Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tatapan Alisa kosong. Ia menyandarkan tubuh di punggung kursi tanpa ada bicara dengan Dandi. Dandi sendiri tidak tahu harus bicara apa agar tak menambah keruh suasana hati putri kesayangannya. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Bagaimana ia bertemu Ratih, sampai mereka menikah namun tidak membesarkan Salwa dengan baik. Salwa tumbuh dengan baik dalam asuhan Johan dan Meysa, tanpa pernah ia tanyakan bagaimana kabarnya dari tahun ke tahun. Tetapi alasan kedatangan Salwa setelah delapan belas tahun perpisahan mereka membuatnya tak tidur semalaman. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu menyakiti hati putri keduanya. Namun di sisi lain, sungguh ia sangat merindukan Salwa. "Pa, aku ingin tinggal di sini," panggilan Salwa yang sudah tidak ia dengar selama delapan belas tahun ini masih terngiang-ngiang di telinganya.
Sementara pikirannya berkecamuk, di mobil lain yang tak berjarak jauh dari mereka, Salwa justru sedang mengatur diri sebaik mungkin. Ia tidak ingin hari pertama di tempat kerjanya ia memberikan kesan yang tidak baik. Kehadirannya di sekolah itu, tentu saja setelah mencari tahu di sekolah mana Alisa menimba ilmu, dan tak lepas dari pengaruh Johan sehingga Salwa langsung diterima."Halo, ma," Salwa menyambut baik telepon pertama di hari ia bekerja. Meysa yang meneleponnya begitu antusias mencari tahu bagaimana pengalaman pertama Salwa di rumah yang sudah ia tinggalkan sejak delapan belas tahun lalu. "Bagaimana respon Ratih, Wa?" Salwa menelan ludah getir, "Tante Ratih terlihat tenang, Ma," Ia menjawab penuh kebohongan. Salwa ingat benar kemarin, saat ia melangkah masuk menenteng banyak barang bawaan, mata bulat Ratih terlihat kaget. Iya, kehadirannya memang tanpa aba-aba. Johan dan Meysa menyiapkannya sematang mungkin. Tidak ada yang memberi tahu lebih dulu. Salwa hadir di rumah itu bersamaan dengan pemberitahuan, "Halo, Pa, Tante Ratih, aku ingin tinggal di rumah ini," kalimat pengantar malam yang begitu mengejutkan. Alisa yang keluar dari kamar menuruni tangga dengan heran. Ia kaget melihat sosok Salwa. Lalu perseteruan penerimaannya berakhir dengan Alisa yang membanting pintu kamar."Bagaimana dengan kerjaan?" Wanita paruh baya yang membesarkannya itu bertanya lagi."Ini Salwa masih di jalan, Ma. Sebentar lagi akan sampai,""Oke, bekerjalah dengan baik, jaga kesehatan, kalau ada masalah dan jika merasa terancam, telepon mama,""Iya, Ma." Salwa menutup telepon sampai menghela napas yang sangat berat. Kehadirannya di rumah karena rancangan dan rencana Meysa begitu sempurna sampai membuatnya merasa sedikit jengah. Namun ia tidak bisa mengabaikan orangtua angkatnya itu, yang membesarkannya dengan baik meski dengan tegas dan sedikit keras hingga ia dewasa seperti saat ini.Setelah menutup telepon, ia fokus pada jalanan, menatap bangunan-bangunan yang berjejer dan laju kendaraan yang berebut ingin cepat sampai. Di depannya yang tak terlalu jauh, mobil yang dibawa Dandi melesat cepat, memburu waktu agar Alisa cepat sampai ke sekolah. Beruntung sekolah Alisa searah dengan kantornya. Sehingga ia tak perlu repot bolak-balik mengantar Alisa lebih dulu baru berangkat kerja.Mobil berhenti, sebelum tepat berada di depan gerbang sekolah. Pintu mobil terbuka pelan, Alisa meninggalkan papanya tanpa berpamit pergi seperti biasa. Ia berlari tergesa-gesa menuju kelas. Dandi masih mematung, duduk di belakang stir dan membuka kaca jendela. Tak lama kemudian mobil yang membawa Salwa juga tiba. Ia membayar taksi, melangkah pelan, lalu menoleh ke mobil yang berada di dekatnya. Canggung, ya, canggung. Meski dari kemarin ia sudah bertemu Dandi di rumah mereka. Namun kali ini, karena hanya mereka berdua perasaan canggung menyeruak.Ia menatap lelaki yang mencintainya itu sebelum ingatan buruk menghantuinya bertahun-tahun. Ia membeku menatap penuh rindu sekaligus benci ketika hanya mata mereka berdua beradu. Sedangkan Dandi, ia menelan ludah pahit. Bibirnya bergetar dan ingin berlari mengejar putri yang dulu begitu amat ia cintai. Ia mengalihkan pandangan. Membiarkan inginnya berlalu. Ia tutup kaca mobil tanpa menegur lebih dulu. Selain rasa bersalah, perasaan malu karena sudah mengabaikan Salwa selama ini justru membuatnya ingin berlalu. Melihat sikap Dandi demikian, Salwa mengambil langkah, melanjutkan gerak kakinya menuju kantor sekolah."Bisa lebih tegar, Wa. Bisa!" Ia menyemangati dirinya sendiri. Deru mobil lelaki pertama dalam hidupnya meninggalkan gerbang, ia tak menatap ke belakang. Pagi cerah begini, malah merusak binar matanya. Namun ia ingin tetap terlihat tenang.Langkah pelannya bergerak lebih cepat setelah menyadari jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk angka yang mengisyaratkan agar segera masuk kelas. Ia berlari-lari kecil sambil mencari di mana letak kantor guru.Beruntung bertemu seseorang, "Maaf, Pak, saya ingin bertanya," napasnya sedikit tersengal, tanpa basa basi ia bertanya lebih dulu kepada lelaki yang berada di hadapannya. Lelaki itu tersenyum."Salwa Arunika?""Mmmm, iya. Kantor?" Salwa membalas dengan bertanya lagi. Lelaki itu menunjukkan arah, Salwa mengucapkan terima kasih kemudian berlalu. Sesampainya di kantor itu, ia menatap ramah kepada orang-orang yang masih berada di sana. "Harusnya ke kantor kepala sekolah lebih dulu," ia menggerutu pada dirinya sendiri."Selamat bergabung Salwa Arunika," seorang guru perempuan berusia empat puluh tahun menatap ramah, namun tidak bergerak dari posisi duduknya. Yang lain juga demikian, "Selamat datang," ucap mereka pula bersamaan. Salwa hanya cengar-cengir disambut demikian, "Ya," balasnya pendek. "Boleh aku duduk?" tanyanya gugup."Ini tempat dudukmu," wanita yang pertama kali menyapanya tadi menunjukkan meja kerja Salwa."Terima kasih, Bu," ucapnya lalu meletakkan tas dan beberapa buku yang dibawanya."Saya izin ke ruang kepala dulu Bapak, Ibu," ucapnya lalu meninggalkan ruangan itu. Salwa tak perlu merasa heran. Johan, ya, pasti ia yang membuat orang-orang seisi kantor berlaku ramah padanya, bahkan sudah mengenal nama lengkapnya. Diperlakukan dengan baik di tempat kerja tentu saja membuatnya harus senang hati, tapi jauh di lubuk hatinya, ia mengutuk campur tangan Johan dan Meysa dalam menentukan pilihan hidupnya. Mulai dari sekolah yang harus ia masuki, jurusan kuliah yang harus ia jalani, sampai pekerjaan yang harus ia pilih. Sungguh ini membuatnya jengah setengah mati. Tetapi, kembali lagi, mereka membesarkannya penuh kasih tanpa pernah menganggapnya anak angkat. Salwa Arunika lahir dari jiwa Meysa yang memang tidak diberi Tuhan lagi karunia keturunan setelah melahirkan Rey. Kasih Meysa tumpah ruah membesarkan Salwa dari usia tujuh tahun dengan penuh cinta.Salwa bergegas menuju kantor kepala sekolah. Ia tetap tenang. Bukankah sejak kecil ia dilatih Meysa menjadi sosok yang tahan banting?Tokk…tokk..tok! Ketukan di daun pintu menyadarkan kesibukan seorang lelaki yang usianya sudah mencapai kepala lima, namun tubuh kekarnya menunjukkan kalau ia masih terlihat muda. "Silakan masuk," suaranya terdengar sangat berwibawa. Salwa membuka pintu, mengangguk penuh takzim. Ia ingat pesan Johan, "Jangan menunjukkan sikap paling pandai atau merasa paling hebat, merendahlah kepada seseorang yang lebih tinggi," Salwa mengangguk kala itu meski nalurinya menolak untuk menghiba kepada seseorang yang tidak semestinya demikian.Ia menatap lelaki itu, di foto terlihat tampan dan pada kenyataannya melebihi itu. Ia terlihat berkharisma, bahkan auranya melebihi Johan, papa angkatnya yang sering ia banggakan di hadapan teman-temannya. Matanya tak berkedip menatap lelaki berusia 52 tahun itu."Silakan duduk,"Salwa tersentak dari rasa kagumnya. Ia mengangguk, melangkah pelan menuju kursi yang berada di seberang lekaki itu duduk."Apa kabar Salwa?"Salwa kikuk, mengapa orang-orang memperlakukannya ramah begini?"Baik, Pak," suaranya terdengar pelan."Tidak perlu gugup, CV kamu sudah saya baca. Sepertinya tidak akan ada masalah." ujar lelaki itu pula.Salma mengangguk. "Saya mulai bekerja hari ini, Pak?" ia bertanya lantang setelah bisa menguasai diri."Ya, wakil kepala bidang akademik sudah mengubah roster agar jadwal masukmu bisa disesuaikan,""Terima kasih, Pak. Maaf, sudah merepotkan,""Oh, tidak perlu minta maaf, kami juga butuh guru baru setelah kepergian Bu Felli,""Iya, Pak. Tetapi saya tetap ingin berterima kasih, kehadiran saya di sini tentu karena kebijakan Bapak yang mau menerima saya," ujarnya merendahkan diri."Oke," Lelaki itu manggut-manggut. "Silakan bersenang-senang dengan pekerjaanmu. Jadilah guru yang baik, yang patut dicontoh, diteladani,"Salwa mengangguk. Ia memberikan kesan terbaik bertemu dengan lelaki itu. Selain sudah mengetahui siapa dirinya, persyaratannya masuk ke sekolah itu juga karena kalimat pengantar dari Johan, dan beberapa berkas yang dibutuhkan juga sudah dikirim online membuatnya tak menerima banyak interview dari orang nomor satu di sekolah itu.Salwa menghirup napas lega usai keluar dari ruangan. Ia bergegas masuk menuju kantor guru dan kembali melirik pergelangan tangan. Ia duduk di meja kerjanya. Sesekali menjawab beberapa pertanyaan dari rekan seprofesinya. Ia tersenyum ramah. Sangat ramah. Senyum yang selalu diajarkan Meysa untuk menarik perhatian orang sekitar meski luka batinnya masih menganga."Sudah tahu jadwal mengajarnya, Bu?" Seseorang bertanya kepada Salwa saat matanya fokus pada chat yang bertubi-tubi masuk ke kota masuk WA. Banyak sekali pesan yang datang. Dari teman kampus, dari komunitas, juga dari Johan, papanya. Dari sekian banyak pesan yang memenuhi kotak masuk tersebut, matanya terfokus pada pesan terakhir yang ia baca.[Wa, aku mau pulang, jangan beri tahu mama,] pesan yang satu ini membuat matanya terbelalak."Bu Salwa, sudah tahu jadwal mengajar?" pertanyaan kedua menghampiri."Mmmm, ya. Setelah jam istirahat ini tiba," Salwa tergagap, ia mengalihkan pandangannya kepada yang bertanya. "Ekh, Anda yang tadi jumpa di depan, bukan?" Ia mengamati wajah yang ada di sampingnya. Lelaki itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan, "Andra Lestari Pratama," ujarnya mengenalkan diri. Salwa tersenyum geli, "Lestari?" tanyanya dengan senyum canda seolah sudah akrab saja. Ia menyambut uluran tangan Andra. "Ya," Andra membalas tersenyum bangga. "Agar aku panjang umur, d
Waktu bergulir melewati satu persatu aktivitas yang dilakukan Salwa. Jam bergerak menuju angka yang menunjukkan jam pulang sekolah telah tiba. Ia bergegas meninggalkan ruangan. Sambil berjalan ia memesan taksi online. Pun sama, Alisa berjalan cepat sambil memesan taksi yang akan membawanya pulang. Derap kakinya ia percepat, berharap tidak bertemu Salwa di gerbang sekolah. "Aku antar, Al?" Suara yang amat dikenalnya mampir di telinga. Kenzi dari kelas sebelah jurusan IPA-3 datang menghampirinya. "Nggak usah, aku udah pesan taksi, ini udah mau datang," Alisa mempercepat langkah."Kita searah, nggak papa bareng aja," bujuknya."Makasih, Ken, aku naik taksi aja," Alisa bergegas meninggalkan Kenzi yang selalu berusaha untuk mendekatinya.Kenzi mengumpat, "Kenapa susah banget ngedeketin cewek yang satu ini?" batinnya. Ia menatap Alisa yang berlari-lari kecil menuju gerbang. Setelah Alisa menghilang, ia melangkah menuju parkiran menaiki motor kesayangannya, lalu bergerak pulang.Sementara
Pertemuan di meja makan untuk kedua kali membuat Alisa semakin enggan menampakkan diri. Sejak pulang sekolah tadi ia mengurung diri di kamar. “Panggil Alisa, Bi," titah Dandi pada Narti. Narti langsung bergerak menuju lantai atas. Dandi sedikit pusing mencari cara agar Alisa bisa menerima keberadaan Salwa. Ratih yang masih diam menarik napas pelan-pelan, hal yang justru dikhawatirkannya bukanlah penerimaan Salwa di rumah itu. Bukan pula penerimaan Alisa akan kehadiran Salwa sebagai kakaknya. Hal yang mengganggu isi kepalanya adalah bagaimana jika kehadiran Salwa justru ingin membalas dendam kepadanya dengan menjadikan Alisa sebagai tumbal.“Gimana tadi di sekolah?" Ratih ikut membuka percakapan dengan nada yang tenang. Ia ingin terlihat baik dan perhatian di hadapan Salwa. Karena hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar hal-hal buruk yang ada di kepalanya bisa terjeda. "Baik, sangat baik," Salwa menjawab datar. Ia menatap satu persatu menu yang terhidang di atas meja."Kamu suka?" R
Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri.
Ddrrrrrrrrrr! Salwa membelalak melihat ponselnya karena foto Rey terpampang jelas. "Rey," ia berbisik pelan sekaligus heran. "Rey menelepon?” baru dua jam yang lalu ia mengingat Rey dan sekarang Rey muncul di layar ponselnya. Ia ingin mengangkat telepon itu tetapi urung. "Jangan beri tahu Rey kalau kamu pulang ke Jakarta. Mama nggak mau sikap ceroboh Rey menggagalkan rencana mama, Wa," pesan Meysa kembali membayang di ingatan Salwa. Ia menelan ludah. Hampir saja ia membanting ponselnya ke meja, namun ia cepat sadar, ia sedang berada di ruang kerja. Ia hanya menatap ponsel itu sampai getarannya berhenti. Salwa menghela napas berat. Apa yang ia lakukan sekarang tidak sepenuhnya karena keinginannya. Meysa memang menyelamatkannya dari kekejaman Ratih, namun hal yang paling menyakitinya adalah keputusan Dandi waktu itu. Harusnya Dandi tidak membiarkan Meysa membawa pergi Salwa. Harusnya Dandi menahan putrinya itu. Dan demi keselamatan Salwa, harusnya Dandi menceraikan Ratih saja. Namun A
Malam merambat perlahan. Kamar Rey hening sejak teleponnya diabaikan Salwa. Ia ingin bertanya kepada seisi rumah namun enggan dan akhirnya memilih memejam mata. Ia beranggapan nanti Salwa pasti pulang juga kalau memang ia sudah bekerja. Atau bisa jadi Salwa sedang ada urusan di luar rumah.Dengan malas Rey bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Jam 7," ia bicara sendiri.Setelah selesai mandi, Rey berjalan pelan menuruni anak tangga. Dengan memakai celana selutut dan kaos oblong biru langit ia menuju ruang makan. Tak ada panggilan ke kamar. Tak ia dengar teriakan Meysa menyuruhnya datang makan malam, atau Mayang yang mengetuk pintu kamar.Ia tertegun lama ketika melihat Meysa dan Johan sudah duduk dan bersiap-siap menyantap hidangan. Johan memperhatikannya tanpa ada sapaan. Meysa tersenyum, "Ayo, sini, mama udah masak menu kesukaan kamu." Rey gontai, seperti hilang semangat, bukan karena papanya tak berekpresi kaget atau marah karena ia tiba-t
Meysa mengusuk kening, deru napasnya naik turun tak karuan. Sebentar-sebentar duduk, sebentar-sebentar berdiri. Sementara Johan hanya memperhatikan tanpa banyak berkomentar. Kepala Meysa dipenuhi dengan tingkah Rey yang tak memikirkan konsekuensi perbuatannya. Ia mondar-mandir dengan terus berpikir bagaimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore dan tetap bekerja di sana. Meysa menggerutu melihat tingkah Johan yang sama sekali tak peduli."Mas!" suara murka Meysa mengejutkan Johan. Johan yang tadinya sedang memikirkan hal lain langsung merespon Meysa."Mmm, iya,"Meysa mendekati Johan yang duduk bersandar di tempat tidur. "Bantu mikir, Mas, bantu mikir gimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore,"Johan menghela napas. Ia tidak menyalahkan keputusan Rey, namun tidak ingin juga mengecewakan Meysa.“Mas, ngomong! Jangan cuma diam aja," gerutu Meysa kesal."Ini lagi mikir, Mey," Johan diam beberapa saat. “Aku nggak tau meski ngapain, Rey ambil keputusan itu, apa kita harus paks
Salwa menatap ponselnya, membiarkan nomor Rey memanggil tanpa berani untuk mengangkat. Ia terus menghela napas berat. Mengusuk kening, menelentangkan tubuh di tempat tidurnya kemudian duduk lagi. Hal ini berulang kali ia lakukan sampai nomor Rey benar-benar berhenti menghubunginya."Rey nggak salah," ujarnya. Ia meraih ponselnya yang tergelatak di tempat tidur sejak tadi. Ia bermaksud ingin menghubungi Rey. Ia hanya ingin memberi tahu kalau ia sedang berada di luar kota dan sedang tidak ingin diganggu. Setidaknya dengan berbohong demikian Rey tidak perlu mengkhawatirkannya. Baru saja Salwa ingin memanggil nomor Rey, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Ia kaget. "Alisa?” lirihnya. Ia meletakkan kembali ponsel yang ia genggam lalu mengatur duduk dengan posisi tegap agar tidak terlihat aneh."Apa?" tatapan Salwa cuek membuat Alisa merasa kesal. Alisa langsung menyerobot mendekatinya.“Aku masih penasaran dengan kehadiranmu?" tangan Alisa menyilang di dada. Tepat be