikahinya dengan iming-iming pembagian harta warisan Ronald. Pearl membuka pintu pengacara. "Selamat pagi, Tuan Anderson!" kata Pearl. Juan melirik, tak ada senyuman yang mengembang di bibirnya. "Senyumnya perempuan bodoh. Apa kau ingin membuat pengacara itu curiga dan membatalkan pengalihan alih waris kakekmu?" bisik Juan ketus. Pearl segara melebarkan dua bibirnya. "Oh, pagi nyonya Pearl, Tuan Juan. Silahkan duduk." Sambut Anderson begitu hangat, dia menyalami Pearl dan Juan. Lalu, mereka duduk di hadapan Anderson. "Terima kasih." "Jadi, apa yang bisa saya bantu?" "Maaf sebelumnya, Tuan Anderson. Saya ingin Anda membacakan surat wasiat dari kakekku mengenai harta warisan!" pungkas Pearl tanpa basa-basi. Juan tersenyum senang istrinya berinisiatif sebelum dia menyuruhnya. "Oh, baik. Sebenarnya saya ingin menemui Anda di rumah. Tapi, karena Anda sudah berada di sini, saya akan membacakan surat wasiat Tuan Ronald," katanya berdiri. Lalu dia berjalan ke arah lemari, dia mengutak-atik brangkas di lemari. Tak seberapa lama, Anderson membawa sebuah map berwarna biru dan kembali duduk di hadapan Pearl dan Juan. "Ini adalah surat wasiat yang beliau sampaikan pada saya sebelum kalian menikah." Laki-laki itu membuka map birunya. "Beliau datang ke kantor saya pada ma---" "Bacakan saja surat wasiat itu, Tuan Anderson. Saya tidak suka orang yang suka berbasa-basi. Anda tau, kami sangat sibuk. Masih banyak pekerjaan yang harus kami selesaikan hari ini!" Juan terlihat sinis, tak ada kata maaf ketika dia memotong penjelasan Tuan Anderson. "Oh ... maaf. Baiklah, saya akan membacakannya. Saya harap, Nyonya Pearl dan Tuan Juan mendengarkan baik-baik isi dari wasiat ini!" katanya sekali lagi. Anderson menarik napas beberapa kali sebelum akhirnya dia membacakan surat wasiat yang ditinggalkan Ronald untuk Pearl, cucu satu-satunya. Surat Wasiat. Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Anderson mulai membacakannya.Pearl terlihat tegang, tetapi Juan tersenyum senang. Sebab, sebantar lagi dia akan mendapatkan warisan yang sangat banyak dan akan menjadi orang yang sangat kaya di negara itu.
Dan Pearl? Tentu saja, akan dia tinggalkan!
****Anderson membaca surat wasiat Ronald bait per bait, hingga akhirnya dia selesai membacakan surat wasiatnya. Namun, tidak ada nama Juan di sana. Hanya nama Pearl sebagai pewaris tunggal yang berhak menerima semua warisan Ronald. Dahi Juan mengkerut, wajahnya menjadi panas. Dia marah, sangat marah ketika telinganya tidak satupun disebut saat pembagian harga Ronald, sepeserpun dia tidak mendapatkan warisan yang dijanjikan Ronald kala dia diperkenalkan Pearl pada si kakek tua. "Tunggu dulu!" Tahan Juan tak terima. "Apakah Anda gak salah baca atau menuliskan surat wasiat ini saat Ronald membacakannya?" tanya Juan masih penasaran. Dia pikir, seharusnya ada nama dia di antara daftar pembagian harta serta usaha yang dimiliki Ronald. "Tidak Tuan, semua sudah saya bacakan seperti yang Tuan Ronald katakan pada saya waktu itu!" Tegas Anderson meyakinkan. Juan merampas surat wasiat itu. Dia mulai membaca tiap kata yang tertulia di selembaran kertas itu, "Tidak mungkin, seharusnya ada namaku!
