“Bagaimana, Flo? Kamu suka pekerjaan baru kamu?”
Gerakan tangan Flora yang hendak menuangkan air putih ke gelas sedikit tersendat karena pertanyaan Sakha. Bayangan tentang pekerjaannya hari ini kembali hinggap di pikirannya, membawanya kembali mengumpat dalam hati kepada Abraham yang telah membuat peraturan konyol tidak berperikemanusiaan itu. Tidak ada yang menarik di perusahaan selain fasilitas mewah dan tentu saja raut pucat Luna ketika Flora sengaja mempermainkannya.
“Suka sekali, Mas. Aku menemukan kesenangan baru di sana.” Tidak ada gunanya bagi Flora untuk berkata jujur. Susah payah dia mendapatkan izin dari Sakha untuk kembali bekerja setelah hampir tiga tahun mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga secara penuh.
“Syukurlah ....” Air muka Sakha tampak sedikit berubah ketika meraih cangkir kopinya. Dia mencuri pandang Flora beberapa kali sebelum bertanya dengan suara sedikit serak, “CEO di sana ... bagaimana? Apa dia memang sehebat yang dibicarakan orang-orang?”
Sejenak, Flora mengamati perubahan ekspresi suaminya yang kentara. Dari suaranya, Flora tahu Sakha mencoba mengontrol suaranya agar terdengar normal. Apa Sakha cemburu, khawatir jika Flora tertarik dengan Abraham? Cicak yang sedang melahap nyamuk pun tahu, bukan itu yang tengah Sakha rasakan. Ada hal lain yang mengusik pria itu.
“Ya, dia memang hebat. Taktis dalam bekerja dan insting bisnisnya luar biasa.” Mata Flora tidak lepas menganalisis raut wajah Sakha, mencoba membaca yang tersembunyi di sana.
Sakha mengangguk beberapa kali, tatapannya masih tertuju pada air kopi di cangkirnya. “Apa kamu ... kamu bisa membantuku, Flo?”
Suara penuh keraguan itu membuat Flora semakin tertarik. Dia mendekat, duduk di samping Sakha untuk mendengar penjelasan berikutnya.
“Aku mungkin belum menceritakan padamu selama ini, takut membuatmu khawatir. Sudah enam bulan ini perusahaanku mengalami defisit yang cukup tajam. Resesi tahun lalu yang menjadi dalang utamanya. Kami mungkin hanya bisa bertahan setengah tahun lagi sebelum semuanya habis. Apa kamu bisa membantuku bertemu dengan CEO perusahaanmu, Flo? Gane Brown adalah perusahan puncak untuk food and beverage. Aku mempertimbangkan untuk menjadi anak perusahaannya. Akuisisi.”
Butuh beberapa saat untuk Flora mencerna perkataan Sakha. Defisit? Di ujung tanduk? Ah, Flora bisa melihat segalanya dengan jelas sekarang. Tentang alasan Sakha memperbolehkannya bekerja di Gane Brown Corporation dan juga sikap murungnya akhir-akhir ini. Abraham Ganendra, pria itulah alasan utamanya.
“Apa benar-benar tidak ada jalan keluar lain untuk menyelamatkan perusahaanmu, Mas?” Flora bertanya memastikan.
Sakha membalasnya dengan gelengan lemah. Akuisisi untuk mendapatkan suntikan dana dan nama besar Gane Brown adalah jalan satu-satunya.
Kebetulan? Tentu saja Flora akan menyebutnya sebagai nasib baik. Entahlah apa yang sedang diperbuat takdir. Setelah menghantamnya begitu keras ke bebatuan terjal, dia kini seolah mencoba berdamai dengannya. Flora tersenyum miring seraya menyentuh bahu Sakha, berbisik lembut.
“Tenang saja, Mas. Aku pasti akan membantumu.”
***
Flora menutup buku catatannya seiring pembicaraan di meja itu menjadi lebih rileks. Abraham sesekali mengangguk menanggapi perkataan pria tujuh puluh tahunan di seberang meja yang tengah mengenang masa lalu.
“Aku ingat sekali dulu kamu masih setinggi ini.” Pria itu menggerakkan tangannya sedikit lebih rendah dari meja. “Lalu berlari-lari memintaku untuk menemanimu bermain lego. Astaga, siapa yang bisa mengira bahwa bocah sekecil itu tumbuh begitu menakjubkan, bahkan menjadi CEO paling gemilang?” Kekehan pria itu terdengar amat tulus, mata tuanya menatap takjub pada Abraham.
