Revano sedang duduk di sofa yang menghadap ke televisi ketika ponselnya berdering.“Ada apa?” tanyanya.[Satu drone sudah berhasil ditembak jatuh, Bos. Tinggal satu lagi. Tapi yang ini agaknya sulit. Ia bergerak menjauh soalnya.]“Tak apa. Biarkan yang satu itu pergi. Kalian fokus saja pada pertahanan.”[Siap, Bos.]Panggilan berakhir. Revano menaruh ponselnya di sofa di sampingnya. Senyum miring terbit di wajahnya.Dua hari yang lalu, Revano yang baru saja tiba dari luar negeri mampir ke Kota KL untuk menemui Jonathan Weiss, teman baiknya sejak kecil.Mereka bertemu di sebuah bar ketika malam sudah lumayan larut. Setelah minum beberapa gelas bir, Jonathan mulai meracau. Di sela-sela racauannya itu, dia menangis seperti anak kecil.Revano tak pernah melihat Jonathan semenyedihkan itu. Dia pun memancing Jonathan untuk bercerita, memberitahunya apa yang telah terjadi sampai-sampai dia bersedih seperti itu.Dari situlah Revano tahu sedikit-banyak soal Morgan dan Agnes. Ketika Jonathan ta
Saat Morgan dan Kris memasuki komplek Apartemen X tadi, dua penjaga yang mengecek mobil mengamati mereka dengan curiga.Namun, mereka berdua dibiarkan masuk. Itu semua berkat topeng khusus yang dikenakan Morgan. Dia jadi terlihat seperti orang lain. Jauh dari wajah aslinya.Dan kini Morgan melepaskan topengnya itu. Sebuah ledakan terjadi tak jauh di belakang mobil yang mereka kendarai, yang berarti satu hal: dia sudah ketahuan.Tak ada gunanya lagi mengenakan topeng tersebut.Kris membawa mobil ke area parkir di basement. Tujuannya adalah menghindari mobil berada di area terbuka yang akan membuat mereka menjadi sasaran empuk.Yang baru saja digunakan orang yang menyerang mereka bukan lagi senapan atau pistol, melainkan roket.Tentu saja ledakan sekeras itu akan membuat para penghuni apartemen panik. Dan sebagian memang panik, apalagi bunyi alarm terdengar nyaring.Namun, karena kebanyakan orang yang menghuni apartemen ini adalah anak-anak buahnya Revano, mereka tenang-tenang saja. Jus
Revano dan si pria berkaos singlet hitam mematung menatap Morgan. Satu detik yang lalu Morgan ada di bawah. Sekarang, tiba-tiba, dia ada di situ. Dia melompati lima lantai dalam satu loncatan? "Kau yang bernama Revano?" tanya Morgan, berdiri tegap dan menatap Revano sambil mengangkat dagunya. "Apa pun yang hendak kau lakukan padaku, lebih baik kau batalkan saat kau masih punya waktu. Sebentar lagi pasukanku tiba dan di situlah waktumu habis," sambungnya. Si pria bersinglet hitam tersadar dari ketercengangannya. Dia langsung mengeluarkan pistolnya dan menembak Morgan tepat di kepala. Sesaat, dia berpikir peluru itu akan menembus kepala Morgan, atau setidaknya bersarang di tengkoraknya. Tapi bukan itu yang terjadi. Peluru itu tiba-tiba saja berganti arah tiga puluh derajat ke kiri. Si pria bersinglet hitam melihat lubang di dinding yang diakibatkan oleh peluru tersebut. "Aku masih berbaik hati. Kalau aku mau, kalian bisa kuhabisi dalam satu detik!" ancam Morgan. Setelah apa yang
Selama beberapa detik kemudian, mata Morgan masih tertuju pada buah dada Gaby yang menggelantung itu.Buah dada itu tampak kenyal dan berisi. Naluri Morgan sebagai lelaki membuatnya membayangkan tangannya meremas-remas keduanya dan mamainkan putingnya.Dan kemudian…Plak!Gaby menampar Morgan dan berdiri sambil melilitkan kembali handuk itu ke tubuhnya, menutupi kedua buah dadanya.“Kurang ajar kau! Berani-beraninya kau berpikir melakukan hal yang tidak-tidak padaku!” semprot Gaby.Morgan mengerutkan kening. “Maksudmu? Memangnya apa yang barusan kupikirkan?”“Alah, tak usah mengelak! Aku bisa melihat itu dengan jelas di kedua matamu. Dasar pria hidung belang! Jangan harap kau bisa mewujudkan fantasimu padaku!” balas Gaby, lalu berjalan meninggalkan Morgan.Menumpukan kedua tangannya di lantai yang dingin, Morgan menggeleng-gelengkan kepala.Apakah fantasi liarnya barusan itu sejelas itu terlihat di sorot matanya? Apakah barusan itu, di mata Gaby, dia benar-benar terlihat seperti seora
Setibanya mereka di kamar yang dituju, mereka mendapati kamar itu berantakan.Melisa sudah bangun tapi dia masih di kasur. Benda-benda yang semula berada dalam jangkauannya telah dia lempar-lempar. Ada pecahan kaca di dekat pintu, bekas gelas yang semula berada di nakas di dekat kasur.“Aw!!” Agnes melangkah masuk dengan ceroboh, menginjak pecahan kaca tersebut.Morgan yang menyadari itu langsung memangku istrinya, membuat Agnes kaget.Morgan sendiri melangkah melewati pecahan kaca itu, menurunkan istrinya dari pangkuannya saat mereka sudah cukup dekat ke kasur.Sebab mereka sedang fokus pada Melisa, Agnes belum mengurusi telapak kakinya yang terluka. Melisa sendiri saat ini sedang duduk meringkuk sambil membenamkan wajahnya ke paha. Dia tampak mencengkeram rambutnya.“Mama, ini aku, Agnes. Mama aman sekarang,” kata Agnes, mencoba menenangkan Melisa sambil mengelus-elus rambut ibunya itu.Sesekali dia meringis tapi menahan diri supaya tak mengeluarkan bunyi apa pun. Morgan yang menyad
Seorang wanita yang mengaku-ngaku polisi? Morgan langsung teringat si polwan yang dia minta ditugaskan sebagai mata-mata di bar itu. Morgan pun berdiri, berjalan mendekati jendela. Dia memberi isyarat kepada Agnes kalau dia akan menelepon seseorang dulu. Tak lama kemudian, Gaby menjawab panggilannya. “Dia sendirian? Atau ada orang lain bersamanya?” [Sendirian. Dia datang dengan sepeda motor. Apa kau mengenalnya?] “Tidak juga, tapi kupikir aku tahu orang yang kau maksud. Bilang saja padanya kalau aku sedang bekerja. Tapi, tak perlu kau jelaskan aku kerja di mana.” [Oke. Itu saja?] “Ya. Kalau dia masih tanya-tanya soal aku, minta dia menghubungiku saja. Mestinya dia menyimpan nomorku.” [Oke.] Percakapan berakhir. Morgan kembali ke tempat duduknya tadi. “Ada apa?” tanya Agnes. “Ada yang datang ke rumah mencariku,” jawab Morgan. “Siapa? Ada masalah lagi?” Agnes menatap Morgan dengan cemas. Morgan balas menatapnya, memberinya senyum yang teduh. “Tenang saja, Sayangku. Dia hany
Dari melihat penampilan pria itu yang necis, orang-orang di bar sudah bisa menebak kalau dia bukan orang biasa.Tapi mereka terkejut saat mendengar pengakuan pria itu. Siapa sangka, putra seorang wakil presiden mengunjungi bar di kota kecil seperti Kota NZ.Morgan sendiri terdiam. Ditatapnya pria itu yang kini bangkit berdiri. Dia sudah berkali-kali berhadapan dengan orang pongah seperti ini. Gertakan seperti tak berarti apa pun baginya.Reynold, si putra wakil presiden itu, salah memahami diamnya Morgan. Dia pikir, Morgan akhirnya menyadari kalau dia dalam bahaya.Bagaimana tidak? Dia baru saja menampar anak wakil presiden.“Tahu sekarang kesalahanmu, hah? Cepat berlutut meminta maaf! Aku masih beri kau satu kesempatan. Mudah saja bagiku untuk menyeretmu ke penjara. Cepat lakukan!” desaknya.Orang-orang mengarahkan matanya pada Morgan dan Reynold, sambil bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.Si bartender sendiri, yang kini sudah mulai mengelap gelas-gelas lagi, sesekali m
Jason, manajer bar yang bertanggung jawab atas para hostess, menatap Vanessa dengan muka tak senang. Setelah itu dia menatap Morgan. Sorot matanya memancarkan permusuhan.“Apa maksudnya ini? Apakah di bar ini pelanggan yang sedang dilayani bisa diganggu seperti ini?” ucap Morgan.Vanessa menatap Morgan sambil tersenyum tipis. Dia tak menyangka Morgan cepat juga membaca situasi. Dia sedang bertingkah seolah-olah dia memang tamu VIP bar yang sedang dilayani oleh Vanessa.“Aku sedang melayani tamu, Jason. Bisa kita bicara nanti saja?” sindir Vanessa.Jason mendengus. Ditatapnya lagi Morgan dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Tamu katamu? Sejak kapan tamu VIP kita berpenampilan sebiasa ini? Aku curiga nanti dia tak akan sanggup membayar. Kau membuang-buang waktumu dengan melayani orang seperti ini!” kata Jason.Morgan menatapnya tajam. Satu lagi orang yang menilai dia dari penampilannya. Mengapa orang-orang seperti ini begitu banyak? Tidak bisakah mereka semua dimusnahkan saja dari duni