Juan dan Pearl kembali ke parkiran setelah semuanya beres. Tangan Pearl diselipkan ke lengan laki-laki yang amat dicintainya. Lalu Pearl menyandarkan kepala di pundak laki-laki gagah nan tampan itu. Namun, ekspresi dari Juan tampak begitu jelas dia tidak menyukai sikap Pearl. Tetapi, laki-laki itu memaksakan diri agar bisa bersikap romantis sebelum semua janji Pearl dilakukan untuknya. Laki-laki itu membukakan pintu mobil dengan terpaksa. Lalu menutupnya kembali, dia bergegas masuk ke dalam. Tujuan mereka kali ini ke rumah sakit, Pearl akan mendonorkan ginjalnya untuk Peige sesuai janjinya sebelum menikah. Telepon Juan tiba-tiba berdering. Suaranya sedikit membuyarkan keromantisan di antara keduanya. Di layar ponselnya tertera tulisan "Ibu" sangat jelas. "Ibu?" Sebut Juan. "Sayang, aku angkat telepon dulu, ya!" kata Juan keluar dari mobil. Pearl menunggu dengan sabar. "Aku senang kau kembali, Juan. Dan aku harap bukan untuk sementara kamu berubah!" gumamnya melihat suaminya sedang
"Dasar bajingan!!" pekik Harry. Lalu .... Buk. Harry mendorong Juan hingga tubuhnya beradu keras di tembok. Amarah sudah tidak bisa dibendung ketika netranya melihat laki-laki yang dulu menjadi sahabat di akademi kedokteran. Tetapi, Harry menjadi sangat membenci Juan, laki-laki di hadapannya menjadi suka mempermainkan wanita dan memanfaatkan ketampanannya hanya untuk mengambil harta para wanita. Bahkan Harry sangat tau kebejatan Juan yang mendekati Pearl. Sebab Harry, diajak kerja sama untuk mengambil keuntungan dari cucu pemilik rumah sakit. Bahkan dokter muda bergelar spesial bedah dan penyakit dalam itu mengetahui rencana gila Juan untuk merebut semua harta warisan dan ginjal dari wanita polos seperti Pearl. Lalu dokter berkacamata itu memukulnya. "Semua ini gara-gara kau, bajingan. Semua gara-gara kau memaksa gadis itu mendonorkan ginjalnya dan membuat dia meninggal di meja operasi!" teriaknya meninju wajah Juan sekali lagi. "Semua ini karena orang licik seperti kau, manusia m
"Dokter ... dokter Harry!" teriak salah satu suster keluar dari ruang operasi dalam keadaan panik. Laki-laki berkacamata itu menoleh, suster itu datang menghampiri. "Ada apa, Sus?" "Pasien bernama Nyonya Pearl ... dia ... dia ...." kata suster itu terbata-bata. Napasnya terengah-engah. "Iya kenapa, Sus? Bicara yang benar dan jangan membuat saya penasaran!" Dokter Harry tidak sabar mendengar kalimat terusannya. "Nyonya Pearl hidup kembali," sahut suster itu menjelaskan sambil mengatur napasnya agar stabil. "Apa?" dokter Harry terkejut. Masih ada secercah harapan untuk dia bisa melihat senyumannya. "B-bagaimana bisa? Bukankan dia sudah dinyatakan meninggal?" "Saya juga gak tau, dok! Tadi ... saat saya hendak menutup wajahnya, tiba-tiba kadiografik nyonya Pearl bergerak!" terang suster itu menjelaskan, ada kecemasan yang terlihag di wajah suster itu. Ia cemas bahwa itu hanya bersifat sementara. Harry tersenyum. "Pearl, ternyata kamu masih hidup?" bisik batinnya senang. "Pearl ...
Juan penasaran dengan sikap Harry, kata-katanya penuh misteri. Dia juga tidak memberitahu di mana Pearl sekarang. "Sial, rencanaku bisa berantakan bila perempuan itu masih hidup," bisik batin Juan sambil memukul dinding. "Gak ... aku harus mencari tau di mana Pearl sekarang!" Dia bergegas melangkah ke resepsionis. Juan mengira bagian resepsionis sumber informasi yang bisa mengetahui Pearl berada. "Siang Devina," sapa Juan pada resepsionis cantik. Laki-laki itu mengeluarkan pesonanya untuk mendapatkan informasi pada gadis yang baru saja lulus kuliah ini. "Eh ... d-dokter Juan!" Devina terlihat malu-malu, wajahnya terlihat memerah. Pesona Juan memang tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bagi semua wanita yang bekerja di rumah sakit itu Juan terlalu tampan, beribawa dan penuh pesona uang bikin para wanita jatuh hati. "A-ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu gugup. "Ya Devina, bisa minta tolong di mana kamar rawat istri saya bernama Pearl. Saya ke ruang UGD, dia gak ada di san
Suster Erina tampak gelisah setelah melihat apa yang hendak Juan lakukan pada Pearl dari celah pintu yang sedikit terbuka. "Gawat ... bagaimana ini? Dokter Juan mau membunuh istrinya sendiri!" pikir Suster Erina. "Sekarang aku harus apa? Aduuh ... semua ini karena kebodohanku, seharusnya aku tidak memberitahu dokter Juan." Dia pusing sendirian di depan pintu, rasa gelisahnya berubah menjadi ketakutan. Dia juga merasa bersalah atas kebodohannya, dia mengkhianati amanah Harry dan membocorkan rahasia mereka berdua pada Juan. "Tidak ... tidak ... tidak, aku harus memberitahu dokter Harry sekarang juga. Sebelum semuanya terlambat dan aku terus-terusan merasa bersalah!" Tanpa pikir panjang, suster Erina bergegas mencari Harry. Dia mendatangi ruang Harry memeriksa pasiennya. Namun, tak ada dokter Harry di ruangannya. Hanya ada suster yang biasa membantu dokter Harry saat bekerja. "Suster Anna, apakah kamu melihat dokter Harry?" Wajah Erina kini terlihat pucat, pikirannya tidak fokus
Dokter Harry membalikkan tubuh, mengejar Juan. Kemudian dia menarik bahu Juan dan .... Buk. Kepalan tangan itu akhirnya benar-benar mendarat dengan cepat. Juan terjatuh di lantai. Ini kali kedua dia harus merasakan tinju dari Harry. Selama ini mereka adalah dua sahabat akrab yang tak pernah bertengkar maupun berselisih paham. Harry sudah kidung kesal. Juan selalu menekannya selama dia berambisi untuk menjadi orang paling kaya di negara ini. Bahkan dia melibatkannya dengan iming-iming pembagian harta warisan Pearl. Laki-laki itu juga sering mengintimidasi karena rasa sukanya terhadap Pearl.Suster Erina bingung. Dia ingin melerai, tapi dia takut dipukul satu di antara dua laki-laki yang lagi emosi. "Dok ... sudah hentikan, dok. Jangan berkelahi!" Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibir Erina dengan wajah cemas dan bingung. Harry mengabaikan, Dia menghampiri Juan, lalu menarik kerah blezer dokternya itu. "Bangun kau sialan!" Sekali lagi, kepalan tangan itu dilayangkan. Kali
Seminggu setelah kejadian itu, Juan tak pernah lagi datang menjenguknya. Begitu juga Sabrina. Perempuan tua itu seolah menghilang walau sebenarnya dia ada di rumah sakit yang sama menemani Peige. Tetapi seolah Pearl tak pernah ada setelah semua Pearl korbankan untuk Peige dan hartanya diberikan pada Juan. Perempuan itu tidak tau apa-apa lagi tentang Juan dan keluarganya semenjak di rumah sakit. Seakan-akan dia adalah barang yang sudah usang dan harus dibuang di tempat sampah. Pearl berbaring di ranjang, tatapan matanya kosong memandamg jendela. Dia merasa kesepian, sudah 4 hari pasca operasi Juan tidak kunjung menjenguknya. Bahkan, chat dia untuk Juan pun tidak pernah dibalas. Hanya di baca saja. "Juan, kamu di mana? Kenapa tidak pernah sekalipun menjenguk atau sekedar membalas pesanku?" bisik batin Pearl resah. Dia hanya bisa menatap layar ponsel dan berharap Juan membalas pesannya. Namun sia-sia menunggunya. Walau keadaannya sudah semakin pulih, namun rasa nyeri kadang datang men