Home / Romansa / Pembalasan Dendam Wanita Terbuang / Bab 2 Hari Pertama Kerja

Share

Bab 2 Hari Pertama Kerja

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tatapan Alisa kosong. Ia menyandarkan tubuh di punggung kursi tanpa ada bicara dengan Dandi. Dandi sendiri tidak tahu harus bicara apa agar tak menambah keruh suasana hati putri kesayangannya. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Bagaimana ia bertemu Ratih, sampai mereka menikah namun tidak membesarkan Salwa dengan baik. Salwa tumbuh dengan baik dalam asuhan Johan dan Meysa, tanpa pernah ia tanyakan bagaimana kabarnya dari tahun ke tahun. Tetapi alasan kedatangan Salwa setelah delapan belas tahun perpisahan mereka membuatnya tak tidur semalaman. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu menyakiti hati putri keduanya. Namun di sisi lain, sungguh ia sangat merindukan Salwa. "Pa, aku ingin tinggal di sini," panggilan Salwa yang sudah tidak ia dengar selama delapan belas tahun ini masih terngiang-ngiang di telinganya.

Sementara pikirannya berkecamuk, di mobil lain yang tak berjarak jauh dari mereka, Salwa justru sedang mengatur diri sebaik mungkin. Ia tidak ingin hari pertama di tempat kerjanya ia memberikan kesan yang tidak baik. Kehadirannya di sekolah itu, tentu saja setelah mencari tahu di sekolah mana Alisa menimba ilmu, dan tak lepas dari pengaruh Johan sehingga Salwa langsung diterima.

"Halo, ma," Salwa menyambut baik telepon pertama di hari ia bekerja. Meysa yang meneleponnya begitu antusias mencari tahu bagaimana pengalaman pertama Salwa di rumah yang sudah ia tinggalkan sejak delapan belas tahun lalu. "Bagaimana respon Ratih, Wa?" Salwa menelan ludah getir, "Tante Ratih terlihat tenang, Ma," Ia menjawab penuh kebohongan. Salwa ingat benar kemarin, saat ia melangkah masuk menenteng banyak barang bawaan, mata bulat Ratih terlihat kaget. Iya, kehadirannya memang tanpa aba-aba. Johan dan Meysa menyiapkannya sematang mungkin. Tidak ada yang memberi tahu lebih dulu. Salwa hadir di rumah itu bersamaan dengan pemberitahuan, "Halo, Pa, Tante Ratih, aku ingin tinggal di rumah ini," kalimat pengantar malam yang begitu mengejutkan. Alisa yang keluar dari kamar menuruni tangga dengan heran. Ia kaget melihat sosok Salwa. Lalu perseteruan penerimaannya berakhir dengan Alisa yang membanting pintu kamar.

"Bagaimana dengan kerjaan?" Wanita paruh baya yang membesarkannya itu bertanya lagi.

"Ini Salwa masih di jalan, Ma. Sebentar lagi akan sampai,"

"Oke, bekerjalah dengan baik, jaga kesehatan, kalau ada masalah dan jika merasa terancam, telepon mama,"

"Iya, Ma." Salwa menutup telepon sampai menghela napas yang sangat berat. Kehadirannya di rumah karena rancangan dan rencana Meysa begitu sempurna sampai membuatnya merasa sedikit jengah. Namun ia tidak bisa mengabaikan orangtua angkatnya itu, yang membesarkannya dengan baik meski dengan tegas dan sedikit keras hingga ia dewasa seperti saat ini.

Setelah menutup telepon, ia fokus pada jalanan, menatap bangunan-bangunan yang berjejer dan laju kendaraan yang berebut ingin cepat sampai. Di depannya yang tak terlalu jauh, mobil yang dibawa Dandi melesat cepat, memburu waktu agar Alisa cepat sampai ke sekolah. Beruntung sekolah Alisa searah dengan kantornya. Sehingga ia tak perlu repot bolak-balik mengantar Alisa lebih dulu baru berangkat kerja.

Mobil berhenti, sebelum tepat berada di depan gerbang sekolah. Pintu mobil terbuka pelan, Alisa meninggalkan papanya tanpa berpamit pergi seperti biasa. Ia berlari tergesa-gesa menuju kelas. Dandi masih mematung, duduk di belakang stir dan membuka kaca jendela. Tak lama kemudian mobil yang membawa Salwa juga tiba. Ia membayar taksi, melangkah pelan, lalu menoleh ke mobil yang berada di dekatnya. Canggung, ya, canggung. Meski dari kemarin ia sudah bertemu Dandi di rumah mereka. Namun kali ini, karena hanya mereka berdua perasaan canggung menyeruak.

Ia menatap lelaki yang mencintainya itu sebelum ingatan buruk menghantuinya bertahun-tahun. Ia membeku menatap penuh rindu sekaligus benci ketika hanya mata mereka berdua beradu. Sedangkan Dandi, ia menelan ludah pahit. Bibirnya bergetar dan ingin berlari mengejar putri yang dulu begitu amat ia cintai. Ia mengalihkan pandangan. Membiarkan inginnya berlalu. Ia tutup kaca mobil tanpa menegur lebih dulu. Selain rasa bersalah, perasaan malu karena sudah mengabaikan Salwa selama ini justru membuatnya ingin berlalu. Melihat sikap Dandi demikian, Salwa mengambil langkah, melanjutkan gerak kakinya menuju kantor sekolah.

"Bisa lebih tegar, Wa. Bisa!" Ia menyemangati dirinya sendiri. Deru mobil lelaki pertama dalam hidupnya meninggalkan gerbang, ia tak menatap ke belakang. Pagi cerah begini, malah merusak binar matanya. Namun ia ingin tetap terlihat tenang.

Langkah pelannya bergerak lebih cepat setelah menyadari jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk angka yang mengisyaratkan agar segera masuk kelas. Ia berlari-lari kecil sambil mencari di mana letak kantor guru.

Beruntung bertemu seseorang, "Maaf, Pak, saya ingin bertanya," napasnya sedikit tersengal, tanpa basa basi ia bertanya lebih dulu kepada lelaki yang berada di hadapannya. Lelaki itu tersenyum.

"Salwa Arunika?"

"Mmmm, iya. Kantor?" Salwa membalas dengan bertanya lagi. Lelaki itu menunjukkan arah, Salwa mengucapkan terima kasih kemudian berlalu. Sesampainya di kantor itu, ia menatap ramah kepada orang-orang yang masih berada di sana. "Harusnya ke kantor kepala sekolah lebih dulu," ia menggerutu pada dirinya sendiri.

"Selamat bergabung Salwa Arunika," seorang guru perempuan berusia empat puluh tahun menatap ramah, namun tidak bergerak dari posisi duduknya. Yang lain juga demikian, "Selamat datang," ucap mereka pula bersamaan. Salwa hanya cengar-cengir disambut demikian, "Ya," balasnya pendek. "Boleh aku duduk?" tanyanya gugup.

"Ini tempat dudukmu," wanita yang pertama kali menyapanya tadi menunjukkan meja kerja Salwa.

"Terima kasih, Bu," ucapnya lalu meletakkan tas dan beberapa buku yang dibawanya.

"Saya izin ke ruang kepala dulu Bapak, Ibu," ucapnya lalu meninggalkan ruangan itu. Salwa tak perlu merasa heran. Johan, ya, pasti ia yang membuat orang-orang seisi kantor berlaku ramah padanya, bahkan sudah mengenal nama lengkapnya. Diperlakukan dengan baik di tempat kerja tentu saja membuatnya harus senang hati, tapi jauh di lubuk hatinya, ia mengutuk campur tangan Johan dan Meysa dalam menentukan pilihan hidupnya. Mulai dari sekolah yang harus ia masuki, jurusan kuliah yang harus ia jalani, sampai pekerjaan yang harus ia pilih. Sungguh ini membuatnya jengah setengah mati. Tetapi, kembali lagi, mereka membesarkannya penuh kasih tanpa pernah menganggapnya anak angkat. Salwa Arunika lahir dari jiwa Meysa yang memang tidak diberi Tuhan lagi karunia keturunan setelah melahirkan Rey. Kasih Meysa tumpah ruah membesarkan Salwa dari usia tujuh tahun dengan penuh cinta.

Salwa bergegas menuju kantor kepala sekolah. Ia tetap tenang. Bukankah sejak kecil ia dilatih Meysa menjadi sosok yang tahan banting?

Tokk…tokk..tok! Ketukan di daun pintu menyadarkan kesibukan seorang lelaki yang usianya sudah mencapai kepala lima, namun tubuh kekarnya menunjukkan kalau ia masih terlihat muda. "Silakan masuk," suaranya terdengar sangat berwibawa. Salwa membuka pintu, mengangguk penuh takzim. Ia ingat pesan Johan, "Jangan menunjukkan sikap paling pandai atau merasa paling hebat, merendahlah kepada seseorang yang lebih tinggi," Salwa mengangguk kala itu meski nalurinya menolak untuk menghiba kepada seseorang yang tidak semestinya demikian.

Ia menatap lelaki itu, di foto terlihat tampan dan pada kenyataannya melebihi itu. Ia terlihat berkharisma, bahkan auranya melebihi Johan, papa angkatnya yang sering ia banggakan di hadapan teman-temannya. Matanya tak berkedip menatap lelaki berusia 52 tahun itu.

"Silakan duduk,"

Salwa tersentak dari rasa kagumnya. Ia mengangguk, melangkah pelan menuju kursi yang berada di seberang lekaki itu duduk.

"Apa kabar Salwa?"

Salwa kikuk, mengapa orang-orang memperlakukannya ramah begini?

"Baik, Pak," suaranya terdengar pelan.

"Tidak perlu gugup, CV kamu sudah saya baca. Sepertinya tidak akan ada masalah." ujar lelaki itu pula.

Salma mengangguk. "Saya mulai bekerja hari ini, Pak?" ia bertanya lantang setelah bisa menguasai diri.

"Ya, wakil kepala bidang akademik sudah mengubah roster agar jadwal masukmu bisa disesuaikan,"

"Terima kasih, Pak. Maaf, sudah merepotkan,"

"Oh, tidak perlu minta maaf, kami juga butuh guru baru setelah kepergian Bu Felli,"

"Iya, Pak. Tetapi saya tetap ingin berterima kasih, kehadiran saya di sini tentu karena kebijakan Bapak yang mau menerima saya," ujarnya merendahkan diri.

"Oke," Lelaki itu manggut-manggut. "Silakan bersenang-senang dengan pekerjaanmu. Jadilah guru yang baik, yang patut dicontoh, diteladani,"

Salwa mengangguk. Ia memberikan kesan terbaik bertemu dengan lelaki itu. Selain sudah mengetahui siapa dirinya, persyaratannya masuk ke sekolah itu juga karena kalimat pengantar dari Johan, dan beberapa berkas yang dibutuhkan juga sudah dikirim online membuatnya tak menerima banyak interview dari orang nomor satu di sekolah itu.

Salwa menghirup napas lega usai keluar dari ruangan. Ia bergegas masuk menuju kantor guru dan kembali melirik pergelangan tangan. Ia duduk di meja kerjanya. Sesekali menjawab beberapa pertanyaan dari rekan seprofesinya. Ia tersenyum ramah. Sangat ramah. Senyum yang selalu diajarkan Meysa untuk menarik perhatian orang sekitar meski luka batinnya masih menganga.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Andriani Keumala
Semangat ya kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status