"Sudah tahu jadwal mengajarnya, Bu?" Seseorang bertanya kepada Salwa saat matanya fokus pada chat yang bertubi-tubi masuk ke kota masuk WA. Banyak sekali pesan yang datang. Dari teman kampus, dari komunitas, juga dari Johan, papanya. Dari sekian banyak pesan yang memenuhi kotak masuk tersebut, matanya terfokus pada pesan terakhir yang ia baca.
[Wa, aku mau pulang, jangan beri tahu mama,] pesan yang satu ini membuat matanya terbelalak."Bu Salwa, sudah tahu jadwal mengajar?" pertanyaan kedua menghampiri."Mmmm, ya. Setelah jam istirahat ini tiba," Salwa tergagap, ia mengalihkan pandangannya kepada yang bertanya. "Ekh, Anda yang tadi jumpa di depan, bukan?" Ia mengamati wajah yang ada di sampingnya. Lelaki itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan, "Andra Lestari Pratama," ujarnya mengenalkan diri. Salwa tersenyum geli, "Lestari?" tanyanya dengan senyum canda seolah sudah akrab saja. Ia menyambut uluran tangan Andra. "Ya," Andra membalas tersenyum bangga. "Agar aku panjang umur, doa orangtua," sambungnya. Salwa terkekeh."Orang-orang selalu tertawa ketika aku memperkenalkan diri, kamu juga ternyata," lanjutnya pula."Beberapa orang menyematkan nama Lestari pada wanita, karena kamu seorang lelaki aku merasa ini sedikit aneh, maaf, jika kamu tersinggung," "Aku tidak tersinggung Bu Salwa, selamat bergabung di sekolah ini, semoga betah," kemudian Andra melepaskan genggaman tangannya."Ya," Salwa membalas singkat kemudian melanjutkan aktivitasnya. Membalas pesan satu persatu, tapi tidak dengan pesan terakhir. Ia hanya membacanya saja.Bel masuk setelah istirahat berbunyi. Siswa-siswi berlarian menuju kelas untuk melanjutkan pelajaran. Salwa melihat roster yang sudah ia tempelkan di mejanya. "XI IPS-1," ujarnya setengah berbisik. "Lantai 3 paling ujung sebelah kanan setelah naik tangga," Andra menjelaskan tanpa diminta. "Oke, terima kasih," Salwa mengembangkan senyum. Ia melangkah cepat menuju kelas pertamanya.Suara ketukan sepatu mendekati pintu kelas. Tiga puluh siswa penghuni ruangan itu mulai mengatur posisi duduk dengan tenang. Meski tidak terkenal bandel, namun ada beberapa orang yang bernyali membuat keributan."Sssssttttttt, jangan ribut, guru baru akan masuk menggantikan Bu Felli," suara Bagas selaku ketua kelas mengisyaratkan agar teman-temannya itu kembali tenang."Assalamualaikum, selamat pagi menjelang siang," ketukan sepatu dan suara nyaring Salwa beriringan masuk menuju meja guru."Waalaikumsalam wr.wb," jawaban salam bergemuruh dari siswa-siswi yang terkenal dengan pemilik wajah-wajah tampan itu. Mereka berjumlah tiga puluh didominasi lebih banyak oleh siswa laki-laki. Salwa menebar senyum, bermaksud ingin memperkenalkan diri."Cantik," bisik Bagas kepada Farel."Masih muda," ucap Shinta kepada Jenny."Fresh graduation," ujar Lily.Mereka sibuk berbisik-bisik. Postur tubuh ideal Salwa membuat mereka terpukau, sekalipun di sekolah itu banyak juga guru-guru muda. Namun yang berdiri di hadapan mereka saat ini lebih menarik dari sosok yang biasa mereka lihat di sekolah itu. Akh, mungkin hanya karena guru baru."Perkenalkan ananda sekalian, saya guru...,""Guru baru yang akan menggantikan Bu Felli," Salah satu siswa memotong ucapan Salwa."Saya guru baru yang akan menggantikan Bu Felli, perkenalkan, nama saya..." Salwa berjalan menuju papan tulis, menulis namanya dengan huruf kapital menunjukkan rasa percaya diri yang sangat tinggi. "Salwa Arunika Hermawan, M. Pd,""M. Pd?" Seisi kelas berbisik-bisik, mereka mengira Salwa hanyalah lulusan S-1 yang baru saja selesai wisuda. Perkiraan itu muncul karena melihat perawakannya yang terlihat masih sangat muda."Kamu benar, Ly, fresh graduation S-2," cibir Jenny pada Lily.Untuk kedua kali mereka terpukau, bukan hanya karena gelar S-2 nya, tetapi juga respon tak pedulinya kepada Arga yang menyela ucapannya.Di saat Salwa memperkenalkan diri, justru di sudut kelas ada gadis remaja yang sedang menekur dengan wajah memerah. Sungguh ia tidak menyangka jika Salwa wanita yang baru saja dibencinya akan bertemu dengannya di kelas itu.Salwa menatap seisi kelas. Ia mengedarkan pandangan mencari tahu posisi duduk Alisa. Ia tersenyum menemukan gadis itu."Yang di belakang paling sudut, angkat kepalamu!" Salwa menyentakkan rasa tidak acuh Alisa. Sigap ia menampakkan wajah senang. Sebagai pemegang peringkat 1 di kelas itu, dan menjabat sebagai sekretaris OSIS membuatnya harus tampak tenang dan tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Maaf, Bu," dengan terbata ia menyampaikan kalimat itu.Salwa tersenyum, satu kemenangan ia hitung di hatinya. "Kamu akan kalah, Al," bisiknya. Ia melanjutkan perkenalan dirinya. Menceritakan pengalaman pendidikan dan tempat asalnya."Kalian kakak adik?" Laras siswa terkocak di kelas itu menoleh kepada Alisa, sontak Alisa menoyor kepalanya."Jangan sembarangan bicara," mata Alisa menyipit melayangkan protes."Salwa Arunika Hermawan. Alisa Jingga Hermawan. Ayah kalian Dandi Hermawan,"Alisa menendang kaki kursi Laras. "Larasati Pratama juga tidak kakak beradik dengan Andra Lestari Pratama," ujarnya membela diri."Hehee," Laras jadi cengengesan. "Benar juga," lanjutnya saat sadar kalau namanya pun mirip dengan salah satu guru di sekolah itu.Salwa melanjutkan perkenalan dirinya. Hari ini, di kelas pertamanya, Salwa menghabiskan waktu 90 menit hanya untuk bercerita panjang lebar tentang dirinya, prinsip-prinsip yang ia pegang, motivasinya menjalani hidup. Di sela cerita panjangnya, seseorang bertanya. "Motivasi ibu mengajar di sekolah ini apa? Bukankah peluang jadi dosen lebih bagus mengingat ibu yang baru saja menyelesaikan S-2?" Tahu siapa yang bertanya? Alisa Jingga Hermawan.Salwa tersenyum mendengar pertanyaan yang memang sudah ia siapkan jawabannya. Namun jawaban yang ia berikan tergantung siapa yang bertanya. "Karena di sekolah ini ada kamu," ucapnya santai. Kemudian ia menatap lama wajah Alisa yang menantang di kursi belakang."Ciiiiiieeee," spontan seisi kelas meledek Alisa."Kebohongan macam apa itu?" lirih Alisa. Ia sama sekali tak menggubris ledekan teman-temannya.Laras menoleh kembali padanya. "Hal demikian tidak perlu ditanyakan," bisik Laras.Alisa tak berkomentar, dalam hatinya sumpah serapah sedang bergejolak."Tapi jadi pertanyaan juga sih, kenapa Bu Salwa milih sekolah ini? Bukannya milih jadi dosen," kilah Jenny yang mendengar percakapan Laras dan Alisa."Apa jangan-jangan beliau tidak punya nyali untuk berhadapan dengan mahasiswa?" celetuk Laras lagi."Bisa jadi," ujar Jenny.Mereka lanjut mendengarkan cerita Salwa. "Apa motivasi Ibu mengajar di sekolah ini?" Bagas ikut bertanya-tanya, namun jawaban candaan yang keluar dari bibir Salwa membuatnya urung menyampaikan pertanyaan. Jawaban candaan? Tidak! Jawaban yang diberikan Salwa adalah jawaban yang sebenarnya. Tapi sungguh, seisi kelas menganggap Salwa sedang bergurau. Untuk sebuah pertanyaan demikian, tentu saja jawaban sebenarnya adalah karena merasa terpanggil untuk menjadi seorang guru, atau karena sekolah itu memang sedang butuh sehingga kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Salwa.Waktu bergulir begitu cepat. Salwa keluar dari kelas usai jam masuknya selesai. Menyadari hal itu, Alisa menghela napas lega setelah Salwa menghilang dari balik pintu."Hebat!" Tepuk tangan Bagas dan Arga bergema. "Dua jam pelajaran, kita hanya mendengarkan pengalamannya. Lihat gaya bicaranya, sombong sekali. Seolah ia yang paling pintar di dunia ini." ujar Arga yang merasa kesal karena respon Salwa menganggapnya tak ada ketika ia menyela kalimat Salwa tadi."Ha, dia berkharisma," ucap Bagas sambil menepuk pundak Arga."Kamu mengaguminya?" selidik Arga."Sepertinya begitu," pungkasnya.Arga manggut-manggut. Padahal isi kepalanya menggeleng melihat tutur bahasa Salwa, gerak-geriknya dan cara berjalannya. Semuanya seolah sudah ditata, diatur seapik mungkin agar terlihat sempurna."Percayalah, ia palsu," ucap Arga asal bicara.Waktu bergulir melewati satu persatu aktivitas yang dilakukan Salwa. Jam bergerak menuju angka yang menunjukkan jam pulang sekolah telah tiba. Ia bergegas meninggalkan ruangan. Sambil berjalan ia memesan taksi online. Pun sama, Alisa berjalan cepat sambil memesan taksi yang akan membawanya pulang. Derap kakinya ia percepat, berharap tidak bertemu Salwa di gerbang sekolah. "Aku antar, Al?" Suara yang amat dikenalnya mampir di telinga. Kenzi dari kelas sebelah jurusan IPA-3 datang menghampirinya. "Nggak usah, aku udah pesan taksi, ini udah mau datang," Alisa mempercepat langkah."Kita searah, nggak papa bareng aja," bujuknya."Makasih, Ken, aku naik taksi aja," Alisa bergegas meninggalkan Kenzi yang selalu berusaha untuk mendekatinya.Kenzi mengumpat, "Kenapa susah banget ngedeketin cewek yang satu ini?" batinnya. Ia menatap Alisa yang berlari-lari kecil menuju gerbang. Setelah Alisa menghilang, ia melangkah menuju parkiran menaiki motor kesayangannya, lalu bergerak pulang.Sementara
Pertemuan di meja makan untuk kedua kali membuat Alisa semakin enggan menampakkan diri. Sejak pulang sekolah tadi ia mengurung diri di kamar. “Panggil Alisa, Bi," titah Dandi pada Narti. Narti langsung bergerak menuju lantai atas. Dandi sedikit pusing mencari cara agar Alisa bisa menerima keberadaan Salwa. Ratih yang masih diam menarik napas pelan-pelan, hal yang justru dikhawatirkannya bukanlah penerimaan Salwa di rumah itu. Bukan pula penerimaan Alisa akan kehadiran Salwa sebagai kakaknya. Hal yang mengganggu isi kepalanya adalah bagaimana jika kehadiran Salwa justru ingin membalas dendam kepadanya dengan menjadikan Alisa sebagai tumbal.“Gimana tadi di sekolah?" Ratih ikut membuka percakapan dengan nada yang tenang. Ia ingin terlihat baik dan perhatian di hadapan Salwa. Karena hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar hal-hal buruk yang ada di kepalanya bisa terjeda. "Baik, sangat baik," Salwa menjawab datar. Ia menatap satu persatu menu yang terhidang di atas meja."Kamu suka?" R
Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri.
Ddrrrrrrrrrr! Salwa membelalak melihat ponselnya karena foto Rey terpampang jelas. "Rey," ia berbisik pelan sekaligus heran. "Rey menelepon?” baru dua jam yang lalu ia mengingat Rey dan sekarang Rey muncul di layar ponselnya. Ia ingin mengangkat telepon itu tetapi urung. "Jangan beri tahu Rey kalau kamu pulang ke Jakarta. Mama nggak mau sikap ceroboh Rey menggagalkan rencana mama, Wa," pesan Meysa kembali membayang di ingatan Salwa. Ia menelan ludah. Hampir saja ia membanting ponselnya ke meja, namun ia cepat sadar, ia sedang berada di ruang kerja. Ia hanya menatap ponsel itu sampai getarannya berhenti. Salwa menghela napas berat. Apa yang ia lakukan sekarang tidak sepenuhnya karena keinginannya. Meysa memang menyelamatkannya dari kekejaman Ratih, namun hal yang paling menyakitinya adalah keputusan Dandi waktu itu. Harusnya Dandi tidak membiarkan Meysa membawa pergi Salwa. Harusnya Dandi menahan putrinya itu. Dan demi keselamatan Salwa, harusnya Dandi menceraikan Ratih saja. Namun A
Malam merambat perlahan. Kamar Rey hening sejak teleponnya diabaikan Salwa. Ia ingin bertanya kepada seisi rumah namun enggan dan akhirnya memilih memejam mata. Ia beranggapan nanti Salwa pasti pulang juga kalau memang ia sudah bekerja. Atau bisa jadi Salwa sedang ada urusan di luar rumah.Dengan malas Rey bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Jam 7," ia bicara sendiri.Setelah selesai mandi, Rey berjalan pelan menuruni anak tangga. Dengan memakai celana selutut dan kaos oblong biru langit ia menuju ruang makan. Tak ada panggilan ke kamar. Tak ia dengar teriakan Meysa menyuruhnya datang makan malam, atau Mayang yang mengetuk pintu kamar.Ia tertegun lama ketika melihat Meysa dan Johan sudah duduk dan bersiap-siap menyantap hidangan. Johan memperhatikannya tanpa ada sapaan. Meysa tersenyum, "Ayo, sini, mama udah masak menu kesukaan kamu." Rey gontai, seperti hilang semangat, bukan karena papanya tak berekpresi kaget atau marah karena ia tiba-t
Meysa mengusuk kening, deru napasnya naik turun tak karuan. Sebentar-sebentar duduk, sebentar-sebentar berdiri. Sementara Johan hanya memperhatikan tanpa banyak berkomentar. Kepala Meysa dipenuhi dengan tingkah Rey yang tak memikirkan konsekuensi perbuatannya. Ia mondar-mandir dengan terus berpikir bagaimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore dan tetap bekerja di sana. Meysa menggerutu melihat tingkah Johan yang sama sekali tak peduli."Mas!" suara murka Meysa mengejutkan Johan. Johan yang tadinya sedang memikirkan hal lain langsung merespon Meysa."Mmm, iya,"Meysa mendekati Johan yang duduk bersandar di tempat tidur. "Bantu mikir, Mas, bantu mikir gimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore,"Johan menghela napas. Ia tidak menyalahkan keputusan Rey, namun tidak ingin juga mengecewakan Meysa.“Mas, ngomong! Jangan cuma diam aja," gerutu Meysa kesal."Ini lagi mikir, Mey," Johan diam beberapa saat. “Aku nggak tau meski ngapain, Rey ambil keputusan itu, apa kita harus paks
Salwa menatap ponselnya, membiarkan nomor Rey memanggil tanpa berani untuk mengangkat. Ia terus menghela napas berat. Mengusuk kening, menelentangkan tubuh di tempat tidurnya kemudian duduk lagi. Hal ini berulang kali ia lakukan sampai nomor Rey benar-benar berhenti menghubunginya."Rey nggak salah," ujarnya. Ia meraih ponselnya yang tergelatak di tempat tidur sejak tadi. Ia bermaksud ingin menghubungi Rey. Ia hanya ingin memberi tahu kalau ia sedang berada di luar kota dan sedang tidak ingin diganggu. Setidaknya dengan berbohong demikian Rey tidak perlu mengkhawatirkannya. Baru saja Salwa ingin memanggil nomor Rey, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Ia kaget. "Alisa?” lirihnya. Ia meletakkan kembali ponsel yang ia genggam lalu mengatur duduk dengan posisi tegap agar tidak terlihat aneh."Apa?" tatapan Salwa cuek membuat Alisa merasa kesal. Alisa langsung menyerobot mendekatinya.“Aku masih penasaran dengan kehadiranmu?" tangan Alisa menyilang di dada. Tepat be
Di meja makan pagi ini, mata Alisa terpaut pada tatapan Salwa. Meja makan sebagai penghalang mereka ia tekan dengan kuat. Tangannya belum menyentuh selembar roti yang sudah disiapkan Ratih untuknya. Mata Alisa nyalang, menyiratkan rasa tidak suka terhadap wanita yang berada tepat di hadapannya. Sedangkan Salwa tampak tenang. Ia membalas tatapan Alisa tanpa rasa bersalah, mengunyah roti, lalu meneguk segelas susu hangat yang juga dituang oleh Ratih untuknya.Alisa masih menatap marah, perasaan tidak senangnya ia tunjukkan dengan melukis raut wajah masam. Dandi yang menyaksikan pemandangan tidak enak ini mulai mengusuk kening, berdehem menatap Alisa, memberi isyarat agar Alisa tidak bertingkah demikian.Alisa mulai mengalihkan pandangan, merobek roti yang berada di piringnya, lalu memasukkan ke dalam mulut, mengunyah dengan geram. Ratih hanya menggeleng. Tingkah putrinya yang sudah remaja itu memang sedikit keterlaluan, tapi ia tidak bisa juga menyalahkan. Alisa tentu sangat syok dengan
Salwa menatap ponselnya, membiarkan nomor Rey memanggil tanpa berani untuk mengangkat. Ia terus menghela napas berat. Mengusuk kening, menelentangkan tubuh di tempat tidurnya kemudian duduk lagi. Hal ini berulang kali ia lakukan sampai nomor Rey benar-benar berhenti menghubunginya."Rey nggak salah," ujarnya. Ia meraih ponselnya yang tergelatak di tempat tidur sejak tadi. Ia bermaksud ingin menghubungi Rey. Ia hanya ingin memberi tahu kalau ia sedang berada di luar kota dan sedang tidak ingin diganggu. Setidaknya dengan berbohong demikian Rey tidak perlu mengkhawatirkannya. Baru saja Salwa ingin memanggil nomor Rey, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Ia kaget. "Alisa?” lirihnya. Ia meletakkan kembali ponsel yang ia genggam lalu mengatur duduk dengan posisi tegap agar tidak terlihat aneh."Apa?" tatapan Salwa cuek membuat Alisa merasa kesal. Alisa langsung menyerobot mendekatinya.“Aku masih penasaran dengan kehadiranmu?" tangan Alisa menyilang di dada. Tepat be
Meysa mengusuk kening, deru napasnya naik turun tak karuan. Sebentar-sebentar duduk, sebentar-sebentar berdiri. Sementara Johan hanya memperhatikan tanpa banyak berkomentar. Kepala Meysa dipenuhi dengan tingkah Rey yang tak memikirkan konsekuensi perbuatannya. Ia mondar-mandir dengan terus berpikir bagaimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore dan tetap bekerja di sana. Meysa menggerutu melihat tingkah Johan yang sama sekali tak peduli."Mas!" suara murka Meysa mengejutkan Johan. Johan yang tadinya sedang memikirkan hal lain langsung merespon Meysa."Mmm, iya,"Meysa mendekati Johan yang duduk bersandar di tempat tidur. "Bantu mikir, Mas, bantu mikir gimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore,"Johan menghela napas. Ia tidak menyalahkan keputusan Rey, namun tidak ingin juga mengecewakan Meysa.“Mas, ngomong! Jangan cuma diam aja," gerutu Meysa kesal."Ini lagi mikir, Mey," Johan diam beberapa saat. “Aku nggak tau meski ngapain, Rey ambil keputusan itu, apa kita harus paks
Malam merambat perlahan. Kamar Rey hening sejak teleponnya diabaikan Salwa. Ia ingin bertanya kepada seisi rumah namun enggan dan akhirnya memilih memejam mata. Ia beranggapan nanti Salwa pasti pulang juga kalau memang ia sudah bekerja. Atau bisa jadi Salwa sedang ada urusan di luar rumah.Dengan malas Rey bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Jam 7," ia bicara sendiri.Setelah selesai mandi, Rey berjalan pelan menuruni anak tangga. Dengan memakai celana selutut dan kaos oblong biru langit ia menuju ruang makan. Tak ada panggilan ke kamar. Tak ia dengar teriakan Meysa menyuruhnya datang makan malam, atau Mayang yang mengetuk pintu kamar.Ia tertegun lama ketika melihat Meysa dan Johan sudah duduk dan bersiap-siap menyantap hidangan. Johan memperhatikannya tanpa ada sapaan. Meysa tersenyum, "Ayo, sini, mama udah masak menu kesukaan kamu." Rey gontai, seperti hilang semangat, bukan karena papanya tak berekpresi kaget atau marah karena ia tiba-t
Ddrrrrrrrrrr! Salwa membelalak melihat ponselnya karena foto Rey terpampang jelas. "Rey," ia berbisik pelan sekaligus heran. "Rey menelepon?” baru dua jam yang lalu ia mengingat Rey dan sekarang Rey muncul di layar ponselnya. Ia ingin mengangkat telepon itu tetapi urung. "Jangan beri tahu Rey kalau kamu pulang ke Jakarta. Mama nggak mau sikap ceroboh Rey menggagalkan rencana mama, Wa," pesan Meysa kembali membayang di ingatan Salwa. Ia menelan ludah. Hampir saja ia membanting ponselnya ke meja, namun ia cepat sadar, ia sedang berada di ruang kerja. Ia hanya menatap ponsel itu sampai getarannya berhenti. Salwa menghela napas berat. Apa yang ia lakukan sekarang tidak sepenuhnya karena keinginannya. Meysa memang menyelamatkannya dari kekejaman Ratih, namun hal yang paling menyakitinya adalah keputusan Dandi waktu itu. Harusnya Dandi tidak membiarkan Meysa membawa pergi Salwa. Harusnya Dandi menahan putrinya itu. Dan demi keselamatan Salwa, harusnya Dandi menceraikan Ratih saja. Namun A
Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri.
Pertemuan di meja makan untuk kedua kali membuat Alisa semakin enggan menampakkan diri. Sejak pulang sekolah tadi ia mengurung diri di kamar. “Panggil Alisa, Bi," titah Dandi pada Narti. Narti langsung bergerak menuju lantai atas. Dandi sedikit pusing mencari cara agar Alisa bisa menerima keberadaan Salwa. Ratih yang masih diam menarik napas pelan-pelan, hal yang justru dikhawatirkannya bukanlah penerimaan Salwa di rumah itu. Bukan pula penerimaan Alisa akan kehadiran Salwa sebagai kakaknya. Hal yang mengganggu isi kepalanya adalah bagaimana jika kehadiran Salwa justru ingin membalas dendam kepadanya dengan menjadikan Alisa sebagai tumbal.“Gimana tadi di sekolah?" Ratih ikut membuka percakapan dengan nada yang tenang. Ia ingin terlihat baik dan perhatian di hadapan Salwa. Karena hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar hal-hal buruk yang ada di kepalanya bisa terjeda. "Baik, sangat baik," Salwa menjawab datar. Ia menatap satu persatu menu yang terhidang di atas meja."Kamu suka?" R
Waktu bergulir melewati satu persatu aktivitas yang dilakukan Salwa. Jam bergerak menuju angka yang menunjukkan jam pulang sekolah telah tiba. Ia bergegas meninggalkan ruangan. Sambil berjalan ia memesan taksi online. Pun sama, Alisa berjalan cepat sambil memesan taksi yang akan membawanya pulang. Derap kakinya ia percepat, berharap tidak bertemu Salwa di gerbang sekolah. "Aku antar, Al?" Suara yang amat dikenalnya mampir di telinga. Kenzi dari kelas sebelah jurusan IPA-3 datang menghampirinya. "Nggak usah, aku udah pesan taksi, ini udah mau datang," Alisa mempercepat langkah."Kita searah, nggak papa bareng aja," bujuknya."Makasih, Ken, aku naik taksi aja," Alisa bergegas meninggalkan Kenzi yang selalu berusaha untuk mendekatinya.Kenzi mengumpat, "Kenapa susah banget ngedeketin cewek yang satu ini?" batinnya. Ia menatap Alisa yang berlari-lari kecil menuju gerbang. Setelah Alisa menghilang, ia melangkah menuju parkiran menaiki motor kesayangannya, lalu bergerak pulang.Sementara
"Sudah tahu jadwal mengajarnya, Bu?" Seseorang bertanya kepada Salwa saat matanya fokus pada chat yang bertubi-tubi masuk ke kota masuk WA. Banyak sekali pesan yang datang. Dari teman kampus, dari komunitas, juga dari Johan, papanya. Dari sekian banyak pesan yang memenuhi kotak masuk tersebut, matanya terfokus pada pesan terakhir yang ia baca.[Wa, aku mau pulang, jangan beri tahu mama,] pesan yang satu ini membuat matanya terbelalak."Bu Salwa, sudah tahu jadwal mengajar?" pertanyaan kedua menghampiri."Mmmm, ya. Setelah jam istirahat ini tiba," Salwa tergagap, ia mengalihkan pandangannya kepada yang bertanya. "Ekh, Anda yang tadi jumpa di depan, bukan?" Ia mengamati wajah yang ada di sampingnya. Lelaki itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan, "Andra Lestari Pratama," ujarnya mengenalkan diri. Salwa tersenyum geli, "Lestari?" tanyanya dengan senyum canda seolah sudah akrab saja. Ia menyambut uluran tangan Andra. "Ya," Andra membalas tersenyum bangga. "Agar aku panjang umur, d
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tatapan Alisa kosong. Ia menyandarkan tubuh di punggung kursi tanpa ada bicara dengan Dandi. Dandi sendiri tidak tahu harus bicara apa agar tak menambah keruh suasana hati putri kesayangannya. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Bagaimana ia bertemu Ratih, sampai mereka menikah namun tidak membesarkan Salwa dengan baik. Salwa tumbuh dengan baik dalam asuhan Johan dan Meysa, tanpa pernah ia tanyakan bagaimana kabarnya dari tahun ke tahun. Tetapi alasan kedatangan Salwa setelah delapan belas tahun perpisahan mereka membuatnya tak tidur semalaman. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu menyakiti hati putri keduanya. Namun di sisi lain, sungguh ia sangat merindukan Salwa. "Pa, aku ingin tinggal di sini," panggilan Salwa yang sudah tidak ia dengar selama delapan belas tahun ini masih terngiang-ngiang di telinganya.Sementara pikirannya berkecamuk, di mobil lain yang tak berjarak jauh dari mereka, Salwa justru sedang m