Meskipun tidak begitu paham dengan masa lalu kedua orang itu, Flora ikut manggut-manggut. Setelah melakukan notula meeting siang ini bersama Djaya Pramana, seorang produser film kenamaan untuk membicarakan proyek kerja sama dalam sebuah mega film, Flora jadi menganggur. Mau nimbrung pembicaraan mereka juga sama sekali bukan ide yang bagus. Jadilah dia seperti bobblehead mobil yang hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Alangkah bagusnya jika Stella juga bisa sepertimu, Abra. Dewasa, brilian, dan juga—” Perkataan Djaya terhenti kala pintu di ruang rapat berdebum terbuka setelah mendapat dorongan yang keras dari luar. Tak lama setelah itu muncul seorang perempuan berbalut dress selutut di ambang pintu, wajahnya tertekuk.
“Kakek, katanya kita mau ma—Abra?” Mata perempuan di depan sana membulat sempurna ketika melihat Abraham yang duduk di salah satu kursi.
“Nah, baru juga dibicarakan. Cucuku sepertinya lebih berbakat menjadi cenayang dibandingkan model.” Djaya bergumam, menggelengkan kepalanya pelan.
Dalam sepersekian detik, wajah Stella—cucu Djaya—berubah sumringah, melangkah cepat ke arah Abraham duduk.
Flora berhitung cepat. Gestur Stella seperti ingin melemparkan dirinya kepada Abraham, memeluknya. Entah dari mana datangnya, Flora seperti bisa mendengar suara Abraham yang tengah mengucapkan poin pertama yang harus ia patuhi.
“Jika kamu melihat seseorang mencoba menyentuh saya, kamu memiliki kewajiban mencegah hal itu terjadi.”
Flora mengumpat dalam hati seiring Stella yang semakin dekat. Dia bergegas bangkit dari duduknya dan merentangkan tangan lebar-lebar tepat sebelum Stella meraih lengan Abraham. “Maaf, Nona.”
Gerakan tangan Stella terhenti. Ruangan itu berubah sunyi ketika Stella melemparkan tatapan tajam kepada Flora, untuk kemudian dia bertanya dengan nada suara geram, “Who the hell are you?”
Sebelum Flora sempat menjawab atau menurunkan tangannya, terdengar tawa renyah Djaya. Dia bertepuk tangan pelan. “Sepertinya aku tahu apa yang terjadi. Kamu sama sekali belum berubah, Abra. Dan siapa tadi namamu? Flora, bukan? Aku suka sekretarismu, Abra.”
Flora menoleh dengan mata mengerjap dalam tempo lambat. Bukan, bukan karena ucapan Djaya yang terdengar seperti pujian itu, melainkan karena lengkungan kecil yang tercetak di bibir Abraham.
Ah, ternyata bos perfeksionisnya itu tahu juga caranya tersenyum.
***
“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya
Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan. “Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan. Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres
Diiringi dengan kilatan petir di belakang sana, Abraham sedikit tersentak ketika membuka pintu rumahnya. Demi Tuhan, dibandingkan manusia, sekretarisnya lebih tampak seperti hantu wanita yang mati karena depresi. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur ke bawah mata, ekspresi tanpa nyawa. Dan apa-apaan dress formal yang Flora kenakan, sama sekali tidak cocok dengan kondisi wajahnya saat ini.“Apa kamu baik-baik saja, Flora? Kamu baru saja menjadi korban tabrak lari?” Abraham bertanya setelah mencoba menenangkan jantungnya.“Saya tidak apa-apa, Pak. Abaikan penampilan saya.” Flora menimpali dengan nada suara dan wajah tak beriak. “Apa yang harus saya kerjakan sekarang?”Abraham mendadak bingung, ragu membiarkan Flora masuk ke rumahnya dengan keadaan menyedihkan macam itu. Tambahkan aura horor wanita itu yang entah mengapa membuat Abraham merasakan tengkuknya meremang.Dua detik, tangan Abraham menggapai handle pintu, bersiap untuk menutupnya. Dia tidak mau ambil risiko jika nanti tiba-
Tetes hujan yang jatuh memercik membasahi bagian depan heels milik Flora. Dia kini sedang duduk di lantai depan minimarket sambil menatap rintik hujan yang tak kunjung usai. Celotehan beberapa orang yang beradu dengan suara hujan, juga kendaraan yang lewat di jalan raya, menjadi penghibur Flora malam ini.Flora duduk memeluk lutut, tatapannya menerawang menembus jutaan air yang turun serentak. Suasana yang tercipta membuat Flora kembali terlempar pada kenangan-kenangan bahagia, lompat pada saat dia menemukan lingerie merah, lompat lagi saat dia kehilangan peri kecilnya. Rasa kehilangan itu masih basah, Flora masih bisa merasakan perutnya yang nyeri, warna dan aroma darah yang mengalir di kakinya.“Es krimnya mencair, Flora.”Lamunan Flora terpotong kala sebuah suara yang mulai familiar menelusup telinganya. Pelan, namun seakan bisa menyaingi gemuruh hujan. Pandangan Flora beralih pada es krim stroberi berbentuk cone di tangannya, segera menyuapkan lelehan es krim ke mulutnya.“Ah ...
Malam telah menurunkan tirainya, membungkus kota dalam hamparan langit gelap. Gemerlap lampu tempat hiburan malam mulai unjuk gigi, berlomba menjadi yang paling bersinar, paling megah, untuk menarik orang-orang masuk ke dalamnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Flora dapat melihat hamparan cahaya bagai kunang-kunang terbang. Kendaraan merayap, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, pun kesibukan yang menjadi akar julukan ‘kota yang tak pernah tidur’. Flora seakan dikembalikan pada kejadian saat dia ingin mengakhiri hidupnya. Dia tersenyum, teringat pada Kairo. Entah bagaimana dia akan bertemu pria itu lagi. “Cokelat?” Suara yang datang dari samping kanannya, membuat Flora menoleh. Luna telah berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sembari mengulurkan cangkir berisi cokelat dengan uap mengepul. “Terima kasih.” Flora balas tersenyum, menerimanya. “Aku sengaja datang ke sini. Beberapa kali aku melihatmu berdiri di sini selepas pulang kerja.” Luna meminum cokelat panasnya,
“Oh, kenapa tiba-tiba melihat album kelulusanku?” Sakha yang baru saja mandi, handuk masih tersampir di rambutnya, mengernyit saat menemukan Flora yang sibuk melihat-lihat album kelulusan SMA-nya. “Aku hanya suka fotomu di sini, Mas. Kau terlihat manis sekali dengan potongan rambut seperti ini.” Flora mengangkat album, memperlihatkan foto Sakha dengan gaya rambut emo sembari tertawa geli. “Kamu pasti bercita-cita menjadi penyanyi rock saat itu.” Sakha menyampirkan handuk di kursi, melipat tangan di depan dada dengan wajah tertekuk. “Sepertinya tidak ada yang lebih menyenangkan bagimu selain mentertawakan aibku, ya, Flo. Lihat saja, besok akan kubakar album itu!” Derai tawa Flora semakin santer terdengar. Ia tertawa keras hingga matanya menyipit dan badannya meliuk ke belakang. Sementara Sakha pura-pura semakin kesal karena tingkah istrinya. “Jangan begitu. Cobalah sekali lagi gaya seperti ini. Mau kubelikan ripped jeans dan tank top. Kamu pasti akan cocok sekali memakainya.” Flora
“Mia?” Wanita yang tengah mengenakan kardigan hitam longgar dengan rambut panjang tergerai yang menutupi sebagian wajahnya itu, menoleh saat Flora memanggil pelan namanya. Kakinya bergerak sedikit memutar, bersamaan dengan pandangannya yang beralih ke samping. Kantong plastik putih yang berada di tangan wanita itu bergemerisik terkena embusan angin malam. Dalam temaram karena pencahayaan yang kurang memadai, Flora bisa melihat Mia mengerutkan kening, seperti sedang mengingat-ingat apa pernah bertemu dengannya sebelumnya. Flora menegakkan punggung yang awalnya bersandar pada dinding bangunan, melangkah mendekat sembari tersenyum tipis. “Benar Mia Amarita?” tanya Flora sekali lagi, tepat setelah berdiri berhadapan dengan wanita itu. Dari jarak sedekat ini, Flora bisa melihat dengan jelas suram yang membayang di wajah Mia, juga sepasang mata yang menatapnya bingung dan sangsi. Gurat wajahnya sudah berbeda dari foto yang Flora lihat di album kelulusan, menjadi jauh lebih dewasa, namun
Debar jantung Luna semakin tidak keruan. Bergeming di ambang pintu menjadi satu-satunya pilihan yang terlintas di benaknya. Tumpukan laporan yang dia bawa sedikit miring, sebagai akibat dari tangannya yang mendadak goyah.Tatapan itu ... Luna baru pertama kali mendapatkannya dari orang-orang kantor. Seolah dia adalah pendosa yang pantas dihakimi, seolah dia tak ubahnya manusia rendahan. Orang-orang itu terdiam dengan cara yang memuakkan di mata Luna, seakan hidup mereka tidak memiliki cela dan lebih baik dari orang lain.Tidak ingin membiarkan keheningan janggal terus membelenggunya, Luna memaksakan senyumnya kembali, sebelum melangkah mendekat.“Hei, ada apa ini? Ada sesuatu yang aku lewatkan?” Mati-matian Luna menjaga intonasi suaranya tetap normal dan ceria, sementara tangannya meletakkan laporan ke meja.Para karyawan kembali saling tatap, terlihat ragu dan canggung. Jelas ada sesuatu yang mereka sembunyikan dan tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada Luna.“Itu ... eh, aku m
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak