Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan.
“Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan.
Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres. Berat badan Flora otomatis turun. Sepertinya jika Abraham membuka jasa penurunan berat badan, dia akan sukses besar.
“Aku menyesal telah membawa istriku ke sini. Sejak tadi banyak pria yang tidak lepas menatapnya.” Sakha pura-pura berdecak sebal, merapatkan badannya pada Flora.
“Aduh, apa-apaan itu, membuat orang ingin muntah saja.” Arina mengernyit geli menatap Sakha. “Aku akui kamu beruntung, Flo. Suamimu ini meskipun sering membuat mual, dia setia. Jangankan berselingkuh, aku yakin dia bahkan tidak berani dekat-dekat dengan kucing betina sekalipun. Takut kamu marah.”
Gelak tawa Sakha terdengar seperti penghinaan untuk Flora. Di belakang punggungnya, Flora mengepalkan tangan, muak sekali harus pura-pura bertingkah seperti biasa. Sejujurnya dia bahkan merasa amat jijik ketika harus bersentuhan dengan Sakha seperti saat ini.
Dan saat Flora hendak menimpali ucapan Arina, sudut matanya menangkap sosok yang belakangan ini mulai familiar. Luna. Dia juga datang ke pesta pernikahan ini, melangkah anggun bersama salah seorang temannya. Dalam sekejap mereka menjadi pusat perhatian. Kecantikan Luna memang sangat mendominasi.
Sebuah kesadaaran mendarat di pikiran Flora ketika Luna terlihat akrab dengan mempelai pria. Flora tertawa miris. Tentu saja, mempelai itu sahabat baik Sakha. Dia tentu mengetahui rahasia suaminya sekelam apa pun itu.
“Flora? Hei, saya tidak menyangka kita bisa bertemu di sini.”
Lamunan Flora mengabur ketika sapaan yang terdengar ramah itu menelusup telinganya. Dia menoleh, mendapati Luna yang telah bergabung dengannya, menatap dengan raut seolah terkejut.
Sungguh pertunjukan yang memuakkan. Besok-besok, boleh jadi Luna menjadi aktris yang amat berbakat.
“Oh, Luna? Kebetulan sekali.” Flora memaksakan seulas senyum sembari melirik Sakha sekilas. “Ah, kenalkan dia Luna, Mas. Rekan kerjaku.”
Gemuruh yang tidak pernah diperkirakan Flora akhirnya kembali datang saat Sakha mengulurkan tangannya ke arah Luna seraya menyeringai tipis. Flora pikir, dia sudah baik-baik saja. Namun setelah menyaksikan dalam jarak dekat seperti ini, rasa sakit itu datang berkali-kali lebih kejam. Tangan Flora yang bergetar cepat-cepat ia sembunyikan di belakang punggung.
“Sakha. Senang berkenalan dengan Anda, Nona Luna.”
Hebat sekali. Mereka memainkan peran dengan sangat baik.
Tepat setelah Sakha dan Luna melepaskan jabatan tangan mereka, Flora tidak kuat lagi. Gejolak mual yang seperti mengaduk perutnya tidak lagi tertahankan. Flora buru-buru izin ke toilet. Sedetik lagi berada di sana, dia tidak bisa menjamin kedua orang itu bisa keluar dari gedung pesta pernikahan dengan harga diri yang utuh.
***
Sembari mengelap tangannya dengan tisu, Flora membujuk hatinya agar bertahan sebentar lagi. Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang beberapa kali sambil menepuk dadanya. Setelah mengangguk sekali, lantas berderap kembali ke kerumunan, saat itulah Flora menyaksikan Sakha yang diam-diam menyusupkan selembar tisu ke telapak tangan Luna.
Pandai sekali mereka melakukannya. Tidak ada seorang pun yang menaruh perhatian pada gelagat mereka yang tampak normal, namun menyimpan seribu kebusukan. Gigi Flora bergemeletuk, rasa ingin membalaskan dendam berkali-kali lebih menyakitkan kembali membumbung tinggi.
“Sudah selesai? Aduh, padahal aku baru ingin menyusulmu, Flo. Sepertinya aku kebanyakan makan, perutku rasanya sakit. Aku ke toilet sebentar, ya.” Sakha menepuk perutnya dua kali, meringis seperti menahan sakit, untuk kemudian berlalu setelah Flora mengangguk singkat.
Sambil menyesap soda, Flora melirik Luna yang kini tengah berbincang dengan temannya, sesekali tertawa. Satu menit, Luna menjauh dari kerumunan setelah melambaikan tangannya. Flora menyeringai masam, tahu apa yang akan dilakukan wanita itu.
Setelah Luna lenyap dari kerumunan, Flora juga undur diri sekali lagi, bilang pada Arina bahwa sejak tadi perutnya terasa tidak nyaman. Dia mempercepat langkahnya, membuntuti Luna dengan jarak aman.
Awalnya, Flora kira Luna akan menuju toilet tempat dia memuntahkan makanan beberapa saat yang lalu. Namun ternyata perkiraan Flora melesat, Luna berbelok, lurus melewati lorong panjang. Tiba di ujung lorong, Luna mendorong pintu. Flora baru menyadari jika di gedung pernikahan itu ada toilet tidak terpakai di ujung lorong, terdapat peringatan bahwa toilet rusak yang ditempel di pintu.
Flora mengendap-endap, melepas heels-nya agar tidak ada suara ketukan sepatu yang menarik perhatian. Dengan jantung bertalu, Flora mendekati pintu, mencoba mendengarkan pembicaraan dua sejoli yang dimabuk cinta terlarang itu.
“Cantik ... sungguh cantik. Para pria hidung belang itu beruntung, aku tidak langsung meremukkan tulang mereka. Sekali lagi mereka menatapmu seperti tadi, aku tidak yakin bisa menahan diri.”
Suara Sakha terdengar samar, namun bisa langsung membuat Flora terhuyung, segera bertumpu pada dinding sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.
“Oh ya? Bukankah istrimu juga cantik? Aku lihat dia sudah lebih baik dari pertama kali aku melihatnya.”
“Hm ... hm.” Meskipun tidak melihatnya secara langsung, Flora tahu jika Sakha sedang menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang bisa menyaingi kecantikanmu, Luna. Tidak untuk hari ini atau esok lusa. Kamu akan selalu menjadi yang terbaik, yang paling sempurna.”
“Benarkah? Kalau begitu kamu akan segera memenuhi janjimu untuk menceraikannya?”
Pertanyaan menantang Luna itu turut serta membawa keheningan setelahnya. Flora membeku. Kepalanya sedikit menengadah dengan mata terpejam erat, mati-matian menahan tangis.
“Aku akan melakukannya. Tapi, kamu tahu sendiri, Luna, perusahaanku sedang tidak baik saat ini. Aku butuh Flora untuk membantuku bertemu dengan Abraham. Mengingat posisimu sekarang, kamu tidak akan bisa mempertemukanku dengannya. Setelah perusahaanku baik-baik saja, aku akan mewujudkan semua mimpimu, Luna, termasuk yang paling mustahil sekalipun. Aku janji.”
Air mata Flora luruh seketika. Dia merasa lorong itu mengimpitnya, sesak luar biasa. Tertatih-tatih Flora berusaha menjauh, menyeret kakinya yang terasa seperti kehilangan tulang-tulang penyokongnya.
Baru lima meter, Flora berhenti. Keheningan mendera telinganya, menyelimuti lorong penuh luka itu. Napasnya berubah memburu, lantas dengan kasar Flora menyeka air matanya yang turun. Tidak, mana boleh air matanya turun untuk dua keparat memuakkan itu. Mereka sama sekali tidak pantas menikmati kekalahannya.
Flora membalikkan badan, menemukan sapu dengan gagang tinggi yang diletakkan di pojok dinding. Segera Flora menyambarnya, melintangkannya melewati dua handle pintu yang memanjang, membuat pintu akan susah dibuka dari dalam.
Flora tersenyum puas, berucap tanpa suara, “Semoga kalian membusuk di dalam, berselimut dingin dan bau kotoran. Sampai jumpa di neraka.”
Tepat ketika Flora berderap pergi empat langkah, ponselnya bergetar, nama yang tertulis di layar membuatnya buru-buru menjauh.
“Ke rumah saya sekarang, Flora. Ada hal yang harus kamu lakukan.”
Ah, kali ini bos menyebalkan itu secara tidak langsung telah menyelamatkan kewarasan Flora.
***
Diiringi dengan kilatan petir di belakang sana, Abraham sedikit tersentak ketika membuka pintu rumahnya. Demi Tuhan, dibandingkan manusia, sekretarisnya lebih tampak seperti hantu wanita yang mati karena depresi. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur ke bawah mata, ekspresi tanpa nyawa. Dan apa-apaan dress formal yang Flora kenakan, sama sekali tidak cocok dengan kondisi wajahnya saat ini.“Apa kamu baik-baik saja, Flora? Kamu baru saja menjadi korban tabrak lari?” Abraham bertanya setelah mencoba menenangkan jantungnya.“Saya tidak apa-apa, Pak. Abaikan penampilan saya.” Flora menimpali dengan nada suara dan wajah tak beriak. “Apa yang harus saya kerjakan sekarang?”Abraham mendadak bingung, ragu membiarkan Flora masuk ke rumahnya dengan keadaan menyedihkan macam itu. Tambahkan aura horor wanita itu yang entah mengapa membuat Abraham merasakan tengkuknya meremang.Dua detik, tangan Abraham menggapai handle pintu, bersiap untuk menutupnya. Dia tidak mau ambil risiko jika nanti tiba-
Tetes hujan yang jatuh memercik membasahi bagian depan heels milik Flora. Dia kini sedang duduk di lantai depan minimarket sambil menatap rintik hujan yang tak kunjung usai. Celotehan beberapa orang yang beradu dengan suara hujan, juga kendaraan yang lewat di jalan raya, menjadi penghibur Flora malam ini.Flora duduk memeluk lutut, tatapannya menerawang menembus jutaan air yang turun serentak. Suasana yang tercipta membuat Flora kembali terlempar pada kenangan-kenangan bahagia, lompat pada saat dia menemukan lingerie merah, lompat lagi saat dia kehilangan peri kecilnya. Rasa kehilangan itu masih basah, Flora masih bisa merasakan perutnya yang nyeri, warna dan aroma darah yang mengalir di kakinya.“Es krimnya mencair, Flora.”Lamunan Flora terpotong kala sebuah suara yang mulai familiar menelusup telinganya. Pelan, namun seakan bisa menyaingi gemuruh hujan. Pandangan Flora beralih pada es krim stroberi berbentuk cone di tangannya, segera menyuapkan lelehan es krim ke mulutnya.“Ah ...
Malam telah menurunkan tirainya, membungkus kota dalam hamparan langit gelap. Gemerlap lampu tempat hiburan malam mulai unjuk gigi, berlomba menjadi yang paling bersinar, paling megah, untuk menarik orang-orang masuk ke dalamnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Flora dapat melihat hamparan cahaya bagai kunang-kunang terbang. Kendaraan merayap, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, pun kesibukan yang menjadi akar julukan ‘kota yang tak pernah tidur’. Flora seakan dikembalikan pada kejadian saat dia ingin mengakhiri hidupnya. Dia tersenyum, teringat pada Kairo. Entah bagaimana dia akan bertemu pria itu lagi. “Cokelat?” Suara yang datang dari samping kanannya, membuat Flora menoleh. Luna telah berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sembari mengulurkan cangkir berisi cokelat dengan uap mengepul. “Terima kasih.” Flora balas tersenyum, menerimanya. “Aku sengaja datang ke sini. Beberapa kali aku melihatmu berdiri di sini selepas pulang kerja.” Luna meminum cokelat panasnya,
“Oh, kenapa tiba-tiba melihat album kelulusanku?” Sakha yang baru saja mandi, handuk masih tersampir di rambutnya, mengernyit saat menemukan Flora yang sibuk melihat-lihat album kelulusan SMA-nya. “Aku hanya suka fotomu di sini, Mas. Kau terlihat manis sekali dengan potongan rambut seperti ini.” Flora mengangkat album, memperlihatkan foto Sakha dengan gaya rambut emo sembari tertawa geli. “Kamu pasti bercita-cita menjadi penyanyi rock saat itu.” Sakha menyampirkan handuk di kursi, melipat tangan di depan dada dengan wajah tertekuk. “Sepertinya tidak ada yang lebih menyenangkan bagimu selain mentertawakan aibku, ya, Flo. Lihat saja, besok akan kubakar album itu!” Derai tawa Flora semakin santer terdengar. Ia tertawa keras hingga matanya menyipit dan badannya meliuk ke belakang. Sementara Sakha pura-pura semakin kesal karena tingkah istrinya. “Jangan begitu. Cobalah sekali lagi gaya seperti ini. Mau kubelikan ripped jeans dan tank top. Kamu pasti akan cocok sekali memakainya.” Flora
“Mia?” Wanita yang tengah mengenakan kardigan hitam longgar dengan rambut panjang tergerai yang menutupi sebagian wajahnya itu, menoleh saat Flora memanggil pelan namanya. Kakinya bergerak sedikit memutar, bersamaan dengan pandangannya yang beralih ke samping. Kantong plastik putih yang berada di tangan wanita itu bergemerisik terkena embusan angin malam. Dalam temaram karena pencahayaan yang kurang memadai, Flora bisa melihat Mia mengerutkan kening, seperti sedang mengingat-ingat apa pernah bertemu dengannya sebelumnya. Flora menegakkan punggung yang awalnya bersandar pada dinding bangunan, melangkah mendekat sembari tersenyum tipis. “Benar Mia Amarita?” tanya Flora sekali lagi, tepat setelah berdiri berhadapan dengan wanita itu. Dari jarak sedekat ini, Flora bisa melihat dengan jelas suram yang membayang di wajah Mia, juga sepasang mata yang menatapnya bingung dan sangsi. Gurat wajahnya sudah berbeda dari foto yang Flora lihat di album kelulusan, menjadi jauh lebih dewasa, namun
Debar jantung Luna semakin tidak keruan. Bergeming di ambang pintu menjadi satu-satunya pilihan yang terlintas di benaknya. Tumpukan laporan yang dia bawa sedikit miring, sebagai akibat dari tangannya yang mendadak goyah.Tatapan itu ... Luna baru pertama kali mendapatkannya dari orang-orang kantor. Seolah dia adalah pendosa yang pantas dihakimi, seolah dia tak ubahnya manusia rendahan. Orang-orang itu terdiam dengan cara yang memuakkan di mata Luna, seakan hidup mereka tidak memiliki cela dan lebih baik dari orang lain.Tidak ingin membiarkan keheningan janggal terus membelenggunya, Luna memaksakan senyumnya kembali, sebelum melangkah mendekat.“Hei, ada apa ini? Ada sesuatu yang aku lewatkan?” Mati-matian Luna menjaga intonasi suaranya tetap normal dan ceria, sementara tangannya meletakkan laporan ke meja.Para karyawan kembali saling tatap, terlihat ragu dan canggung. Jelas ada sesuatu yang mereka sembunyikan dan tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada Luna.“Itu ... eh, aku m
“Tu-tunggu sebentar.”Meskipun mencoba berhenti berjalan, Flora tetap tidak bisa melakukannya karena punggungnya didorong dari belakang dengan laporan tebal oleh Abraham, mengingat pria itu tidak suka bersentuhan. Sampai di ambang pintu ruang CEO, Flora seperti dilemparkan begitu saja hingga spontan mengumpat pelan.Ia segera berbalik dan berjalan mendekat sebelum Abraham menutup pintu ruangannya. “Tadi saya hanya bercanda. Maksud saya mengucapkan kata-kata puitis .... Kau seperti belerang di dasar—”Brak!Pintu dibanting tepat di depan wajah Flora. Abraham juga menutup tirai kaca setelah melirik tajam pada Flora.“Dasar tidak berperasaan.” Flora mendengus kasar, lantas mengusap wajah. Bagaimanapun, dia harus membuat kencan itu tidak pernah berhasil. Sekali Abraham memiliki pasangan, maka rencana balas dendamnya akan berantakan.Merasa pintu kokoh itu tidak akan terbuka hingga beberapa saat ke depan, Flora memutuskan beranjak dari sana. Kepalanya menjadi sedikit pening karena memikirk
Flora mengucapkan terima kasih kepada supir taksi sebelum dia turun. Rumah dua lantai bergaya klasik yang didominasi warna putih dan abu-abu gelap di depan sana adalah tujuan kedatangan Flora. Tanpa adanya gerbang, ia bisa langsung menuju pintu utama, menekan bel.Paper bag di tangan Flora sedikit bergemerisik saat terkena sapuan angin. Butuh hingga dua puluh detik hingga pintu dibuka dari dalam. Abraham dalam balutan kaus putih dan celana panjang hitam muncul dengan kerutan di dahinya.“Ada apa kamu kemari?” tanyanya.Sungguh sambutan yang ramah. Flora memasang senyum cerah. “Agenda Bapak untuk satu bulan ke depan sudah saya persiapkan, termasuk agenda prioritas. Tapi saya masih perlu mendiskusikan beberapa hal, terutama terkait dengan rapat direksi minggu depan. Selain itu ....” Flora mengangkat paper bag-nya. “Tadi saya memasak rendang. Kesukaan Bapak, bukan?”Abraham menatap menyelidik pada Flora. “Agenda bisa kamu kirimkan file-nya pada saya, kenapa sampai harus repot-repot datan
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak