Tangan Sakha meraba dinding, mencari sakelar lampu setibanya di rumah. Sedetik, ruang tamu memperlihatkan wujudnya ketika lampu besar yang menggantung di langit-langit ruangan memancarkan sinarnya. Mata Sakha menyapu ke segala penjuru, kesunyian di rumah itu memberi kesan tidak adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Berapa kali pun dia memanggil nama istrinya, tetap tidak ada jawaban.
Menyerah, menerka jika Flora sedang ada urusan di luar, Sakha dengan langkah gontai mulai menaiki anak tangga. Di lantai dua, sekali lagi Sakha menekan sakelar lampu.Byar!
Ruangan terang seketika, juga Sakha yang terlonjak dari tempatnya berdiri, berseru tertahan. Lihatlah, di pojok ruangan, Flora berjongkok dengan kepala tertunduk dalam. Lengannya menopang kepalanya yang seakan tenggelam. Tidak bergerak, pun terlihat amat suram.
“Flo ...? Hei, ada apa?” Perlahan Sakha mendekati istrinya, berusaha menyentuh pundaknya hingga sebuah pergerakan dari Flora membuatnya tersentak. Flora menghindari sentuhan tangannya.Untuk beberapa saat, ruangan itu diselimuti keheningan ganjil. Sakha yang membeku dan Flora yang membuang muka.“Apa ... apa bibimu berulah lagi, Flo?” Suara Sakha merobek hening sekaligus mengutarakan salah satu dari banyak pertanyaan yang bergumul di pikirannya.Tidak langsung ada jawaban. Flora masih bergeming di tempatnya, menimbang banyak hal, lantas berucap parau, “Ya ....”Terdengar helaan napas lega dari Sakha. Dia ternyata tidak membuat kesalahan yang membuat sikap Flora terhadapnya berubah. “Apa lagi yang dia minta sekarang? Uang? Perhiasan? Biar aku yang mengurusnya.”Tanpa pernah Sakha ketahui, Flora tertawa hambar tanpa suara mendengar ucapannya. Memaki diri sendiri karena memilih tidak percaya suaminya memiliki wanita lain.Pasti milik salah satu rekannya yang tidak sangaja terselip di kopernya. Pasti milik tamu hotel yang tertinggal dan tidak sengaja terbawa suaminya. Atau lingerie itu hadiah untuknya, meski ganjil sekali. Apa pun itu, Flora mencoba untuk mengelabuhi pikirannya sendiri.
“Hei, tidak perlu menangis lagi, Flo. Aku di sini sekarang. Kamu akan baik-baik saja, akan selalu baik-baik saja.” Sakha perlahan merengkuh Flora dalam dekapannya. Kali ini Flora tidak menghindar, namun wajahnya tanpa ekspresi, kehilangan rona yang selalu menghiasinya.Meskipun membohongi diri sedemikian rupa, Flora tahu jika dirinya tidak akan bisa utuh seperti dulu lagi.***Drttt ....Getaran ponsel di atas nakas membuat Flora seketika terjaga. Dia bergeming dari posisi tidurnya, membelakangi Sakha dengan jantung yang berpacu. Jam yang berdiri di meja samping Flora masih menunjukkan dini hari.Dua kali getar panjang, terdengar lenguhan pelan Sakha, tidurnya terganggu oleh suara itu. Flora dapat merasakan ada pergerakan kecil, Sakha beranjak duduk, lantas melangkah sepelan mungkin keluar kamar.Flora meremas ujung selimut, tiba-tiba hatinya diliputi kekhawatiran yang teramat mencekam. Bagaimana jika Sakha benar-benar menelepon wanita itu? Bagaimana jika dia tidak mempunyai alasan untuk membohongi diri sendiri lagi? Bagaimana jika kebahagiaan yang selama ini dirangkainya akan lenyap bersama dirinya yang patah? Pertanyaan-pertanyaan itu mendatangkan deraan batin yang menghunus dalam.Namun rasa penasaran yang teramat membawa Flora berjalan tanpa suara keluar kamar. Dia menyapukan pandangan dan menajamkan telinganya, hingga akhirnya siluet Sakha yang tengah berada di balkon rumah tertangkap matanya. Ragu, Flora berjalan mendekat, bersembunyi di belakang jendela.“Kamu yakin tidak hamil, ‘kan?”Deg!Tangan Flora yang dingin kini bergetar, juga lehernya yang terasa tercekik. Segera Flora membekap mulutnya dengan telapak tangan ketika napasnya mulai menderu.“Tunggu sebentar. Mual dan pusing, ya? Apa karena abalone yang kita makan kemarin lusa? Aku ingat rasa abalone itu agak sedikit aneh.”Kemarin lusa? Flora tersenyum pahit. Benar, seseorang yang ditelepon Sakha itu kemarin ikut bersamanya dalam perjalanan bisnis. Mungkin juga pemilik lingerie merah. Rasa-rasanya lantai yang dipijak Flora menancapkan duri-duri, menembus kulitnya.“Aduh, bagaimana, ya?” Sakha mengacak rambutnya, masih berbicara setengah berbisik. “Apa tidak bisa ditahan sampai pagi hari? Setidaknya satu atau dua jam sebelum jadwalku berangkat kerja. Istriku masih tidur, dia akan mempertanyakan banyak hal jika menyadari aku tidak ada di rumah.”Flora masih berdiri di sana, mengatur napasnya agar kembali normal.“Astaga! Kamu mulai lagi? Sudah kubilang berapa kali. Kamu selalu menjadi yang terpenting, tidak di bawah istriku atau orangtuaku. Hei, sepertinya aku sudah mengatakannya ribuan kali, bukan?”Tangan Flora bergerak meremas ujung baju tidurnya. Tatapan matanya nanar. Kini, alasan untuk menipu diri sendiri sudah tak bersisa. Flora telah menemukan jawabannya.“Baiklah, baiklah. Aku ke sana sekarang. Ayo kita pergi ke dokter terbaik di kota ini.”Saat Sakha berbalik, Flora sudah tidak ada di sana. Dia telah pergi sebelum sempat mendengar ucapan sayang Sakha kepada seseorang di seberang sana. Flora meringkuk di balik selimut, menatap bulan yang tengah menabur cahaya lewat celah sempit jendela kamarnya.Dia menangis, menginginkan seluruh rasa sakit itu luruh bersama bening air yang turun dari matanya. Badannya bergetar hebat kala kenangan bersama Sakha seperti dibentangkan di depan muka. Semua hal membahagiakan itu terasa menyesakkan sekarang, merenggut semua mimpi yang disulamnya dengan sepenuh hati.***“Flo, ayo makan lebih banyak. Wajahmu pucat sekali.” Sakha menghela napas, menatap Flora khawatir. “Sudah seminggu kamu seperti ini. Sebenarnya bibimu mengatakan apa hingga membuatmu begini, Flo?” Pertanyaan Sakha sama sekali tidak mengalihkan pandangan Flora dari bubur ayam yang sejak tadi terus diaduknya tanpa minat. Sorot mata, raut wajah, semuanya terlihat hampa. Setengah nyawa Flora seperti dicerabut dengan paksa. “Apa ... eh, apa bibimu mengatakan yang tidak-tidak mengenai ayahmu? Atau ibumu?” Hati-hati Sakha melontarkan pertanyaan sensitif itu, khawatir menyinggung perasaan istrinya. Flora mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sakha tanpa ekspresi, lantas berucap, “Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit kurang enak badan.” Selain seperti kehilangan semangat, yang membuat Sakha semakin khawatir adalah perubahan sikap Flora yang menjadi dingin terhadapnya. “Ayo kita ke dokter kalau begitu.” “Kamu mau membawaku ke dokter terbaik?” Flora melemparkan pertanyaan disertai seringan tipis.
“Ikuti mobil itu, Pak.” Flora berucap pelan pada supir taksi ketika melihat mobil Sakha melintasi jalan keluar restoran. Sejak keluar dari rumah sakit setengah jam yang lalu, Flora langsung menghubungi sekretaris Sakha, Briana, untuk menanyakan keberadaan suaminya. Briana mengatakan Sakha sedang makan di sebuah restoran setelah seharian berkutat dengan dokumen dan berkas. Dan kini Flora yang telah sampai di restoran yang dimaksud Briana, melihat mobil Sakha yang tidak menuju kembali ke perusahaannya, melainkan berbelok ke arah yang berlawanan. “Jangan sampai kehilangan jejak, Pak. Saya akan bayar lebih.” “Siap, Mbak!” Supir taksi berseru bersemangat, semakin dalam menekan gas mobilnya. Meskipun terpaut tiga mobil dari mobil Sakha, ditambah jalanan yang merayap, supir taksi itu benar-benar bisa diandalkan. Lima puluh menit yang mendebarkan bagi Flora, mobil Sakha terlihat berbelok ke sebuah taman hiburan. Supir taksi ikut berbelok beberapa saat setelahnya, mencoba mengambil jarak a
“Flora! Astaga, aku menghubungimu puluhan kali.” Raut cemas Sakha menjadi pemandangan pertama Flora ketika pria itu menginjakkan kaki di rumah, masih dengan pakaian kerja. Dia buru-buru berjalan mendekat hingga tampak jelas wajah kusutnya. Flora menyunggingkan senyum tipis, sebelum berucap, “Maaf membuatmu khawatir. Aku tadi kurang enak badan sehingga pergi ke klinik terdekat.” “Eh, sekarang bagaimana? Masih sakit?” “Tidak, aku tidak apa-apa sekarang.” Flora menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tiba-tiba merasa mual. Tingkah Sakha, wajahnya, pun aroma parfumnya membuat Flora muak setengah mati. “Kamu kelihatan lelah, Mas. Ayo biar aku buatkan kopi.” “Ide bagus!” Melangkah menuju dapur, Flora menyembunyikan tangannya yang bergetar. Begitu pun saat dia mengambil gelas, menuangkan kopi, Flora mati-matian menjaga agar tangannya terlihat stabil sembari melemparkan pertanyaan, “Ah, Ayah bagaimana?” “Tidak parah. Dokter bilang dua-tiga hari lagi sudah boleh pulang.” Sakha memej
Angin berembus lembut saat Flora berjalan melewati jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, memberikan secuil kesejukan dalam tempat itu. Heels-nya yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi ketukan yang seirama. Sesekali Flora tersenyum sopan dan sedikit menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan orang lain. Matanya menjelahi setiap kesibukan di sana, lantas senyum tipis terbit di wajahnya yang terlihat berseri pagi ini. Resmi sudah Flora diterima sebagai sekretaris di Gane Brown Corporation. Sebulan lebih dia mencari cara untuk masuk ke perusahaan ini, bahkan sempat berniat untuk melamar sebagai petugas kebersihan. Namun akhirnya kesempatan emas itu datang, posisi untuk sekretaris CEO kosong. Hanya karena Flora memiliki pengalaman sebagai sekretaris eksekutif di perusahaan lamanya, tidak lantas membuatnya langsung diterima. Ada serangkaian tes yang terasa amat panjang, Flora harus bersaing dengan ribuan pelamar. Keinginan balas dendam yang membara, membuat Flora berhasil memunc
“Bagaimana, Flo? Kamu suka pekerjaan baru kamu?”Gerakan tangan Flora yang hendak menuangkan air putih ke gelas sedikit tersendat karena pertanyaan Sakha. Bayangan tentang pekerjaannya hari ini kembali hinggap di pikirannya, membawanya kembali mengumpat dalam hati kepada Abraham yang telah membuat peraturan konyol tidak berperikemanusiaan itu. Tidak ada yang menarik di perusahaan selain fasilitas mewah dan tentu saja raut pucat Luna ketika Flora sengaja mempermainkannya.“Suka sekali, Mas. Aku menemukan kesenangan baru di sana.” Tidak ada gunanya bagi Flora untuk berkata jujur. Susah payah dia mendapatkan izin dari Sakha untuk kembali bekerja setelah hampir tiga tahun mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga secara penuh.“Syukurlah ....” Air muka Sakha tampak sedikit berubah ketika meraih cangkir kopinya. Dia mencuri pandang Flora beberapa kali sebelum bertanya dengan suara sedikit serak, “CEO di sana ... bagaimana? Apa dia memang sehebat yang dibicarakan orang-orang?”Sejenak, Flor
“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya
Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan. “Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan. Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres
Diiringi dengan kilatan petir di belakang sana, Abraham sedikit tersentak ketika membuka pintu rumahnya. Demi Tuhan, dibandingkan manusia, sekretarisnya lebih tampak seperti hantu wanita yang mati karena depresi. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur ke bawah mata, ekspresi tanpa nyawa. Dan apa-apaan dress formal yang Flora kenakan, sama sekali tidak cocok dengan kondisi wajahnya saat ini.“Apa kamu baik-baik saja, Flora? Kamu baru saja menjadi korban tabrak lari?” Abraham bertanya setelah mencoba menenangkan jantungnya.“Saya tidak apa-apa, Pak. Abaikan penampilan saya.” Flora menimpali dengan nada suara dan wajah tak beriak. “Apa yang harus saya kerjakan sekarang?”Abraham mendadak bingung, ragu membiarkan Flora masuk ke rumahnya dengan keadaan menyedihkan macam itu. Tambahkan aura horor wanita itu yang entah mengapa membuat Abraham merasakan tengkuknya meremang.Dua detik, tangan Abraham menggapai handle pintu, bersiap untuk menutupnya. Dia tidak mau ambil risiko jika nanti tiba-
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak