Di meja makan pagi ini, mata Alisa terpaut pada tatapan Salwa. Meja makan sebagai penghalang mereka ia tekan dengan kuat. Tangannya belum menyentuh selembar roti yang sudah disiapkan Ratih untuknya. Mata Alisa nyalang, menyiratkan rasa tidak suka terhadap wanita yang berada tepat di hadapannya. Sedangkan Salwa tampak tenang. Ia membalas tatapan Alisa tanpa rasa bersalah, mengunyah roti, lalu meneguk segelas susu hangat yang juga dituang oleh Ratih untuknya.
Alisa masih menatap marah, perasaan tidak senangnya ia tunjukkan dengan melukis raut wajah masam. Dandi yang menyaksikan pemandangan tidak enak ini mulai mengusuk kening, berdehem menatap Alisa, memberi isyarat agar Alisa tidak bertingkah demikian.Alisa mulai mengalihkan pandangan, merobek roti yang berada di piringnya, lalu memasukkan ke dalam mulut, mengunyah dengan geram. Ratih hanya menggeleng. Tingkah putrinya yang sudah remaja itu memang sedikit keterlaluan, tapi ia tidak bisa juga menyalahkan. Alisa tentu sangat syok dengan kehadiran Salwa. Apalagi pagi ini adalah pagi pertama mereka duduk sarapan bersama di meja makan. Di rumah tempat Alisa dibesarkan, yang selama 17 tahun usianya ia hanya seorang putri yang dibesarkan tanpa ada putri yang lain. Tetapi sejak kemarin, ada wanita berusia 25 tahun datang ke rumah, yang dikenalkan sebagai kakak untuknya. Tentu saja gadis remaja itu tidak terima."Dia kakakmu," kemarin, Ratih mencoba menjelaskan dengan tenang, begitu juga dengan Dandi. Mereka berusaha menenangkan Alisa agar bisa menerima Salwa. Alisa bergeming, ia menatap dengan tatapan tidak senang, menghela napas dan memerengkan bibir berulang-ulang. Beribu pertanyaan mulai menyergap kepalanya.Dandi sebagai pemimpin rumah juga bingung harus bagaimana menjelaskan. Kedatangan Salwa yang tiba-tiba dan langsung meminta untuk menetap di rumahnya tentu membuatnya kaget juga, ia belum mempersiapkan alasan untuk menjelaskan kehadiran Salwa. Bukankah sepanjang usia Alisa, ia dan Ratih tidak pernah menceritakan perihal Salwa? Dan ia juga tidak punya alasan untuk menolak kedatangan putri sulungnya."Alisa, dengar sayang," Dandi mencoba menyampaikan dengan lembut agar mudah dipahami oleh Alisa, "Salwa adalah kakakmu, dia anak papa," Dandi menghela napas, memberi jeda sebelum menjelaskan selanjutnya. "Kakak? Anak selingkuhan papa?" Pertanyaan kurang ajarnya langsung menyerang lelaki yang sudah membesarkannya itu."Jaga ucapan kamu, Lisa!" Ratih menyela ucapan Alisa sambil melirik Salwa agar tidak tersinggung dengan kekanak-kanakan Alisa."Lalu? Anak adopsi mama?" lanjutnya dengan nada ketus."Lisaa!" Suara Dandi sedikit keras. Sedang Salwa tampak tenang, ia menatap perseteruan tiga beranak yang sedang kompromi untuk menerima kehadirannya."Dia anak kandung papa, Lisa, anak kandung," Dandi menekankan suaranya pada kalimat terakhir."Tapi tidak terlahir dari rahim Tante Ratih," Salwa buka suara. Ratih langsung mengalihkan pandangan, dadanya berdebar. Dandi pun sama, ia menatap Salwa memberi isyarat agar tak memperkeruh suasana."Aku terlahir dari rahim mama Salma, istri pertama papa," wajah Salwa menatap tenang orang-orang sekelilingnya. Terutama Ratih. Wajah wanita itu berubah kusut. Alisa mengernyitkan dahi."Papa punya istri selain mama?" tanyanya penuh heran. Salwa mengangguk."Tapi sudah meninggal, lalu papa menikah dengan mama kamu, Tante Ratih" lagi, Salwa mengatur wajah tenang yang membuat Ratih semakin gelisah tak karuan."Aku anak nakal waktu itu, tidak menerima kehadiran Tante Ratih, lalu Om Johan dan Tante Meysa membawaku pergi dan tinggal dengan mereka,"Jantung Ratih dan Dandi hampir saja lepas, namun penjelasan Salwa barusan membuat mereka sedikit tenang.Alisa menatap mama dan papanya. "Kalian merahasiakan ini dariku?" keluhnya. "Om Johan? Tante Meysa? Siapa lagi mereka?" Raut wajahnya berubah kecewa."Mereka teman mamaku, teman dekat yang membesarkanku tanpa pamrih," Salwa menjawab santai dengan tatapan menembak jitu jantung Dandi. Lelaki itu menelan ludah."Kamu dibuang papa?" Alisa bertanya dengan nada mencibir."Tidak ada yang membuang," Dandi menjawab spontan pertanyaan Alisa meski pertanyaan itu tidak ditujukan untuknya.Salwa tertawa renyah, "Aku yang tidak menerima kehadiran Tante Ratih, aku setiap hari berulah. Ya, tentu saja mereka kewalahan di rumah ini, mengurusku butuh kesabaran ekstra, sampai Tante Ratih angkat tangan. Dan aku yang memilih pergi dari sini.""Jawaban yang sulit dipercaya," Alisa menanggapi dengan ketus."Sudahlah, tidak perlu penjelasan tentang masa laluku. Begitu kan, Pa?" Salwa menyerang papanya sendiri. Sementara itu, Ratih bungkam tidak ingin memperkeruh suasana. "Anak ini, hari pertama hadir di sini langsung mengusik ketenangan selama 18 tahun ini," keluhnya dalam hati."Ya, yang penting sekarang kamu sudah berada di sini lagi, papa harap kamu dan Alisa akur. Iya, kan, Ma?" Ratih mengangguk merespon kalimat suaminya."Harusnya kalian memberitahuku dari dulu, bukan memberi kejutan menyakitkan seperti ini," Alisa murka, ia meninggalkan mereka menuju kamar sambil membanting pintu dengan sangar.Kejadian tempo hari membuat udara sejuk pagi ini jadi berhembus gerah di hati Alisa. Ia masih menatap Salwa tetap dengan raut wajah tidak suka. Namun wanita berusia 25 tahun itu tetap terlihat tenang. Justru ia merasa harusnya dialah yang tidak bisa menerima kehadiran Alisa. Terutama Ratih, wanita yang melahirkan remaja yang sedang merengut di hadapannya."Sarapan yang benar, Sa," Ratih mulai membujuk. Rasa khwatir di hatinya makin menjadi. Semalaman ia tak bisa tidur memikirkan penerimaan Salwa. Dandi pun sama, keringat di keningnya terbit meski cuaca cukup sejuk.Dengan sedikit malas, Alisa berangsur-angsur menghabiskan sarapannya. Tanpa menoleh kiri dan kanan. Salwa tertawa dalam hati. "Ayolah, Salwa, keep calm, Alisa hanyalah gadis remaja yang mentalnya masih plin plan. Bujuk ia dengan caramu sendiri," Salwa membatin menyemangati diri sambil menikmati sarapannya.Alisa meneguk susu terakhirnya. Ia meninggalkan meja makan tanpa pamit pada Ratih. Melihat Alisa beranjak pergi, Dandi pun mengikuti untuk mengantarnya ke sekolah. Salwa dan Ratih menatap kepergian mereka."Aku juga pamit, Tan,""Apa kamu tidak bisa memanggilku mama?" Ratih menyela ucapan Salwa tanpa mengiyakan kata pamitnya.Salwa mematung. Menghela napas berat. "Mama Salma tidak akan pernah tergantikan," ucapnya."Aku berusaha menjadi mama yang baik untukmu setelah Salma meninggal,""Ha," Salwa tertawa garing. "Jangan menyebut nama mama, Tan, dan jangan mengingatnya lagi.""Aku berusaha menjadi mama yang baik untukmu tapi kamu sulit menerimaku,""Oke, aku juga harus pergi." Ia melirik pergelangan tangannya tanpa merespon pernyataan Ratih yang kedua kali."Kenapa harus sekolah Alisa?" Suara Ratih terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik.Untuk ketiga kali, Salwa tak merespon. Ia berdiri melangkah pergi."Jika membenciku, tolong jangan sakiti Alisa," kali ini suara Ratih terdengar tegas namun sedikit memelas. Tanpa membalikkan badan Salwa tersenyum meninggalkan ruang makan.Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tatapan Alisa kosong. Ia menyandarkan tubuh di punggung kursi tanpa ada bicara dengan Dandi. Dandi sendiri tidak tahu harus bicara apa agar tak menambah keruh suasana hati putri kesayangannya. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Bagaimana ia bertemu Ratih, sampai mereka menikah namun tidak membesarkan Salwa dengan baik. Salwa tumbuh dengan baik dalam asuhan Johan dan Meysa, tanpa pernah ia tanyakan bagaimana kabarnya dari tahun ke tahun. Tetapi alasan kedatangan Salwa setelah delapan belas tahun perpisahan mereka membuatnya tak tidur semalaman. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu menyakiti hati putri keduanya. Namun di sisi lain, sungguh ia sangat merindukan Salwa. "Pa, aku ingin tinggal di sini," panggilan Salwa yang sudah tidak ia dengar selama delapan belas tahun ini masih terngiang-ngiang di telinganya.Sementara pikirannya berkecamuk, di mobil lain yang tak berjarak jauh dari mereka, Salwa justru sedang m
"Sudah tahu jadwal mengajarnya, Bu?" Seseorang bertanya kepada Salwa saat matanya fokus pada chat yang bertubi-tubi masuk ke kota masuk WA. Banyak sekali pesan yang datang. Dari teman kampus, dari komunitas, juga dari Johan, papanya. Dari sekian banyak pesan yang memenuhi kotak masuk tersebut, matanya terfokus pada pesan terakhir yang ia baca.[Wa, aku mau pulang, jangan beri tahu mama,] pesan yang satu ini membuat matanya terbelalak."Bu Salwa, sudah tahu jadwal mengajar?" pertanyaan kedua menghampiri."Mmmm, ya. Setelah jam istirahat ini tiba," Salwa tergagap, ia mengalihkan pandangannya kepada yang bertanya. "Ekh, Anda yang tadi jumpa di depan, bukan?" Ia mengamati wajah yang ada di sampingnya. Lelaki itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan, "Andra Lestari Pratama," ujarnya mengenalkan diri. Salwa tersenyum geli, "Lestari?" tanyanya dengan senyum canda seolah sudah akrab saja. Ia menyambut uluran tangan Andra. "Ya," Andra membalas tersenyum bangga. "Agar aku panjang umur, d
Waktu bergulir melewati satu persatu aktivitas yang dilakukan Salwa. Jam bergerak menuju angka yang menunjukkan jam pulang sekolah telah tiba. Ia bergegas meninggalkan ruangan. Sambil berjalan ia memesan taksi online. Pun sama, Alisa berjalan cepat sambil memesan taksi yang akan membawanya pulang. Derap kakinya ia percepat, berharap tidak bertemu Salwa di gerbang sekolah. "Aku antar, Al?" Suara yang amat dikenalnya mampir di telinga. Kenzi dari kelas sebelah jurusan IPA-3 datang menghampirinya. "Nggak usah, aku udah pesan taksi, ini udah mau datang," Alisa mempercepat langkah."Kita searah, nggak papa bareng aja," bujuknya."Makasih, Ken, aku naik taksi aja," Alisa bergegas meninggalkan Kenzi yang selalu berusaha untuk mendekatinya.Kenzi mengumpat, "Kenapa susah banget ngedeketin cewek yang satu ini?" batinnya. Ia menatap Alisa yang berlari-lari kecil menuju gerbang. Setelah Alisa menghilang, ia melangkah menuju parkiran menaiki motor kesayangannya, lalu bergerak pulang.Sementara
Pertemuan di meja makan untuk kedua kali membuat Alisa semakin enggan menampakkan diri. Sejak pulang sekolah tadi ia mengurung diri di kamar. “Panggil Alisa, Bi," titah Dandi pada Narti. Narti langsung bergerak menuju lantai atas. Dandi sedikit pusing mencari cara agar Alisa bisa menerima keberadaan Salwa. Ratih yang masih diam menarik napas pelan-pelan, hal yang justru dikhawatirkannya bukanlah penerimaan Salwa di rumah itu. Bukan pula penerimaan Alisa akan kehadiran Salwa sebagai kakaknya. Hal yang mengganggu isi kepalanya adalah bagaimana jika kehadiran Salwa justru ingin membalas dendam kepadanya dengan menjadikan Alisa sebagai tumbal.“Gimana tadi di sekolah?" Ratih ikut membuka percakapan dengan nada yang tenang. Ia ingin terlihat baik dan perhatian di hadapan Salwa. Karena hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar hal-hal buruk yang ada di kepalanya bisa terjeda. "Baik, sangat baik," Salwa menjawab datar. Ia menatap satu persatu menu yang terhidang di atas meja."Kamu suka?" R
Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri.
Ddrrrrrrrrrr! Salwa membelalak melihat ponselnya karena foto Rey terpampang jelas. "Rey," ia berbisik pelan sekaligus heran. "Rey menelepon?” baru dua jam yang lalu ia mengingat Rey dan sekarang Rey muncul di layar ponselnya. Ia ingin mengangkat telepon itu tetapi urung. "Jangan beri tahu Rey kalau kamu pulang ke Jakarta. Mama nggak mau sikap ceroboh Rey menggagalkan rencana mama, Wa," pesan Meysa kembali membayang di ingatan Salwa. Ia menelan ludah. Hampir saja ia membanting ponselnya ke meja, namun ia cepat sadar, ia sedang berada di ruang kerja. Ia hanya menatap ponsel itu sampai getarannya berhenti. Salwa menghela napas berat. Apa yang ia lakukan sekarang tidak sepenuhnya karena keinginannya. Meysa memang menyelamatkannya dari kekejaman Ratih, namun hal yang paling menyakitinya adalah keputusan Dandi waktu itu. Harusnya Dandi tidak membiarkan Meysa membawa pergi Salwa. Harusnya Dandi menahan putrinya itu. Dan demi keselamatan Salwa, harusnya Dandi menceraikan Ratih saja. Namun A
Malam merambat perlahan. Kamar Rey hening sejak teleponnya diabaikan Salwa. Ia ingin bertanya kepada seisi rumah namun enggan dan akhirnya memilih memejam mata. Ia beranggapan nanti Salwa pasti pulang juga kalau memang ia sudah bekerja. Atau bisa jadi Salwa sedang ada urusan di luar rumah.Dengan malas Rey bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Jam 7," ia bicara sendiri.Setelah selesai mandi, Rey berjalan pelan menuruni anak tangga. Dengan memakai celana selutut dan kaos oblong biru langit ia menuju ruang makan. Tak ada panggilan ke kamar. Tak ia dengar teriakan Meysa menyuruhnya datang makan malam, atau Mayang yang mengetuk pintu kamar.Ia tertegun lama ketika melihat Meysa dan Johan sudah duduk dan bersiap-siap menyantap hidangan. Johan memperhatikannya tanpa ada sapaan. Meysa tersenyum, "Ayo, sini, mama udah masak menu kesukaan kamu." Rey gontai, seperti hilang semangat, bukan karena papanya tak berekpresi kaget atau marah karena ia tiba-t
Meysa mengusuk kening, deru napasnya naik turun tak karuan. Sebentar-sebentar duduk, sebentar-sebentar berdiri. Sementara Johan hanya memperhatikan tanpa banyak berkomentar. Kepala Meysa dipenuhi dengan tingkah Rey yang tak memikirkan konsekuensi perbuatannya. Ia mondar-mandir dengan terus berpikir bagaimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore dan tetap bekerja di sana. Meysa menggerutu melihat tingkah Johan yang sama sekali tak peduli."Mas!" suara murka Meysa mengejutkan Johan. Johan yang tadinya sedang memikirkan hal lain langsung merespon Meysa."Mmm, iya,"Meysa mendekati Johan yang duduk bersandar di tempat tidur. "Bantu mikir, Mas, bantu mikir gimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore,"Johan menghela napas. Ia tidak menyalahkan keputusan Rey, namun tidak ingin juga mengecewakan Meysa.“Mas, ngomong! Jangan cuma diam aja," gerutu Meysa kesal."Ini lagi mikir, Mey," Johan diam beberapa saat. “Aku nggak tau meski ngapain, Rey ambil keputusan itu, apa kita harus paks