Allina terdiam memandangi Agnes yang masuk ke rumah. Tamparan Agnes masih menyisakan perih di pipinya.‘Sekarang kita impas.’Itulah yang dikatakan Agnes. Apakah itu artinya Agnes telah memaafkannya? Atau yang dimaksud impas di situ barulah sekadar Agnes balas menampar Allina sebab Allina lebih dulu menamparnya?Tak jelas. Tak ada yang bisa memastikannya kecuali Agne sendiri.Namun, tentunya, Allina tak punya niat untuk memaksa masuk dan mengejar Agnes.Kini dia menatap Gaby. Gaby mengangkat bahu, memberinya tatapan malas.Allina menatap pintu rumah yang tertutup itu. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan, dia pun berpikir untuk pergi.Soal Morgan, dia akan memikirkannya nanti. Siapa tahu mereka berpapasan di suatu tempat. Dia yakin Lambat-laun Morgan akan kembali ke kota ini setelah urusannya di luar kota itu selesai.Allina pun balik badan, menuruni anak-anak tangga.Gaby membiarkannya, tak menahannya atau apa. Setelah Agnes masuk dia kini bisa sedikit santai. Dilipatkan kedua tanganny
“Kolonel, apa yang kau lakukan?!” tegur Kris.Dia dan Morgan telah membantu Bagas menumpas kelompok kriminal berbahaya, tapi ini yang terjadi?“Kapten, ini sungguh aneh. Kesan yang kulihat adalah, Anda begitu melindungi dan menghormati orang ini. Apakah dugaan ajudan saya benar, bahwa pangkat orang ini justru lebih tinggi dari Anda?”Pertanyaan menohok dari Bagas. Dia melontarkannya tanpa menatap Kris. Matanya lurus terarah ke mata Morgan.Kris sendiri tak menjawabnya. Dia bersiaga. Dia siap mengambil pistolnya kapan saja jika situasi berkembang ke arah yang tak diharapkannya.Tapi apa yang membuat Bagas tiba-tiba menyerang Morgan seperti ini?“Morgan, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang akan terjadi kalau aku menarik pelatuk dan peluru dari pistolku ini menembus perutmu?” Bagas tersenyum menantang. Matanya memicing.“Menembus perutku? Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Kolonel,” kata Morgan, membalas senyum menantang Bagas.Saat itulah Bagas menyadari kalau Morgan seda
“Ada apa? Siapa yang menelepon?” tanya Morgan.“Jenderal Yudha, Dewa Perang,” jawab Kris.Morgan menatap Kris penuh tanya. Dia minta Kris memberikan ponselnya.“Halo, Jenderal. Ada informasi baru?” tanya Morgan.[Ya, Morgan. Sayangnya ini bukan berita baik.]“Apa itu, Jenderal? Katakan saja.”Dan Yudha pun menjelaskan apa yang disebutnya ‘bukan berita baik’ itu. Ini berkaitan dengan rencana Morgan untuk mengisolasi Kota HK beberapa lama.Rupanya, setelah Yudha bicara dengan pihak-pihak yang bisa turut andil dalam mewujudkan rencana Morgan itu, dia menyadari satu hal: ada gerakan bawah tanah yang ditujukan untuk mengubah situasi di tubuh militer.Gerakan ini, selain digagas oleh beberapa jenderal senior, juga didukung oleh agen-agen asing, didanai oleh perusahaan-perusahaan asing lewat jalur-jalur yang dirahasiakan.Melihat perkembangan gerakan itu saat ini, perubahan di tubuh militer yang menjadi tujuan mereka itu sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat.Itu artinya, posisi Yudha seb
Morgan menatap istrinya dengan cemas. Pertanyaan yang dilontarkan istrinya sungguh tak terduga. Dia butuh waktu untuk menentukan jawabannya. "Kenapa, Morgan? Kau tak mau menjawabnya? Ya sudah kalau begitu. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan," kata Agnes. Dia palingkan wajahnya dan lanjut menuruni anak-anak tangga. Tapi Morgan mengejarnya dan menangkap tangannya. "Agnes, ada yang harus kukatakan padamu," kata Morgan saat Agnes menoleh. Tak ada balasan dari Agnes. Tatapannya dingin. "Soal dipecatnya Daniel... ya, memang ada peranku di situ, Tapi dia pantas mendapatkannya," lanjut Morgan. Pupil mata Agnes membesar. Dia mencoba melepaskan tangannya yang dipegang Agnes, tapi tak bisa. "Apa yang dikatakan Daniel tentangku di mobilnya malam itu adalah fitnah, Agnes. Aku tidak menyerangnya seperti yang kau kira. Justru aku menyelamatkannya dan menyembuhkan lukanya. Tidakkah Daniel menyinggung hal itu sebelum dia meninggalkan kantor kemarin?"Agnes mengerutkan kening. Dia tak mem
