“Kolonel, apa yang kau lakukan?!” tegur Kris.Dia dan Morgan telah membantu Bagas menumpas kelompok kriminal berbahaya, tapi ini yang terjadi?“Kapten, ini sungguh aneh. Kesan yang kulihat adalah, Anda begitu melindungi dan menghormati orang ini. Apakah dugaan ajudan saya benar, bahwa pangkat orang ini justru lebih tinggi dari Anda?”Pertanyaan menohok dari Bagas. Dia melontarkannya tanpa menatap Kris. Matanya lurus terarah ke mata Morgan.Kris sendiri tak menjawabnya. Dia bersiaga. Dia siap mengambil pistolnya kapan saja jika situasi berkembang ke arah yang tak diharapkannya.Tapi apa yang membuat Bagas tiba-tiba menyerang Morgan seperti ini?“Morgan, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang akan terjadi kalau aku menarik pelatuk dan peluru dari pistolku ini menembus perutmu?” Bagas tersenyum menantang. Matanya memicing.“Menembus perutku? Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Kolonel,” kata Morgan, membalas senyum menantang Bagas.Saat itulah Bagas menyadari kalau Morgan seda
“Ada apa? Siapa yang menelepon?” tanya Morgan.“Jenderal Yudha, Dewa Perang,” jawab Kris.Morgan menatap Kris penuh tanya. Dia minta Kris memberikan ponselnya.“Halo, Jenderal. Ada informasi baru?” tanya Morgan.[Ya, Morgan. Sayangnya ini bukan berita baik.]“Apa itu, Jenderal? Katakan saja.”Dan Yudha pun menjelaskan apa yang disebutnya ‘bukan berita baik’ itu. Ini berkaitan dengan rencana Morgan untuk mengisolasi Kota HK beberapa lama.Rupanya, setelah Yudha bicara dengan pihak-pihak yang bisa turut andil dalam mewujudkan rencana Morgan itu, dia menyadari satu hal: ada gerakan bawah tanah yang ditujukan untuk mengubah situasi di tubuh militer.Gerakan ini, selain digagas oleh beberapa jenderal senior, juga didukung oleh agen-agen asing, didanai oleh perusahaan-perusahaan asing lewat jalur-jalur yang dirahasiakan.Melihat perkembangan gerakan itu saat ini, perubahan di tubuh militer yang menjadi tujuan mereka itu sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat.Itu artinya, posisi Yudha seb
Morgan menatap istrinya dengan cemas. Pertanyaan yang dilontarkan istrinya sungguh tak terduga. Dia butuh waktu untuk menentukan jawabannya. "Kenapa, Morgan? Kau tak mau menjawabnya? Ya sudah kalau begitu. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan," kata Agnes. Dia palingkan wajahnya dan lanjut menuruni anak-anak tangga. Tapi Morgan mengejarnya dan menangkap tangannya. "Agnes, ada yang harus kukatakan padamu," kata Morgan saat Agnes menoleh. Tak ada balasan dari Agnes. Tatapannya dingin. "Soal dipecatnya Daniel... ya, memang ada peranku di situ, Tapi dia pantas mendapatkannya," lanjut Morgan. Pupil mata Agnes membesar. Dia mencoba melepaskan tangannya yang dipegang Agnes, tapi tak bisa. "Apa yang dikatakan Daniel tentangku di mobilnya malam itu adalah fitnah, Agnes. Aku tidak menyerangnya seperti yang kau kira. Justru aku menyelamatkannya dan menyembuhkan lukanya. Tidakkah Daniel menyinggung hal itu sebelum dia meninggalkan kantor kemarin?"Agnes mengerutkan kening. Dia tak mem
Setibanya di kantor pusat Charta Group, setelah menaruh laptop di ruangannya, Agnes menuju ke ruangannya Felisia. Kini dia sudah hampir sampai di ruangan tersebut.Dia mengetuk pintu ruangannya Felisia dua kali. Setelah mendengar suara Felisia, barulah dia membuka pintu dan masuk.“Ada apa, Agnes? Pagi-pagi sekali kau sudah ke sini,” kata Felisia.Agnes bersikap profesional seperti biasa. Dia meminta izin kepada Felisia untuk duduk di kursi di hadapan CEO Charta Group itu.Agnes menarik napas panjang. Sebenarnya dia agak ragu kalau ini sesuatu yang pantas ditanyakannya di momen seperti itu. Tapi, dia tak bisa menahan diri lagi.“Bu Felsia, Anda tahu suami saya, kan?” tanya Agnes, memulai.Felisia mengerutkan kening. “Tuan Morgan? Ya, saya tahu. Kami pernah beberapa kali bertemu. Kenapa memangnya?”Kembali Agnes menarik napas panjang. Dia sudah melangkah maju. Dia tak mungkin mundur sekarang.“Apakah benar suami saya itu sebenarnya pemilik Charta Group, Bu?”Dhuarr!Pertanyaan tak terd
"Kau ini tuli atau apa? Aku bilang aku yang memesan mobil ini. Kau pilih mobil lain saja," kata Morgan. "Kurang ajar! Minta maaf sekarang juga atau kau akan menyesali kata-katamu barusan!" balas si pria. "Minta maaf padamu? Kenapa aku harus minta maaf padamu? Memangnya aku salah apa? Coba, Sales, apa salahku?"Morgan mengatakan kalimat terakhirnya sambil menatap si sales. Si sales terlihat ragu-ragu untuk menjawab."Heh, Sales, siapkan mobil ini untukku. Kau bisa melihat sendiri siapa yang punya uang dan siapa yang tidak. Si gembel ini hanya membuang-buang waktumu. Harusnya kau layani aku. Aku jelas-jelas punya uang untuk membeli mobil ini," kata pria tadi, menyodorkan kartu namanya kepada si sales. Si sales mengambil kartu tersebut, membaca informasi-informasi yang tertulis di situ. Dan matanya terbelalak. "Tuan Zake Sullivan? Anda anggota Keluarga Sullivan yang terkenal itu?" tanya si sales. Zake tersenyum miring, berkata, "Ya, aku Zake Sullivan, calon pewaris tahta Kerajaan D.
Si sales akhirnya kembali membawa dokumen pembelian dan mesin EDC.Wajahnya berseri-seri. Dia yang semula melayani Morgan telah memutuskan untuk memilih Zake sebagai calon pembeli mobil merah seharga 30 miliar itu.Dia yakin keputusannya ini tepat.Langkah-langkahnya ringan ketika dia berjalan di lorong. Dia bayangkan komisi yang akan didapatkannya di akhir bulan nanti. Penjualan mobil seharga 30 miliar ini akan menjadi penjualan terbaiknya dalam beberapa tahun dia bekerja di showroom tersebut.‘Seharusnya dari awal orang itu kuabaikan saja. Dia pasti gila. Bisa-bisanya dia bilang mau membeli mobil termahal di showroom ini padahal membuat dirinya tampil layak saja dia tak bisa. Buang-buang waktu saja!’ gerutunya.Orang yang dimaksudnya tentu saja adalah Morgan. Dia menyesal telah meluangkan waktunya untuk melayani Morgan dan bersikap profesional padanya.Mestinya, tadi itu dia bikin Morgan tak nyaman dengan terus menyindirnya soal ketidakmampuannya membeli mobil seharga 30 miliar itu.
Morgan sedang berada di sebuah bar. Seperti biasa dia duduk di meja bartender. Baru saja sang bartender menyajikan minuman yang dipesannya.Bar ini berjarak sekitar sepuluh kilometer dari showroom tadi. Morgan telah mencoba mobil barunya itu. Sejauh ini, dia cukup puas. Kualitas mobil merah itu sesuai harganya.Sekarang Morgan tinggal membeli ponsel dan mengaktifkan kembali nomor selulernya.Itu bisa dilakukannya nanti agak sore. Sekarang dia sedang ingin minum-minum sebentar.Dia jamin dia tak akan mabuk. Toh dia hanya akan beristirahat di bar ini selama setengah jam saja.Saat sedang menenggak minumannya, tiba-tiba Morgan teringat Agnes.Tadi pagi dia telah mengungkapkan jati dirinya kepada Agnes, dan kini dia kembali mempertanyakan keputusannya itu.Respons Agnes tadi pagi cukup mengkhawatirkan. Istrinya itu seperti sulit menerima kalau Morgan suaminya adalah pemilik perusahaan tempat dia bekerja.Morgan tak menyalahkan Agnes sama sekali. Menurutnya itu reaksi yang wajar. Bahkan ta
“Siapa kau? Berani-beraninya kau menodongkan pistol padaku. Kau tak tahu aku siapa, hah?” teriak si pria di semping kiri Morgan.“Kau saja tak tahu aku siapa. Dan kau berharap aku tahu kau siapa? Lucu sekali,” balas wanita itu dengan nada mencemooh.“Kau!”Pria itu mendengus. Botol minuman di tangannya dia lemparkan ke arah wanita itu.Krang!Botol itu menghantam dinding di belakang si wanita, pecah berhamburan di situ.Menariknya, si wanita bergeming di posisinya. Dia juga tak terlihat takut sedikit pun, seolah-olah lemparan botol barusan tak pernah terjadi.Sedetik kemudian….Dor!“Argh!”Peluru melesak dari pistol si wanita, tepat mengenai paha si pria yang mengklaim dirinya sebagai bos mafia itu.Dua temannya terkejut melihat dia tertembak. Morgan memanfaatkan momen ini untuk membalikkan keadaan. Dengan gerakan yang sangat cepat dia tonjok kedua orang itu hingga mereka kini tersungkur di lantai, mengaduh kesakitan.Yang satu memegangi perutnya dan yang satu lagi menutupi hidungnya