Setibanya di kantor pusat Charta Group, setelah menaruh laptop di ruangannya, Agnes menuju ke ruangannya Felisia. Kini dia sudah hampir sampai di ruangan tersebut.Dia mengetuk pintu ruangannya Felisia dua kali. Setelah mendengar suara Felisia, barulah dia membuka pintu dan masuk.“Ada apa, Agnes? Pagi-pagi sekali kau sudah ke sini,” kata Felisia.Agnes bersikap profesional seperti biasa. Dia meminta izin kepada Felisia untuk duduk di kursi di hadapan CEO Charta Group itu.Agnes menarik napas panjang. Sebenarnya dia agak ragu kalau ini sesuatu yang pantas ditanyakannya di momen seperti itu. Tapi, dia tak bisa menahan diri lagi.“Bu Felsia, Anda tahu suami saya, kan?” tanya Agnes, memulai.Felisia mengerutkan kening. “Tuan Morgan? Ya, saya tahu. Kami pernah beberapa kali bertemu. Kenapa memangnya?”Kembali Agnes menarik napas panjang. Dia sudah melangkah maju. Dia tak mungkin mundur sekarang.“Apakah benar suami saya itu sebenarnya pemilik Charta Group, Bu?”Dhuarr!Pertanyaan tak terd
"Kau ini tuli atau apa? Aku bilang aku yang memesan mobil ini. Kau pilih mobil lain saja," kata Morgan. "Kurang ajar! Minta maaf sekarang juga atau kau akan menyesali kata-katamu barusan!" balas si pria. "Minta maaf padamu? Kenapa aku harus minta maaf padamu? Memangnya aku salah apa? Coba, Sales, apa salahku?"Morgan mengatakan kalimat terakhirnya sambil menatap si sales. Si sales terlihat ragu-ragu untuk menjawab."Heh, Sales, siapkan mobil ini untukku. Kau bisa melihat sendiri siapa yang punya uang dan siapa yang tidak. Si gembel ini hanya membuang-buang waktumu. Harusnya kau layani aku. Aku jelas-jelas punya uang untuk membeli mobil ini," kata pria tadi, menyodorkan kartu namanya kepada si sales. Si sales mengambil kartu tersebut, membaca informasi-informasi yang tertulis di situ. Dan matanya terbelalak. "Tuan Zake Sullivan? Anda anggota Keluarga Sullivan yang terkenal itu?" tanya si sales. Zake tersenyum miring, berkata, "Ya, aku Zake Sullivan, calon pewaris tahta Kerajaan D.
Si sales akhirnya kembali membawa dokumen pembelian dan mesin EDC.Wajahnya berseri-seri. Dia yang semula melayani Morgan telah memutuskan untuk memilih Zake sebagai calon pembeli mobil merah seharga 30 miliar itu.Dia yakin keputusannya ini tepat.Langkah-langkahnya ringan ketika dia berjalan di lorong. Dia bayangkan komisi yang akan didapatkannya di akhir bulan nanti. Penjualan mobil seharga 30 miliar ini akan menjadi penjualan terbaiknya dalam beberapa tahun dia bekerja di showroom tersebut.‘Seharusnya dari awal orang itu kuabaikan saja. Dia pasti gila. Bisa-bisanya dia bilang mau membeli mobil termahal di showroom ini padahal membuat dirinya tampil layak saja dia tak bisa. Buang-buang waktu saja!’ gerutunya.Orang yang dimaksudnya tentu saja adalah Morgan. Dia menyesal telah meluangkan waktunya untuk melayani Morgan dan bersikap profesional padanya.Mestinya, tadi itu dia bikin Morgan tak nyaman dengan terus menyindirnya soal ketidakmampuannya membeli mobil seharga 30 miliar itu.
Morgan sedang berada di sebuah bar. Seperti biasa dia duduk di meja bartender. Baru saja sang bartender menyajikan minuman yang dipesannya.Bar ini berjarak sekitar sepuluh kilometer dari showroom tadi. Morgan telah mencoba mobil barunya itu. Sejauh ini, dia cukup puas. Kualitas mobil merah itu sesuai harganya.Sekarang Morgan tinggal membeli ponsel dan mengaktifkan kembali nomor selulernya.Itu bisa dilakukannya nanti agak sore. Sekarang dia sedang ingin minum-minum sebentar.Dia jamin dia tak akan mabuk. Toh dia hanya akan beristirahat di bar ini selama setengah jam saja.Saat sedang menenggak minumannya, tiba-tiba Morgan teringat Agnes.Tadi pagi dia telah mengungkapkan jati dirinya kepada Agnes, dan kini dia kembali mempertanyakan keputusannya itu.Respons Agnes tadi pagi cukup mengkhawatirkan. Istrinya itu seperti sulit menerima kalau Morgan suaminya adalah pemilik perusahaan tempat dia bekerja.Morgan tak menyalahkan Agnes sama sekali. Menurutnya itu reaksi yang wajar. Bahkan ta
“Siapa kau? Berani-beraninya kau menodongkan pistol padaku. Kau tak tahu aku siapa, hah?” teriak si pria di semping kiri Morgan.“Kau saja tak tahu aku siapa. Dan kau berharap aku tahu kau siapa? Lucu sekali,” balas wanita itu dengan nada mencemooh.“Kau!”Pria itu mendengus. Botol minuman di tangannya dia lemparkan ke arah wanita itu.Krang!Botol itu menghantam dinding di belakang si wanita, pecah berhamburan di situ.Menariknya, si wanita bergeming di posisinya. Dia juga tak terlihat takut sedikit pun, seolah-olah lemparan botol barusan tak pernah terjadi.Sedetik kemudian….Dor!“Argh!”Peluru melesak dari pistol si wanita, tepat mengenai paha si pria yang mengklaim dirinya sebagai bos mafia itu.Dua temannya terkejut melihat dia tertembak. Morgan memanfaatkan momen ini untuk membalikkan keadaan. Dengan gerakan yang sangat cepat dia tonjok kedua orang itu hingga mereka kini tersungkur di lantai, mengaduh kesakitan.Yang satu memegangi perutnya dan yang satu lagi menutupi hidungnya
Tembakan itu nyaris saja mengenali Morgan. Untung dia bergerak lebih cepat. Kini dia memelintir tangan si pria yang menembaknya itu."Argh!"Pistol dari tangan pria itu terjatuh ke dekat pedal rem. Morgan menarik tangan pria itu Dan menonjok si pria tepat di mukanya."Ugh..."Darah sugar mengalir dari hidung pria itu. Dia pingsan saat itu juga.Tinggal satu pria lagi: si sopir.Morgan sedikit berdiri dan memiting si sopir. Si sopir kesulitan mengendalikan mobil. Van hitam itu berkelok-kelok di jalan, membahayakan mobil-mobil di belakangnya.Lepas kendali, mobil van itu berputar-putar dan salah satu sedan hitam di belakangnya menabraknya.Yang terjadi saat ini seperti di film-film aksi Hollywood. Van hitam itu didorong oleh si sedan sejauh beberapa ratus meter.Dan ketika akhirnya si sedan berhenti, van hitam itu terguling.Bagaimana nasib Morgan?Dia baik-baik saja. Dia keluar dari van hitam itu tanpa ada luka sedikit pun. Dia satu-satunya orang yang keluar dari mobil itu.Sedan-seda
“Kau bergerak sedikit saja, peluru dari pistolku ini akan mengenai mobilmu,” kata wanita itu.Morgan yang baru saja melangkah langsung berhenti. Ditatapnya wanita itu dengan curiga dan waspada.“Siapa kau? Apa maumu sebenarnya?” tanya Morgan lantang.Wanita itu tersenyum. “Sebegitu sayangnya kau pada mobilmu ini?” tanyanya.“Aku baru saja membelinya hari ini. Dan harganya 30 miliar. Menurutmu?” balas Morgan.Wanita itu tertawa. Dia turunkan tangannya yang memegangi senjata itu. Morgan kini melihat wanita itu terlihat rileks. Dia tak lagi tampak berbahaya.“Baiklah kalau begitu. Aku akui, mobilmu ini lumayan canggih,” kata wanita itu.Pistol itu masih di tangannya, tapi tak ada gelagat kalau wanita itu akan menggunakannya.“Kemarilah. Kau tak mau mengambil hadiah yang kubawakan ini?” pancing wanita itu, menunjuk Joe yang sudah babak-belur itu dengan tangannya yang satunya lagi.Masih dengan tatapan waspada, Morgan kembali melangkah. Dia arahkan langkah-langkahnya ke sosok Joe yang dudu
"Apa katamu? Kau Sang Dewa Perang?" Salsa menatap Morgan dengan raut muka serius. "Iya. Kau percaya?" balas Morgan, menunjukkan sedikit senyum jahilnya. Salsa masih menatap Morgan dengan raut muka yang sama, hingga kemudian dia alihkan pandangannya ke depan lagi. "Kau pasti bercanda. Kau harap aku percaya kau Sang Dewa Perang? Apa kau tahu sehebat dan seberkuasa apa sosok legendaris itu?" Salsa menggerutu. Morgan terkekeh. Katanya, "Well, kau sendiri bilang padaku kalau kau adalah agen khusus yang bekerja untuk badan intelijen negara. Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Sejak kapan seorang agen khusus menyombongkan identitasnya kepada orang asing yang baru saja ditemuinya?"Salsa mengerutkan kening. Benar juga apa yang dikatakan Morgan itu. Pantas saja Morgan mengaku-ngaku Dewa Perang. Rupanya dia hanya sedang balas dendam. "Hahaha. Rupanya kau punya selera humor juga. Kupikir kau hanya bisa menghajar orang saja," kata Salsa. Morgan tak menanggapinya. Matanya terus terarah k