“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”
Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.
Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.
“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya, sudah pasti Flora akan meraih gelas berisi jus alpukat di depannya, lantas melemparkannya kepada bosnya.
Abraham mengangkat wajahnya, menatap lurus ke manik mata Flora. “Sebagai sekretaris CEO, bukankah seharusnya insting kamu lebih tajam, Flora? Semestinya kamu sudah harus bisa memperhitungkan mana kolega yang sebatas hubungan kerja dan kolega yang dekat layaknya keluarga. Jadi itu salah kamu sendiri, jangan coba-coba mengalihkan kesalahan pada saya.”
Tidak perlu dijelaskan lagi kalau sekarang Flora sedang memaki-maki Abraham dalam hati. Enak sekali menjadi atasan, bisa mencari-cari argumen untuk melimpahkan segala kesalahan pada bawahan.
Mereka sedang membicarakan tentang insiden di perusahaan Djaya beberapa saat yang lalu, di mana Flora dengan gagah berani menghalangi Stella yang mencoba menggapai lengan Abraham. Flora sudah percaya diri sekali jika tindakannya benar, hingga saat Stella menyingkirkannya dengan kasar dan langsung memeluk lengan Abraham, Flora tahu jika dia telah membuat kesalahan.
Yang membuat Flora melongo, Abraham seperti tidak merasa keberatan Stella menyentuh setiap jengkal lengannya, seakan sosok Abraham Ganendra yang alergi terhadap sentuhan manusia itu tidak pernah ada. Baru kemudian Flora tahu, mereka masih kerabat, bisa dikatakan Stella adalah sepupu jauh Abraham.
Itu masih belum apa-apa dibandingkan saat Stella membisikkan kata-kata horor sebelum Flora keluar dari ruangan.
“Jangan harap bisa hidup dengan tenang setelah ini.” Begitu kata Stella, dan jantung Flora seperti langsung melebur begitu melihat ulah gila Stella yang dimuat di beberapa surat kabar online. Penyerangan fisik hingga membuat patah hidung korban, tekanan mental yang membuat korban depresi, dan dari sekian banyak kasus yang ditimbulkan, Stella sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Bagaimana Flora tidak cemas luar biasa?
“Bapak tidak akan tinggal diam jika Nona Stella melakukan sesuatu yang buruk terhadap saya, bukan?” Meski kecil kemungkinannya, Flora mencoba peruntungannya. Siapa tahu masih ada setitik nurani dalam hati Abraham.
“Tidak. Pekerjaan saya banyak, mana sempat saya mengurus kamu, Flora. Nanti bisa-bisa semua karyawan akan meminta bantuan saya jika sedang kesusahan.”
Apa kata yang lebih buruk dibanding sialan, berengsek, dan keparat? Flora bersumpah akan menggunakan kata-kata itu untuk mengumpat pada Abraham.
“Ah, buat informasi saja, tahun lalu Stella hampir tidak bisa diselamatkan setelah memukul kepala salah satu musuhnya dengan botol bir, membuatnya gegar otak.” Dengan santai Abraham mengatakan hal itu sembari memasukkan potongan steik ke mulutnya.
Flora jadi bertanya-tanya, kiranya dia menyambit Abraham sekarang, pasal apa yang telah menunggunya.
Yang tidak Flora dan Abraham sadari, terpaut lima meja dari meja mereka, Luna tengah mengepalkan tangan melihat pemandangan yang membuat dadanya bergemuruh hebat. Bukan saja karena Abraham yang terlihat nyaman berbincang dengan sekretarisnya, melainkan juga karena wanita itu adalah Flora. Perasaan jemawa telah merebut Sakha bisa menjadi tolak ukur dirinya lebih baik dari Flora, namun kejadian ini benar-benar menghantam kepalanya dengan keras.
Setahun sudah dia melakukan segala cara untuk menarik perhatian Abraham. Berpenampilan cantik, membangun citra sempurna, pun sekuat tenaga melakukan pekerjaan dengan baik dan tepat. Semuanya percuma. Jangankan menaruh perhatian, Abraham bahkan sama sekali tidak meliriknya.
Luna mendengus keras, menggumamkan sumpah serapah dan tekad untuk menghancurkan hidup Flora lebih dahsyat lagi.
***
Ketukan heels yang terdengar semakin dekat membuat Flora menoleh, menemukan Luna yang melangkah dengan anggun ke mejanya. Sejenak Flora mengamati penampilan wanita itu yang terlihat berbeda dari biasanya. Riasannya terlihat lebih wah, dan kemeja yang dipadu rok pendek memperlihatkan bentuk tubuhnya yang sempurna.
“Siang, Flora. Saya mau bertemu dengan Pak Abraham untuk menyerahkan laporan. Beliau ada di ruangannya, bukan?” Sambil bertanya pada Flora, kepala Luna melongok ke arah ruangan Abraham yang terlihat sedikit melalui kaca yang tidak tertutup. Ia tersenyum senang kala melihat pria itu berada dalam ruangannya, sibuk dengan berkas-berkas di meja.
“Serahkan saja kepada saya, Luna. Nanti akan saya sampaikan.”
“Tidak, harus saya serahkan sendiri sekalian membahas sesuatu dengan Pak Abra.”
Tanpa perlu bertanya, Flora tahu maksud Luna, bisa menebak tujuan dari penampilan yang berbeda itu. Luna jelas ingin menggoda Abraham, menarik perhatian pria itu sebanyak mungkin.
“Baik, biar saya tanyakan dulu.” Flora menekan tombol interkom yang langsung terhubung dengan ruangan Abraham. “Selamat siang, Pak. Luna dari Departemen Marketing ingin menemui Bapak untuk menyerahkan laporan dan membahas masalah pekerjaan.”
Tidak langsung ada jawaban dari Abraham. Pria itu sejenak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas ke arah meja Flora, melihat Luna yang berdiri di sana.
“Biarkan dia masuk, Flora.”
Dapat Flora lihat wajah Luna yang bersemu senang setelah mendengar ucapan singkat Abraham.
“Silakan masuk.”
“Terima kasih.”
Tepat di ujung kalimatnya, Luna berlalu. Ketukan hak sepatu kembali terdengar. Dia mendorong pintu ruangan Abraham dengan senyum merekah dan tentu saja sikap anggun yang setia menempel untuk menaikkan citranya. Kalau saja Flora tidak mengenal Luna sebelumnya, dia juga pasti akan tertipu dengan keanggunan yang tampak alami itu.
Mata Flora tidak lepas mengamati segala pergerakan Luna melalui kaca. Wanita itu berdiri di depan meja Abraham setelah menyerahkan laporan. Meski hanya bisa melihat dari belakang, Flora tahu Luna tengah tersenyum lebar sembari mengatakan sesuatu terkait pekerjaan atau apalah, karena atensi Abraham tengah tertuju padanya. Ah, dan lihat itu. Luna sengaja menelusupkan anak rambut ke belakang telinga dengan gerakan sensual. Flora menjadi tidak tenang, khawatir Abraham benar-benar akan jatuh ke pesona Luna, dan semua rencananya akan hancur.
Tiga menit berlalu, kekhawatiran Flora menemukan jawabannya. Abraham keluar terlebih dahulu dari ruangannya dengan wajah sedatar papan, Luna mengikuti di belakangnya dengan raut tertekuk. Gagal rupanya.
“Umumkan jadwal rapat dengan Departemen Humas diajukan tiga puluh menit, Flora. Ayo kita makan siang dulu sebelum itu.” Abraham berhenti sejenak di depan meja Flora, berucap datar.
“Baik, Pak.”
Dan ketika Flora hendak melangkah keluar dari mejanya, Luna yang kesal melakukan hal tak terduga. Dia sengaja menyandung kakinya sendiri hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan mengarahkan badannya kepada Abraham.
“Eh ... akh!”
Dapat Flora lihat dengan jelas ketika badan Luna yang limbung terarah pada Abraham. Jika refleks Abraham bagus, dia pasti akan menangkap Luna atau dirinya akan berakhir tertubruk dengan keras. Yang tidak pernah Flora duga, sepersekian detik sebelum Luna mengenai Abraham, pria itu menggeser badannya ke samping kiri, membuat Luna mengenai udara kosong, jatuh berdebum ke lantai dengan bunyi retakan renyah.
Flora tercengang di tempat, menatap Luna yang terkapar di lantai, untuk kemudian mengalihkan pandangannya pada Abraham dengan raut tidak percaya.
“Ah ... lain kali kamu harus lebih berhati-hati. Bagaimana saya bisa menyerahkan pekerjaan jika berjalan saja tidak bisa kamu lakukan dengan benar?” Tanpa belas kasih seujung kuku pun, Abraham mengeluarkan kata-kata tajamnya, menatap sambil lalu Luna yang teronggok tidak berdaya.
Rahang Flora seperti ingin menggelinding. Ia jadi amat yakin jika Abraham masih berkerabat dekat dengan iblis.
“Dan kamu, Flora.” Ucapan itu membuat Flora tersentak, langsung memusatkan perhatian pada Abraham. “Apa yang kamu lakukan, heh? Ada seseorang yang mau menyentuh saya, tapi kamu hanya diam berdiri di sana? Hari ini jam kerja kamu bertambah satu jam!”
Dasar bos sialan!
***
Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan. “Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan. Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres
Diiringi dengan kilatan petir di belakang sana, Abraham sedikit tersentak ketika membuka pintu rumahnya. Demi Tuhan, dibandingkan manusia, sekretarisnya lebih tampak seperti hantu wanita yang mati karena depresi. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur ke bawah mata, ekspresi tanpa nyawa. Dan apa-apaan dress formal yang Flora kenakan, sama sekali tidak cocok dengan kondisi wajahnya saat ini.“Apa kamu baik-baik saja, Flora? Kamu baru saja menjadi korban tabrak lari?” Abraham bertanya setelah mencoba menenangkan jantungnya.“Saya tidak apa-apa, Pak. Abaikan penampilan saya.” Flora menimpali dengan nada suara dan wajah tak beriak. “Apa yang harus saya kerjakan sekarang?”Abraham mendadak bingung, ragu membiarkan Flora masuk ke rumahnya dengan keadaan menyedihkan macam itu. Tambahkan aura horor wanita itu yang entah mengapa membuat Abraham merasakan tengkuknya meremang.Dua detik, tangan Abraham menggapai handle pintu, bersiap untuk menutupnya. Dia tidak mau ambil risiko jika nanti tiba-
Tetes hujan yang jatuh memercik membasahi bagian depan heels milik Flora. Dia kini sedang duduk di lantai depan minimarket sambil menatap rintik hujan yang tak kunjung usai. Celotehan beberapa orang yang beradu dengan suara hujan, juga kendaraan yang lewat di jalan raya, menjadi penghibur Flora malam ini.Flora duduk memeluk lutut, tatapannya menerawang menembus jutaan air yang turun serentak. Suasana yang tercipta membuat Flora kembali terlempar pada kenangan-kenangan bahagia, lompat pada saat dia menemukan lingerie merah, lompat lagi saat dia kehilangan peri kecilnya. Rasa kehilangan itu masih basah, Flora masih bisa merasakan perutnya yang nyeri, warna dan aroma darah yang mengalir di kakinya.“Es krimnya mencair, Flora.”Lamunan Flora terpotong kala sebuah suara yang mulai familiar menelusup telinganya. Pelan, namun seakan bisa menyaingi gemuruh hujan. Pandangan Flora beralih pada es krim stroberi berbentuk cone di tangannya, segera menyuapkan lelehan es krim ke mulutnya.“Ah ...
Malam telah menurunkan tirainya, membungkus kota dalam hamparan langit gelap. Gemerlap lampu tempat hiburan malam mulai unjuk gigi, berlomba menjadi yang paling bersinar, paling megah, untuk menarik orang-orang masuk ke dalamnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Flora dapat melihat hamparan cahaya bagai kunang-kunang terbang. Kendaraan merayap, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, pun kesibukan yang menjadi akar julukan ‘kota yang tak pernah tidur’. Flora seakan dikembalikan pada kejadian saat dia ingin mengakhiri hidupnya. Dia tersenyum, teringat pada Kairo. Entah bagaimana dia akan bertemu pria itu lagi. “Cokelat?” Suara yang datang dari samping kanannya, membuat Flora menoleh. Luna telah berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sembari mengulurkan cangkir berisi cokelat dengan uap mengepul. “Terima kasih.” Flora balas tersenyum, menerimanya. “Aku sengaja datang ke sini. Beberapa kali aku melihatmu berdiri di sini selepas pulang kerja.” Luna meminum cokelat panasnya,
“Oh, kenapa tiba-tiba melihat album kelulusanku?” Sakha yang baru saja mandi, handuk masih tersampir di rambutnya, mengernyit saat menemukan Flora yang sibuk melihat-lihat album kelulusan SMA-nya. “Aku hanya suka fotomu di sini, Mas. Kau terlihat manis sekali dengan potongan rambut seperti ini.” Flora mengangkat album, memperlihatkan foto Sakha dengan gaya rambut emo sembari tertawa geli. “Kamu pasti bercita-cita menjadi penyanyi rock saat itu.” Sakha menyampirkan handuk di kursi, melipat tangan di depan dada dengan wajah tertekuk. “Sepertinya tidak ada yang lebih menyenangkan bagimu selain mentertawakan aibku, ya, Flo. Lihat saja, besok akan kubakar album itu!” Derai tawa Flora semakin santer terdengar. Ia tertawa keras hingga matanya menyipit dan badannya meliuk ke belakang. Sementara Sakha pura-pura semakin kesal karena tingkah istrinya. “Jangan begitu. Cobalah sekali lagi gaya seperti ini. Mau kubelikan ripped jeans dan tank top. Kamu pasti akan cocok sekali memakainya.” Flora
“Mia?” Wanita yang tengah mengenakan kardigan hitam longgar dengan rambut panjang tergerai yang menutupi sebagian wajahnya itu, menoleh saat Flora memanggil pelan namanya. Kakinya bergerak sedikit memutar, bersamaan dengan pandangannya yang beralih ke samping. Kantong plastik putih yang berada di tangan wanita itu bergemerisik terkena embusan angin malam. Dalam temaram karena pencahayaan yang kurang memadai, Flora bisa melihat Mia mengerutkan kening, seperti sedang mengingat-ingat apa pernah bertemu dengannya sebelumnya. Flora menegakkan punggung yang awalnya bersandar pada dinding bangunan, melangkah mendekat sembari tersenyum tipis. “Benar Mia Amarita?” tanya Flora sekali lagi, tepat setelah berdiri berhadapan dengan wanita itu. Dari jarak sedekat ini, Flora bisa melihat dengan jelas suram yang membayang di wajah Mia, juga sepasang mata yang menatapnya bingung dan sangsi. Gurat wajahnya sudah berbeda dari foto yang Flora lihat di album kelulusan, menjadi jauh lebih dewasa, namun
Debar jantung Luna semakin tidak keruan. Bergeming di ambang pintu menjadi satu-satunya pilihan yang terlintas di benaknya. Tumpukan laporan yang dia bawa sedikit miring, sebagai akibat dari tangannya yang mendadak goyah.Tatapan itu ... Luna baru pertama kali mendapatkannya dari orang-orang kantor. Seolah dia adalah pendosa yang pantas dihakimi, seolah dia tak ubahnya manusia rendahan. Orang-orang itu terdiam dengan cara yang memuakkan di mata Luna, seakan hidup mereka tidak memiliki cela dan lebih baik dari orang lain.Tidak ingin membiarkan keheningan janggal terus membelenggunya, Luna memaksakan senyumnya kembali, sebelum melangkah mendekat.“Hei, ada apa ini? Ada sesuatu yang aku lewatkan?” Mati-matian Luna menjaga intonasi suaranya tetap normal dan ceria, sementara tangannya meletakkan laporan ke meja.Para karyawan kembali saling tatap, terlihat ragu dan canggung. Jelas ada sesuatu yang mereka sembunyikan dan tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada Luna.“Itu ... eh, aku m
“Tu-tunggu sebentar.”Meskipun mencoba berhenti berjalan, Flora tetap tidak bisa melakukannya karena punggungnya didorong dari belakang dengan laporan tebal oleh Abraham, mengingat pria itu tidak suka bersentuhan. Sampai di ambang pintu ruang CEO, Flora seperti dilemparkan begitu saja hingga spontan mengumpat pelan.Ia segera berbalik dan berjalan mendekat sebelum Abraham menutup pintu ruangannya. “Tadi saya hanya bercanda. Maksud saya mengucapkan kata-kata puitis .... Kau seperti belerang di dasar—”Brak!Pintu dibanting tepat di depan wajah Flora. Abraham juga menutup tirai kaca setelah melirik tajam pada Flora.“Dasar tidak berperasaan.” Flora mendengus kasar, lantas mengusap wajah. Bagaimanapun, dia harus membuat kencan itu tidak pernah berhasil. Sekali Abraham memiliki pasangan, maka rencana balas dendamnya akan berantakan.Merasa pintu kokoh itu tidak akan terbuka hingga beberapa saat ke depan, Flora memutuskan beranjak dari sana. Kepalanya menjadi sedikit pening karena memikirk
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak