Segera setelah aku selesai berbicara, tatapan kejam Bu Cindy tertuju padaku.Dia mendelik padaku.Bu Cindy mengatur kembali ekspresinya untuk menjelaskan perkara Melisha, lalu mulai berpidato dengan penuh semangat dan berapi-api.Dengan begitu, perkara ini dianggap selesai.Semua orang merasa saat ini Melisha sedang cari gara-gara.Namun Gilbert yang duduk di sebelahku tidak berpikir demikian.Saat melihat Gilbert yang hendak bangkit berdiri, aku pun langsung meraih pergelangan tangannya dan berkata dengan dingin."Belum waktunya, jangan gegabah.""Kalau mau tahu faktanya, kamu harus belajar bersabar."Setelah itu, aku tersenyum sambil menatap Bu Cindy yang berjalan menuruni panggung."Pak Gilbert, aduh maaf ya ada sedikit gangguan tadi. Apa malam ini Janice boleh menemaniku?"Bu Cindy terlihat sangat lelah.Pak Willy langsung berdiri dan memeluk pinggang Bu Cindy, kemudian dia menatapku dan mengernyit."Ngapain bengong? Mau menggoda istriku?"Gilbert menatap Pak Willy dengan heran.Ak
Melihat Bu Cindy terkejut, perlahan aku bangkit berdiri.Baru kemudian aku bisa melihat dengan jelas, orang yang dikelilingi kabut adalah Melisha, yang kulihat di pesta amal kemarin.Tapi wajahnya penuh bekas luka."Kamu takut? "Entah sejak kapan Bu Cindy mendekat ke telingaku dan berbisik.Aku tersenyum dan berkata, "Sekarang kamu mau mengubahku jadi seperti itu?"Bu Cindy menatapku seperti seorang maniak."Ya nggak lah! Meski kamu menyebalkan, wajahmu ini sangat cantik.""Jadi, aku mau punya wajah ini ...."Aku bergidik.Apa ini tujuan Bu Cindy? Tapi buat apa dia ingin kulit manusia?Tepat saat aku sedang melamun ....Bu Cindy merobek kulit pipi kanannya, memperlihatkan bekas luka yang mengerikan."Sudah selama bertahun-tahun ini, kupikir aku nggak bisa menemukan orang yang tepat.""Aku nggak nyangka kamu sendiri yang mendatangiku. Padahal awalnya aku mau kamu bisa lebih lama menikmati hidup sebagai putri anak orang kaya.""Sayang, kamu terlalu pembangkang. Jadi, aku harus memajukan
Sejak saat itu, Pak Willy merasa sangat bersalah terhadap Bu Cindy.Bu Cindy menjadi semakin sulit untuk dikontrol, bahkan Pak Willy akan memperingatkan para gadis yang bersosialisasi dengannya.Seiring berjalannya waktu, Bu Cindy merasa Pak Willy menjadi seperti ini karena wajahnya cacat.Lalu, dia membuat cerita tentang putrinya yang menghilang untuk bisa merekrut para gadis.Karena entah darimana Bu Cindy mendengar teknik pengobatan menggunakan kulit para gadis.Meski Bu Cindy bersikeras melakukan hal ini, Pak Willy tetap berdiri di sisinya.Bu Cindy menangis tersedu-sedu sambil menceritakan kesusahan hatinya.Aku tersenyum saat melihat bekas luka yang tidak basah oleh air mata di wajahnya.Lalu, aku mencibir, "Harusnya kamu ceritain hal ini pada semua gadis yang menghilang."Tangan Bu Cindy yang sedang menyeka air matanya pun berhenti bergerak.Dia tersenyum dan berkata, "Aku cuma mau melampiaskan emosiku, apa aku salah?"Aku menggeleng, "Kamu nggak salah, tapi Pak Willy 'kan sudah
"Aku juga akan memberi kalian uang yang banyak, atau kalian mau asetku? Aku akan kasih semuanya.""Asal kamu melepaskannya, aku akan memberikan semua yang kamu inginkan."Pak Willy menatapku dengan sangat memelas.Gilbert menatap lurus ke arahku, seolah ingin melihat keputusan apa yang akan kupilih.Aku menatap Bu Cindy yang wajahnya masih ditekan di lantai panggung oleh Gilbert, dia mengangkat wajahnya yang berlumuran darah dan tertawa terbahak-bahak."Kamu akan memberikan semua yang aku mau?"Aku menatap Pak Willy yang sedang berlutut.Dia buru-buru mengangguk, takut aku berubah pikiran."Oke, kalau begitu aku mau nyawamu!"Setelah berkata demikian, aku meraih kerah bajunya dan membawanya ke hadapan jasad Melisha.Gilbert tidak menyangka kalau aku akan segila itu, tatapannya terlihat begitu terkejut.Saat ini, Bu Cindy meronta.Tapi Gilbert langsung mendorongnya kuat-kuat ke atas lantai panggung."Janice! Sebenarnya mau apa kamu!""Gilbert melakukannya demi Melisha, tapi kamu? Demi s
Gilbert memapahku sambil menatapku dengan heran.Aku menepuk tangannya dan memeriksa kamera yang terselip di belakang telingaku.Aku mengangguk padanya dan bersiap untuk mundur.Namun Pak Willy tiba-tiba menghalangi jalan kami."Kalian pikir masih bisa kabur? Janice, aku sudah memberimu kesempatan.""Kamu sendiri yang nggak mengambil kesempatan itu."Pak Willy mengambil tongkat di lantai dan memukul kami seperti orang kesetanan.Dia berteriak seperti orang gila."Cuma ini yang bisa aku lakukan, hanya dengan cara ini dia akan baik-baik saja.""Aku sudah bersalah padanya, jadi kalian harus mati!"Aku tidak tahu seberapa banyak obat yang disuntikkan ke dalam tubuhku, yang jelas sampai sekarang tubuhku terasa lemas dan tidak berdaya.Tepat saat tongkat Pak Willy hendak menimpaku ....Gilbert tiba-tiba berdiri di hadapanku, sehingga tongkat itu mengenai bagian belakang kepalanya.Gilbert pun menendang Pak Willy kuat-kuat."Gilbert! "Aku menjerit dan memeluk tubuhnya bersimbah darah dari ba
"Tapi, kali ini kamu melakukannya dengan baik.""Janice, aku yakin jalan apa pun yang kamu pilih nanti, kamu pasti bisa melakukannya dengan baik."Aku menepis tangannya dan menyeka air mataku.Aku memasang tampang cemberut dan menjawab, "Nggak perlu!"Aku mau ketemu lagi sama kedua orang gila itu.""Aku mau bertanya langsung sama mereka."Pria itu menatapku dalam-dalam, lalu menghela napas dan mengangguk.Saat aku bertemu lagi dengan Pak Willy dan Bu Cindy, mereka sudah tidak berjaya seperti dulu.Mata mereka merah.Sejak dibawa pergi oleh polisi, semua perbuatan buruk mereka sudah disiarkan di semua platform media.Pak Willy sepertinya tidak terkejut sama sekali dengan kedatanganku.Dia menatapku dan tersenyum mencela diri sendiri."Harusnya dari awal aku bisa menebak akhirnya akan begini. Kamu sama keras kepalanya seperti dia.""Bahkan wajahmu sangat mirip. Kalau gitu, kamu datang untuk membalaskan dendamnya, 'kan? "Aku mengangguk."Jadi tujuanmu bukan demi Melisha."Setelah itu, Wi
Aku menggeleng."Nggak.""Aku yang punya penyakit mental seperti ini nggak cocok jadi polisi. Bisa-bisa sedetik kemudian, malah aku yang membunuh orang.""Teman ayahku benar, jalan hidupku masih panjang.""Aku mau hidup dengan baik supaya ayahku nggak mengkhawatirkanku."Aku menyentuh ujung hidungku yang terasa pedih.Kemudian aku memandang ke kejauhan.Mungkin aku memang harus melihat jauh demi masa depan.Aku dan Gilbert berdiri di bawah matahari terbenam.Kami berdiri diam untuk waktu yang lama, lalu tiba-tiba aku tersenyum.Aku baru berumur 18 tahun, kehidupanku baru dimulai.Ayah, percayalah padaku.Aku pasti akan jadi orang hebat.TambahanSudah tak terhitung berapa kali ayahku dan aku bertengkar bulan ini.Sejak dia menjadi polisi, dia sering lupa menjemputku dari sekolah.Aku sering sampai hampir tertidur di sekolah karena menunggunya.Nah, ini dia ayahku baru datang.Hari ini adalah hari ulang tahunku, tapi aku menunggu sepanjang malam dan ayahku malah datang sambil mengganden
Sebagai perayaan aku menjadi anak mereka, kami pun mengadakan perjamuan yang meriah.Bu Cindy, yang kemarin masih memelukku dalam kondisi terpuruk, kini malah mengizinkanku dibawa pergi oleh orang-orang yang dulu menindasku.Di taman belakang, salah seorang gadis kaya mencubit daguku dan mencibir."Cih, kamu pikir sekarang kamu benar-benar jadi putri orang kaya?""Coba hitung saja sendiri berapa banyak gadis yang Keluarga Camari akui sebagai putri hilang yang sudah ditemukan?"Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, diam membisu.Mungkin karena melihat tingkahku yang seperti seorang pengecut, gadis itu mengeluarkan sebuah botol dari belakang punggungnya.Dia mengguncang botol itu sambil berkata, "Janice, mau coba mainan baruku nggak?"Di label botol itu tertulis 'Asam Sulfat'.Gadis itu menyunggingkan senyum angkuh dan berkata dengan nada provokatif."Oke, kita lihat apa malam ini kamu bisa keluar hidup-hidup dari vila ini."Pernyataanku ini sontak langsung membuat gadis itu murka.Dia me