Pria yang dipanggil Bos itu berjalan dengan langkah-langkah cepat, menuju ke pintu. Dia siapkan senjatanya.Orang-orang itu menyingkir, memberi jalan padanya. Saat si Bos ini sudah dekat ke pintu, si orang yang bicara tadi mundur, memberi ruang baginya untuk mengintip lewat celah pintu yang kecil.Si Bos melakukan itu dan, seketika, matanya membesar.Di luar gudang memang ada mobil-mobil lapis baja, sepertinya baru saja tiba. Dari mobil-mobil itu, tentara-tentara turun, bergerak ke arah gudang.“Ada perubahan rencana! Siapkan senjata kalian! Kita akan berperang dengan tentara-tentara itu di sini!” seru si Bos.Langsung saja, para calon pembunuh berdarah dingin itu berdiri dan beranjak, menyiapkan senjata mereka masing-masing.Tak satu pun dari mereka terlihat gugup. Meski beberapa sempat ada yang terkejut saat si Bos mengatakan kalau mereka akan menghadapi tentara, tapi sampai di situ saja. Setelah itu mereka kembali ke raut muka acuh tak acuhnya.Malahan bagi sebagian dari mereka, me
Atap gudang itu meledak terkena hantaman roket. Puing-puingnya berjatuhan, membuat tentara-tentara dan para psikopat di situ menghentikan adu tembak mereka sejenak. Beberapa dari mereka ada yang terkapar tertimpa puing-puing tersebut. Si penjahat yang meluncurkan roket itu sendiri, melihat apa yang barusan terjadi, kini ternganga dengan mata membulat. Seorang pria, dengan tangan kosong, baru saja mengubah arah roket. Siapa orang ini sebenarnya? Apakah dia manusia? Tatapan serupa diberikan si Bos kepada Morgan. Namun, berbeda dengan orang yang meluncurkan roket itu, dia kini menyiapkan senjata untuk menyerang Morgan. Morgan menyadari apa yang dilakukan si Bos dan dia pun langsung bergerak. Dia berlari dan, dalam sekejap, sudah berada di antara mereka. Hal pertama yang dilakukannya kemudian adalah menendang si orang yang menembakkan roket padanya tadi hingga pria itu terlempar jauh menghantam dinding. Tentu saja orang-orang lain di sekitar si Bos kaget, tercengang dengan apa yan
Morgan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Tak salah lagi, si pengendara yang dimaksud Gaby adalah Allina. Siapa lagi yang bisa memiting tentara seperti Donald kalau bukan dia?[Apa perintahmu? Haruskah kubiarkan dia masuk? Atau aku minta Imran untuk membantu Donald?]“Suruh Imran ke gerbang untuk memisahkan mereka, tapi biarkan orang itu masuk. Mungkin dia mau bertemu denganku. Jika benar begitu, kau jelaskan saja situasiku saat ini padanya.”[Oke. Jadi kubiarkan masuk saja nih, ya?]“Iya. Tapi ingat satu hal: jangan sampai istriku melihatnya. Ada baiknya kau ajak dia ngobrol di luar saja. Di teras.”[Hmm, oke. Ada alasan khusus di balik itu?]“Ya, ada. Tapi kau tak perlu tahu. Ribet juga kalau kujelaskan sekarang. Lakukan saja sesuai arahanku.”[Oke.]Percakapan berakhir di situ. Morgan mengembalikan ponsel itu kepada Kris.“Ada masalah, Dewa Perang? Anda ingin kembali ke Kota HK sekarang?” tanya Kris.Morgan menggeleng, menjawab, “Kita selesaikan saja dulu urusan kita di kot
“Maafkan saya, Nyonya. Akan segera saya atasi. Silakan Nyonya masuk kembali,” kata Gaby.Allina menatap Gaby heran. Cara Gaby bicara pada Agnes benar-benar formal.‘Apakah dia memang dipekerjakan Morgan di rumahnya ini?’ pikirnya.Tak menggubris permintaan Gaby, Agnes malah melangkah keluar. Pintu dibiarkannya terbuka. Kini dia menatap Allina dengan gestur menantang.“Ada apa kau ke sini? Kau mencari Morgan?” tanyanya ketus.“Ya,” jawab Allina cepat. “Tapi orang ini bilang dia sedang tak ada di rumah. Apa benar?”“Ya. Dia tak ada di rumah,” balas Agnes ketus.Gaby menatap Agnes dan Allina bergantian. Dia benar-benar bingung. Dia tak tahu kalau Agnes dan Allina sudah saling kenal.“Nyonya, biar saya saja yang tangani ini. Silakan Nyonya—”Agnes mengangkat tangan kanannya, meminta Gaby berhenti bicara.Fakta bahwa Gaby langsung menurut menguatkan dugaan Allina kalau wanita ini memang dipekerjakan Morgan di rumahnya ini.“Ada apa kau mencari Morgan? Kau masih mau mencoba merenggutnya dar