Setibanya di kantor pusat Charta Group, setelah menaruh laptop di ruangannya, Agnes menuju ke ruangannya Felisia. Kini dia sudah hampir sampai di ruangan tersebut.Dia mengetuk pintu ruangannya Felisia dua kali. Setelah mendengar suara Felisia, barulah dia membuka pintu dan masuk.“Ada apa, Agnes? Pagi-pagi sekali kau sudah ke sini,” kata Felisia.Agnes bersikap profesional seperti biasa. Dia meminta izin kepada Felisia untuk duduk di kursi di hadapan CEO Charta Group itu.Agnes menarik napas panjang. Sebenarnya dia agak ragu kalau ini sesuatu yang pantas ditanyakannya di momen seperti itu. Tapi, dia tak bisa menahan diri lagi.“Bu Felsia, Anda tahu suami saya, kan?” tanya Agnes, memulai.Felisia mengerutkan kening. “Tuan Morgan? Ya, saya tahu. Kami pernah beberapa kali bertemu. Kenapa memangnya?”Kembali Agnes menarik napas panjang. Dia sudah melangkah maju. Dia tak mungkin mundur sekarang.“Apakah benar suami saya itu sebenarnya pemilik Charta Group, Bu?”Dhuarr!Pertanyaan tak terd
"Kau ini tuli atau apa? Aku bilang aku yang memesan mobil ini. Kau pilih mobil lain saja," kata Morgan. "Kurang ajar! Minta maaf sekarang juga atau kau akan menyesali kata-katamu barusan!" balas si pria. "Minta maaf padamu? Kenapa aku harus minta maaf padamu? Memangnya aku salah apa? Coba, Sales, apa salahku?"Morgan mengatakan kalimat terakhirnya sambil menatap si sales. Si sales terlihat ragu-ragu untuk menjawab."Heh, Sales, siapkan mobil ini untukku. Kau bisa melihat sendiri siapa yang punya uang dan siapa yang tidak. Si gembel ini hanya membuang-buang waktumu. Harusnya kau layani aku. Aku jelas-jelas punya uang untuk membeli mobil ini," kata pria tadi, menyodorkan kartu namanya kepada si sales. Si sales mengambil kartu tersebut, membaca informasi-informasi yang tertulis di situ. Dan matanya terbelalak. "Tuan Zake Sullivan? Anda anggota Keluarga Sullivan yang terkenal itu?" tanya si sales. Zake tersenyum miring, berkata, "Ya, aku Zake Sullivan, calon pewaris tahta Kerajaan D.
Si sales akhirnya kembali membawa dokumen pembelian dan mesin EDC.Wajahnya berseri-seri. Dia yang semula melayani Morgan telah memutuskan untuk memilih Zake sebagai calon pembeli mobil merah seharga 30 miliar itu.Dia yakin keputusannya ini tepat.Langkah-langkahnya ringan ketika dia berjalan di lorong. Dia bayangkan komisi yang akan didapatkannya di akhir bulan nanti. Penjualan mobil seharga 30 miliar ini akan menjadi penjualan terbaiknya dalam beberapa tahun dia bekerja di showroom tersebut.‘Seharusnya dari awal orang itu kuabaikan saja. Dia pasti gila. Bisa-bisanya dia bilang mau membeli mobil termahal di showroom ini padahal membuat dirinya tampil layak saja dia tak bisa. Buang-buang waktu saja!’ gerutunya.Orang yang dimaksudnya tentu saja adalah Morgan. Dia menyesal telah meluangkan waktunya untuk melayani Morgan dan bersikap profesional padanya.Mestinya, tadi itu dia bikin Morgan tak nyaman dengan terus menyindirnya soal ketidakmampuannya membeli mobil seharga 30 miliar itu.
Morgan sedang berada di sebuah bar. Seperti biasa dia duduk di meja bartender. Baru saja sang bartender menyajikan minuman yang dipesannya.Bar ini berjarak sekitar sepuluh kilometer dari showroom tadi. Morgan telah mencoba mobil barunya itu. Sejauh ini, dia cukup puas. Kualitas mobil merah itu sesuai harganya.Sekarang Morgan tinggal membeli ponsel dan mengaktifkan kembali nomor selulernya.Itu bisa dilakukannya nanti agak sore. Sekarang dia sedang ingin minum-minum sebentar.Dia jamin dia tak akan mabuk. Toh dia hanya akan beristirahat di bar ini selama setengah jam saja.Saat sedang menenggak minumannya, tiba-tiba Morgan teringat Agnes.Tadi pagi dia telah mengungkapkan jati dirinya kepada Agnes, dan kini dia kembali mempertanyakan keputusannya itu.Respons Agnes tadi pagi cukup mengkhawatirkan. Istrinya itu seperti sulit menerima kalau Morgan suaminya adalah pemilik perusahaan tempat dia bekerja.Morgan tak menyalahkan Agnes sama sekali. Menurutnya itu reaksi yang wajar. Bahkan ta
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat