Pertemuan di meja makan untuk kedua kali membuat Alisa semakin enggan menampakkan diri. Sejak pulang sekolah tadi ia mengurung diri di kamar.
“Panggil Alisa, Bi," titah Dandi pada Narti. Narti langsung bergerak menuju lantai atas. Dandi sedikit pusing mencari cara agar Alisa bisa menerima keberadaan Salwa. Ratih yang masih diam menarik napas pelan-pelan, hal yang justru dikhawatirkannya bukanlah penerimaan Salwa di rumah itu. Bukan pula penerimaan Alisa akan kehadiran Salwa sebagai kakaknya. Hal yang mengganggu isi kepalanya adalah bagaimana jika kehadiran Salwa justru ingin membalas dendam kepadanya dengan menjadikan Alisa sebagai tumbal.“Gimana tadi di sekolah?" Ratih ikut membuka percakapan dengan nada yang tenang. Ia ingin terlihat baik dan perhatian di hadapan Salwa. Karena hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar hal-hal buruk yang ada di kepalanya bisa terjeda."Baik, sangat baik," Salwa menjawab datar. Ia menatap satu persatu menu yang terhidang di atas meja."Kamu suka?" Ratih mencoba mengganggu konsentrasi Salwa yang sedang tertuju pada ikan nila bumbu kuning.Salwa menjatuhkan tangannya di pangkuan. Getar dadanya bergemuruh lebih cepat. Ia menatap Ratih dengan tajam. Lalu tersenyum mencoba menenangkan pikiran. Ia pura-pura tidak ingat jika ikan nila bumbu kuning itu adalah menu favorit mamanya. Karena itu tadi, ia terfokus kepada menu yang satu itu.“Sial, Tante Ratih pasti sengaja memasak menu ini agar ingatanku pulang pada kenangan baik bersama mama," batinnya."Tentu saja," ia menjawab pendek. Dandi menatap Ratih kemudian menyadari apa yang baru saja terjadi."Alisa lama sekali," Dandi mengalihkan pembicaraan. Mencoba tidak ikut mengusik ketenangan Salwa akan kenangan manis itu. Tentu saja, di ruang makan yang sama meski dengan beberapa perabotan yang sudah berbeda ia ikut merasakan kenangan manis itu. Duduk bertiga dengan posisi duduknya saat ini, dan posisi duduk Salwa juga tepat berada di sisi kanan meja, di sisi kirinya adalah Salma. Ia ingat betul, bagaimana Salma menghidangkan nasi di piringnya, mengambilkan satu persatu menu yang disaksikan oleh Salwa dengan tertawa.“Apa kita harus menunggu Alisa dulu baru makan?" pertanyaan tidak sopan ini mengalun dari bibir Salwa tanpa memikirkan posisinya di rumah itu. "Kalau dia lapar pasti turunnya cepat," lanjutnya pula.“Kalau kamu sudah tidak sabar, kamu boleh duluan," Ratih menjawab sedikit kesal.Salwa tersenyum kecut. "Itu dia datang," ujar Salwa melihat Alisa yang berjalan seolah malas.Alisa duduk di samping Ratih. Tak banyak bicara ia langsung mengambil nasi. Ratih menatap heran."Sa," tegur Ratih karena Dandi belum mengisi piringnya."Ayo makan, ?" ajak Alisa tanpa menoleh kepada siapa pun.Dandi mengisi piring, diikuti oleh Ratih, kemudian Salwa. Salwa menatap Dandi yang mengambil makanannya sendiri. Ia beralih pandang kepada Ratih, sepanjang ingatannya, saat ia kecil dulu, tak pernah ia melihat Dandi mengambil sendiri nasi dan hidangan lainnya. Semuanya dipersiapkan oleh Salma, Salma yang mengisikan piring Dandi, begitu perhatian yang diberikan Salma sebagai wujud cinta kasih kepada suami.Salwa menelan ludah lalu mulai menikmati makanannya. Ia tak menoleh kepada Alisa, Alisa pun sama, ia tidak mempedulikan Salwa, matanya hanya fokus pada apa yang hendak disantapnya. Hening tercipta saat mereka menikmati makan malam itu. Ratih dan Dandi ikut terbawa suasana. Namun setelah selesai makan, baru saja Dandi ingin beranjak pergi, Alisa angkat bicara."Kenapa harus ke sekolahku?" ia menatap Salwa dengan tatapan menyidik. Dandi yang sudah berdiri terpaksa duduk lagi.“Karena sekolah itu butuh guru sepertiku," Salwa menjawab ketus.“Justru semakin bagus bukan, jika Salwa mengajar di sekolah kamu, Sa?" Dandi menimpali. Alisa menatap Dandi dengan menunjukkan rasa tidak suka karena membela Salwa.“Bukankah tadi di kelasmu aku sudah menjawab pertanyaan ini?" Salwa melanjutkan kalimatnya.Mata Ratih menyalang, "Kamu masuk ke kelas Alisa juga?"“Mmmm, aku mengajar di sekolahnya tentu saja masuk ke kelasnya juga," Salwa mengembangkan senyum seolah mengintimidasi.Ratih mengepalkan tinjunya karena geram. "Apa Salwa merencanakan sesuatu untuk melukai Alisa?" ia berbisik dalam hati, rasa khawatirnya kian menjadi-jadi. Ingin sekali ia memaki Salwa dan mengancam jangan pernah menyentuh Alisa jika ingin membalaskan sakit hati kepadanya.“Aku akan bekerja dengan baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Salwa menatap Ratih dan ia tahu apa yang ada di dalam pikiran ibu tirinya itu. Mungkin jika hanya mereka berdua yang ada di situ, Ratih pasti sudah menyiksanya seperti delapan belas tahun lalu. Seperti saat ia tak sengaja menjatuhkan vas bunga meski vas bunga itu kesayangan mamanya bukan kesayangan Ratih. Lalu apa yang dilakukan Ratih? Memakinya karena ia kaget dengan dentingan kaca yang jatuh berderai ke lantai. Ketika Salwa membela diri dengan mengatakan tidak sengaja, tahu apa yang dilakukan Ratih? Menorehkan pecahan kaca itu di lengan Salwa. Bahkan sampai saat ini, torehan itu masih membekas dan terus menerus menjadi ingatan buruk ketika Salwa melihatnya."Ha," Alisa tertawa sumbang mendengar kalimat Salwa barusan. "Apa kamu punya tujuan terselubung ke rumah ini? Setelah delapan belas tahun menghilang kenapa baru muncul sekarang? Kamu ingin merusak kebahagiaanku?” Hal yang sejak kemarin berputar-putar di kepala Ratih justru diungkapkan oleh putrinya. Ikatan telepati ibu dan anak itu sungguh luar biasa.“Ha, haahaaa," Salwa refleks bertepuk tangan, tertawa girang namun bernada cemooh. "Apa pikiranmu demikian Alisa? Coba tanya mamamu dan papa, mungkin mereka tahu jawabannya,"“Jangan mengacaukan pikiran Alisa, Salwa. Jangan menimbulkan praduga seolah aku dan papamu sangat bersalah." Ratih mencoba membela diri. "Dengar sayang,” Ratih menggenggam jemari Alisa. “Mama dan papa nggak pernah bermaksud membohongi kamu. Mama dan papa sudah berencana memberi tahu, tetapi Salwa justru datang lebih cepat dari yang kami duga,”"Lebih cepat?" Salwa menyela tuduhan Ratih yang menyalahkannya. "Katakan saja pada Alisa kalau kalian memang tidak ingin mengenalkanku padanya," Salwa menyudahi ucapannya. Tak ingin banyak berdebat, ia meninggalkan meja berjalan cepat menuju kamar. Ada rasa gemetar di kakinya dan pedih yang menyesak ulu hati. Ia kesal, karena Dandi hanya diam dan membiarkannya melawan Ratih dan Alisa seorang diri.Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri.
Ddrrrrrrrrrr! Salwa membelalak melihat ponselnya karena foto Rey terpampang jelas. "Rey," ia berbisik pelan sekaligus heran. "Rey menelepon?” baru dua jam yang lalu ia mengingat Rey dan sekarang Rey muncul di layar ponselnya. Ia ingin mengangkat telepon itu tetapi urung. "Jangan beri tahu Rey kalau kamu pulang ke Jakarta. Mama nggak mau sikap ceroboh Rey menggagalkan rencana mama, Wa," pesan Meysa kembali membayang di ingatan Salwa. Ia menelan ludah. Hampir saja ia membanting ponselnya ke meja, namun ia cepat sadar, ia sedang berada di ruang kerja. Ia hanya menatap ponsel itu sampai getarannya berhenti. Salwa menghela napas berat. Apa yang ia lakukan sekarang tidak sepenuhnya karena keinginannya. Meysa memang menyelamatkannya dari kekejaman Ratih, namun hal yang paling menyakitinya adalah keputusan Dandi waktu itu. Harusnya Dandi tidak membiarkan Meysa membawa pergi Salwa. Harusnya Dandi menahan putrinya itu. Dan demi keselamatan Salwa, harusnya Dandi menceraikan Ratih saja. Namun A
Malam merambat perlahan. Kamar Rey hening sejak teleponnya diabaikan Salwa. Ia ingin bertanya kepada seisi rumah namun enggan dan akhirnya memilih memejam mata. Ia beranggapan nanti Salwa pasti pulang juga kalau memang ia sudah bekerja. Atau bisa jadi Salwa sedang ada urusan di luar rumah.Dengan malas Rey bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Jam 7," ia bicara sendiri.Setelah selesai mandi, Rey berjalan pelan menuruni anak tangga. Dengan memakai celana selutut dan kaos oblong biru langit ia menuju ruang makan. Tak ada panggilan ke kamar. Tak ia dengar teriakan Meysa menyuruhnya datang makan malam, atau Mayang yang mengetuk pintu kamar.Ia tertegun lama ketika melihat Meysa dan Johan sudah duduk dan bersiap-siap menyantap hidangan. Johan memperhatikannya tanpa ada sapaan. Meysa tersenyum, "Ayo, sini, mama udah masak menu kesukaan kamu." Rey gontai, seperti hilang semangat, bukan karena papanya tak berekpresi kaget atau marah karena ia tiba-t
Meysa mengusuk kening, deru napasnya naik turun tak karuan. Sebentar-sebentar duduk, sebentar-sebentar berdiri. Sementara Johan hanya memperhatikan tanpa banyak berkomentar. Kepala Meysa dipenuhi dengan tingkah Rey yang tak memikirkan konsekuensi perbuatannya. Ia mondar-mandir dengan terus berpikir bagaimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore dan tetap bekerja di sana. Meysa menggerutu melihat tingkah Johan yang sama sekali tak peduli."Mas!" suara murka Meysa mengejutkan Johan. Johan yang tadinya sedang memikirkan hal lain langsung merespon Meysa."Mmm, iya,"Meysa mendekati Johan yang duduk bersandar di tempat tidur. "Bantu mikir, Mas, bantu mikir gimana caranya agar Rey mau kembali ke Singapore,"Johan menghela napas. Ia tidak menyalahkan keputusan Rey, namun tidak ingin juga mengecewakan Meysa.“Mas, ngomong! Jangan cuma diam aja," gerutu Meysa kesal."Ini lagi mikir, Mey," Johan diam beberapa saat. “Aku nggak tau meski ngapain, Rey ambil keputusan itu, apa kita harus paks
Salwa menatap ponselnya, membiarkan nomor Rey memanggil tanpa berani untuk mengangkat. Ia terus menghela napas berat. Mengusuk kening, menelentangkan tubuh di tempat tidurnya kemudian duduk lagi. Hal ini berulang kali ia lakukan sampai nomor Rey benar-benar berhenti menghubunginya."Rey nggak salah," ujarnya. Ia meraih ponselnya yang tergelatak di tempat tidur sejak tadi. Ia bermaksud ingin menghubungi Rey. Ia hanya ingin memberi tahu kalau ia sedang berada di luar kota dan sedang tidak ingin diganggu. Setidaknya dengan berbohong demikian Rey tidak perlu mengkhawatirkannya. Baru saja Salwa ingin memanggil nomor Rey, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Ia kaget. "Alisa?” lirihnya. Ia meletakkan kembali ponsel yang ia genggam lalu mengatur duduk dengan posisi tegap agar tidak terlihat aneh."Apa?" tatapan Salwa cuek membuat Alisa merasa kesal. Alisa langsung menyerobot mendekatinya.“Aku masih penasaran dengan kehadiranmu?" tangan Alisa menyilang di dada. Tepat be
Di meja makan pagi ini, mata Alisa terpaut pada tatapan Salwa. Meja makan sebagai penghalang mereka ia tekan dengan kuat. Tangannya belum menyentuh selembar roti yang sudah disiapkan Ratih untuknya. Mata Alisa nyalang, menyiratkan rasa tidak suka terhadap wanita yang berada tepat di hadapannya. Sedangkan Salwa tampak tenang. Ia membalas tatapan Alisa tanpa rasa bersalah, mengunyah roti, lalu meneguk segelas susu hangat yang juga dituang oleh Ratih untuknya.Alisa masih menatap marah, perasaan tidak senangnya ia tunjukkan dengan melukis raut wajah masam. Dandi yang menyaksikan pemandangan tidak enak ini mulai mengusuk kening, berdehem menatap Alisa, memberi isyarat agar Alisa tidak bertingkah demikian.Alisa mulai mengalihkan pandangan, merobek roti yang berada di piringnya, lalu memasukkan ke dalam mulut, mengunyah dengan geram. Ratih hanya menggeleng. Tingkah putrinya yang sudah remaja itu memang sedikit keterlaluan, tapi ia tidak bisa juga menyalahkan. Alisa tentu sangat syok dengan
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tatapan Alisa kosong. Ia menyandarkan tubuh di punggung kursi tanpa ada bicara dengan Dandi. Dandi sendiri tidak tahu harus bicara apa agar tak menambah keruh suasana hati putri kesayangannya. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Bagaimana ia bertemu Ratih, sampai mereka menikah namun tidak membesarkan Salwa dengan baik. Salwa tumbuh dengan baik dalam asuhan Johan dan Meysa, tanpa pernah ia tanyakan bagaimana kabarnya dari tahun ke tahun. Tetapi alasan kedatangan Salwa setelah delapan belas tahun perpisahan mereka membuatnya tak tidur semalaman. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu menyakiti hati putri keduanya. Namun di sisi lain, sungguh ia sangat merindukan Salwa. "Pa, aku ingin tinggal di sini," panggilan Salwa yang sudah tidak ia dengar selama delapan belas tahun ini masih terngiang-ngiang di telinganya.Sementara pikirannya berkecamuk, di mobil lain yang tak berjarak jauh dari mereka, Salwa justru sedang m
"Sudah tahu jadwal mengajarnya, Bu?" Seseorang bertanya kepada Salwa saat matanya fokus pada chat yang bertubi-tubi masuk ke kota masuk WA. Banyak sekali pesan yang datang. Dari teman kampus, dari komunitas, juga dari Johan, papanya. Dari sekian banyak pesan yang memenuhi kotak masuk tersebut, matanya terfokus pada pesan terakhir yang ia baca.[Wa, aku mau pulang, jangan beri tahu mama,] pesan yang satu ini membuat matanya terbelalak."Bu Salwa, sudah tahu jadwal mengajar?" pertanyaan kedua menghampiri."Mmmm, ya. Setelah jam istirahat ini tiba," Salwa tergagap, ia mengalihkan pandangannya kepada yang bertanya. "Ekh, Anda yang tadi jumpa di depan, bukan?" Ia mengamati wajah yang ada di sampingnya. Lelaki itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan, "Andra Lestari Pratama," ujarnya mengenalkan diri. Salwa tersenyum geli, "Lestari?" tanyanya dengan senyum canda seolah sudah akrab saja. Ia menyambut uluran tangan Andra. "Ya," Andra membalas tersenyum bangga. "Agar aku panjang umur, d