Allina terdiam memandangi Agnes yang masuk ke rumah. Tamparan Agnes masih menyisakan perih di pipinya.‘Sekarang kita impas.’Itulah yang dikatakan Agnes. Apakah itu artinya Agnes telah memaafkannya? Atau yang dimaksud impas di situ barulah sekadar Agnes balas menampar Allina sebab Allina lebih dulu menamparnya?Tak jelas. Tak ada yang bisa memastikannya kecuali Agne sendiri.Namun, tentunya, Allina tak punya niat untuk memaksa masuk dan mengejar Agnes.Kini dia menatap Gaby. Gaby mengangkat bahu, memberinya tatapan malas.Allina menatap pintu rumah yang tertutup itu. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan, dia pun berpikir untuk pergi.Soal Morgan, dia akan memikirkannya nanti. Siapa tahu mereka berpapasan di suatu tempat. Dia yakin Lambat-laun Morgan akan kembali ke kota ini setelah urusannya di luar kota itu selesai.Allina pun balik badan, menuruni anak-anak tangga.Gaby membiarkannya, tak menahannya atau apa. Setelah Agnes masuk dia kini bisa sedikit santai. Dilipatkan kedua tanganny
“Kolonel, apa yang kau lakukan?!” tegur Kris.Dia dan Morgan telah membantu Bagas menumpas kelompok kriminal berbahaya, tapi ini yang terjadi?“Kapten, ini sungguh aneh. Kesan yang kulihat adalah, Anda begitu melindungi dan menghormati orang ini. Apakah dugaan ajudan saya benar, bahwa pangkat orang ini justru lebih tinggi dari Anda?”Pertanyaan menohok dari Bagas. Dia melontarkannya tanpa menatap Kris. Matanya lurus terarah ke mata Morgan.Kris sendiri tak menjawabnya. Dia bersiaga. Dia siap mengambil pistolnya kapan saja jika situasi berkembang ke arah yang tak diharapkannya.Tapi apa yang membuat Bagas tiba-tiba menyerang Morgan seperti ini?“Morgan, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang akan terjadi kalau aku menarik pelatuk dan peluru dari pistolku ini menembus perutmu?” Bagas tersenyum menantang. Matanya memicing.“Menembus perutku? Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Kolonel,” kata Morgan, membalas senyum menantang Bagas.Saat itulah Bagas menyadari kalau Morgan seda
“Ada apa? Siapa yang menelepon?” tanya Morgan.“Jenderal Yudha, Dewa Perang,” jawab Kris.Morgan menatap Kris penuh tanya. Dia minta Kris memberikan ponselnya.“Halo, Jenderal. Ada informasi baru?” tanya Morgan.[Ya, Morgan. Sayangnya ini bukan berita baik.]“Apa itu, Jenderal? Katakan saja.”Dan Yudha pun menjelaskan apa yang disebutnya ‘bukan berita baik’ itu. Ini berkaitan dengan rencana Morgan untuk mengisolasi Kota HK beberapa lama.Rupanya, setelah Yudha bicara dengan pihak-pihak yang bisa turut andil dalam mewujudkan rencana Morgan itu, dia menyadari satu hal: ada gerakan bawah tanah yang ditujukan untuk mengubah situasi di tubuh militer.Gerakan ini, selain digagas oleh beberapa jenderal senior, juga didukung oleh agen-agen asing, didanai oleh perusahaan-perusahaan asing lewat jalur-jalur yang dirahasiakan.Melihat perkembangan gerakan itu saat ini, perubahan di tubuh militer yang menjadi tujuan mereka itu sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat.Itu artinya, posisi Yudha seb
Morgan menatap istrinya dengan cemas. Pertanyaan yang dilontarkan istrinya sungguh tak terduga. Dia butuh waktu untuk menentukan jawabannya. "Kenapa, Morgan? Kau tak mau menjawabnya? Ya sudah kalau begitu. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan," kata Agnes. Dia palingkan wajahnya dan lanjut menuruni anak-anak tangga. Tapi Morgan mengejarnya dan menangkap tangannya. "Agnes, ada yang harus kukatakan padamu," kata Morgan saat Agnes menoleh. Tak ada balasan dari Agnes. Tatapannya dingin. "Soal dipecatnya Daniel... ya, memang ada peranku di situ, Tapi dia pantas mendapatkannya," lanjut Morgan. Pupil mata Agnes membesar. Dia mencoba melepaskan tangannya yang dipegang Agnes, tapi tak bisa. "Apa yang dikatakan Daniel tentangku di mobilnya malam itu adalah fitnah, Agnes. Aku tidak menyerangnya seperti yang kau kira. Justru aku menyelamatkannya dan menyembuhkan lukanya. Tidakkah Daniel menyinggung hal itu sebelum dia meninggalkan kantor kemarin?"Agnes mengerutkan kening. Dia tak mem
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat