“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
‘Aku akan pulang terlambat, Flo.’Flora menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghirup uap cokelat hangat ketika ia membaca pesan itu, dari Sakha. Ia segera menutup pesan tanpa membalas, lantas kembali menyesap cokelatnya.“Aduh, manis sekali.” Flora melemparkan tatapan tenang pada langit senja. “Tentu saja kamu harus menghibur pacarmu yang sedang sedih.”Seluruh kejadian di kantor kembali berputar di kepala Flora, lalu sebentuk seringaian terbit di bibirnya. Hari ini ia berhasil membuat topeng samaran Luna perlahan retak. Itu yang ingin ia tunjukkan pada rekan-rekan kerja wanita itu. Perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan.Telepon semalam yang berisi kemesraan Flora dengan Sakha hanya alat untuk membuat emosi Luna menjadi tidak stabil. Ketika seseorang dalam kondisi seperti ini, cukup beri sedikit saja tekanan, maka ia akan kehilangan kendali dengan mudah. Sisi Luna yang temperamental telah Flora pertontonkan kepada rekan-rekan kerjanya, memperkecil kemungkinan ia akan
Sudah nyaris lima belas menit Flora bergeming di meja kerjanya dengan pandangan yang nanar dan menerawang. Deretan tulisan di layar komputer menjadi terasa jauh sekali, seolah-olah kisah yang tertulis di sana milik seseorang dari antah-berantah yang tidak ia kenal.‘Istri Rowan Ganendra Ditemukan Meninggal di Halaman Belakang Rumah, Diduga Melompat dari Lantai Empat.’Itu adalah artikel ketujuh yang Flora baca mengenai dugaan bunuh diri ibu Abraham, membacanya berkali-kali dengan harapan apa yang dibacanya tidak benar. Namun, segala yang tertulis dalam artikel-artikel itu nyaris semuanya sama: Elsie Ganendra melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai empat rumahnya pada tengah malam, dua puluh tahun silam.Punggung Flora yang menegang, perlahan mengendur saat ia bersandar pada kursi dan mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruangan Abraham yang terlihat melalui kaca, menemukan pria itu yang sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu kepala departemen. Flora memandan
“Ini aku sedang bersiap-siap pulang, Flo. Sebentar lagi check out dari hotel.” Ponsel yang tertempel di telinga Sakha menyalurkan suara istrinya di seberang sana. Sesekali Sakha mengangguk—meski istrinya tidak bisa melihat gerakannya, dua-tiga kali menyahut pendek. “Hm? Tentu saja aku sudah membelikannya. Keripik belimbing dan puding nasi hitam—heuk.” Sakha tersentak kaget saat dasinya dinaikkan dengan kasar, seperti ingin mencekiknya. Dia meneguk saliva pelan, sebelum tangannya terangkat untuk mengusap rambut seseorang di depannya. Seseorang berambut sepunggung itu memutar kedua bola matanya, lantas menyentakkan tangannya dari dasi sembari mendorong dada Sakha pelan, mengurungkan niat untuk menyelesaikan ikatan dasi. Wajahnya tertekuk, sorot matanya sarat akan kekesalan. Situasi ini benar-benar terasa begitu menyebalkan baginya. “Bersabarlah sebentar lagi.” Sakha berucap tanpa suara, menatap memelas pada wanita di depannya, sementara istrinya di seberang sana masih bicara tentang
Tangan Sakha meraba dinding, mencari sakelar lampu setibanya di rumah. Sedetik, ruang tamu memperlihatkan wujudnya ketika lampu besar yang menggantung di langit-langit ruangan memancarkan sinarnya. Mata Sakha menyapu ke segala penjuru, kesunyian di rumah itu memberi kesan tidak adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Berapa kali pun dia memanggil nama istrinya, tetap tidak ada jawaban. Menyerah, menerka jika Flora sedang ada urusan di luar, Sakha dengan langkah gontai mulai menaiki anak tangga. Di lantai dua, sekali lagi Sakha menekan sakelar lampu. Byar! Ruangan terang seketika, juga Sakha yang terlonjak dari tempatnya berdiri, berseru tertahan. Lihatlah, di pojok ruangan, Flora berjongkok dengan kepala tertunduk dalam. Lengannya menopang kepalanya yang seakan tenggelam. Tidak bergerak, pun terlihat amat suram. “Flo ...? Hei, ada apa?” Perlahan Sakha mendekati istrinya, berusaha menyentuh pundaknya hingga sebuah pergerakan dari Flora membuatnya tersentak. Flora menghindari sentuhan
“Flo, ayo makan lebih banyak. Wajahmu pucat sekali.” Sakha menghela napas, menatap Flora khawatir. “Sudah seminggu kamu seperti ini. Sebenarnya bibimu mengatakan apa hingga membuatmu begini, Flo?” Pertanyaan Sakha sama sekali tidak mengalihkan pandangan Flora dari bubur ayam yang sejak tadi terus diaduknya tanpa minat. Sorot mata, raut wajah, semuanya terlihat hampa. Setengah nyawa Flora seperti dicerabut dengan paksa. “Apa ... eh, apa bibimu mengatakan yang tidak-tidak mengenai ayahmu? Atau ibumu?” Hati-hati Sakha melontarkan pertanyaan sensitif itu, khawatir menyinggung perasaan istrinya. Flora mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sakha tanpa ekspresi, lantas berucap, “Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit kurang enak badan.” Selain seperti kehilangan semangat, yang membuat Sakha semakin khawatir adalah perubahan sikap Flora yang menjadi dingin terhadapnya. “Ayo kita ke dokter kalau begitu.” “Kamu mau membawaku ke dokter terbaik?” Flora melemparkan pertanyaan disertai seringan tipis.
“Ikuti mobil itu, Pak.” Flora berucap pelan pada supir taksi ketika melihat mobil Sakha melintasi jalan keluar restoran. Sejak keluar dari rumah sakit setengah jam yang lalu, Flora langsung menghubungi sekretaris Sakha, Briana, untuk menanyakan keberadaan suaminya. Briana mengatakan Sakha sedang makan di sebuah restoran setelah seharian berkutat dengan dokumen dan berkas. Dan kini Flora yang telah sampai di restoran yang dimaksud Briana, melihat mobil Sakha yang tidak menuju kembali ke perusahaannya, melainkan berbelok ke arah yang berlawanan. “Jangan sampai kehilangan jejak, Pak. Saya akan bayar lebih.” “Siap, Mbak!” Supir taksi berseru bersemangat, semakin dalam menekan gas mobilnya. Meskipun terpaut tiga mobil dari mobil Sakha, ditambah jalanan yang merayap, supir taksi itu benar-benar bisa diandalkan. Lima puluh menit yang mendebarkan bagi Flora, mobil Sakha terlihat berbelok ke sebuah taman hiburan. Supir taksi ikut berbelok beberapa saat setelahnya, mencoba mengambil jarak a
“Flora! Astaga, aku menghubungimu puluhan kali.” Raut cemas Sakha menjadi pemandangan pertama Flora ketika pria itu menginjakkan kaki di rumah, masih dengan pakaian kerja. Dia buru-buru berjalan mendekat hingga tampak jelas wajah kusutnya. Flora menyunggingkan senyum tipis, sebelum berucap, “Maaf membuatmu khawatir. Aku tadi kurang enak badan sehingga pergi ke klinik terdekat.” “Eh, sekarang bagaimana? Masih sakit?” “Tidak, aku tidak apa-apa sekarang.” Flora menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tiba-tiba merasa mual. Tingkah Sakha, wajahnya, pun aroma parfumnya membuat Flora muak setengah mati. “Kamu kelihatan lelah, Mas. Ayo biar aku buatkan kopi.” “Ide bagus!” Melangkah menuju dapur, Flora menyembunyikan tangannya yang bergetar. Begitu pun saat dia mengambil gelas, menuangkan kopi, Flora mati-matian menjaga agar tangannya terlihat stabil sembari melemparkan pertanyaan, “Ah, Ayah bagaimana?” “Tidak parah. Dokter bilang dua-tiga hari lagi sudah boleh pulang.” Sakha memej
Sudah nyaris lima belas menit Flora bergeming di meja kerjanya dengan pandangan yang nanar dan menerawang. Deretan tulisan di layar komputer menjadi terasa jauh sekali, seolah-olah kisah yang tertulis di sana milik seseorang dari antah-berantah yang tidak ia kenal.‘Istri Rowan Ganendra Ditemukan Meninggal di Halaman Belakang Rumah, Diduga Melompat dari Lantai Empat.’Itu adalah artikel ketujuh yang Flora baca mengenai dugaan bunuh diri ibu Abraham, membacanya berkali-kali dengan harapan apa yang dibacanya tidak benar. Namun, segala yang tertulis dalam artikel-artikel itu nyaris semuanya sama: Elsie Ganendra melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai empat rumahnya pada tengah malam, dua puluh tahun silam.Punggung Flora yang menegang, perlahan mengendur saat ia bersandar pada kursi dan mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruangan Abraham yang terlihat melalui kaca, menemukan pria itu yang sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu kepala departemen. Flora memandan
‘Aku akan pulang terlambat, Flo.’Flora menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghirup uap cokelat hangat ketika ia membaca pesan itu, dari Sakha. Ia segera menutup pesan tanpa membalas, lantas kembali menyesap cokelatnya.“Aduh, manis sekali.” Flora melemparkan tatapan tenang pada langit senja. “Tentu saja kamu harus menghibur pacarmu yang sedang sedih.”Seluruh kejadian di kantor kembali berputar di kepala Flora, lalu sebentuk seringaian terbit di bibirnya. Hari ini ia berhasil membuat topeng samaran Luna perlahan retak. Itu yang ingin ia tunjukkan pada rekan-rekan kerja wanita itu. Perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan.Telepon semalam yang berisi kemesraan Flora dengan Sakha hanya alat untuk membuat emosi Luna menjadi tidak stabil. Ketika seseorang dalam kondisi seperti ini, cukup beri sedikit saja tekanan, maka ia akan kehilangan kendali dengan mudah. Sisi Luna yang temperamental telah Flora pertontonkan kepada rekan-rekan kerjanya, memperkecil kemungkinan ia akan
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma