Sementara itu, Pearl dan Juan dengan cepat mengatur pertemuan dengan dokter yang menangani penyakit Peige.
Hanya saja, sepanjang lorong perasaan kuatir di batin Pearl terus mengusik niatnya. Bisikan demi bisikan seolah menghalangi niat Pearl yang terlalu gegabah dan sembrono dalam mengambil keputusan yang menyangkut masa depannya.
"Apa keputusan yang kau ambil ini sudah benar?" tanya Juan. Dia tau apa yang Pearl kuatirkan saat ini, tetapi pertanyaan itu hanya sebuah basa-basi agar perempuan itu tidak menaruh curiga padanya. "S-sudah, aku sangat yakin." "Tapi bagaimana dengan nasibmu di masa depan, Pearl? Apa kakekmu tidak akan marah bila mengetahui keputusan kamu ini?" Juan menghentikan langkahnya. Lalu berdiri di hadapan Pearl, jari jemari itu memegang bahu Pearl. "Aku tau apa yang kamu lakukan demi adikku, dan aku berterima kasih padamu. Tapi ingat, masa depanmu juga masih panjang, Pearl!" Pearl tersenyum, dia sangat senang dengan kekuatiran Juan padanya. Dia merasa sangat dihargai oleh laki-laki yang baru dua jam melamarnya di rumah sakit. Dia juga senang bila laki-laki di hadapannya itu sangat mengkhawatirkan keselamatannya. "Aku gak apa-apa, Juan. Dan aku rasa kakekku akan menyetujui keputusanku ini!" bantah Pearl. "Sudah, kamu tidak perlu kuatir, yang penting sekarang kita pikirkan Peige agar segera sembuh dari penyakitnya," serunya. Tapi sayang, Pearl tidak pernah tau isi hati Juan. Gadis itu menggenggam tangan laki-laki yang amat dia cintai. "Ayo, kita harus segera ke ruangan dokter!" ajaknya menarik tangan Juan. Di belakang Pearl, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Bagus! Rencanaku berjalan lancar, bahkan di luar target rencanaku sebelumnya. Lalu kau gadis bodoh, setelah semuanya kudapatkan, aku akan membuatmu menderita layaknya kertas yang dirobek-robek," bisik Juan membatin. Pemeriksaan pun dilakukan, pengecekan darah, kesehatan badan Pearl dan juga kesehatan ginjalnya yang akan didonorkan untuk Peige. Pemeriksaan dilakukan hampir seharian dan membuang tenaga dan waktu Pearl. Gadis itu duduk di antara deretan kursi tunggu yang berjejer di depan ruang laboratorium. Dia terlihat sangat cemas, berjalan mondar-mandir tanpa jeda. Juan menghampiri dan mengetahui apa yang sedang Pearl rasakan saat ini. "Sayang, kita duduk, yuk. Biar kamu tenang," ajak Juan. "Aku gak bisa tenang, Juan. Aku takut hasilnya tidak cocok dengan yang dibutuhkan adikmu!" kata Pearl. "Sudah, kamu tenang saja. Kalau tidak cocok, ya, kita bisa carikan pendonor yang lain," kata laki-laki itu. Juan memeluk Pearl dengan erat sambil mengelus-elus punggungnya. "Mana mungkin gak cocok, aku sudah lebih dulu memeriksa semuanya sebelum hari ini, Pearl. Kau satu-satunya orang yang cocok sebagai pendonor buat adikku," bisik batin Juan. "Dan setelah ini, aku akan membuangmu layaknya sampah, Pearl yang malang." "Nona Pearl," kata seorang dokter keluar dari laboratorium. Di tangannya ada beberapa lembar kertas, mata dokter itu sibuk membaca hasil tes dan pemeriksaan Pearl. Gadis itu dan Juan menghampiri dokter itu. "Bagaimana hasilnya, dok? Apakah ginjal dan tipe darahku cocok untuk Peige?" tanya Pearl tak sabaran. "Semua hasil tes dan pemeriksaannya cocok dengan pasien," jawab dokter itu. "Benarkah?" Pearl tampak gembira, Juan hanya tersenyum simpul. Dia sudah mengetahui hasil tes dan pemeriksaan milik Pearl sebelum gadis itu melakukannya hari ini. "Sayang, kau dengar itu? Hasil tes dan pemeriksaannya cocok semua?" "Iya sayang, aku dengar!" katanya sambil melirik ke arah dokter dan memberi jempol untuk kinerjanya. "Lalu, kapan operasi bisa dilakukan, dok?" "Kira-kira dua minggu lagi," jawab dokter. "Kenapa gak se--" "Sayang, menurutku lebih baik ikuti saran dokter. Karena dokterlah yang tau kapan waktu yang tepat untuk operasi." Juan menghampiri Pearl, lalu meraih tangannya dan digenggam erat. "Tapi sayang?" "Ssst!!" Sekali lagi Juan menghentikan ucapan gadis itu. "Bukankah kita akan melangsungkan pernikahan, jadi lebih baik operasinya mengikuti sesuai jadwal yang diberikan dokter," kata Juan lagi. Pearl tidak bisa berkata apa-apa, dan ucapan Juan membuatnya teringat hari pernikahan yang sudah mereka jadwalkan sebelumnya. "Baiklah, aku akan mengikuti jadwal yang diberi dokter," ucapnya pasrah. "Dokter Harry, kami berdua setuju untuk operasinya sesuai jadwal yang diberikan dokter," pungkas Juan. "Baik, akan saya catat. Sebelumnya terima kasih atas kerjasamanya, dan apakah saya boleh bicara pada dokter Juan sebentar?" ujar dokter Harry. Juan mengangguk. "Sayang, aku bicara dulu dengan dokter Harry. Kamu duduk dulu di sini, ya!" tandas Juan. Pearl mematuhi layaknya seekor anjing, tak ada bantahan maupun pertanyaan. Juan masuk setelah Harry masuk. Laki-laki duduk di hadapan Harry. Juan melihat Harry, sahabatnya menghela napas panjang. "Apa kamu sudah gila, Juan?" tanya dokter Harry berekspresi marah, menatap sinis ke Juan. Laki-laki itu tersenyum, "Kenapa? Kau iri padaku karena dia lebih menyukaiku daripadamu, Harry?" "Tutup mulutmu itu, Juan. Kau akan mencelakakannya, dan kau tau apa akibatnya yang akan kau hadapi bila kakeknya tau keadaan cucunya?" Harry terlihat marah pada Juan. Sebab, menjadi bagian dari rencana Juan untuk menguasai seluruh harta milik Pearl dan tindak ilegal operasi pemindahan ginjal gadis malang itu. "Apa kau memikirkan nasib ke depannya, Juan? Apa kau juga memikirkan semua dari rencana jahatmu ini, huh?" "Hei ...." Juan berdiri, lalu membungkukkan tubuhnya. Matanya menatap bengis ke Harry walau terlihat teduh. "Ini bukan urusanmu, Harry. Kalau kau ingin mendapatkan dari harta Pearl, lebih baik jangan banyak bicara. Ikuti saja perintahku, atau kau yang akan menyesal nantinya," ancam Juan menakuti Harry. Tubuhnya sedikit bergetar, namun hatinya sangat panas kala ancaman itu berbisik di telinganya. Juan meninggalkan ruangan Harry dengan senyuman simpul, tetapi terlihat sangat licik. "Kau pikir, dirimu bisa menasehatiku dan menikamku dari belakang?" kata Juan bergema di telinga Harry. "Jangan harap kau bisa melakukan itu, Harry. Kamu gak akan bisa mengambil bagian dari harta milik gadis bodoh itu dariku!" gumam Juan. "Sial ... brengsek. Dasar gila tidak punya otak. Lihat saja Juan, ancamanmu tidak akan mempan buatku. Aku akan menjatuhkanmu bila berani macam-macam padaku!" pekik Harry mengobrak-abrik seluruh file yang ada di mejanya. "Aku harus bisa menghentikan Juan sebelum operasi ini berlangsung!" Tekad Harry sambil memijit keningnya yang tiba-tiba sakit itu. Di luar, Juan disambut Pearl yang masih setia menunggu Juan. "Sayang, bagaimana hasil pembicaraanmu dengan dokter Harry?" tanya Pearl. Juan tersenyum sambil menggandeng tangan gadis itu. "Tidak apa-apa, semua berjalan lancar!" seru Juan. "Bagaimana kalau kita ke bridal sekarang, bukankah kau menginginkan gaun yang indah dan mewah dipernikahan kita nanti?" Pearl tersenyum lebar, dia merasa diperlakukan layaknya wanita.Sebelum bertemu kakeknya, kehidupan Pearl sangatlah miskin dan serba kekurangan. Dia dan orang tua angkatnya selalu saja mendapatkan hinaan dari warga desa tempat tinggalnya. Tak ada satupun tetangga yang baik di mata Pearl, semua seperti ular bermuka dua. Bahkan di rumah sakit dia bekerja tidak ada satupun pegawai yang mengajaknya berteman atau sekedar berbicara, hanya Juan yang mau berbicara dan perhatian padanya.
Namun setelah kakeknya menemukannya, kehidupan Pearl menjadi berubah. Semua orang merasa jadi temannya, datang mengobrol dan sangat ramah. Tetapi tidak dengan Juan, di mata Pearl laki-laki itu bersikap sama dari pertama kenal hingga sekarang....Jadi, seharunya tak salah bila Pearl memberikan ginjalnya untuk orang yang dikasihi Juan, kan?
****Tak terasa, satu jam sebelum pernikahan, Pearl duduk di depan cermin. Gaun pengantin yang dia kenakan menambah kecantikan alami dalam dirinya. Dia tidak percaya bahwa dia akan menikah dengan laki-laki yang dia sukai. Laki-laki yang terkenal di rumah sakit, di antara para perawat perempuan dan juga pasien-pasien perempuan. Entahlah, Pearl tidak mengerti kenapa Juan menyukainya. Hembusan napas terdengar berat. "Aku akan jadi istri yang baik untuk kamu, Juan!" gumamnya. Tak lama suara pintu membuyarkan lamunannya. Seorang laki-laki gagah berkacamata masuk ke dalam ruangan Pearl. "Dokter Harry?" gadis itu cukup terkejut melihat Harry datang ke ruangannya kala dia sendirian. Lalu dia duduk menghadap dokter Harry yang berdiri di pintu "M-mau apa Anda ke sini?" tanya Pearl sedikit takut. Jantungnya berdebar sangat kencang, sebab dia sedang berdua dengan laki-laki yang bukan kekasih atau calon suaminya. Harry tidak menjawab, dia terus melangkah mendekati Pearl. "Kau harus membatalkan
Seminggu kemudian, tepatnya di rumah sakit. Keadaan Peige memburuk, dia sangat kesakitan ketika penyakitnya kambuh. Tubuhnya meringkuk sambil memegang bagian bawah perutnya. "Bu ... Bu, aku sudah gak tahan lagi!" katanya merintih. Wanita tua itu tidak tau lagi harus berbuat apa. "Sebentar, Ibu akan memanggilkan dokter!" ujarnya keluar kamar rawat Peige. Di luar, wanita tua itu berteriak memanggil dokter san suster. Seorang suster sibuk memanggil dokter melalui pengeras suara. Tak lama, dokter Harry datang bersama satu orang suster di belakangnya. "Dok, penyakit anak saya kambuh lagi!" katanya ketakutan. Sebab, wajah Peige sangat pucat. Keringat banyak yang keluar dari pori-pori kulit seluruh tubuhnya. Ditambah dia terus merintih kesakitan. "Saya periksa dulu, ya, Bu!" tandas dokter Harry mulai memeriksa keadaan Peige, sebenarnya, dokter Harry tau apa yang harus dilakukan terhadap pasien satu ini. Peige harus segera di operasi, tingkat kerusakan pada ginjalnya membuatnya harus sege
Prosesi pemakaman Ronald sudah selesai dilakukan. Juan tersenyum senang ketika kakinya melangkah meninggalkan tanah kuburan yang sedikit basah. Tetapi tidak dengan Pearl, perempuan itu amat kehilangan keluarga satu-satunya, air mata tidak pernah berhenti menetes sepanjang dia mengantarkan Ronald ke peristirahatan terakhir. Juan masuk ke dalam mobil lebih dulu, sikapnya sedikit berubah. Dia tidak lagi membukakan pintu seperti saat berpacaran maupun sebelum kakeknya meninggal. Pearl sedikit kaget, namun dia tidak mau berlarut-larut dengan masalah sepele seperti ini. Dia membuka pintu mobil lalu duduk di samping laki-laki tampan namun berhati buruk. "Berhentilah menangis, aku tidak suka dengan perempuan yang bisanya hanya menangis!" seru Juan ketus. Dia menjadi dingin, dan lupa tentang adiknya yang masih membutuhkan ginjal dari Pearl. "Tapi dia kakekku, Juan! Apa salah aku menangisinya?" sanggah Pearl sedikit kecewa dengan sikap suaminya yang berubah. "Orang mati tetaplah orang m
Anderson membaca surat wasiat Ronald bait per bait, hingga akhirnya dia selesai membacakan surat wasiatnya. Namun, tidak ada nama Juan di sana. Hanya nama Pearl sebagai pewaris tunggal yang berhak menerima semua warisan Ronald. Dahi Juan mengkerut, wajahnya menjadi panas. Dia marah, sangat marah ketika telinganya tidak satupun disebut saat pembagian harga Ronald, sepeserpun dia tidak mendapatkan warisan yang dijanjikan Ronald kala dia diperkenalkan Pearl pada si kakek tua. "Tunggu dulu!" Tahan Juan tak terima. "Apakah Anda gak salah baca atau menuliskan surat wasiat ini saat Ronald membacakannya?" tanya Juan masih penasaran. Dia pikir, seharusnya ada nama dia di antara daftar pembagian harta serta usaha yang dimiliki Ronald. "Tidak Tuan, semua sudah saya bacakan seperti yang Tuan Ronald katakan pada saya waktu itu!" Tegas Anderson meyakinkan. Juan merampas surat wasiat itu. Dia mulai membaca tiap kata yang tertulia di selembaran kertas itu, "Tidak mungkin, seharusnya ada namaku!
Juan dan Pearl kembali ke parkiran setelah semuanya beres. Tangan Pearl diselipkan ke lengan laki-laki yang amat dicintainya. Lalu Pearl menyandarkan kepala di pundak laki-laki gagah nan tampan itu. Namun, ekspresi dari Juan tampak begitu jelas dia tidak menyukai sikap Pearl. Tetapi, laki-laki itu memaksakan diri agar bisa bersikap romantis sebelum semua janji Pearl dilakukan untuknya. Laki-laki itu membukakan pintu mobil dengan terpaksa. Lalu menutupnya kembali, dia bergegas masuk ke dalam. Tujuan mereka kali ini ke rumah sakit, Pearl akan mendonorkan ginjalnya untuk Peige sesuai janjinya sebelum menikah. Telepon Juan tiba-tiba berdering. Suaranya sedikit membuyarkan keromantisan di antara keduanya. Di layar ponselnya tertera tulisan "Ibu" sangat jelas. "Ibu?" Sebut Juan. "Sayang, aku angkat telepon dulu, ya!" kata Juan keluar dari mobil. Pearl menunggu dengan sabar. "Aku senang kau kembali, Juan. Dan aku harap bukan untuk sementara kamu berubah!" gumamnya melihat suaminya sedang
"Dasar bajingan!!" pekik Harry. Lalu .... Buk. Harry mendorong Juan hingga tubuhnya beradu keras di tembok. Amarah sudah tidak bisa dibendung ketika netranya melihat laki-laki yang dulu menjadi sahabat di akademi kedokteran. Tetapi, Harry menjadi sangat membenci Juan, laki-laki di hadapannya menjadi suka mempermainkan wanita dan memanfaatkan ketampanannya hanya untuk mengambil harta para wanita. Bahkan Harry sangat tau kebejatan Juan yang mendekati Pearl. Sebab Harry, diajak kerja sama untuk mengambil keuntungan dari cucu pemilik rumah sakit. Bahkan dokter muda bergelar spesial bedah dan penyakit dalam itu mengetahui rencana gila Juan untuk merebut semua harta warisan dan ginjal dari wanita polos seperti Pearl. Lalu dokter berkacamata itu memukulnya. "Semua ini gara-gara kau, bajingan. Semua gara-gara kau memaksa gadis itu mendonorkan ginjalnya dan membuat dia meninggal di meja operasi!" teriaknya meninju wajah Juan sekali lagi. "Semua ini karena orang licik seperti kau, manusia m
"Dokter ... dokter Harry!" teriak salah satu suster keluar dari ruang operasi dalam keadaan panik. Laki-laki berkacamata itu menoleh, suster itu datang menghampiri. "Ada apa, Sus?" "Pasien bernama Nyonya Pearl ... dia ... dia ...." kata suster itu terbata-bata. Napasnya terengah-engah. "Iya kenapa, Sus? Bicara yang benar dan jangan membuat saya penasaran!" Dokter Harry tidak sabar mendengar kalimat terusannya. "Nyonya Pearl hidup kembali," sahut suster itu menjelaskan sambil mengatur napasnya agar stabil. "Apa?" dokter Harry terkejut. Masih ada secercah harapan untuk dia bisa melihat senyumannya. "B-bagaimana bisa? Bukankan dia sudah dinyatakan meninggal?" "Saya juga gak tau, dok! Tadi ... saat saya hendak menutup wajahnya, tiba-tiba kadiografik nyonya Pearl bergerak!" terang suster itu menjelaskan, ada kecemasan yang terlihag di wajah suster itu. Ia cemas bahwa itu hanya bersifat sementara. Harry tersenyum. "Pearl, ternyata kamu masih hidup?" bisik batinnya senang. "Pearl ...
Juan penasaran dengan sikap Harry, kata-katanya penuh misteri. Dia juga tidak memberitahu di mana Pearl sekarang. "Sial, rencanaku bisa berantakan bila perempuan itu masih hidup," bisik batin Juan sambil memukul dinding. "Gak ... aku harus mencari tau di mana Pearl sekarang!" Dia bergegas melangkah ke resepsionis. Juan mengira bagian resepsionis sumber informasi yang bisa mengetahui Pearl berada. "Siang Devina," sapa Juan pada resepsionis cantik. Laki-laki itu mengeluarkan pesonanya untuk mendapatkan informasi pada gadis yang baru saja lulus kuliah ini. "Eh ... d-dokter Juan!" Devina terlihat malu-malu, wajahnya terlihat memerah. Pesona Juan memang tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bagi semua wanita yang bekerja di rumah sakit itu Juan terlalu tampan, beribawa dan penuh pesona uang bikin para wanita jatuh hati. "A-ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu gugup. "Ya Devina, bisa minta tolong di mana kamar rawat istri saya bernama Pearl. Saya ke ruang UGD, dia gak ada di san