Morgan menatap Agnes sambil memikirkan jawaban apa yang sebaiknya diberikannya.Sebenarnya mudah saja menjawab pertanyaan Agnes yang pertama. Dia tinggal bilang “Ya, benar”; toh tadi pagi dia sudah membocorkan identitasnya itu kepada Agnes.Tapi pertanyaan Agnes yang kedua lumayan mengganggunya. Haruskah dia katakan kepada istrinya itu bahwa selama ini dia memang telah membohonginya?“Jawab aku, Morgan! Kita selesaikan semuanya di sini!” kata Agnes tegas.Felisia terlihat panik. Dia terjebak di dalam situasi di mana dia mestinya tak terlibat.Morgan sendiri menghela napas. Dia seruput kopinya sebentar. Tampaknya dia tak punya pilihan lain.“Ya, aku memang pemilik Charta Group, Agnes. Kau bisa konfirmasikan itu ke Felisia sekarang,” kata Morgan.Felisia menatap Morgan dengan mata membesar. Kenapa dia jadi dilibatkan? Dan pun tak mengerti kenapa Morgan tiba-tiba membongkar identitasnya di hadapan istrinya.“Bu Felisia, apakah benar apa yang dikatakan suami saya ini? Benarkah dia pemilik
Morgan berjalan dengan langkah-langkah cepat menuju ruang IGD. Dia langsung ke Rumah Sakit P saat mendapat kabar dari Vivi bahwa istrinya mengalami kecelakaan lalu-lintas dan dilarikan ke sana.Setibanya di Ruang IGD, warna huruf-huruf di ruangan itu masih merah, tanda kalau pertolongan medis masih dilakukan. Dada Morgan berdebar-debar. Dia harap dokter-dokter di dalam sana menyelamatkan istrinya.Morgan telah berpisah dengan Felisia ketika dia mendapat kabar mengejutkan itu. Sebenarnya dia sedang menuju ke markas militer untuk menemui Kris, tapi dia langsung balik arah, menuju ke rumah sakit ini dengan kecepatan penuh.Sembari menunggu pintu ruang IGD terbuka, Morgan duduk di salah satu kursi dan membuka ponselnya. Tadi di perjalanan dia sempat mencari-cari info soal kecelakan lalu-lintas yang baru saja terjadi. Kini, dia mencoba menggali infomasi terkait hal itu lebih dalam.Dan pencariannya itu mengarahkannya ke sebuah video yang direkam oleh salah satu pengendara mobil di lokasi t
Mobil baru Morgan seharga 30 miliar itu melaju cepat di jalan raya Kota KL.Sesuai dugaannya, dia bisa memangkas waktu tempuh ke titik tujuan hingga separuhnya. Drrrt... Drrrt...Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Kris.[Dewa Perang, kami baru saja menemukan info menarik tentang si pemilik sedan biru. Tampaknya dia anaknya Menteri Pertahanan saat ini.]Morgan memicingkan mata. Dia taruh lagi ponselnya di dasbor tanpa membalas pesan Kris tersebut.Mau anak menteri atau siapa pun, dia tak peduli. Orang yang membuat istrinya jadi koma harus merasakan akibatnya.Biip... Biip...Bunyi kali ini berasal dari dasbor mobil. Titik merah yang berkedip-kedip di peta digital di situ bergerak."Oh, kau mau melarikan diri dariku? Tak semudah itu," kata Morgan.Dia mengganti gigi dan menginjak pedal gas. Mobil mewahnya itu pun melaju dengan lebih cepat lagi. Kondisi jalan yang lengang cukup membantunya.Drrrt... Drrrt.... Drrrt...Ponselnya kembali bergetar. Kali ini panggilan masuk, dari Yudha."
Pria cepak itu jatuh berlutut. Darah kembali keluar dari mulutnya yang terbuka lebar, nyaris seperti air yang mengalir dari keran.Morgan memosisikan dirinya di belakang pria itu, memandangi punggungnya. Matanya menyala-nyala. Amarah sudah benar-benar menguasainya.“Kau tahu, istriku yang cantik itu kini terbaring koma di rumah sakit. Wajahnya penuh luka jahitan. Bisa-bisanya kau kabur begitu saja setelah membuat wanita yang kucintai seperti itu!” kata Morgan.Si pria cepak tak menjawab. Dia terlalu sibuk dengan muntahan darahnya dan rasa sakit yang tak tertanggungkan di perutnya.Pukulan Morgan barusan memang sangat keras. Tak mengherankan jika beberapa organ dalam si pria cepak rusak.Bugh!“Argh!”Morgan menendang si pria cepak di pinggangnya. Pria itu mengaduh dan berguling ke kiri. Kini dia terbaring menyamping, meringkuk sambil memegangi perutnya.Pistol yang tadi dipegangnya masih di tangannya yang satu lagi, tapi tak ada tanda-tanda dia akan menggunakannya.Dia tak bisa lagi m
Morgan memegangi pipinya yang terkena tamparan. Perlahan dia melirik Melisa dengan kesal. "Cepat jawab! Apa yang sekarang kau lakukan? Bahaya apa lagi yang kau timpakan pada putriku?!" bentak Melisa. Morgan menarik napas panjang hingga dadanya membusung. Dia embuskan napas yang ditariknya itu perlahan. "Aku tak melakukan apa-apa, Ma. Agnes ditabrak orang tak bertanggung jawab sampai-sampai dia mengalami kecelakaan. Orang itu sendiri sudah kuberi pelajaran. Sekarang biarkan aku fokus ke Agnes!" kata Morgan, berjalan melewati Melisa dengan sorot mata dingin. "Kau!"Melisa tak terima diperlakukan seperti itu oleh Morgan. Meski banyak hal telah terjadi, di matanya Morgan masihlah menantu sampahnya yang tak berguna. Orang seperti Morgan tak semestinya menjadi suami putrinya. Morgan sendiri tak memikirkan itu. Kini dia berdiri di samping kasur pasien. Dicondongkannya tubuhnya. Diceknya suhu tubuh Agnes juga denyut nadinya. "Bagaimana kata dokter? Ada perkembangan apa hari ini?" tanya
Di markas militer Kota HK…“Morgan, aku sudah mengingatkanmu untuk tidak gegabah dalam bertindak. Sekarang kau membuat situasi kita semakin rumit,” kata Yudha.Di ruangan itu ada tiga orang saja: Yudha, Kris, dan Morgan. Mereka di sana untuk membahas perubahan rencana darurat soal bagaimana menangkal kudeta.“Mohon maaf, Jenderal, tapi saya tidak bisa membiarkan orang yang mencelakai istri saya bebas berkeliaran ke sana-sini. Dia bahkan sama sekali tak merasa bersalah. Seolah-olah baginya, kecelakaan maut yang hampir saja merenggut nyawa istri saya itu tak pernah terjadi,” balas Morgan.Baik Yudha maupun Morgan sama-sama mempertahankan argumen mereka masing-masing. Sudah lebih dari sepuluh menit sejak diskusi dimulai, dan belum ada tanda-tanda salah satu dari mereka aka nmengalah.Dalam hal ini, Kris-lah yang menanggung beban untuk menjadi penengah. Berkali-kali dia menatap Morgan dan kemudian Yudha, Yudha dan kemudian Morgan.Tapi sejauh ini dia masih belum mengatakan apa pun. Tampak
Mobil mewah Morgan melaju cepat di jalan lebar yang lurus. Mesin-nya mengaum keras, membelah udara malam. Sesekali dia melirik kaca spion luar tersenyum, mencemooh para penguntitnya. Di belakangnya itu, dua mobil sedan berwarna abu-abu juga melaju begitu cepat. Tapi secepat apa pun mereka melaju, mereka tak bisa lagi memperpendek jarak dengan mobilnya Morgan. Justru semakin lama jarak mereka semakin melebar. Morgan tersenyum, membayangkan betapa kesalnya orang-orang di sedan abu-abu itu padanya. "Kalian mengejarku saat aku mengemudikan mobil termahal dan termewah yang pernah kubeli. Kalian memilih waktu yang salah untuk mengejarku!"Morgan menyeringai. Dia mulai menikmati kejar-kejaran ini. Namun, masih terlalu dini untuk merasa tenang. Yang mengejarnya bukan hanya sedan abu-abu itu. Setelah sempat tak terdengar, bunyi rotasi baling-baling helikopter itu kembali muncul. Morgan kesulitan menemukan si helikopter. Dugaannya, helikopter itu berada di jalurnya. Mungkin jika mobilnya
Bom asap yang dilemparkan ke tanah itu membuat mata Morgan perih.Sadar kalau posisinya tak aman, Morgan bergerak cepat, berlindung lagi di antara pohon-pohon rimbun.Berkali-kali dia mengucek-ngucek matanya. Seandainya ada air bersih, dia bisa mengenyahkan rasa perih di matanya itu saat ini juga.“Di sana!”Terdengar suara lantang seseorang.‘Pasti sisa orang-orang yang turun dari sedan abu-abu itu,’ pikir Morgan.Melihat betapa tak terlatihnya lima orang yang telah dia habisi, semestinya mudah saja baginya untuk menghadapi sisa orang-orang itu. Hanya saja, saat ini, perih di matanya itu benar-benar mengganggunya.Morgan menarik napas panjang, membangkitkan lagi energi murninya, memusatkannya di matanya.Akan butuh waktu sampai rasa perih itu benar-benar hilang. Dan sampai detik itu tiba, Morgan terpaksa memejamkan kedua matanya. Kini dia menghadapi para pengejarnya itu layaknya orang buta.“Hati-hati! Dia berbahaya!”Suara yang sama. Morgan mendengarnya dengan baik. Dia perkirakan o