Waktu bergulir melewati satu persatu aktivitas yang dilakukan Salwa. Jam bergerak menuju angka yang menunjukkan jam pulang sekolah telah tiba. Ia bergegas meninggalkan ruangan. Sambil berjalan ia memesan taksi online. Pun sama, Alisa berjalan cepat sambil memesan taksi yang akan membawanya pulang. Derap kakinya ia percepat, berharap tidak bertemu Salwa di gerbang sekolah.
"Aku antar, Al?" Suara yang amat dikenalnya mampir di telinga. Kenzi dari kelas sebelah jurusan IPA-3 datang menghampirinya."Nggak usah, aku udah pesan taksi, ini udah mau datang," Alisa mempercepat langkah."Kita searah, nggak papa bareng aja," bujuknya."Makasih, Ken, aku naik taksi aja," Alisa bergegas meninggalkan Kenzi yang selalu berusaha untuk mendekatinya.Kenzi mengumpat, "Kenapa susah banget ngedeketin cewek yang satu ini?" batinnya. Ia menatap Alisa yang berlari-lari kecil menuju gerbang. Setelah Alisa menghilang, ia melangkah menuju parkiran menaiki motor kesayangannya, lalu bergerak pulang.Sementara itu, Salwa mempercepat langkah, setelah supir taksi meneleponnya memberi tahu bahwa ia telah tiba. Sebelum tiba di gerbang, langkahnya terhenti karena sebuah mobil membunyikan klakson dan berhenti tepat di sampingnya."Pulang ke mana, Bu?" Andra menyapa ramah lalu meminggirkan mobilnya. Merasa kurang sopan bicara dari dalam mobil ia pun langsung keluar dan berdiri di samping Salwa."Ke rumah," Salwa menjawab polos. Matanya sibuk melihat sekeliling sekolah. Mencari-cari sosok Alisa, siapa tahu ia belum pulang dan bermaksud mengajak pulang bersama."Alamat maksud saya," terang Andra yang memperhatikan gerak-geriknya. Bu Salwa mencari seseorang? tanyanya pula."Ooooooh, Jln. Mawar, No. 27. Enggak kok, aku nggak cari siapa-siapa?" Salwa mencoba tersenyum menutupi kebohongannya."Ooooh. Mau pulang bareng? Biar saya antar walau kita beda arah, Andra melebarkan senyum menawarkan niat baiknya."Oh, Makasih Pak Andra, nggak usah, saya udah pesan taksi, itu sudah datang," Salwa menunjuk ke luar gerbang.“Oooh, saya pikir Bu Salwa masih menunggu, kalau seandainya belum mesan taksi, pulang bareng saya aja,“Makasih atas tawarannya Pak Andra, lain kali saja,“Ya sudah kalau gitu. Hati-hati, Bu,Salwa mengangguk, Mari Pak Andra, saya duluan," ujarnya pamit sambil mengembangkan senyum meninggalkan Andra.“Manis sekali senyum itu," Andra memuji dalam hati.Salwa bergegas memasuki mobil."Dengan Mbak Salwa?" supir taksi bertanya setelah Salwa duduk di belakang."Ya," Salwa menjawab ramah.“Jalan Mawar, kan, Mbak?" Salwa mengangguk tak bersuara.***"Siaaall!!!" Alisa terus menerus memukul kursi mobil dengan geram dan membuat supir tercengang. Bayang-bayang wajah Salwa menari-nari di retinanya. Entah mengapa ia merasa jadi bahan ejekan Salwa. Alisa semakin marah mengapa Salwa harus mengajar di sekolahnya. Apa mungkin Salwa ingin memberi tahu teman-temannya kalau ia punya kakak dari istri pertama papanya? Apa mungkin Salwa datang ingin meminta pembagian harta? Akh, kalau ini bukan masalah baginya. Harta papanya banyak, jika memang harus dibagi itu tidak akan jadi masalah, hal yang paling tidak ia terima adalah, ia punya kakak, sedangkan semua teman-temannya tahu kalau ia anak tunggal dan papanya hanya punya satu istri. Dan hal yang paling dibencinya adalah mengapa papa dan mamanya tidak pernah bercerita kepadanya. Aku punya kakak? Ia mengusuk-ngusuk kepalanya.Pengemudi yang mengendarai mobil menatap Alisa dari kaca mobil. Sesekali ia menggeleng, ingin bertanya segan, ujung-ujungnya ia cukup diam dan menjalankan mobil pelan-pelan.Sudah sampai, Mbak? supir taksi itu menyadarkan lamunan Alisa. Ia membayar taksi lalu segera keluar dan mengucapkan terima kasih. Alisa tiba di depan gerbang, rumah cantik yang berdiri di antara rumah-rumah mewah itu mengajaknya berdiskusi. Ia menghela napas berat sambil menekan bel berkali-kali. Membayangkan ia akan hidup bersama Salwa entah sampai berapa lama.Penjaga rumah mereka, Sardi yang sudah bekerja bertahun-tahun segera membukakan pintu pagar. Nggak dijemput Ibu, Non? tanya lelaki itu. Alisa hanya mengangkat bahu. Sardi tak berkomentar lagi. Biasanya kalau Alisa pulang naik taksi, itu artinya Ratih sibuk di butik, mungkin banyak menghendel pesanan, atau banyak pelanggan yang datang. Atau bisa jadi ia sedang sibuk membuat desain pakaian terbaru.Alisa melangkah gontai, menghitung satu persatu langkahnya menuju pintu rumah. Ketika Narti membuka pintu, wajah lesunya membuat pembantu itu heran."Non Lisa sakit?" rasa khawatir Narti langsung muncul karena dari kecil sudah merawat Alisa."Enggak Bi, Lagi capek aja," Alisa menjawab tak acuh sambil berlalu menuju kamar. “Non Alisa apa masih marah setelah keributan tadi malam?" Narti bertanya sendiri pada dirinya.Selang beberapa waktu, ketika Narti masih membereskan pekerjaan rumah, Salwa tiba. Ia menyapa, "Sore Bi," tegurnya. Narti yang baru meihat Salwa kemarin langsung tersenyum ramah. "Eh, iya, Non…Non," Salwa tertawa melihatnya, "Salwa, Bi," ujarnya. "Eh, iya, Non Salwa. Baru pulang, Non?" tanyanya pula. Salwa mengangguk kemudian berjalan menuju lantai dua.Narti memperhatikan Salwa yang meninggalkannya. Menggeleng-geleng menganggap aneh orang-orang seisi rumah. Bagaimana bisa mereka menyimpan rahasia selama delapan belas tahun, kalau pemilik rumah memiliki seorang anak dari istri pertamanya, yang bahkan ia sendiri tidak tahu meski ia sudah bekerja di rumah itu selama lima belas tahun.Narti melanjutkan pekerjaannya meski di hatinya dari kemarin bertanya-tanya. Ia hanya sempat menguping kalau Salwa adalah anak dari istri pertama. Kenapa baru sekarang Salwa muncul di rumah ini? Ia menggeleng-geleng. Keluarga yang ia kenal adem ayem ini ternyata memiliki rahasia di luar nalar juga. Ia juga mengingat kejadian tadi malam bagaimana sikap Alisa dalam menyambut kehadiran Salwa, ia merasa iba kepada anak majikannya itu, "Pasti Non Alisa nggak terima, kasihan," ia mengangkat bahu sambil berlalu menuju dapur.Sementara itu, Sardi yang bertugas menjadi penjaga rumah, juga merasa heran, hatinya terus bertanya-tanya, Non Salwa ini ibunya di mana? pertanyaan itu muncul setelah ia membukakan gerbang kepada Salwa, Salwa yang ramah langsung menyapanya, "Sore, Pak," ujarnya. Sardi mengangguk, "Iya, Non. Baru pulang?" pertanyaannya juga demikian. Salwa mengiyakan lalu meninggalkannya. Ia juga merasa kaget dengan kehadiran Salwa kemarin sore. Datang dengan menenteng banyak barang, ia menekan bel, ketika gerbang terbuka, ia langsung menyerobot masuk, "Saya ingin bertemu pemilik rumah ini. Mereka di dalam?" tanyanya seolah sudah biasa saja ke rumah itu. Sardi tidak bisa mencegahnya karena jalannya terlalu cepat. Ia mengetuk pintu rumah, ketika Narti membuka pintu, "Tante Ratih ada?" ucapnya langsung masuk. "Tolong bawakan barang-barang saya yang masih berada di luar, sepertinya bapak penjaga gerbang akan kewalahan membawanya," Narti ternganga heran, bahkan berpikir untuk bertanya Anda siapa? saja tidak sempat. Dan bodohnya, ia malah berlari-lari kecil mengambil barang-barang Salwa yang ketinggalan.Pertemuan di meja makan untuk kedua kali membuat Alisa semakin enggan menampakkan diri. Sejak pulang sekolah tadi ia mengurung diri di kamar. “Panggil Alisa, Bi," titah Dandi pada Narti. Narti langsung bergerak menuju lantai atas. Dandi sedikit pusing mencari cara agar Alisa bisa menerima keberadaan Salwa. Ratih yang masih diam menarik napas pelan-pelan, hal yang justru dikhawatirkannya bukanlah penerimaan Salwa di rumah itu. Bukan pula penerimaan Alisa akan kehadiran Salwa sebagai kakaknya. Hal yang mengganggu isi kepalanya adalah bagaimana jika kehadiran Salwa justru ingin membalas dendam kepadanya dengan menjadikan Alisa sebagai tumbal.“Gimana tadi di sekolah?" Ratih ikut membuka percakapan dengan nada yang tenang. Ia ingin terlihat baik dan perhatian di hadapan Salwa. Karena hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar hal-hal buruk yang ada di kepalanya bisa terjeda. "Baik, sangat baik," Salwa menjawab datar. Ia menatap satu persatu menu yang terhidang di atas meja."Kamu suka?" R
Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri.
Ddrrrrrrrrrr! Salwa membelalak melihat ponselnya karena foto Rey terpampang jelas. "Rey," ia berbisik pelan sekaligus heran. "Rey menelepon?” baru dua jam yang lalu ia mengingat Rey dan sekarang Rey muncul di layar ponselnya. Ia ingin mengangkat telepon itu tetapi urung. "Jangan beri tahu Rey kalau kamu pulang ke Jakarta. Mama nggak mau sikap ceroboh Rey menggagalkan rencana mama, Wa," pesan Meysa kembali membayang di ingatan Salwa. Ia menelan ludah. Hampir saja ia membanting ponselnya ke meja, namun ia cepat sadar, ia sedang berada di ruang kerja. Ia hanya menatap ponsel itu sampai getarannya berhenti. Salwa menghela napas berat. Apa yang ia lakukan sekarang tidak sepenuhnya karena keinginannya. Meysa memang menyelamatkannya dari kekejaman Ratih, namun hal yang paling menyakitinya adalah keputusan Dandi waktu itu. Harusnya Dandi tidak membiarkan Meysa membawa pergi Salwa. Harusnya Dandi menahan putrinya itu. Dan demi keselamatan Salwa, harusnya Dandi menceraikan Ratih saja. Namun A
Malam merambat perlahan. Kamar Rey hening sejak teleponnya diabaikan Salwa. Ia ingin bertanya kepada seisi rumah namun enggan dan akhirnya memilih memejam mata. Ia beranggapan nanti Salwa pasti pulang juga kalau memang ia sudah bekerja. Atau bisa jadi Salwa sedang ada urusan di luar rumah.Dengan malas Rey bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Jam 7," ia bicara sendiri.Setelah selesai mandi, Rey berjalan pelan menuruni anak tangga. Dengan memakai celana selutut dan kaos oblong biru langit ia menuju ruang makan. Tak ada panggilan ke kamar. Tak ia dengar teriakan Meysa menyuruhnya datang makan malam, atau Mayang yang mengetuk pintu kamar.Ia tertegun lama ketika melihat Meysa dan Johan sudah duduk dan bersiap-siap menyantap hidangan. Johan memperhatikannya tanpa ada sapaan. Meysa tersenyum, "Ayo, sini, mama udah masak menu kesukaan kamu." Rey gontai, seperti hilang semangat, bukan karena papanya tak berekpresi kaget atau marah karena ia tiba-t
Meysa mengusuk kening, deru napasnya naik turun tak karuan. Sebentar-sebentar duduk, sebentar-sebentar berdiri. Sementara Johan hanya memperhatikan tanpa banyak berkomentar. Kepala Meysa dipenuhi dengan tingkah Rey yang tak memikirkan konsekuensi perbuatannya. Ia mondar-mandir dengan terus berpikir bagaimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore dan tetap bekerja di sana. Meysa menggerutu melihat tingkah Johan yang sama sekali tak peduli."Mas!" suara murka Meysa mengejutkan Johan. Johan yang tadinya sedang memikirkan hal lain langsung merespon Meysa."Mmm, iya,"Meysa mendekati Johan yang duduk bersandar di tempat tidur. "Bantu mikir, Mas, bantu mikir gimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore,"Johan menghela napas. Ia tidak menyalahkan keputusan Rey, namun tidak ingin juga mengecewakan Meysa.“Mas, ngomong! Jangan cuma diam aja," gerutu Meysa kesal."Ini lagi mikir, Mey," Johan diam beberapa saat. “Aku nggak tau meski ngapain, Rey ambil keputusan itu, apa kita harus paks
Salwa menatap ponselnya, membiarkan nomor Rey memanggil tanpa berani untuk mengangkat. Ia terus menghela napas berat. Mengusuk kening, menelentangkan tubuh di tempat tidurnya kemudian duduk lagi. Hal ini berulang kali ia lakukan sampai nomor Rey benar-benar berhenti menghubunginya."Rey nggak salah," ujarnya. Ia meraih ponselnya yang tergelatak di tempat tidur sejak tadi. Ia bermaksud ingin menghubungi Rey. Ia hanya ingin memberi tahu kalau ia sedang berada di luar kota dan sedang tidak ingin diganggu. Setidaknya dengan berbohong demikian Rey tidak perlu mengkhawatirkannya. Baru saja Salwa ingin memanggil nomor Rey, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Ia kaget. "Alisa?” lirihnya. Ia meletakkan kembali ponsel yang ia genggam lalu mengatur duduk dengan posisi tegap agar tidak terlihat aneh."Apa?" tatapan Salwa cuek membuat Alisa merasa kesal. Alisa langsung menyerobot mendekatinya.“Aku masih penasaran dengan kehadiranmu?" tangan Alisa menyilang di dada. Tepat be
Di meja makan pagi ini, mata Alisa terpaut pada tatapan Salwa. Meja makan sebagai penghalang mereka ia tekan dengan kuat. Tangannya belum menyentuh selembar roti yang sudah disiapkan Ratih untuknya. Mata Alisa nyalang, menyiratkan rasa tidak suka terhadap wanita yang berada tepat di hadapannya. Sedangkan Salwa tampak tenang. Ia membalas tatapan Alisa tanpa rasa bersalah, mengunyah roti, lalu meneguk segelas susu hangat yang juga dituang oleh Ratih untuknya.Alisa masih menatap marah, perasaan tidak senangnya ia tunjukkan dengan melukis raut wajah masam. Dandi yang menyaksikan pemandangan tidak enak ini mulai mengusuk kening, berdehem menatap Alisa, memberi isyarat agar Alisa tidak bertingkah demikian.Alisa mulai mengalihkan pandangan, merobek roti yang berada di piringnya, lalu memasukkan ke dalam mulut, mengunyah dengan geram. Ratih hanya menggeleng. Tingkah putrinya yang sudah remaja itu memang sedikit keterlaluan, tapi ia tidak bisa juga menyalahkan. Alisa tentu sangat syok dengan
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tatapan Alisa kosong. Ia menyandarkan tubuh di punggung kursi tanpa ada bicara dengan Dandi. Dandi sendiri tidak tahu harus bicara apa agar tak menambah keruh suasana hati putri kesayangannya. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Bagaimana ia bertemu Ratih, sampai mereka menikah namun tidak membesarkan Salwa dengan baik. Salwa tumbuh dengan baik dalam asuhan Johan dan Meysa, tanpa pernah ia tanyakan bagaimana kabarnya dari tahun ke tahun. Tetapi alasan kedatangan Salwa setelah delapan belas tahun perpisahan mereka membuatnya tak tidur semalaman. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu menyakiti hati putri keduanya. Namun di sisi lain, sungguh ia sangat merindukan Salwa. "Pa, aku ingin tinggal di sini," panggilan Salwa yang sudah tidak ia dengar selama delapan belas tahun ini masih terngiang-ngiang di telinganya.Sementara pikirannya berkecamuk, di mobil lain yang tak berjarak jauh dari mereka, Salwa justru sedang m