Mobil mewah Morgan melaju cepat di jalan lebar yang lurus. Mesin-nya mengaum keras, membelah udara malam. Sesekali dia melirik kaca spion luar tersenyum, mencemooh para penguntitnya. Di belakangnya itu, dua mobil sedan berwarna abu-abu juga melaju begitu cepat. Tapi secepat apa pun mereka melaju, mereka tak bisa lagi memperpendek jarak dengan mobilnya Morgan. Justru semakin lama jarak mereka semakin melebar. Morgan tersenyum, membayangkan betapa kesalnya orang-orang di sedan abu-abu itu padanya. "Kalian mengejarku saat aku mengemudikan mobil termahal dan termewah yang pernah kubeli. Kalian memilih waktu yang salah untuk mengejarku!"Morgan menyeringai. Dia mulai menikmati kejar-kejaran ini. Namun, masih terlalu dini untuk merasa tenang. Yang mengejarnya bukan hanya sedan abu-abu itu. Setelah sempat tak terdengar, bunyi rotasi baling-baling helikopter itu kembali muncul. Morgan kesulitan menemukan si helikopter. Dugaannya, helikopter itu berada di jalurnya. Mungkin jika mobilnya
Bom asap yang dilemparkan ke tanah itu membuat mata Morgan perih.Sadar kalau posisinya tak aman, Morgan bergerak cepat, berlindung lagi di antara pohon-pohon rimbun.Berkali-kali dia mengucek-ngucek matanya. Seandainya ada air bersih, dia bisa mengenyahkan rasa perih di matanya itu saat ini juga.“Di sana!”Terdengar suara lantang seseorang.‘Pasti sisa orang-orang yang turun dari sedan abu-abu itu,’ pikir Morgan.Melihat betapa tak terlatihnya lima orang yang telah dia habisi, semestinya mudah saja baginya untuk menghadapi sisa orang-orang itu. Hanya saja, saat ini, perih di matanya itu benar-benar mengganggunya.Morgan menarik napas panjang, membangkitkan lagi energi murninya, memusatkannya di matanya.Akan butuh waktu sampai rasa perih itu benar-benar hilang. Dan sampai detik itu tiba, Morgan terpaksa memejamkan kedua matanya. Kini dia menghadapi para pengejarnya itu layaknya orang buta.“Hati-hati! Dia berbahaya!”Suara yang sama. Morgan mendengarnya dengan baik. Dia perkirakan o
Bagian ekor helikopter itu meledak. Helikopter tersebut pun berputar-putar kehilangan kendali.Satu orang tentara yang berada di dalamnya meloncat, disusul satu tentara lainnya, juga satu tentara lainnya lagi.Terakhir, si tentara yang menjadi pilot helikopter juga meloncat.Helikopter itu lantas jatuh menghantam pepohonan. Ledakan keras sempat terjadi, membakar sebagian pohon di situ.Morgan sendiri melompat turun, mendarat di tanah dengan kedua kaki hanya mengenakan kaus kaki.Dia dalam posisi seperti seekor harimau, mengintai mangsa-mangsanya di balik kegelapan hutan.Tentara-tentara itu sendiri, empat orang jumlahnya, satu per satu mulai berdiri. Masing-masing bersenjata lengkap. Morgan bisa melihat pisau dan granat di seragam tentara yang mereka kenakan.“Sssh! Luka tembak ini benar-benar menyebalkan!” desis Morgan, memegangi luka tembak di pinggangnya.Denyutan-denyutan yang mengganggu terasa di sana. Morgan ingin segera mengeluarkan peluru itu, tapi momennya belum tepat.Dia ha
Bong Bong, pemimpin gangster di Kota YG, sudah sejak semingguan yang lalu berada di Kota HK. Dia dan puluhan anak buahnya ada di kota itu untuk sebuah misi khusus. Sejauh dia bisa melacak, misi khususnya ini ada kaitannya dengan rencana kudeta yang belakangan ini ramai dibicarakan di dunia bawah tanah. Setengah jam yang lalu, saat dia sedang minum-minum di bar sambil menikmati pertunjukan musik di panggung, Bertrand meneleponnya. Bertrand adalah petinggi militer yang menjadi bekingannya selama belasan tahun. Jika bukan karena akses-akses rahasia yang dibukakan Bertrand untuknya, dia mungkin tak akan sesukses sekarang. Bisa dibilang, Bong Bong berutang budi kepada Bertrand. Maka ketika Bertrand tadi memintanya melakukan sesuatu untuknya, dia langsung berkata bahwa dia akan melakukannya. Bertrand ingin dia menghabisi seseorang. Fakta bahwa sang jenderal masih membutuhkan bantuannya kendati dia konon telah juga mengerahkan pasukan tentara resmi untuk menghabisi seseorang itu, menand
Di area tempat Morgan tinggal, di luar gerbang dan di dalam gerbang, tentara-tentara berjalan dengan waspada. Masing-masing dari mereka memegang senapan otomatis.Daniel yang berjaga di gerbang sudah tumbang; dibikin pingsan dan diikat tangan dan kakinya, serta disumpal mulutnya.Imran, yang juga sempat memberikan perlawanan seperti halnya Daniel, nasibnya lebih parah. Kini tubuhnya mengapung di kolam. Darah dari tubuhnya membuat air kolam menjadi merah.Satu orang tentara, yang tampaknya pemimpin pasukan ini, memberi isyarat dengan gerakan tangan.Langsung saja tentara-tentara lain bergerak, sebagian ke sisi kiri rumah dan sebagian ke sisi kanan rumah.Si tentara yang memberikan instruksi sendiri, bersama beberapa orang tentara, menaiki anak-anak tangga ke beranda.Mereka punya misi istimewa: menghabisi target berbahaya bernama Morgan.Tentara-tentara ini sudah melancarkan serangan sejak lima belas menit sebelumnya.Sengaja mereka memulai serangan saat matahari mulai naik; mereka men
Masih dengan mata terpejam, Morgan membawa si pemimpin pasukan ke lantai dua.Dia diuntungkan sebab dia mengenal dengan baik medan pertempuran. Namun, dia kesal. Tak semestinya rumah mewahnya ini dijadikan medan pertempuran.Tentara-tentara itu mulai masuk dan melepaskan tembakan ke lantai dua.Mereka adalah tentara-tentara yang tadi dilewatkan Morgan. Morgan sendiri berhasil menghindar. Baru saja dia memasuki kamarnya dan langsung menguncinya.Setelah berada di kamarnya, dia akhirnya membuka mata.Si pemimpin pasukan kondisinya kacau; mukanya penuh luka di sana-sini; tangannya terkulai lemas dan mulutnya meneteskan liur bercampur darah.Morgan menjatuhkan pria itu ke lantai di dekat jendela. Dia sendiri membuka laci nakas dan mengambil pistolnya. Dia buka juga laci lemari pakaian dan mengambil pistol lainnya di sana.Dor!“Argh!!”Morgan menembak paha kanan si pemimpin pasukan.“Dengan begini kau tak akan bisa ke mana-mana. Tapi kau juga belum akan mati. Kau belum boleh mati,” kata M
Di dalam mobil, ditemani Coki yang duduk di kursi kemudi, Bong Bong menyaksikan keributan di area rumah sakit itu sambil mengisap cerutu.Jendela di sampingnya dia biarkan terbuka. Asap cerutu itu dia kepulkan ke situ.Siapa pun yang melihat keributan di area rumah sakit itu akan berpikir bahwa itu pertarungan yang tak seimbang.Yang diserang hanya satu orang, sedangkan yang menyerang dua puluhan orang.Fakta bahwa yang diserang itu tak memegang senjata sedangkan mereka yang menyerang ramai-ramai mengangkat senjata mereka tinggi-tinggi menambah ketimpangan kekuatan yang ada.Namun, pada kenyataannya, keadaannya justru sebaliknya.Satu orang terlempar ke atas, diikuti dua orang lain, dan dua orang lagi setelahnya.Bong Bong yang sedang mengisap cerutu itu mematung sesaat, memfokuskan pengelihatannya, memastikan kalau apa yang dilihatnya itu memang benar-benar terjadi.Lima orang yang barusan terlempar itu jelas-jelas anak buahnya. Dia lantas bertanya-tanya apakah yang membuat mereka te
Seragam yang dipakai tentara-tentara itu sama dengan yang dipakai tentara-tentara yang menyerang rumahnya. Morgan pun yakin kalau yang mengirim mereka adalah orang yang sama. Itu artinya, orang-orang yang baru saja mengeroyoknya itu pun kemungkinan dikirim oleh orang yang sama. Tapi satu pertanyaan mencuat di benak Morgan: kenapa orang itu masih berani mengusiknya padahal dia telah memberikan peringatan yang jelas?"Morgan, ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Morgan menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Gaby berjalan ke arahnya. Bong Bong dan Coki pun menoleh ke arah yang sama. Pupil mata Bong Bong membesar. "Gaby, kenapa kau ke sini?" protes Morgan. "Tadi aku melihat keributan yang terjadi dan aku langsung menelepon polisi. Dengan datangnya mereka, kukira masalah akan selesai. Ternyata..."Sekarang jelas sudah. Rupanya Gaby yang meminta polisi-polisi ini datang. Apakah dia juga menghubungi Kris? "Kau masuklah lagi. Ini biar aku yang atasi," kata Morgan. Gaby berhe
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat