Saat miliknya mulai memasuki tubuh Linar yang bergetar hebat, tubuh Dean sendiri juga terlihat tegang dan wajahnya mengernyit seperti orang kesakitan sedangkan bibirnya mengeluarkan suara geraman nikmat.Dean langsung bergerak ketika miliknya memenuhi milik Linar yang langsung melengkungkan punggungnya karena kenikmatan. Bibir Linar mendesahkan nama Dean dengan serak dan tanpa henti hingga Dean terlihat benar-benar puas.Beberapa kali kepala Linar terangkat dan menggeleng saat bibirnya menjerit akibat sodokan Dean yang makin lama makin kuat dan cepat. Tangannya mencengkeram seprei yang sudah terlepas dan kini terlihat sangat berantakan.Rambut Linar sudah basah oleh keringat, tubuhnya licin dan berkilat, begitu juga Dean yang terus bergerak meski Linar sedang tergulung oleh kenikmatan dan orgasme yang diberikan olehnya. Dean sendiri seperti ingin cepat-cepat mendapatkan orgamesnya sendiri hingga gerakannya jadi kalut dan tak beraturan dengan wajah yang terlihat tersiksa dan napas yang
Dean diam, menatap lebih lekat wajah Linar yang menatapnya lurus lewat cermin."Kenapa liatnya kayak gitu, kenapa? Kamu nggak yakin bisa mengabulkan nya, ya?""Katakan. Katakan dan aku akan memutuskannya apakah aku bisa mengabulkannya atau nggak."Linar tak langsung menjawab."Aku mau punya waktu untuk mengembangkan diriku sendiri, bahkan setelah aku melahirkan nanti,”Kening Dean mengenyit tipis. Membaca apa yang ada di pikiran Linar dengan seringai di ujung bibirnya. "Beri aku waktu untuk berpikir," jawabnya kemudian.Linar tak mengangguk, tapi tatapannya yang dikunci oleh Dean sudah memberi pria itu jawaban. Selama beberapa menit yang penuh keduanya terkunci dalam pantulan di cermin, Dean tiba-tiba mengakhiri kontak tersebut dengan menurunkan wajahnya ke cekungan leher Linar.“Apa masih ada lagi?” tanya Dean berbisik.“Untuk sekarang itu aja,” saut Linar tenang."Aku menginginkanmu," bisik Dean dengan suaranya yang memberat. Mulai menghirup aroma tubuh Linar di leher dalam-dalam.M
Raif tak melepaskan pandangannya sedikit pun dari Linar yang tengah duduk di samping ranjangnya."Kursi itu nggak akan membuat kamu nyaman, Lin. Kamu duduk aja di sofa. Atau berbaring di kasur." Raif melirik kasur kecil yang disediakan khusus untuk penjaga pasien.Linar hanya menggeleng singkat. "Iya, nanti aku pindah dan tidur di kasur itu, aku lagi kirim pesan ke sahabatku yang di Jakarta, untuk membantuku."Linar bertahan meski pantatnya terasa kaku, nyaris kram karena berada di posisi yang sama selama dua jam. Dan semoga rasa pegalnya tak bertahan hingga besok. Raif mengamati lebih dalam raut wajah Linar, menangkap kernyitan di dahi dan ketidaknyamanan yang dirasakan sekaligus dengan konyolnya wanita itu berusaha sembunyikan. Satu-satunya hal yang diinginkan oleh Linar saat ini hanyalah pamit lalu pergi dari tempat ini, tetapi wanita itu bahkan tak sampai hati memaksa setelah ia menjelaskan bahwa seluruh keluarganya tengah sibuk dan ia butuh seseorang untuk menjaganya, dan ia
Linar tak menjawab, kedua matanya sibuk mengamati penampilan serta reaksi janggal Dean. Dan entah kenapa kedua kakinya masih terpancang kuat di tempatnya berdiri.Keheningan yang menegangkan membentang di udara di antara keduanya selama beberapa saat yang cukup lama. Dean mengunci pandangannya dengan keras, yang membuat Linar benar-benar kewalahan mengatur degup jantungnya.Dengan keberaniannya yang hanya setipis selembar tisu, Linar mulai mengangkat salah satu kakinya dan hendak berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri."Sayang, tolong tuangkan anggur itu untuk aku, boleh?” Dean membuat suaranya terdengar begitu menjengkelkan. Menghentikan langkah Linar yang sudah setengah perjalanan menuju kamar mandi.Linar menoleh dan melihat sisa anggur di botol lalu wajah Dean yang merah. Sulit menentukan apakah itu karena pengaruh alkohol atau pria itu memang benar-benar marah padanya. Linar mengangkat dagunya dan berkata, "Kamu bilang kamu nggak akan minum alkohol lagi, paling ng
“Kamu udah dengar Mas!” saut Linar sinis dengan keberanian yang dipaksakan.Dean menggeram dengan kemarahan yang bergemuruh. Tubuhnya bergerak naik dan menemukan wajah Linar. Salah satu tangannya yang lain menangkap rahang Linar. Menghentikan gerakan tak karuan wanita itu. Air mata membanjiri wajah wanita itu yang kedua matanya terpejam. Dan Dean benar-benar akan meremukkan wajah wanita itu, ketika seluruh tubuh Dean menegang. Oleh bentakan Linar padanya yang dikuti ringisan dan bibir yang digigit untuk menahan. “Stop! Mas Cukup!! Aw..sakit…”Dean tersadar, kedua matanya mengedip dan menyadari bahwa Linar tampak menggigit bibir bagian dalamnya kuat-kuat. Seolah menyimpan kesakitan bercampur takut? Dan wajahnya serasa ditampar dengan keras menyadari bahwa wanita itu tengah menunjukkan reaksi menahan mual, Linar mengernyitkan dahinya terlalu dalam. Wajah Linar terlihat pucat.Cengkeraman tangan Dean di kedua tangan dan rahang istrinya melonggar. Tubuhnya bergerak naik untuk mencermat
“Dean!”“Mami?” Dean terkejut melihat maminya lah yang memanggil, dan ada di rumahnya sejak kapan?“Mami kapan datang?”“Kenapa? Kamu mulai nggak nyaman Mami datang ke rumahmu tanpa memberi tahu kamu lebih dulu?” tanya Mami dengan nada jengkel.“Bukan itu maksudku, Mi.” jawab Dean lemah, ia melanjutkan langkahnya ke arah luar.“Ini sudah terlalu siang untuk berangkat ke kantor, Mas. Dan apa istri kamu nggak membangunkan kamu tepat waktunya, hah?”“Bukan begitu, Mi” jawab Dean semakin BT.“Mami kenapa nggak bilang sama aku mau ke sini? Padahal aku bisa jemput Mami seperti biasa,”Mami terdiam sejenak tampak enggan namun tetap bicara, “Mami belum niat datang tapi, sudah terlalu lama Mami membiarkan Linar. Jadi mami putuskan untuk menemuinya lebih dulu,”“Apa maksud Mami dengan sudah terlalu lama membiarkan Linar?”“Apa selama ini Mami sengaja menghindari Linar? Apa Mami nggak merestui pernikahan kedua kami, Mi? Tapi kenapa Mi?” tambah Dean menekan.“Mami punya banyak alasan, sudahlah ki
Wajah Dean terperangah lalu mengeras dan dipenuhi kegelapan yang begitu pekat hanya dalam hitungan detik. "Apa kamu bilang?" desisnya tajam."Benar 'kan? Kamu udah lama berubah Mas! Jujur aja aku benar-benar heran, kenapa kamu nggak terima aja anak itu dan meneruskan pernikahan kalian yang bahagia, aku yakin Dera akan lebih disambut meriah daripada aku! Dan kamu nggak perlu merasa terbebani lagi!” sembur Linar dengan penuh emosi. Air matanya mengalir dengan deras dan memenuhi seluruh permukaannya wajahnya. Bersama seluruh emosi yang meluap di dalam dadanya. Menerjangnya dengan keras dan ia tak sanggup menanggulanginya.Dean mendorong tubuh Liana ke dinding, mencengkram kedua bahu wanita itu dengan tangannya.Linar sama sekali tak memberontak. Ia tak peduli bahunya akan lebih terasa sakit dan tulang bahunya yang serasa akan remuk saking kuatnya Dean mencengkeramnya. "Kamu bicara omong kosong lagi, hah!" desis Dean dengan bibir yang nyaris tak bergerak tepat di depan wajah Linar.Lina
Kemudian pria itu mengelusnya dengan lembut. Perlahan tapi pasti, ketegangan di perut Linar berkurang. Hingga hilang sama sekali.Dan saat keduanya tersadar, Linar menyentakkan tangan Dean dari tubuhnya. "Aku tetap marah sama kamu, jangan kamu pikir aku akan lupa ya, sama semua kelakuan kamu!”Dean mendengus tipis. "Ya, terima kasih kembali," balasnya mengejek.Linar membuang wajahnya, membalikkan tubuhnya hingga memunggungi Dean. Dean bangkit berdiri dan mendekat. Beberapa menit kemudian, Linar melayang, berada dalam gendongan Dean."Kamu perlu mandi, kan?" Dean berbalik, berjalan masuk ke kamar mandi."Aku bisa mandi sendiri." Linar melihat bak mandi yang sudah dipenuhi air hangat dan busa. Keningnya berkerut, apakah Dean yang menyiapkan ini semua untuknya?Pertanyaan itu tak butuh jawaban, ketika Dean membungkuk dan mendudukkannya di pinggiran bak mandi. "Kamu mau apa sih, Mas?” delik Linar menahan ujung dresnya tetap menutup pahanya ketika Dean memegang ujung kain tersebut dan h