“Kau bergerak sedikit saja, peluru dari pistolku ini akan mengenai mobilmu,” kata wanita itu.Morgan yang baru saja melangkah langsung berhenti. Ditatapnya wanita itu dengan curiga dan waspada.“Siapa kau? Apa maumu sebenarnya?” tanya Morgan lantang.Wanita itu tersenyum. “Sebegitu sayangnya kau pada mobilmu ini?” tanyanya.“Aku baru saja membelinya hari ini. Dan harganya 30 miliar. Menurutmu?” balas Morgan.Wanita itu tertawa. Dia turunkan tangannya yang memegangi senjata itu. Morgan kini melihat wanita itu terlihat rileks. Dia tak lagi tampak berbahaya.“Baiklah kalau begitu. Aku akui, mobilmu ini lumayan canggih,” kata wanita itu.Pistol itu masih di tangannya, tapi tak ada gelagat kalau wanita itu akan menggunakannya.“Kemarilah. Kau tak mau mengambil hadiah yang kubawakan ini?” pancing wanita itu, menunjuk Joe yang sudah babak-belur itu dengan tangannya yang satunya lagi.Masih dengan tatapan waspada, Morgan kembali melangkah. Dia arahkan langkah-langkahnya ke sosok Joe yang dudu
"Apa katamu? Kau Sang Dewa Perang?" Salsa menatap Morgan dengan raut muka serius. "Iya. Kau percaya?" balas Morgan, menunjukkan sedikit senyum jahilnya. Salsa masih menatap Morgan dengan raut muka yang sama, hingga kemudian dia alihkan pandangannya ke depan lagi. "Kau pasti bercanda. Kau harap aku percaya kau Sang Dewa Perang? Apa kau tahu sehebat dan seberkuasa apa sosok legendaris itu?" Salsa menggerutu. Morgan terkekeh. Katanya, "Well, kau sendiri bilang padaku kalau kau adalah agen khusus yang bekerja untuk badan intelijen negara. Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Sejak kapan seorang agen khusus menyombongkan identitasnya kepada orang asing yang baru saja ditemuinya?"Salsa mengerutkan kening. Benar juga apa yang dikatakan Morgan itu. Pantas saja Morgan mengaku-ngaku Dewa Perang. Rupanya dia hanya sedang balas dendam. "Hahaha. Rupanya kau punya selera humor juga. Kupikir kau hanya bisa menghajar orang saja," kata Salsa. Morgan tak menanggapinya. Matanya terus terarah k
Saking kagetnya, Felisia sampai lupa menjaga sikap. Dia pun langsung meminta maaf kepada Morgan atas ketidaksopanannya.“Mohon maaf, Tuan Morgan, apa yang Anda maksudkan?” tanya Felisia.“Salsa Vermiona. Itu bukan nama aslinya. Profesi yang tertulis di kartu namanya itu juga bukan profesi aslinya. Aslinya dia adalah seorang intel. Dia bekerja untuk badan intelejensi negara,” jawab Morgan.Pupil mata Felisia membesar. Raut mukanya mendadak keruh.“Intel? Maksud Anda, dia selama ini memata-matai Charta Group?” tanya Felisia lagi.“Tidak persis seperti itu,” jawab Morgan. “Dia itu intel yang ditugaskan untuk mengamati pergerakan agen-agen asing yang juga ada di kota ini. Dan untuk keperluan penyelidikan, dia tak akan segan-segan meretas data perusahaan-perusahan yang diduganya terkait dengan pergerakan agen-agen asing itu.”“Tapi Charta Group, ini sejauh yang saya tahu saja, Tuan Morgan, rasa-rasanya tak pernah punya hubungan—apalagi ikatan—kerjasama dengan agen-agen asing.”“Tidak secar
Morgan menatap Agnes sambil memikirkan jawaban apa yang sebaiknya diberikannya.Sebenarnya mudah saja menjawab pertanyaan Agnes yang pertama. Dia tinggal bilang “Ya, benar”; toh tadi pagi dia sudah membocorkan identitasnya itu kepada Agnes.Tapi pertanyaan Agnes yang kedua lumayan mengganggunya. Haruskah dia katakan kepada istrinya itu bahwa selama ini dia memang telah membohonginya?“Jawab aku, Morgan! Kita selesaikan semuanya di sini!” kata Agnes tegas.Felisia terlihat panik. Dia terjebak di dalam situasi di mana dia mestinya tak terlibat.Morgan sendiri menghela napas. Dia seruput kopinya sebentar. Tampaknya dia tak punya pilihan lain.“Ya, aku memang pemilik Charta Group, Agnes. Kau bisa konfirmasikan itu ke Felisia sekarang,” kata Morgan.Felisia menatap Morgan dengan mata membesar. Kenapa dia jadi dilibatkan? Dan pun tak mengerti kenapa Morgan tiba-tiba membongkar identitasnya di hadapan istrinya.“Bu Felisia, apakah benar apa yang dikatakan suami saya ini? Benarkah dia pemilik
Morgan berjalan dengan langkah-langkah cepat menuju ruang IGD. Dia langsung ke Rumah Sakit P saat mendapat kabar dari Vivi bahwa istrinya mengalami kecelakaan lalu-lintas dan dilarikan ke sana.Setibanya di Ruang IGD, warna huruf-huruf di ruangan itu masih merah, tanda kalau pertolongan medis masih dilakukan. Dada Morgan berdebar-debar. Dia harap dokter-dokter di dalam sana menyelamatkan istrinya.Morgan telah berpisah dengan Felisia ketika dia mendapat kabar mengejutkan itu. Sebenarnya dia sedang menuju ke markas militer untuk menemui Kris, tapi dia langsung balik arah, menuju ke rumah sakit ini dengan kecepatan penuh.Sembari menunggu pintu ruang IGD terbuka, Morgan duduk di salah satu kursi dan membuka ponselnya. Tadi di perjalanan dia sempat mencari-cari info soal kecelakan lalu-lintas yang baru saja terjadi. Kini, dia mencoba menggali infomasi terkait hal itu lebih dalam.Dan pencariannya itu mengarahkannya ke sebuah video yang direkam oleh salah satu pengendara mobil di lokasi t
Mobil baru Morgan seharga 30 miliar itu melaju cepat di jalan raya Kota KL.Sesuai dugaannya, dia bisa memangkas waktu tempuh ke titik tujuan hingga separuhnya. Drrrt... Drrrt...Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Kris.[Dewa Perang, kami baru saja menemukan info menarik tentang si pemilik sedan biru. Tampaknya dia anaknya Menteri Pertahanan saat ini.]Morgan memicingkan mata. Dia taruh lagi ponselnya di dasbor tanpa membalas pesan Kris tersebut.Mau anak menteri atau siapa pun, dia tak peduli. Orang yang membuat istrinya jadi koma harus merasakan akibatnya.Biip... Biip...Bunyi kali ini berasal dari dasbor mobil. Titik merah yang berkedip-kedip di peta digital di situ bergerak."Oh, kau mau melarikan diri dariku? Tak semudah itu," kata Morgan.Dia mengganti gigi dan menginjak pedal gas. Mobil mewahnya itu pun melaju dengan lebih cepat lagi. Kondisi jalan yang lengang cukup membantunya.Drrrt... Drrrt.... Drrrt...Ponselnya kembali bergetar. Kali ini panggilan masuk, dari Yudha."
Pria cepak itu jatuh berlutut. Darah kembali keluar dari mulutnya yang terbuka lebar, nyaris seperti air yang mengalir dari keran.Morgan memosisikan dirinya di belakang pria itu, memandangi punggungnya. Matanya menyala-nyala. Amarah sudah benar-benar menguasainya.“Kau tahu, istriku yang cantik itu kini terbaring koma di rumah sakit. Wajahnya penuh luka jahitan. Bisa-bisanya kau kabur begitu saja setelah membuat wanita yang kucintai seperti itu!” kata Morgan.Si pria cepak tak menjawab. Dia terlalu sibuk dengan muntahan darahnya dan rasa sakit yang tak tertanggungkan di perutnya.Pukulan Morgan barusan memang sangat keras. Tak mengherankan jika beberapa organ dalam si pria cepak rusak.Bugh!“Argh!”Morgan menendang si pria cepak di pinggangnya. Pria itu mengaduh dan berguling ke kiri. Kini dia terbaring menyamping, meringkuk sambil memegangi perutnya.Pistol yang tadi dipegangnya masih di tangannya yang satu lagi, tapi tak ada tanda-tanda dia akan menggunakannya.Dia tak bisa lagi m
Morgan memegangi pipinya yang terkena tamparan. Perlahan dia melirik Melisa dengan kesal. "Cepat jawab! Apa yang sekarang kau lakukan? Bahaya apa lagi yang kau timpakan pada putriku?!" bentak Melisa. Morgan menarik napas panjang hingga dadanya membusung. Dia embuskan napas yang ditariknya itu perlahan. "Aku tak melakukan apa-apa, Ma. Agnes ditabrak orang tak bertanggung jawab sampai-sampai dia mengalami kecelakaan. Orang itu sendiri sudah kuberi pelajaran. Sekarang biarkan aku fokus ke Agnes!" kata Morgan, berjalan melewati Melisa dengan sorot mata dingin. "Kau!"Melisa tak terima diperlakukan seperti itu oleh Morgan. Meski banyak hal telah terjadi, di matanya Morgan masihlah menantu sampahnya yang tak berguna. Orang seperti Morgan tak semestinya menjadi suami putrinya. Morgan sendiri tak memikirkan itu. Kini dia berdiri di samping kasur pasien. Dicondongkannya tubuhnya. Diceknya suhu tubuh Agnes juga denyut nadinya. "Bagaimana kata dokter? Ada perkembangan apa hari ini?" tanya
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat