Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.
Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri. Semua itu adalah kelemahan Salwa, tak jarang bertandang dalam ingatannya yang lengang. Dan Meysa, ia meminta Salwa agar lebih kuat dari keinginannya.Sudah seminggu Salwa menjadi orang lain di hadapan keluarga papanya itu. Lalu menjadi dirinya sendiri kala ia memagut sepi. Di kamarnya, di kamar yang dulu mama dan papanya tinggali.Salwa sering menghembuskan udara yang terasa berdesak-desakan di dadanya. Ia merasa bermimpi ketika kembali ke rumah itu. Namun merasa hidup ketika berada bersama siswa-siswinya yang bertingkah aneh. Ia tertawa, Ada hal yang menyenangkan juga di dunia ini, ia bicara sendiri tatkala wajah kocak Laras berceloteh di ruang kelas. Tiba-tiba saja ia mulai meyukai pekerjaannya meski dulu ia menolak Meysa memasukkannya ke perguruan tinggi negeri dengan jurusan pendidikan. "Aku lebih tertarik menjadi desainer," keluhnya. Namun Meysa sudah mempersiapkan segalanya, "Mama akan menempah kamu menjadi guru dan sudah memperhitungkan segalanya, kamu akan mengerti setelah kamu tamat nanti." Ya, Salwa mengerti sekarang mengapa ia dipersiapkan menjadi guru. Sedetail itu Meysa mempersiapkan balas dendam itu."Haa," Salwa mengembuskan napas untuk kesekian kali kala jengah merangkap tenangnya. Ia melihat jarum jam yang masih menunjukkan angka kalau ia belum ada jadwal masuk kelas. Iseng ia membuka-buka galeri, melihat momen-momen masa kecilnya bersama Rey sampai Rey berangkat ke Singapore. Ia cemberut saat melihat foto Rey yang menampungkan mulutnya seolah meneguk air mancur dari semburan patung Merlion. Sejenak ia ingat chat Rey seminggu lalu, di hari pertama ia bekerja. "Rey bilang akan pulang," bisiknya. Ingatannya pulang ke semarang, ke rumah yang membesarkannya. "Mungkinkah Rey sudah tiba?" ia meletakkan ponselnya lalu membaringkan kepalanya di atas meja.***Cuaca Kota Semarang terasa panas. Rey yang baru saja tiba di depan rumah mulai merasa gerah. Setelah menempuh berjam-jam perjalanan di pesawat terbang, rasanya setelah tiba ia ingin mendinginkan badan. Rey melangkah gagah setelah pintu pagar ternganga lebar. “Tuan Muda, Rey?" mata Handoko sebagai penjaga gerbang nyaris tak berkedip setelah melihat kehadiran anak majikannya itu. Rasanya tak percaya kalau Rey pulang tanpa memberi kabar seisi rumah. Belakangan ini, tak ada Meysa dan Johan menyebut-nyebut kalau Rey akan pulang. Seperti sebelum-sebelumnya, tiap kali Rey pulang, Meysa sibuk mempersiapkan penyambutannya. Seperti merapikan kamar, membersihkan rumah, menata ulang taman, dan mencek kondisi mobil milik Rey yang akan ia gunakan. "Kaget?" kelakar Rey kepada sosok yang banyak menemani kesendiriannya itu. "Iya, Tuan," Handoko menjawab senang. "Mari Tuan, biar saya antar bawa barangnya," seperti biasa ia selalu menwarkan diri. "Mmm, nggak usah, Pak Han di sini aja, cuma koper doang, saya bisa bawa sendiri." Rey tersenyum meninggalkan penjaga rumah yang memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda.Rey melangkah menuju rumah, memutar gagang pintu lalu masuk tanpa mengucap salam lebih dulu."Rey?" Meysa yang sedang sibuk mengganti bunga di meja tamu seolah tak percaya kalau putra kandungnya kini hadir di depan mata. "Rey?" mata sipit Meysa menyalang. "Kamu pulang tanpa memberi kabar?"Rey tersenyum kaku seperti biasa. Untuk melukis wajah ceria di hadapan Meysa, ia begitu sulit melakukannya. "Salwa mana, Ma?" pertanyaan itu yang pertama kali meluncur dari bibirnya, tanpa lebih dulu menyapa wanita yang melahirkannya itu. Entah itu bertanya kabar, atau mendekati sang mama untuk memberi pelukan karena sudah lama tidak bertemu.Rey masih mematung di belakang sofa yang menjadi penghalangnya dengan Meysa. Meysa menyelesaikan pekerjaannya. Lalu menghampiri Rey yang masih berdiri dengan tangan kanan memegang gagang koper.“Kamu nggak kangen mama?" Meysa menyentuh bahu Rey, kemudian merapikan kerah baju yang sedikit berantakan.“Apa Salwa udah kerja setelah wisuda bulan lalu? Arrrrgh, aku tidak sempat menghadiri hari bersejarahnya itu,"Meysa tersenyum hambar mendengar celoteh Rey yang masih mengabaikan beberapa pertanyaannya. “Kamu nggak capek, baru tiba sudah mempertanyakan keberadaan Salwa? Kamu baru masuk rumah lho. Mmmmm, mama panggil Bi Mayang, ya, untuk bawa koper kamu ke kamar," Meysa mengalihkan pembicaraan.Rey mengusuk matanya, mengisyaratkan kondisi tubuh yang lelah dan keadaan batinya yang tak pernah cerah. Ia menatap wajah wanita yang sudah sangat ia hafal karakternya. "Mama yang egois" begitu ia melabeli wanita yang sudah mempertaruhkan nyawa untuk melahirkannya itu ke dunia.“Nggak perlu, Ma, penolakannya halus. Namun tetap saja menimbulkan kekesalan bagi Meysa.“Biar Rey aja yang bawa. Salwaaaa, kamu di manaaaa?” teriakannya menggema di setiap ruangan. Mayang yang sudah hafal suara itu langsung menyembur dari belakang. "Mas Rey pulang?" tanyanya antusias kepada Meysa."Mmm," Meysa mengangguk malas. "Rapikan kamarnya! Jangan sampai ia teriak karena menemukan debu di tempat tidurnya,"Mayang yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu langsung berlari ke kamar Rey. Ia hafal betul bagaimana kebiasaan Rey. Manusia paling rapi dan bersih itu tidak pernah berhenti protes dalam sehari. Ada saja yang salah di matanya. Letak vas bunga yang mereng, atau gelas yang terletak di meja tamu sedang orang yang duduk di situ tidak ada.[Wa, aku udah di rumah, kamu di mana?] chat pertama Rey setelah ia merebahkan tubuh di tempat tidurnya terkirim ke Salwa.[Apa kamu udah kerja? Dari kemarin pesanku nggak kamu balas. Kamu marah atau terlalu sibuk?] Pesan kedua terkirim lagi tapi masih belum dibaca.“Apa aku telpon aja, ya?” Rey bergumam sendiri. Selama hidup bersama Salwa, ia tak pernah diabaikan oleh saudara angkatnya itu. Bahkan ketika Rey tidak bisa hadir di acara wisudanya sebulan lalu, Salwa bisa memahami kesibukan Rey yang bekerja di salah satu rumah sakit di Singapore. "Aku telpon aja deh," ucapnya lagi. Rey mulai menyentuh simbol hijau di layar ponselnya untuk menghubungi Salwa. Berjarak kurang lebih 446 kilometer Semarang-Jakarta, kecanggihan ponsel yang dirakit manusia itu tidak membutuhkan waktu lama untuk menyampaikan pesan pemiliknya kepada orang yang dituju. Tuuuuuutt, telepon tersambung, tapi belum diangkat.Ddrrrrrrrrrr! Salwa membelalak melihat ponselnya karena foto Rey terpampang jelas. "Rey," ia berbisik pelan sekaligus heran. "Rey menelepon?” baru dua jam yang lalu ia mengingat Rey dan sekarang Rey muncul di layar ponselnya. Ia ingin mengangkat telepon itu tetapi urung. "Jangan beri tahu Rey kalau kamu pulang ke Jakarta. Mama nggak mau sikap ceroboh Rey menggagalkan rencana mama, Wa," pesan Meysa kembali membayang di ingatan Salwa. Ia menelan ludah. Hampir saja ia membanting ponselnya ke meja, namun ia cepat sadar, ia sedang berada di ruang kerja. Ia hanya menatap ponsel itu sampai getarannya berhenti. Salwa menghela napas berat. Apa yang ia lakukan sekarang tidak sepenuhnya karena keinginannya. Meysa memang menyelamatkannya dari kekejaman Ratih, namun hal yang paling menyakitinya adalah keputusan Dandi waktu itu. Harusnya Dandi tidak membiarkan Meysa membawa pergi Salwa. Harusnya Dandi menahan putrinya itu. Dan demi keselamatan Salwa, harusnya Dandi menceraikan Ratih saja. Namun A
Malam merambat perlahan. Kamar Rey hening sejak teleponnya diabaikan Salwa. Ia ingin bertanya kepada seisi rumah namun enggan dan akhirnya memilih memejam mata. Ia beranggapan nanti Salwa pasti pulang juga kalau memang ia sudah bekerja. Atau bisa jadi Salwa sedang ada urusan di luar rumah.Dengan malas Rey bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Jam 7," ia bicara sendiri.Setelah selesai mandi, Rey berjalan pelan menuruni anak tangga. Dengan memakai celana selutut dan kaos oblong biru langit ia menuju ruang makan. Tak ada panggilan ke kamar. Tak ia dengar teriakan Meysa menyuruhnya datang makan malam, atau Mayang yang mengetuk pintu kamar.Ia tertegun lama ketika melihat Meysa dan Johan sudah duduk dan bersiap-siap menyantap hidangan. Johan memperhatikannya tanpa ada sapaan. Meysa tersenyum, "Ayo, sini, mama udah masak menu kesukaan kamu." Rey gontai, seperti hilang semangat, bukan karena papanya tak berekpresi kaget atau marah karena ia tiba-t
Meysa mengusuk kening, deru napasnya naik turun tak karuan. Sebentar-sebentar duduk, sebentar-sebentar berdiri. Sementara Johan hanya memperhatikan tanpa banyak berkomentar. Kepala Meysa dipenuhi dengan tingkah Rey yang tak memikirkan konsekuensi perbuatannya. Ia mondar-mandir dengan terus berpikir bagaimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore dan tetap bekerja di sana. Meysa menggerutu melihat tingkah Johan yang sama sekali tak peduli."Mas!" suara murka Meysa mengejutkan Johan. Johan yang tadinya sedang memikirkan hal lain langsung merespon Meysa."Mmm, iya,"Meysa mendekati Johan yang duduk bersandar di tempat tidur. "Bantu mikir, Mas, bantu mikir gimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore,"Johan menghela napas. Ia tidak menyalahkan keputusan Rey, namun tidak ingin juga mengecewakan Meysa.“Mas, ngomong! Jangan cuma diam aja," gerutu Meysa kesal."Ini lagi mikir, Mey," Johan diam beberapa saat. “Aku nggak tau meski ngapain, Rey ambil keputusan itu, apa kita harus paks
Salwa menatap ponselnya, membiarkan nomor Rey memanggil tanpa berani untuk mengangkat. Ia terus menghela napas berat. Mengusuk kening, menelentangkan tubuh di tempat tidurnya kemudian duduk lagi. Hal ini berulang kali ia lakukan sampai nomor Rey benar-benar berhenti menghubunginya."Rey nggak salah," ujarnya. Ia meraih ponselnya yang tergelatak di tempat tidur sejak tadi. Ia bermaksud ingin menghubungi Rey. Ia hanya ingin memberi tahu kalau ia sedang berada di luar kota dan sedang tidak ingin diganggu. Setidaknya dengan berbohong demikian Rey tidak perlu mengkhawatirkannya. Baru saja Salwa ingin memanggil nomor Rey, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Ia kaget. "Alisa?” lirihnya. Ia meletakkan kembali ponsel yang ia genggam lalu mengatur duduk dengan posisi tegap agar tidak terlihat aneh."Apa?" tatapan Salwa cuek membuat Alisa merasa kesal. Alisa langsung menyerobot mendekatinya.“Aku masih penasaran dengan kehadiranmu?" tangan Alisa menyilang di dada. Tepat be
Di meja makan pagi ini, mata Alisa terpaut pada tatapan Salwa. Meja makan sebagai penghalang mereka ia tekan dengan kuat. Tangannya belum menyentuh selembar roti yang sudah disiapkan Ratih untuknya. Mata Alisa nyalang, menyiratkan rasa tidak suka terhadap wanita yang berada tepat di hadapannya. Sedangkan Salwa tampak tenang. Ia membalas tatapan Alisa tanpa rasa bersalah, mengunyah roti, lalu meneguk segelas susu hangat yang juga dituang oleh Ratih untuknya.Alisa masih menatap marah, perasaan tidak senangnya ia tunjukkan dengan melukis raut wajah masam. Dandi yang menyaksikan pemandangan tidak enak ini mulai mengusuk kening, berdehem menatap Alisa, memberi isyarat agar Alisa tidak bertingkah demikian.Alisa mulai mengalihkan pandangan, merobek roti yang berada di piringnya, lalu memasukkan ke dalam mulut, mengunyah dengan geram. Ratih hanya menggeleng. Tingkah putrinya yang sudah remaja itu memang sedikit keterlaluan, tapi ia tidak bisa juga menyalahkan. Alisa tentu sangat syok dengan
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tatapan Alisa kosong. Ia menyandarkan tubuh di punggung kursi tanpa ada bicara dengan Dandi. Dandi sendiri tidak tahu harus bicara apa agar tak menambah keruh suasana hati putri kesayangannya. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Bagaimana ia bertemu Ratih, sampai mereka menikah namun tidak membesarkan Salwa dengan baik. Salwa tumbuh dengan baik dalam asuhan Johan dan Meysa, tanpa pernah ia tanyakan bagaimana kabarnya dari tahun ke tahun. Tetapi alasan kedatangan Salwa setelah delapan belas tahun perpisahan mereka membuatnya tak tidur semalaman. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu menyakiti hati putri keduanya. Namun di sisi lain, sungguh ia sangat merindukan Salwa. "Pa, aku ingin tinggal di sini," panggilan Salwa yang sudah tidak ia dengar selama delapan belas tahun ini masih terngiang-ngiang di telinganya.Sementara pikirannya berkecamuk, di mobil lain yang tak berjarak jauh dari mereka, Salwa justru sedang m
"Sudah tahu jadwal mengajarnya, Bu?" Seseorang bertanya kepada Salwa saat matanya fokus pada chat yang bertubi-tubi masuk ke kota masuk WA. Banyak sekali pesan yang datang. Dari teman kampus, dari komunitas, juga dari Johan, papanya. Dari sekian banyak pesan yang memenuhi kotak masuk tersebut, matanya terfokus pada pesan terakhir yang ia baca.[Wa, aku mau pulang, jangan beri tahu mama,] pesan yang satu ini membuat matanya terbelalak."Bu Salwa, sudah tahu jadwal mengajar?" pertanyaan kedua menghampiri."Mmmm, ya. Setelah jam istirahat ini tiba," Salwa tergagap, ia mengalihkan pandangannya kepada yang bertanya. "Ekh, Anda yang tadi jumpa di depan, bukan?" Ia mengamati wajah yang ada di sampingnya. Lelaki itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan, "Andra Lestari Pratama," ujarnya mengenalkan diri. Salwa tersenyum geli, "Lestari?" tanyanya dengan senyum canda seolah sudah akrab saja. Ia menyambut uluran tangan Andra. "Ya," Andra membalas tersenyum bangga. "Agar aku panjang umur, d
Waktu bergulir melewati satu persatu aktivitas yang dilakukan Salwa. Jam bergerak menuju angka yang menunjukkan jam pulang sekolah telah tiba. Ia bergegas meninggalkan ruangan. Sambil berjalan ia memesan taksi online. Pun sama, Alisa berjalan cepat sambil memesan taksi yang akan membawanya pulang. Derap kakinya ia percepat, berharap tidak bertemu Salwa di gerbang sekolah. "Aku antar, Al?" Suara yang amat dikenalnya mampir di telinga. Kenzi dari kelas sebelah jurusan IPA-3 datang menghampirinya. "Nggak usah, aku udah pesan taksi, ini udah mau datang," Alisa mempercepat langkah."Kita searah, nggak papa bareng aja," bujuknya."Makasih, Ken, aku naik taksi aja," Alisa bergegas meninggalkan Kenzi yang selalu berusaha untuk mendekatinya.Kenzi mengumpat, "Kenapa susah banget ngedeketin cewek yang satu ini?" batinnya. Ia menatap Alisa yang berlari-lari kecil menuju gerbang. Setelah Alisa menghilang, ia melangkah menuju parkiran menaiki motor kesayangannya, lalu bergerak pulang.Sementara